“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Septa mulai mencoba berpikir logis.“Kamu tetap ikuti saja sesuai rencana Hamdan.” Santi mengatakan dengan tenang.“Tapi, dia ingin kamu menjadi istri dari Rizwan dan menghabisi mereka berdua,” kata Septa.Mata Santi mulai berkaca-kaca. Dia benar-benar tak menyangka Septa bisa berkomplotan dengan musuh keluarga suaminya itu untuk menghabisi mereka.“Septa, apa kamu tahu seberapa besar rasa kecewaku padamu?” Santi menghapus air matanya dengan cepat. Bukan saatnya untuk menjadi lemah saat ini.“Ya, aku tahu. Tapi percayalah aku sudah menyusun rencana untuk menggagalkan rencana Hamdan bahkan sebelum tahu kalau Pak Adam sudah lebih dulu mengetahui kalau aku berkhianat,” ujar Septa.“Untuk menghadapi Hamdan kamu nggak bisa bertindak sendiri, itu hanya akan membahayakan semuanya. Sekarang kamu cukup memberitahuku tentang dimana posisi mereka, bagaimana situasi di sana dan apa saja yang bisa dijadikan senjata untuk mengalahkan mereka.” Santi akan menyusun
"Jangan terburu-buru begitu, aku mau semuanya terjadi atas dasar suka sama suka," kata Santi sambil mendorong dada Rizwan."Apa maksudnya kamu nggak suka sama aku?" tanya Rizwan kecewa. Santi mencoba total dalam berakting, tapi juga tak mau rugi banyak. Dia pun berjongkok di depan Rizwan yang telah duduk di kursi rodanya."Untuk saat ini aku memang belum menyukaimu, Mas. Bagaimana bisa aku suka pada orang yang pernah mencoba melecehkan aku?" tanya Santi bersikap sebagai seorang korban yang tak berdaya.Rizwan menatap Santi penuh rasa bersalah. Dia membalas genggaman tangan Santi dengan erat."Andai tanganku masih ada dua, aku pasti akan memelukmu erat dan membuatmu merasakan cinta yang sempurna. Tapi …" Rizwan seperti orang yang putus asa."Aku nggak butuh dua tangan untuk bisa merasakan cinta yang sempurna. Aku cuma butuh ketulusan, dan kalau kamu benar-benar mencintai aku, tolong bujuk papa kamu untuk melepaskan mereka berdua," kata Santi mencoba membujuk Rizwan."Hentikan omong kos
Adam terkekeh geli mendengar Hamdan menyebut dirinya sebagai raja singa."Apa maksudmu raja singa penyakit menular itu?" Adam meledek dengan seringaiannya."Hahahaha … anggaplah begitu! Aku memang penyakit yang berbahaya! Dan jangan coba mendekat kalau tak mau peluru ini menembus kepalanya!" ancam Hamdan."Aku yakin kamu tidak akan berani melakukan itu. Bukankah Santi yang sejak awal kamu incar?" tanya Adam."Tapi aku bisa berubah pikiran setiap saat!" kata Hamdan.Bima mencoba berjalan mendekat tapi Hamdan langsung menembakkan peluru ke atas sebagai peringatan. "Jangan coba-coba mendekat atau peluru ini benar-benar akan bersarang di kepalanya!" Bima terpaksa mundur. Dia tidak mau mengambil resiko dengan mengorbankan keselamatan istrinya."Jangan macam-macam!" seru Bima.Hamdan tertawa kecil. Dia mendorong Santi ke arah Septa yang baru saja datang setelah mengantarkan Rizwan. "Pastikan dia tidak kabur!" ucap Hamdan. Septa menganggukkan kepalanya dan menahan kedua tangan Santi."Sepert
"Pastikan keluargaku aman, Al!" kata Santi memastikan. Aldo mengerut bingung. Baru beberapa menit lalu dia menelpon Maura dan semua baik-baik saja.Tapi dia segera mengikuti apa mau Dinda dan menelepon Maura. Hingga beberapa kali panggilan tidak juga ada jawaban. Rasa panik mulai muncul di dalam hatinya.Ternyata orang-orang suruhan Adam dan Bima datang terlambat dan dilumpuhkan oleh anak buah Hamdan. Salah satu anak buah Hamdan lah yang menjawab telepon Maura."Lakukan ren- … arghhh!!" Santi langsung menginjak bahu Hamdan yang berteriak seolah memberi kode pada anak buahnya saat Aldo menelepon.Setelah memberi kode pada Aldo untuk menutup teleponnya, Santi menjambak rambut Hamdan. "Tutup mulutmu, Om! Kamu sudah menguji kesabaranku!"Mata Santi memerah. Dia benar-benar emosi ketika keluarganya dijadikan senjata untuk melawannya. Singa betina mengeluarkan cakarnya.Disela rasa sakitnya, Hamdan masih bisa tertawa karena merasa masih ada harapan. Setidaknya dia masih bisa selamat dari sa
"Kalian …" si pimpinan tampak tak kalah terkejutnya. Dia merasa maju salah mundur juga salah."Apa kamu yakin masih mau berurusan dengan kami?" tanya Aldo."Tapi … ahhh!! Sudahlah! Serang mereka!" kata lelaki bertubuh kurus itu."Kamu akan menyesal Baron!" Ucap Aldo dengan rahang mengeras.Baron berpikir bahwa dia tak mungkin kalah melawan Aldo dan juga Santi yang dikenalnya sebagai wanita desa yang polos, tidak bisa menjaga dirinya. Dengan segera dia berniat menjadikan Santi sandera agar bisa lepas dari situasi sulit itu.“Sudah ku duga kamu lemah! Kalau bukan Pak Bima dan Pak Aldo yang ada di belakangmu mungkin saja aku sudah membalaskan dendamku padamu karena membuatku hidup terasing!” kata Baron sambil mencengkram tangan Santi di belakang.“Santi!” pekik Aldo.“Semuanya berhenti atau wanita cantik ini akan terluka!” ancam Baron seraya mengendus telinga Santi.Anak buah Aldo langsung menghentikan aksi mereka yang menyerang komplotan Baron. Namun, tentu saja Santi tak membiarkan ha
"Dimana para penjaga di luar?" tanya Adam sambil turun dari ranjang dan bersembunyi di balik lemari agar tidak terkena lemparan batu.Tak berselang lama kemudian muncullah beberapa orang yang ingin mengecek kondisi atasan mereka."Maafkan kami! Tiba-tiba saja kami diserang secara beruntun dan tidak memperhatikan secara keseluruhan!" ucap salah satu dari mereka."Apa situasi di luar sudah terkendali?" tanya Bima."Sudah, Pak. Kebetulan Pak Aldo yang langsung turun tangan tadi," katanya lagi."Suruh Aldo kesini!" kata Adam.Orang itu mengangguk dan segera keluar untuk menjalankan perintah tersebut. Dia langsung menyampaikan pesan dari Ada pada Aldo.“Ada apa, Om?” tanya Aldo begitu sampai di ruangan Adam dan Bima dirawat.“Siapa mereka?” tanya Adam.“Masih belum bisa dipastikan siapa pelakunya, Om. Tapi besar kemungkinan itu adalah orangnya Rizwan,” kata Aldo.“Lalu gimana dengan Baron?” tanya Adam lagi.Aldo tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya. Dia enggan menjawab pertanyaan
Septa melajukan mobilnya dengan kecepatan stabil agar tidak mendapat teguran dari Bima. Dia sangat hafal dengan sikap Bima yang tidak mau diganggu ketika sedang bersama Santi, terutama untuk hal itu.Setelah beberapa menit, akhirnya mereka sampai di perusahaan dimana sebagian karyawan sudah mulai bekerja. Septa hanya mengetuk kaca mobil beberapa kali dan menunggu di tempat agak jauh, membiarkan atasannya yang sepertinya belum selesai dengan urusannya itu.Tak lama kemudian Santi turun lebih dulu dengan mulut komat kamit meluapkan kekesalannya. Rambutnya sedikit berantakan dan jangan lupakan bajunya yang tampak kusut."Nanti tolong ambilkan baju ganti di apartemen Mas Bima ya," kata Santi pada Septa."Baik!" jawab Septa singkat."San! Tunggu!" Bima bergegas menyusul Santi yang sudah masuk lebih dulu meninggalkannya.Namun begitu masuk ke area kantor, Bima langsung mengerem langkah kakinya. Bagaimanapun juga dia harus menjaga image sebagai seorang CEO di perusahaannya.Beberapa karyawan
Mona tercengang mendengar pernyataan Santi. Dia sampai menganga tak percaya dan menatap Santi lekat."Kamu jangan bercanda, San. Bukannya kalian ini kerabat jauh?" Mona tak langsung percaya dan menepis tangan Santi."Itu hanya formalitas saja karena kemarin Mas Bima masih sangat takut aku kenapa-napa, dan sekarang kami nggak akan menutupi hubungan kami lagi," terang Santi dengan senyum manisnya."Ini nggak bener kan, Bim?" tanya Mona masih tak bisa percaya."Sepertinya kamu butuh pembersih telinga, Mona …" ucap Bima santai. Bima berdiri dan menghampiri istrinya. Dirangkulnya bahu Santi agar tubuh mereka menempel."Aku yang bersalah kemarin karena tak berani mengakui Santi sebagai istriku. Aku takut dia disakiti oleh orang lain, tapi sekarang aku sadar kalau ternyata dia tak selemah itu," imbuh Bima.Mata Mona berkaca-kaca ketika keduanya menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari masing-masing. Dia segera berjalan keluar dengan air mata yang sudah terlanjur menetes di pipin