Ares ternyata tidak membawa Anggun pulang, melainkan membawanya ke sebuah apartemen.“Kenapa kita ke sini?” tanya Anggun heran. “Bukankah ini apartemen?” tanyanya lagi.“Memang kau pikir apa? Taman hiburan?” seloroh Ares enteng.Ares melangkah masuk sambil memutar-mutar kontak mobil di tangannya kemudian melempar pada seorang satpam. Ketika sampai di ambang pintu, Ares mendadak berhenti. Pandangannya memutar mencari sosok Anggun yang ternyata masih berdiri termenung.“Kenapa diam di situ?” tanya Ares.“Kenapa kita ke sini?” Anggun tak kunjung beranjak. Jujur saja pikirannya sedang berjalan-jalan membayangkan sesuatu hal yang rumit.Ares berdecak sebal lalu mendekati Anggun dan menyeret lengannya. “Sudah aku katakan, kau tidak usah berpikiran macam-macam.Anggun menelan saliva lalu terpaksa mengikuti langkah Ares. Setelah menaiki lift hingga berhenti di entah lantai berapa karena memang Anggun tak mengamati, Anggun mendadak mulai merasa jantungnya terasa berdegup lebih kencang. Apalagi
Suasana di meja makan pagi ini tanpa kehadiran Ares. Sejak semalam keluarganya tak tahu Ares pergi ke kana. Sudah mencoba menghubungi nomornya tapi tidak ada jawaban. “Apa Ares tidak pulang?” tanya Ana saat baru bergabung.“Sepertinya tidak,” sahut Bian. “Oh iya Rangga, kau akan melangsungkan pernikahan dengan Mareta kapan? Bukankah kau sudah menemui kedua orang tuanya?” tanya Bian pada putranya itu.Rangga menyingkirkan piring kosong ke samping. “Tentu saja sudah. Aku tinggal menunggu kapan ayah ada waktu untuk menemui keluarga nya,” sahut Rangga.“Nanti sore mungkin ayah bisa,” jawab Bian. “Sekalian aku juga harus menemui kedua orangtua Anggun.”“Jadi, pernikahannya benar-benar akan dilangsungkan bersama?” tanya Ana.“Aku belum tanya Ares tentang ini. Kau dengar sendiri waktu itu kan, kalau Ares meminta sebuah pernikahan yang mewah.”“Benarkah?” timpal Rangga nampak terkejut. Bian menganggukkan kepala. “Aku akan tanya Ares lagi, nanti.”Ternyata bukan Bian saja sosok ayah yang seb
“Apa sudah selesai?” tanya Rangga saat bertemu di pintu masuk.“Sudah,” jawab Mareta.Rangga memandangi Mareta yang termenung sambil melihat ke belakang.“Ada apa?” tanya Rangga.“Tidak.” Mareta bergidik. “Aku tadi bertemu Ares di toko baju.”“Lalu kenapa wajahmu murung begitu?” tanya Rangga. “Jangan bilang kau masih menyimpan rasa.”“Sembarangan!” sembur Mareta.Mareta menyingkirkan Rangga yang sudah berdiri di samping badan pintu. Membuka pintu mobil belakang kemudian memasukkan barang belanjaannya.“Kalau bukan begitu, terus kenapa?” Rangga masih bertanya.Mareta sudah menutup pintu mobil dan kini berkacak pinggang menghadap ke arah Rangga.“Aku cuma kasihan,” ujar Mareta. “Mungkin dia terbebani karena harus menikah dengan wanita yang tidak dicintai.”Rangga tertawa lalu membukakan pintu untuk Mareta. “Kau benar. Dia mungkin sedang stres.”Setelah itu, Rangga berjalan memutar dan masuk ke dalam mobil lewat pintu sebelah kanan.Sementara Ares sendiri, ternyata sudah lebih dulu pergi
Hari di mana yang sudah ditentukan pun datang. Pesta pernikahan pun di selenggarakan dengan mewah di sebuah Vila milik keluarga Abas Wicaksono.Semua dekorasi sudah siap dengan hidangan komplit yang serba mewah juga. Kursi-kursi dengan meja bundar di bagian tengah juga susah tersusun rapi memenuhi sebagian ruangan. Rencana Ares untuk melaksanakan pesta secara besar-besaran terpaksa urung dan pada akhirnya dilangsungkan bersamaan dengan pernikahan Rangga dan Mareta.“Apa kau gugup?” tanya Rena saat Anggun sedang dirias di salah satu kamar di lantai dua.Anggun mengangguk. “Aku sangat gugup. Aku takut jelek.”Rena menepuk pundak Anggun sambil tertawa. “Mana mungkin jelek? Penata riasnya sudah ahli. Kau tenang saja.”Tetap saja Anggun merasa gugup yang sangat luar biasa. Ini momen di mana Anggun tidak pernah membayangkan sebelumnya. Harusnya nanti tersenyum terus sepanjang acara?Huh! Anggun ingin sekali berteriak sekencang mungkin.BRAK! Seseorang membuka pintu dengan keras. Ketiga or
Selesai dari acara, Tuan rumah beserta para anak-anaknya tentunya tidak pulang. Mereka terap bereda di vila dan bermalam di sini. Pun dengan keluarga Abas.Ares dan Anggun sendiri saat ini sudah berada di dalam satu kamar yang sama.Bersama dalam satu kamar, dan sudah berganti status. Kenapa terdengar mengerikan. Anggun sudah merasa gemetaran sedari tadi—sejak pintu kamar terbuka dan tertutup kembali.“Tuan,” panggil Anggun lirih.“Apa?” sahut Ares setengah menyalak.Anggun mengatupkan bibir rapat-rapat. Terdiam sejenak, lalu anggun terlihat menggigit bibirnya. “Bisa tolong bantu aku.”Ares menoleh dan Anggun langsung menunduk. Anggun tak berani menatap mata Ares yang terlihat menyala jauh dari saat acara masih berlangsung.“Tolong apa?!” sambil membuka kancing kemeja putihnya, Ares mendekat.Anggun menunduk lagi, tapi jari telunjuknya terangkat sambil menunjuk ke arah punggung. “Aku tidak bisa membuka kancing gaunku.”Ares berdecak sebal. Sambil mencibir, dua tangan Ares mulai menyen
Satu hari hidup bersama suami beserta keluarganya, Anggun belum bisa menjelaskan bagaimana rasanya. Yang jelas lebih banyak kebingungan dari pada kepastian.Sifat Ares dari sejak pulang dari Vila, masih sama. Terkadang dingin, padas, kemudian menyala lagi seperti hendak membakar. Bahkan, sampai menjelang petang, Ares tak kunjung terlihat batang hidungnya setelah pagi tadi keluar rumah tanpa berpamitan pada Anggun.“Bagaimana pernikahanmu dengan Ares?” tanya Mareta saat Anggun sedang duduk termenung di pembaringan pinggir kolam.Sebenarnya Anggun enggan untuk menjawab. Pertanyaan itu terdengar seperti sebuah hinaan untuk Anggun.“Biasa saja. Kenapa?” saur Anggun.“Tidak ....” Mareta ikut duduk sambil menyilang kedua kakinya. “Aku hanya tak yakin.”“Tak yakin kenapa?” Anggun bertanya malas.“Aku yakin Ares tidak mungkin mencintaimu,” ucap Mareta bernada hinaan.“Dari mana kau tahu?” Anggun masih bisa menyahuti.“Tentu saja. Aku yakin Ares masih mencintaiku.” Mareta berkata penuh percaya
Suasana di ruang makan hanya ada Ares, Anggun, Rangga dan Mareta. Bian dan Ana sedang pergi ke Bali untuk mengurus sebuah bisnis. Tidak pokok karena bisnis, melainkan liburan sekalian menjemput adik Rangga.Ya, Rangga memiliki adik perempuan yang seumuran dengan Ares. Jika bukan karena saat itu ibu Ares meninggal, mungkin Ares tak akan mengenal keluarga ini.“Pagi Anggun,” sapa Mareta dengan raut wajah dibuat seramah mungkin.Anggun hanya membalasnya dengan senyuman.“Buatkan aku bekal. Aku makan di dalam mobil saja,” pinta Ares sambil berlalu.Anggun tentunya langsung mengangguk dan meminta bantuan pelayan untuk mengambilkan wadah.“Kau itu sudah menikah, masih saja mengepang dua rambutmu!” cibir Mareta. “Apa kau tidak malu?”Di samping Mareta, Rangga terlihat mengulum senyum sambil mengunyah roti.Kali ini Mareta berpindah mengamati pakaian Anggun yang harganya murahan. Sebuah baju terusan dengan panjang selutut. Sementara dua kaki Anggun tertutup sepatu kets.“Kampungan sekali!” c
“Ini seragam Nona.” Nando menjulurkan lembaran seragam dengan model rok wiru berwarna hitam.Pakaian yang saat ini Anggun jembreng sama persis dengan yang dipakai pelayan lain di luar sana. Dan satu lagi, ada satu kain berbentuk celemek untuk diikatkan di pinggang.“Apa ini tidak terlalu mini untukku?” tanya Anggun saat mencoba menempelkan seragam tersebut di badan.“Sepertinya tidak, Nona. Yang lain juga memakai seragam itu,” jawab Nando.“Baiklah ....” Anggun mendesah sambil memeluk seragam itu. “Oh iya, kau jangan panggil aku Nona. Bisa kena amuk Tuan Ares nanti.”Nando tertawa. “Iya Nona. Tuan Ares sudah menelponku tadi.”“Apa aku mulai sekarang?” tanya Anggun, menunjuk ke arah pintu.“Iya, Nona. Apa mau saya tunjukkan ruang para pelayan?” tawar Nando.“Tidak. Tidak usah. Jangan sampai mereka curiga.” Anggun tersenyum sebelum akhirnya meninggalkan Nando di ruangannya.“Kenapa Nona Anggun harus bekerja di restoran ini?” gumam Nando saat sudah sendirian. “Apa Tuan Ares yang menyuruh
Sesuai saran Rena, pelan-pelan Ares mendekati Anggun yang saat ini sedang menangis di sudut ranjang. Anggun menyembunyikan wajahnya di balik lutut dan kedua tangannya yang terlipat.Dari jarak beberapa meter saja, Ares bisa mendengar dengan jelas kalau Anggun masih terus menangis hingga tubuhnya bergetar.“Anggun,” panggil Ares dengan sangat pelan.Anggun mendongak sekilas sebelum akhirnya menelungkup lagi. Ares hampir saja menjerit saat melihat wajah Anggun yang sembab, tapi kemudian memilih membisu dan mendekat.Ares tak peduli jika nanti Anggun marah atau berteriak, tapi Ares tetap maju dan ikut naik ke atas ranjang. Anggun tak bergerak selain tetap menelungkup.“Anggun ... maafkan aku,” kata Ares. Ares hampir meraih siku Anggun, sayangnya lolos karena Anggun menyingkir.“Maafkan aku, Anggun. Aku hanya cemburu.” Ares kian mendekat dan kali ini berhasil merengkuh tubuh Anggun.“Lepaskan aku!” Anggun berontak, tapi Ares tetap mendekapnya.“Tidak sebelum kau memaafkan aku,” Ares kian
Hampir setengah jam Ares mondar mandir di ruang tamu. Menunggu Anggun yang tak kunjung pulang, membuat Ares meradang. Ares marah, tapi juga khawatir. Nomor Anggun berulang kali ia hubungi juga tak kunjung tersambung.“Kau di mana?” gumam Ares masih dengan mondar-mandiri.Cekleeek ...Seketika Ares berbalik badan dan mendongak. Pintu terbuka dan seseorang menyembul dari baliknya.Melihat siapa yang datang, Ares seketika menggeram keras sambil mengepalkan kepalan di udara. Rena yang terkejut lantas masuk dengan perasaan bingung.“Kau kenapa?” tanya Rena saat sudah mendekat.Rena meraih pundak Ares dan bertanya lagi. “Heh, kau kenapa?”Ares meraup wajah lalu menghempas duduk di atas sofa. Rena yang masih belum mengerti, angkat bahu kemudian ikut duduk.“Ada apa?” Rena bertanya lagi. “Ada masalah?”“Anggun belum pulang,” jawab Ares.“Ha?” Anggun ternganga. “Belum pulang? Memangnya Anggun kemana?”Ares tidak menjawab dan hanya mendesah.Tak lama kemudian, pintu terbuka lagi. Keduanya mendo
Klunting!Satu pesan singkat masuk ke ponsel Anggun yang berada di atas pangkuan. Anggun yang kala itu sedang duduk bersantai sambil menonton televisi, segera meraih ponselnya lalu membuka pesan masuk tersebut.“Nomor siapa ini?” batin Anggun. Karena penasaran, Anggun pun menggeser lagi layar ponselnya. Dan saat itu juga muncullah serentetan pesan bergambar.Anggun menutup mulutnya yang terbuka dengan satu telapak tangan. Matanya berkedut tanpa beralih pandangan pada layar ponselnya yang masih menyala. Anggun mulai bergetar ketika melihat tanggal yang tertera di gambar tersebut. Itu artinya, foto ini di ambil saat Ares meninggalkan Anggun di rumah ayah mertua.“Bukankah ini ... em?” Anggun nampak berpikir. “Ini ... ini wanita yang sempat datang ke apartemen beberapa bulan yang lalu. Aku lupa namanya.”Saat Anggun hendak melempar ponselnya di ruang kosong di samping ia duduk, ponsel tersebut tiba-tiba berdering. Nomor yang baru saja mengirim gambar tersebut menelpon.Anggun menelan lud
Pagi hari, Ares menyempatkan diri menengok ayahnya. Beliau sudah mendingan karena hari ini sudah bisa ikut sarapan bersama. Wajahnya pun terlihat sudah tidak terlalu pucat.“Ayah sudah sehat?” tanya Anggun.“Tentu saja sehat. Kau pikir suamiku akan sakit terus?!” Ana menyerobot menjawab. “Atau kau suka kalau mertuamu sakit?”Anggun terdiam sambil mencengkeram tangan Ares di bawah meja.“Istriku. Jangan membuat kegaduhan, Anggun hanya bertanya. Toh selama aku sakit, dia yang sering membantuku,” timpal Bian.“Apa maksudmu? Jadi kamu pikir Mareta juga tidak membantu?” Ana melirik tajam ke arah Anggun.Ares mungkin marah, tapi dia sedang menahannya dan menunggu reaksi apa yang akan terjadi selanjutnya.“Kau coba tanya saja pada Mareta. Aku tidak mau membeda-bedakan menantuku, tapi karena kau selalu memancingku, aku juga bisa marah.”Pagi di ruang makan mulai terlihat kacau. Bian baru saja sembuh dan sang istri justru memanggil kegaduhan.“Jangan memancing amarahku di ruang makan!” gertak
Sekitar pukul sepuluh malam Ares sampai di rumah lagi. Suasana rumah sudah sepi, lampu-lampu di lantai bawah pun sudah di matikan. Hanya terlihat satu sinar terang dari arah dapur. Karena haus, Ares pun berbelok ke arah dapur. Ia pikir Anggun ada disana, karena sering kali malam-malam Anggun merasa lapar.“Kau?” pekik Ares saat yang ia jumpai di dapur bukanlah Anggun melainkan Mareta.Mareta menoleh sambil memegang gelas berisi air mineral. “Hai, Ares. Kau baru pulang?”“Hem.” Ares memilih acuh.Meski Mareta berniat menghalangi jalan dengan berdiri di depan meja konter, tapi Ares terap maju untuk meraih sepoci air mineral yang ada di belakang Mareta.“Awas, aku mau ambil minum,” kata Ares.“Oh, maaf.” Mareta menyingkir, tapi mendadak kakinya terkilir.Ares yang belum sempat meraih gelas lebih dulu menangkap tubuh Mareta yang sudah miring dan hampir jatuh. Gelas yang Mareta pegang masih aman, tapi air di dalamnya sudah tumpah membasahi lantai.“Kalian sedang apa?” tanya Anggun yang tib
Sore harinya, Anggun dan Ares kembali ke rumah. Bukan untuk bermalam, tapi rencananya hanya untuk memberikan buah yang tadi sempat dibeli di pasar. Namun, karena mendadak Ares mendapat panggilan dari Nando, Ares terpaksa harus meninggalkan Anggun di rumah ini.“Aku tinggalkan kau sebentar tak apa kan?” tanya Ares. “Aku mau mengajakmu, tapi takutnya nanti sampai larut malam.”“Tidak apa-apa. Aku sudah biasa di rumah ini kan?”“Kalau Mareta mengganggumu, kau bisa telpon aku. Oh atau nanti aku akan suruh Mareta datang. Bagaimana?”Melihat ekspresi Ares yang terlihat begitu khawatir, Anggun jadi ingin tertawa. Namun, karena tak mau membuat Ares marah, Anggun mengumpat tawa dengan cara memeluk tubuh Ares.“Tidak usah, aku akan baik-baik saja di sini. Tidak ada yang akan menyakitiku.”Setelah obrolan singkat itu, pada akhirnya Ares benar-benar meninggalkan Anggun. Kalau saja tempat tujuannya searah dengan jalur ke apartemen, mungkin Ares akan mengantar Anggun pulang dulu. Namun, karena jar
Sayangnya kepindahan mereka ke luar kota harus tertunda. Ayah mendadak sakit dan tidak mengijinkan Ares untuk pindah lebih dulu. Ares sempat jengkel karena semua rencana membawa Anggun pergi dari kota ini gagal. Namun, sebagai sang istri, Anggun tentunya mencoba membujuk supaya Ares mau bertahan di sini sampai ayah sembuh."Kita tunggu sampai ayah sembuh, Sayang." Kalau sudah dipanggil dengan sebutan sayang, mendadak perasaan Ares menjadi lumer."Tapi aku tak mau tinggal di rumah itu," kata Ares."Iya. Kan kita tinggal di sini." Anggun merangkul lengan, lantas mendaratkan kepala di pundak Ares. "Kita siap-siap."Ares menunduk mencari wajah Anggun. Memberi satu kecupan di bibir sembari mengelus kening Anggun. “Kau tidak boleh dekat-dekat dengan Mareta.”Anggun mengangguk. “Ya sudah aku ganti baju dulu.” Anggun lantas berdiri.Setelah semua sudah beres, Anggun dan Ares kemudian meninggalkan apartemen dan pergi menjenguk ayahnya di rumah.“Suamiku, harusnya kau tidak usah mencegah Ares u
“Sampai sini saja. Ini sudah malam juga,” kata Ares saat dua koper besar sudah di depan pintu apartemen. “Kau antar Rena pulang.” Ares berkata pada Nando.“Baik, Tuan.” Nando mengangguk.“Kabari aku kalau kau sudah beneran pindah ke rumah baru,” kata Rena.Ares tersenyum. “Pasti.”Setelah Nando dan Rena pergi, Ares segera masuk ke dalam. Menyeret koper bergantian, kemudian Ares meletakkannya di samping lemari besar di dekat rak TV. Setelah itu, Ares menghela napas sambil menyugar rambutnya ke belakang. “Melelahkan juga ternyata.”“Apa Anggun sudah tidur?” gumam Ares. Didapati jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.Perlahan-lahan, Ares membuka pintu kamar. Lampu masih menyala terang. Ares menutup pintu kemudian berbalik dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Berhenti di gazebo di dekat jendela, Ares mendapati sosok Anggun tengah meringkuk dengan kedua telapak tangan terhimpit di antara paha.Ares mendekat. Tak mau sampai Anggun terbangun, Ares mulai men
Sebelum kembali ke rumah, Ares mampir terlebih dulu ke restoran. Rencananya Ares akan menelpon Nando, tapi berhubung ponselnya tertinggal di apartemen, pada akhirnya Ares terpaksa menemui Nando di restoran.Sampai di sana—di ruang khusus menejer—Ares dikejutkan dengan adanya Rena di dalam sana. Rena tengah duduk tak jauh dari Nando di atas sofa.“Kau di sini?” tanya Ares pada Rena. Rena meringis. “Jangan bilang kalian?”Mereka berdua saling pandang sebelum akhirnya sama-sama meringis menatap Ares.Ares nampak menghela napas, lalu memutar bola malas. “Baguslah. Aku senang ada yang kau sama Rena.”“Apa!”“Pfff!”Jika Rena melotot, Nando justru sedang mengumpat tawa.“Kau menertawakanku, ha?” sembur Rena“Aduh!” jerit Nando saat telapak tangan mendarat di pundaknya. “Sakit tahu!”Saat mereka berdua hendak mulai adu mulut dan saling memukul, Ares sudah lebih dulu menyela. “Diamlah!”Sesaat keduanya langsung diam. Meski sempat saling mencebik dan lirik, tapi kemudian mereka berdua foku