“Bawa teman-temanmu pergi dari rumah ini sekarang juga, Naina. Dan berharaplah salah satu dari mereka tidak bertemu di tengah jalan atau aku tak tahu apa yang akan kulakukan pada mereka,” desis Alec di antara gerahamnya yang bergemeletuk.
Alea berharap bisa menyumpahi pria berengsek yang terkulai lemah di lantai marmer di antara pecahan kaca, penuh darah di wajah, dan tak bergerak seperti mayat. Tetapi ia malah merasa iba.
Tanpa kata, Naina dan dua teman prianya yang lain menggotong tubuh pria itu dan Alea kini berhasil mendapatkan perhatian Alec. Sepenuhnya.
Gemuruh kemurkaan yang menggema menembus dada pria itu. melenyapkan jarak udara yang berderak di antara mereka. Pria itu menyambar pergelangan tangan Alea dengan kasar dan menyeretnya naik ke lantai dua.
“Sakit,” rintih Alea yang sama sekali tak dipedulikan oleh Alec. Ia tak heran jika pergelangan tangannya akan patah merasakan bagaimana kuatnya pria itu mencengkeram.
A
“Berapa kali kau makan dalam sehari, Alea? Tiga? Satu? Atau tidak sama sekali?” Setiap kali bertemu dengan Arza, wanita itu selalu menelan makanan dengan sangat lahap. Apa setelah Arza menghilang, selera makan Alea juga ikut lenyap?Alea masih setengah sadar ketika rentetan kekesalan Alec menyambut kesadarannya. Wajah Alec muncul di atas kepalanya, berdiri dengan wajah kaku dan sangat kesal.“Apa kau berniat membunuh anakku secara perlahan?”Alea bangkit terduduk, berharap Alec membantunya tapi pria itu hanya berdiri diam di samping ranjang dan masih terlihat marah. “Apa ... apa maksudmu, Alec?”“Kau kekurangan gizi, bagaimana kau bisa kekurangan gizi dengan berbagai macam hidangan tersedia untukmu di rumah ini hanya dengan jentikan tanganmu.”Kesadaran Alea kembali sepenuhnya. “Apa anakku baik-baik saja?”“Apa itu mengecewakanmu?” dengus Alec mengejek.Kata-kata
Alea menepis tangan Naina dan berjalan menuju ruang tamu tanpa menjawab pertanyaan Naina. Ia tak yakin ingin melihat, tapi ia butuh memastikan. Kepastian yang membuatnya berdiri terpaku menyaksikan pemadangan menjijikkan itu. Di sana, di sofa ruang tamu seorang wanita berambut pirang dengan rakusnya mencium bibir Alec. Kedua tangannya bergelayut mengeliling kepala Alec memperdalam ciuman mereka. Hati Alea serasa dikoyak habis-habisan dan setiap tetes air mata yang mengaliri pipinya seperti lahar panas yang membakar wajahnya.Alea berpaling, tak tahan melihat adegan menjijikkan itu lebih jauh lagi. Ia tahu ke mana kedua manusia itu akan berakhir. Bercinta di atas sofa ruang tamu seakan tak ada tempat yang lebih pribadi untuk menuntaskan hasrat yang menggebu. Alea berbalik, hendak kembali ke kamar dan menumpahkan kepedihannya. Tetapi baru dua langkah ia berjalan pergi, langkahnya terhenti. Menatap meja hias yang ada di sampingnya.Alea mengambil vas bunga di tengah meja
Hubungan Alec dan Alea membaik selama beberapa hari ini. Alea pun tak lagi mengeluhkan dengan menu makanan yang selalu memenuhi meja makan, khusus untuknya. Naina, semakin hari wanita itu terlihat begitu kesal dan kebenciannya pada Alea semakin menggunung melihat perhatian-perhatian yang diberikan Alec untuk Alea. Tak seperti Alec yang ia kenal. Yang bahkan tak ingin repot mengetahui nama wanita yang bermalam dengan pria itu atau mengoreksi servis yang diberikan. Termasuk wanita yang sudah dibawa oleh Alec ke rumah, yang ternyata hanya digunakan bahan untuk mengetes Alea.Untuk pertama kalinya, wanita penghibur datang tanpa memuaskan gairah pria itu. Bahkan pulang dengan kepala pecah berlumuran darah. Dan sedikit pun, Alec tak menaruh perhatian apalagi merasa bersalah pada wanita malang itu. Hanya membiarkan pengawal mengurusnya dengan ganti rugi yang sangat dermawan.“Kau begitu memperhatikannya.” Naina mencondongkan tubuhnya ke arah Alec yang duduk di bal
Ketika Alea selesai memuaskan Alec di kursi kerja pria itu. Tanpa sengaja Alea melirik surat undangan yang ada di meja Alec ketika turun dari pangkuan pria itu seraya memungut pakaiannya yang di lempar ke lantai. Sambil berpakaian dan melirik ke arah pria itu, yang masih tenggelam dalam pusaran surga kecilnya.Dengan seluruh kancing kemeja yang sudah terbuka dan memamerkan perut berpetaknya, Alec bersandar di punggung kursi dengan kepala sedikit terdongak menghadap langit-langit. Matanya terpejam, mendengkur puas setelah kenikmatan yang baru saja direguknya dari tubuh Alea. Rasanya sekali saja tak pernah cukup menjelajahi tubuh Alea, tapi ia tahu wanita itu pasti kelelahan dan entah kenapa ia menjadi begitu pengertian seperti ini. Ah, itu karena ia tak ingin darah dagingnya berada dalam bahaya, dalihnya membenarkan. Tapi ada sudut lain dalam hatinya yang mencibir.Alea sengaja mengenakan pakaiannya dengan kecepatan yang lebih lamban, sambil berhati-hati agar Alec tak m
Alec berpamit ketika getaran di saku celananya tak berhenti setelah ia mengabaikan sesi getar pertama. Berjalan sedikit ke sudut ruangan yang agak sepi sambil mengeluarkan ponselnya.Alea melirik ke samping, melihat Alec menunduk menatap layar ponsel pria itu.“Tunggu di sini dan jangan ke mana-mana,” bisik Alec penuh penekanan ketika pria itu tiba-tiba berhenti.“Kau mau ke mana?”“Aku harus menerima panggilan ini. Hanya lima menit.” Alec menunjukkan ponsel di tangannya. Suara musik dan canda tawa para tamu di sekitar mereka terlalu bising. Melihat panggilan itu terus berlangsung saat ia mengabaikan panggilan kedua, ia yakin ada sesuatu yang mendadak. Sesil tak pernah menghubunginya jika tidak penting.Alea kesal melihat nama Sesil lagi yang muncul di layar ponsel pria itu. Tak menggeleng apalagi mengangguk. Dan Alec pun tak menunggu kesetujuannya. Pria itu langsung menghilang di antara kerumunan para t
Alec menghambur ke arah Alea dalam dua langkah yang lebar, menyambar pergelangan tangan wanita itu terlalu kuat lalu menyeretnya keluar balkon. Menyeruak di antara kerumunan para tamu yang menatap keduanya penuh ingin tahu. Mengabaikan rintih kesakitan wanita itu ketika melintasi lorong menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, Alec mendorong Alea lebih dulu dan Naina menyusul.Naina terlihat sangat gembira dengan adegan yang terpampang di hadapannya. Kilatan licik tak henti-hentinya melintasi bola mata gelap wanita itu. mencari sudut terbaik melihat ekspresi tersiksa Alea.Alec mengeluarkan kunci dari saku jasnya dan langsung memasukkannya ke lubang di bawah deretan angka. Alea mengenali kunci itu seperti yang dimiliki Arsen. Lift itu meluncur turun dengan sangat mulut tanpa hambatan. Tak akan berhenti hingga sampai di lantai yang tuju. Dan tentu saja tak akan ada seorang pun yang akan merecoki amarah Alec terhadap Alea.“Sakit, Alec,” rintih Alea men
“P-perutku,” tahan Alea ketika Alec nyaris menimpakan seluruh tubuh pria itu di atasnya.Alec langsung mengangkat tubuhnya, menyentuh perut Alea dengan hati-hati. “Apakah sakit?”“Sedikit.” Alea mengangguk pelan. “Lakukan dengan pelan-pelan.”“Katakan jika aku membuatmu tak nyaman.”Ada sesuatu yang berbeda dalam keintiman mereka kali ini. Penyerahan Alea yang sepenuhnya menjadi miliknya. Semua sentuhan, kecupan, ciuman, dan rayuan wanita itu dipersembahkan untuknya. Setiap tetes keringat wanita itu karena demi kesenangannya.Alec belum pernah merasakan kepuasan sebesar ini terhadap diri Alea. Keduanya saling memuaskan satu sama lainnya. Bersama-sama memberi kepuasan untuk yang lain. Juga untuk diri mereka sendiri. Mencapai puncak bersama dan saling menjeritkan nama yang lain. Dalam gelombang kenikmatan yang meledak dan berakhir dengan desahan puas.Tubuh Alec jatuh di atas Alea. Me
“Sepertinya pergelangan kaki istrimu terkilir di kolam renang, Alec,” beritahu Jean Cage ketika Alec masuk ke kamar.Alec duduk di pinggiran ranjang menggantikan Jean Cage, memeriksa pergelangan kaki kanan Alea dan menyentuhnya pelan lalu mendengar ringis kesakitan Alea. “Apakah sakit sekali?”Alea mengangguk.“Sebelah sini?” Alec menekan dengan hati-hati. Mencari pusat rasa sakit tersebut.Sekali lagi Alea mengangguk.Alec kembali mengamati pergelangan kaki Alea dengan lebih teliti. Kemudian menyentuhnya dengan kedua tangan di atas dan bawah, dan secara tiba-tiba menekannya ke arah yang tepat dengan gerakan yang secepat kilat dan perhitungan yang pasti. Ia sudah sering kali mengalami dan menangani kaki atau tangannya yang terkilir, tentu saja hal seperti ini tidak ada artinya.Alea menjerit, tersentak kaget dengan rasa sakit yang lebih besar seperti menghantam pergelangan kakinya dengan keras, sebel
“Jadi, hari ini kau mempunyai seorang tunangan?” Saga menoleh, menutup pintu ruang rawat Sesil, dan menemukan tangan kanan sekaligus kepercayaannya itu berdiri bersandar di dinding samping pintu, Alec Cage. Dengan kedua tangan bersilang di depan dada dan kaca mata hitam tersampir di kepala. Jaket, kaos, jeans dan sepatu serba hitam, cukup mencolok di dinding rumah sakit yang berwarna putih. “Dan besok aku akan menjadi seorang suami. Tak terduga, tapi cukup menyenangkan, bukan.” “Dia bahkan sama sekali tidak mendekati kriteria wanita yang akan kau lirik, apalagi untuk ditiduri.” “Kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat baik, Alec. Cincinnya sangat pas di jarinya.” “Dalam hati, aku mengingkari keputusanmu, Saga. Tapi aku tak pernah mampu mempertanyakan keputusanmu.” “Aku tahu.” “Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan dari pria itu. Tidak seharusnya kau melakukan ini pada tunangannya.” Saga menelengkan kepala menatap Alec, se
Alec memegang tangan di dalam genggamannya. Basah dan licin. Meremas tangannya begitu kuat. Sekuat tenaga yang mampu dikerahkan. Wajah basah yang dipenuhi peluh itu menoleh ke arahnya. Alec menyematkan dukungan lewat tatapannya. Mempersembahkan cintanya yang begitu besar lewat sinar di matanya. Alea membalasnya dengan seulas senyum tipis di wajahnya yang pucat.Ia ingin penderitaan ini cepat berakhir. Ia benci melihat Alea tidak berdaya seperti ini. Pun dengan kerapuhan wanita itu yang ternyata menyimpan kekuatan teramat besar. Alec memohon semua ini bisa cepat berakhir.Harapannya terkabul. Satu dorongan yang begitu kuat, kemudian kepala Alea terhentak ke belakang, dan kemudian suara tangis bayi bergema memenuhi ruangan.“Aku berhasil,” gumam Alea sangat lirih dengan mata terpejam.Alec menunduk. Mengecup kening Alea yang basah dengan kecupan yang sangat dalam seraya mengangguk. “Ya, kau berhasil melakukannya.”
“Semuanya baik-baik saja. Hanya tekanan dalam perut. Tidak ada darah dan bukan kontraksi ataupun tanda-tanda keguguran.” Alea nyaris menangis lega mendengar penjelasan dokter.“Sebaiknya sang ibu menghindari tindakan-tindakan keras semacam ini lagi. Beruntung tidak terjadi kecelakaan yang serius,” lanjut sang dokter setelah menanyakan tentang rambut berantakan Alea dan sudut bibir wanita yang sedikit robek. Juga luka cakaran di lengan.Alea meringis menahan malu. Mengelus rambut di samping kepalanya mencari kesibukan.“Baik, Dok.”“Suami harus tetap membuat keadaan mood ibu hamil tetap stabil. Tekanan dan stres juga bisa memanding kontraksi yang tidak kita inginkan.”Sekali lagi Arza mengangguk.Dibantu Arza untuk turun dari ranjang pasien. Saat itulah ia baru menyadari tidak membawa sepatu. Sepatunya entah hilang di mana dalam pertarungannya dengan Naina. Tadi Arzalah yang menggendongnya naik
Setelah merengek beberapa kali kalau kakinya pegal dan tak kuat berdiri lebih lama lagi, akhirnya Alec mengijinkan Alea pergi ke dekat kolam renang untuk beristirahat. Satu-satunya tempat di rumah ini yang sepi dari tamu undangan.Alea duduk di pinggiran kolam, merendam telapak kakinya yang pegal. Dan udara malam yang berhembus, seketika melenyapkan kegerahannya.Ternyata wanita bernama Sesil itu bukan siapa-siapa, tak henti-hentinya Alea tersenyum mengingat fakta tersebut. Mengulang momen ketika Alec berkata, ‘Apa aku pernah mengatakan itu anakku?’Rasanya dada Alea mengembang dan ingin meledak.‘Bolehkah ia sedikit berharap pada hubungan mereka?’Berharap bahwa Alec memang begitu peduli padanya. Bukan sebagai istri. Bukan sebagai pengandung anak pria itu.‘Apakah harapannya terlalu berlebihan?’Alea takut jika harapannya yang terlalu tinggi, rasa kecewa yang akan didapatkannya saat terhem
Alec pulang lebih malam dan Alea masih duduk di sofa menonton televisi. Pria itu mengambil remote TV dan langsung mematikannya.“Sudah malam, Alea. Pergilah tidur.”“Aku masih ingin menonton.”Alec menatap Alea sejenak. “Naiklah ke tempat tidur dan hanya lima belas menit.”Alea ingin membantah, tapi ia memilih diam dan menurut. Berpindah ke tempat tidur.Alec menyalakan TV kembali dan meletakkan remotenya di nakas samping Alea.“Apa kau sudah minum vitaminmu?” Alec membuka laci tempat tablet vitamin Alea disimpan. Memastikan jumlahnya berkurang.Alea mengangguk meski tahu pria itu pasti sudah tahu dari laporan pelayan.Alec memasukkan kembali tablet di tangannya ke nakas. Melonggarkan dasinya ketika hendak membalikkan tubuh.“Alec?” Alea menahan lengan pria itu.Alec menoleh.Alea diam sejenak. “A-apa ... kau akan memiliki anak dengan wanita
“Bangun, Alea.”Alea hanya diam ketika Alec menggoyangkan pundak untuk membangunkannya.“Kau harus makan.” Alec tahu wanita itu berpura-pura tertidur. Ia bahkan sudah hendak naik ke mobilnya untuk berangkat ke kantor ketika pelayan melaporkan bahwa Alea tidak memakan makan pagi di saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Yang seharusnya sudah satu jam yang lalu wanita itu menghabiskannya, saat ia masih disibukkan panggilan di ruang kerja.“Apa kauingin makan dari mulutku seperti anak kecil?”Mata Alea membuka, seketika dia bangun terduduk.Alec duduk di pinggir kasur dan mulai menyuapkan satu sendok nasi ke mulut Alea. Entah apa yang membuatnya melakukan hal itu di saat ia sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor, dan bukannya malah membujuk istrinya yang tengah merajuk. “Buka mulutmu.”“Aku bisa makan sendiri.” Alea mengambil piring nasi di tangan Alec.Alec membiarkan
“Sepertinya pergelangan kaki istrimu terkilir di kolam renang, Alec,” beritahu Jean Cage ketika Alec masuk ke kamar.Alec duduk di pinggiran ranjang menggantikan Jean Cage, memeriksa pergelangan kaki kanan Alea dan menyentuhnya pelan lalu mendengar ringis kesakitan Alea. “Apakah sakit sekali?”Alea mengangguk.“Sebelah sini?” Alec menekan dengan hati-hati. Mencari pusat rasa sakit tersebut.Sekali lagi Alea mengangguk.Alec kembali mengamati pergelangan kaki Alea dengan lebih teliti. Kemudian menyentuhnya dengan kedua tangan di atas dan bawah, dan secara tiba-tiba menekannya ke arah yang tepat dengan gerakan yang secepat kilat dan perhitungan yang pasti. Ia sudah sering kali mengalami dan menangani kaki atau tangannya yang terkilir, tentu saja hal seperti ini tidak ada artinya.Alea menjerit, tersentak kaget dengan rasa sakit yang lebih besar seperti menghantam pergelangan kakinya dengan keras, sebel
“P-perutku,” tahan Alea ketika Alec nyaris menimpakan seluruh tubuh pria itu di atasnya.Alec langsung mengangkat tubuhnya, menyentuh perut Alea dengan hati-hati. “Apakah sakit?”“Sedikit.” Alea mengangguk pelan. “Lakukan dengan pelan-pelan.”“Katakan jika aku membuatmu tak nyaman.”Ada sesuatu yang berbeda dalam keintiman mereka kali ini. Penyerahan Alea yang sepenuhnya menjadi miliknya. Semua sentuhan, kecupan, ciuman, dan rayuan wanita itu dipersembahkan untuknya. Setiap tetes keringat wanita itu karena demi kesenangannya.Alec belum pernah merasakan kepuasan sebesar ini terhadap diri Alea. Keduanya saling memuaskan satu sama lainnya. Bersama-sama memberi kepuasan untuk yang lain. Juga untuk diri mereka sendiri. Mencapai puncak bersama dan saling menjeritkan nama yang lain. Dalam gelombang kenikmatan yang meledak dan berakhir dengan desahan puas.Tubuh Alec jatuh di atas Alea. Me
Alec menghambur ke arah Alea dalam dua langkah yang lebar, menyambar pergelangan tangan wanita itu terlalu kuat lalu menyeretnya keluar balkon. Menyeruak di antara kerumunan para tamu yang menatap keduanya penuh ingin tahu. Mengabaikan rintih kesakitan wanita itu ketika melintasi lorong menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, Alec mendorong Alea lebih dulu dan Naina menyusul.Naina terlihat sangat gembira dengan adegan yang terpampang di hadapannya. Kilatan licik tak henti-hentinya melintasi bola mata gelap wanita itu. mencari sudut terbaik melihat ekspresi tersiksa Alea.Alec mengeluarkan kunci dari saku jasnya dan langsung memasukkannya ke lubang di bawah deretan angka. Alea mengenali kunci itu seperti yang dimiliki Arsen. Lift itu meluncur turun dengan sangat mulut tanpa hambatan. Tak akan berhenti hingga sampai di lantai yang tuju. Dan tentu saja tak akan ada seorang pun yang akan merecoki amarah Alec terhadap Alea.“Sakit, Alec,” rintih Alea men