Praangggg ...
Alec membanting guci di meja ke lantai tepat di hadapan Janu, hancur berkeping-keping. Janu tetap bergeming di tempatnya, ekspresinya datar nyari tenang denga kemurkaan yang dilimpahkan Alec padanya. Pun dengan dua pelayan wanita yang menjaga Alea di rumah sakit. Beberapa pecahan itu mengenai betisnya dan darah merembes dari sana. Tapi kedua pelayan wanita itu sama bergeming. Menyadari pelarian sang Nyonya adalah keluputan mereka.
"Dia sedang sakit dan ... hamil. Tapi kalian bertiga tak becus dan membiarkannya lolos di depan hidung kalian? Huh?" Alec maju beberapa langkah di depan Janu, melayangkan satu tinju yang bisa dipastikan akan mematahkan tulang hidung pengawal malang itu.
Janu terdorong dua langkah ke depan, tapi keseimbangan tubuhnya bekerja dengan baik dan menahannya dari terjengkang ke belakang. Lalu kembali ke tempatnya semua. Mengabaikan darah yang mengucur dari hidungnya.
"Cari dia sekarang! Pastikan aku melihat istriku sebelum
“Siapa kau?” cicit Alea, beringsut menjauh dan memberi jarak sejauh mungkin dengan pria yang dipanggil bos. Pria itu hanya menjawab dengan seringai, lalu berpaling.“Apa Alec yang menyuruhmu membawaku pulang?”Pria itu tak mengiyakan ataupun menyangkal. Entah apa yang membuat wanita itu menuduh suami sendiri atas dalang penculikan ini, semua bukan urusannya. Ia menggunakan Mahendra satu ini hanya untuk memancing kawan lamanya keluar dari persembunyian. Tanpa mengusik Cage, apalagi Ganuo.“Aku tak ingin pulang ke rumah!” teriak Alea.Pria yang duduk di jok depan mendengus sambil menoleh ke belakang. “Tenang saja, cantik. Kami tak akan membawamu pulang.”Ujung kelopak mata Alea berkerut. Tetap bertanya dengan putus asa ke mana mereka akan membawanya jika bukan ke rumah? Apakah ini salah satu trik Alec untuk menghukumnya karena melarikan diri dari rumah? Apakah penculikan ini ditujukan untuk membuatnya t
Suara langkah kaki yang bergema dari arah ujung lorong rumah sakit membuat Arsen menoleh. Melihat Alec Cage, adik iparnya dengan satu bodyguard yang berjalan di belakang, mendekat ke arahnya. Dengan kemarahan yang siap meledak kapan pun.Walaupun ia tahu kemarahan Cage kali ini pun tampak tak terelakkan, setidaknya Arza dan anak Cage masih hidup. Kebebalan adiknya benar-benar sudah berada di batas ambang kesabaran Cage. Dan ia pun sudah kehilangan akal untuk membersihkan otak adiknya itu.Bagaimana tidak? Alea mengelabui pengawal pria itu demi mencari Arza dan membuat adiknya itu nyaris mati karena pendarahan. Apakah Alec dalang di balik peringatan keras ini? Arsen menggeleng. Alec bahkan sibuk mengerahkan seluruh anak buahnya untuk menemukan Alea lengkap dengan nyawa dan kebebalan adiknya. Tetapi siapa yang tahu kelicikan pria itu?Jika saja Arza tidak menghubunginya dan mengatakan Alea dalam bahaya. Dan ia terlambat semenit saja untuk menyelamatkan Arza dan ny
“Dirga?” Alec mengulang penuh tanda tanya. Gerakan tangannya yang mengetuk-ngetuk pahanya terhenti dan matanya melirik ke arah Arza yang duduk setengah berbaring di ranjang pasien. Dengan perban mengeliling kepala dan beberapa luka yang sudah hampir mengering di pipi, dagu, dan bibir.Ia bisa memahami bagaimana histerisnya istrinya hingga nyaris membuat anak mereka terbunuh, tapi tak cukup memaklumi ketololan istrinya yang jelas-jelas lebih mementingkan keselamatan Arza dibandingkan keselamatan anaknya.Menahan kemurkaan pada pria yang duduk di atas ranjang itu jelas suatu keajaiban yang pernah terjadi seumur hidupnya. Bagaimana begitu tenangnya dia menghadapi adik ipar angkat sekaligus selingkuhan istrinya. Juga jika bukan karena informasi penting yang dikatakan oleh Arza. Alasan inilah yang membawanya datang ke ruangan ini. Arsen menelponnya dan mengatakan Arza sudah sadar dan ingin segera berbicara dengannya. Yang tadinya ia pikir tentang Alea.&l
Sepanjang perjalanan kembali ke rumah Alec, Alea terus memikirkan kata-kata Arsen yang terus berputar di benaknya. Tangannya masih tertahan di atas pangkuannya. Menahan dorongan yang semakin intens untuk menyentuh perutnya dan mencoba menyisipi kehangatan yang mungkin masih ada di sana. Terus bergulat dalam dilemanya hingga mobil berhenti di pelataran rumah Alec dan tangannya masih tetap bergeming kaku di pangkuan.Alea menatap pintu rumah yang terbuka. Terngiang kata-kata Arsen yang masih tak menemukan titik temu di hatinya.‘Jika memang sangat sulit menerima Cage sebagai suamimu, lakukan itu sebagai ayah dari anakmu. Darah selalu lebih kental dari air, Alea. Apapun penyangkalanmu, anak itu pasti akan lebih berarti daripada Arza.’Bayangan-bayangan kehidupannya yang haus kasih sayang oleh orang tua mulai merayapi hatinya.Haruskah ia memberi kesempatan untuk pernikahannya dan Alec?“Nyonya, kita sudah sampai.”
“Apa yang kaulakukan di sini, Naina?” Alec melirik tiga koper besar yang berjajar di samping Naina. Sore itu, Naina tiba-tiba muncul di depan pintu rumahnya tepat ketika Alec hendak keluar untuk urusan mendadak.“Tante sedang pergi ke Kanada.”“Lalu?”“Dan aku sendirian di apartemen.”“Dan kau butuh teman, begitu?”Naina menampilkan senyum lebarnya. “Kau tahu aku tidak berani sendirian tinggal di apartemen.”“Ke mana perginya teman-teman yang biasa kau aja bersenang-senang?”“Mereka ...” Naina berkedip, “punya urusan sendiri, Alec.”Alec diam. Meneliti raut muka Naina tapi enggan mencari tahu lebih banyak. “Jika kau datang ke rumah ini dengan niat yang lain ...”“Aku bersumpah tidak memiliki niat buruk apa pun pada kalian.”Mata Alec menyipit curiga. “Aku tidak mengatakan niat b
“Siapa saja yang tahu tentang kesepatakanmu dan Arsen?” cecar Alea begitu pintu kamar terbuka dan ia yakin bukan pelayan yang sedang membawakan camilan atau apa pun. “Kenapa?” “Apa semua keluargamu tahu?” “Aku tak perlu membuka mulut dan mereka pun pasti akan tahu. Banyak gosip tersebar. Dan aku pun punya beberapa anggota keluarga berhati serigala yang berbulu domba, yang setiap saat mengincar posisiku. Memangnya apa yang tiba-tiba membuatmu khawatir? Kau tak mungkin beranggapan orang-orang akan berpikir pernikahan kita terjadi karena kita saling mencintai, bukan?” Alea mengerjap. Kehilangan kata-kata. Ia bahkan tak tahu kenapa terlihat merajuk seperti ini. “Cukup kita menampilkan kemesraan di depan umum, dan semua pihak akan menganggap pernikahan kita sangat baik-baik saja dan sempurna.” Alec berhenti sejenak. Tatapannya berubah lebih dalam. “Meski beberapa di antara mereka berpikir kau menyelingkuhiku.” Alea terkesiap pelan.
“Bawa teman-temanmu pergi dari rumah ini sekarang juga, Naina. Dan berharaplah salah satu dari mereka tidak bertemu di tengah jalan atau aku tak tahu apa yang akan kulakukan pada mereka,” desis Alec di antara gerahamnya yang bergemeletuk.Alea berharap bisa menyumpahi pria berengsek yang terkulai lemah di lantai marmer di antara pecahan kaca, penuh darah di wajah, dan tak bergerak seperti mayat. Tetapi ia malah merasa iba.Tanpa kata, Naina dan dua teman prianya yang lain menggotong tubuh pria itu dan Alea kini berhasil mendapatkan perhatian Alec. Sepenuhnya.Gemuruh kemurkaan yang menggema menembus dada pria itu. melenyapkan jarak udara yang berderak di antara mereka. Pria itu menyambar pergelangan tangan Alea dengan kasar dan menyeretnya naik ke lantai dua.“Sakit,” rintih Alea yang sama sekali tak dipedulikan oleh Alec. Ia tak heran jika pergelangan tangannya akan patah merasakan bagaimana kuatnya pria itu mencengkeram.A
“Berapa kali kau makan dalam sehari, Alea? Tiga? Satu? Atau tidak sama sekali?” Setiap kali bertemu dengan Arza, wanita itu selalu menelan makanan dengan sangat lahap. Apa setelah Arza menghilang, selera makan Alea juga ikut lenyap?Alea masih setengah sadar ketika rentetan kekesalan Alec menyambut kesadarannya. Wajah Alec muncul di atas kepalanya, berdiri dengan wajah kaku dan sangat kesal.“Apa kau berniat membunuh anakku secara perlahan?”Alea bangkit terduduk, berharap Alec membantunya tapi pria itu hanya berdiri diam di samping ranjang dan masih terlihat marah. “Apa ... apa maksudmu, Alec?”“Kau kekurangan gizi, bagaimana kau bisa kekurangan gizi dengan berbagai macam hidangan tersedia untukmu di rumah ini hanya dengan jentikan tanganmu.”Kesadaran Alea kembali sepenuhnya. “Apa anakku baik-baik saja?”“Apa itu mengecewakanmu?” dengus Alec mengejek.Kata-kata
“Jadi, hari ini kau mempunyai seorang tunangan?” Saga menoleh, menutup pintu ruang rawat Sesil, dan menemukan tangan kanan sekaligus kepercayaannya itu berdiri bersandar di dinding samping pintu, Alec Cage. Dengan kedua tangan bersilang di depan dada dan kaca mata hitam tersampir di kepala. Jaket, kaos, jeans dan sepatu serba hitam, cukup mencolok di dinding rumah sakit yang berwarna putih. “Dan besok aku akan menjadi seorang suami. Tak terduga, tapi cukup menyenangkan, bukan.” “Dia bahkan sama sekali tidak mendekati kriteria wanita yang akan kau lirik, apalagi untuk ditiduri.” “Kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat baik, Alec. Cincinnya sangat pas di jarinya.” “Dalam hati, aku mengingkari keputusanmu, Saga. Tapi aku tak pernah mampu mempertanyakan keputusanmu.” “Aku tahu.” “Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan dari pria itu. Tidak seharusnya kau melakukan ini pada tunangannya.” Saga menelengkan kepala menatap Alec, se
Alec memegang tangan di dalam genggamannya. Basah dan licin. Meremas tangannya begitu kuat. Sekuat tenaga yang mampu dikerahkan. Wajah basah yang dipenuhi peluh itu menoleh ke arahnya. Alec menyematkan dukungan lewat tatapannya. Mempersembahkan cintanya yang begitu besar lewat sinar di matanya. Alea membalasnya dengan seulas senyum tipis di wajahnya yang pucat.Ia ingin penderitaan ini cepat berakhir. Ia benci melihat Alea tidak berdaya seperti ini. Pun dengan kerapuhan wanita itu yang ternyata menyimpan kekuatan teramat besar. Alec memohon semua ini bisa cepat berakhir.Harapannya terkabul. Satu dorongan yang begitu kuat, kemudian kepala Alea terhentak ke belakang, dan kemudian suara tangis bayi bergema memenuhi ruangan.“Aku berhasil,” gumam Alea sangat lirih dengan mata terpejam.Alec menunduk. Mengecup kening Alea yang basah dengan kecupan yang sangat dalam seraya mengangguk. “Ya, kau berhasil melakukannya.”
“Semuanya baik-baik saja. Hanya tekanan dalam perut. Tidak ada darah dan bukan kontraksi ataupun tanda-tanda keguguran.” Alea nyaris menangis lega mendengar penjelasan dokter.“Sebaiknya sang ibu menghindari tindakan-tindakan keras semacam ini lagi. Beruntung tidak terjadi kecelakaan yang serius,” lanjut sang dokter setelah menanyakan tentang rambut berantakan Alea dan sudut bibir wanita yang sedikit robek. Juga luka cakaran di lengan.Alea meringis menahan malu. Mengelus rambut di samping kepalanya mencari kesibukan.“Baik, Dok.”“Suami harus tetap membuat keadaan mood ibu hamil tetap stabil. Tekanan dan stres juga bisa memanding kontraksi yang tidak kita inginkan.”Sekali lagi Arza mengangguk.Dibantu Arza untuk turun dari ranjang pasien. Saat itulah ia baru menyadari tidak membawa sepatu. Sepatunya entah hilang di mana dalam pertarungannya dengan Naina. Tadi Arzalah yang menggendongnya naik
Setelah merengek beberapa kali kalau kakinya pegal dan tak kuat berdiri lebih lama lagi, akhirnya Alec mengijinkan Alea pergi ke dekat kolam renang untuk beristirahat. Satu-satunya tempat di rumah ini yang sepi dari tamu undangan.Alea duduk di pinggiran kolam, merendam telapak kakinya yang pegal. Dan udara malam yang berhembus, seketika melenyapkan kegerahannya.Ternyata wanita bernama Sesil itu bukan siapa-siapa, tak henti-hentinya Alea tersenyum mengingat fakta tersebut. Mengulang momen ketika Alec berkata, ‘Apa aku pernah mengatakan itu anakku?’Rasanya dada Alea mengembang dan ingin meledak.‘Bolehkah ia sedikit berharap pada hubungan mereka?’Berharap bahwa Alec memang begitu peduli padanya. Bukan sebagai istri. Bukan sebagai pengandung anak pria itu.‘Apakah harapannya terlalu berlebihan?’Alea takut jika harapannya yang terlalu tinggi, rasa kecewa yang akan didapatkannya saat terhem
Alec pulang lebih malam dan Alea masih duduk di sofa menonton televisi. Pria itu mengambil remote TV dan langsung mematikannya.“Sudah malam, Alea. Pergilah tidur.”“Aku masih ingin menonton.”Alec menatap Alea sejenak. “Naiklah ke tempat tidur dan hanya lima belas menit.”Alea ingin membantah, tapi ia memilih diam dan menurut. Berpindah ke tempat tidur.Alec menyalakan TV kembali dan meletakkan remotenya di nakas samping Alea.“Apa kau sudah minum vitaminmu?” Alec membuka laci tempat tablet vitamin Alea disimpan. Memastikan jumlahnya berkurang.Alea mengangguk meski tahu pria itu pasti sudah tahu dari laporan pelayan.Alec memasukkan kembali tablet di tangannya ke nakas. Melonggarkan dasinya ketika hendak membalikkan tubuh.“Alec?” Alea menahan lengan pria itu.Alec menoleh.Alea diam sejenak. “A-apa ... kau akan memiliki anak dengan wanita
“Bangun, Alea.”Alea hanya diam ketika Alec menggoyangkan pundak untuk membangunkannya.“Kau harus makan.” Alec tahu wanita itu berpura-pura tertidur. Ia bahkan sudah hendak naik ke mobilnya untuk berangkat ke kantor ketika pelayan melaporkan bahwa Alea tidak memakan makan pagi di saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Yang seharusnya sudah satu jam yang lalu wanita itu menghabiskannya, saat ia masih disibukkan panggilan di ruang kerja.“Apa kauingin makan dari mulutku seperti anak kecil?”Mata Alea membuka, seketika dia bangun terduduk.Alec duduk di pinggir kasur dan mulai menyuapkan satu sendok nasi ke mulut Alea. Entah apa yang membuatnya melakukan hal itu di saat ia sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor, dan bukannya malah membujuk istrinya yang tengah merajuk. “Buka mulutmu.”“Aku bisa makan sendiri.” Alea mengambil piring nasi di tangan Alec.Alec membiarkan
“Sepertinya pergelangan kaki istrimu terkilir di kolam renang, Alec,” beritahu Jean Cage ketika Alec masuk ke kamar.Alec duduk di pinggiran ranjang menggantikan Jean Cage, memeriksa pergelangan kaki kanan Alea dan menyentuhnya pelan lalu mendengar ringis kesakitan Alea. “Apakah sakit sekali?”Alea mengangguk.“Sebelah sini?” Alec menekan dengan hati-hati. Mencari pusat rasa sakit tersebut.Sekali lagi Alea mengangguk.Alec kembali mengamati pergelangan kaki Alea dengan lebih teliti. Kemudian menyentuhnya dengan kedua tangan di atas dan bawah, dan secara tiba-tiba menekannya ke arah yang tepat dengan gerakan yang secepat kilat dan perhitungan yang pasti. Ia sudah sering kali mengalami dan menangani kaki atau tangannya yang terkilir, tentu saja hal seperti ini tidak ada artinya.Alea menjerit, tersentak kaget dengan rasa sakit yang lebih besar seperti menghantam pergelangan kakinya dengan keras, sebel
“P-perutku,” tahan Alea ketika Alec nyaris menimpakan seluruh tubuh pria itu di atasnya.Alec langsung mengangkat tubuhnya, menyentuh perut Alea dengan hati-hati. “Apakah sakit?”“Sedikit.” Alea mengangguk pelan. “Lakukan dengan pelan-pelan.”“Katakan jika aku membuatmu tak nyaman.”Ada sesuatu yang berbeda dalam keintiman mereka kali ini. Penyerahan Alea yang sepenuhnya menjadi miliknya. Semua sentuhan, kecupan, ciuman, dan rayuan wanita itu dipersembahkan untuknya. Setiap tetes keringat wanita itu karena demi kesenangannya.Alec belum pernah merasakan kepuasan sebesar ini terhadap diri Alea. Keduanya saling memuaskan satu sama lainnya. Bersama-sama memberi kepuasan untuk yang lain. Juga untuk diri mereka sendiri. Mencapai puncak bersama dan saling menjeritkan nama yang lain. Dalam gelombang kenikmatan yang meledak dan berakhir dengan desahan puas.Tubuh Alec jatuh di atas Alea. Me
Alec menghambur ke arah Alea dalam dua langkah yang lebar, menyambar pergelangan tangan wanita itu terlalu kuat lalu menyeretnya keluar balkon. Menyeruak di antara kerumunan para tamu yang menatap keduanya penuh ingin tahu. Mengabaikan rintih kesakitan wanita itu ketika melintasi lorong menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, Alec mendorong Alea lebih dulu dan Naina menyusul.Naina terlihat sangat gembira dengan adegan yang terpampang di hadapannya. Kilatan licik tak henti-hentinya melintasi bola mata gelap wanita itu. mencari sudut terbaik melihat ekspresi tersiksa Alea.Alec mengeluarkan kunci dari saku jasnya dan langsung memasukkannya ke lubang di bawah deretan angka. Alea mengenali kunci itu seperti yang dimiliki Arsen. Lift itu meluncur turun dengan sangat mulut tanpa hambatan. Tak akan berhenti hingga sampai di lantai yang tuju. Dan tentu saja tak akan ada seorang pun yang akan merecoki amarah Alec terhadap Alea.“Sakit, Alec,” rintih Alea men