Waktu berlalu, usia kandungan Asmirandah istri bara-baraku semakin besar.Semua orang heboh menyambut kedatangan anggota baru di keluarga kami. Ibu, bapak dan semua sodara-sodaraku yang paling heboh, beliin ini beliin itu buat Hasjun alias Hasan junior, lebih-lebih saat mereka tahu jenis kelamin si Hasjun itu laki-laki, segala macem sampe mobil-mobilan trontonnya pun udah dibeliin.Istriku dilayani sebaik yang mereka bisa, sampe kadang aku gak punya kesempatan lagi buat ngurus istri bara-baraku.Setiap harinya istriku hanya diizinkan melakukan pekerjaan di depan laptop meskipun sekarang sudah sedikit kepayahan karena kehamilan Asmi sudah masuk usia 9 bulan.Tapi semua itu tidak lantas menjadikan istriku manja dan berhenti kerja. Katanya kerja sudah menjadi bagian dari hidupnya, jadi kebiasaan itu gak akan bisa dilepaskan begitu saja.Semua pekerjaan rumah udah dijelas diambil alih oleh Hanum dan Kak Alfa, tapi yang bikin aku sampe geleng-geleng kepala adalah sampe tidurpun mereka kada
"Menyengaja? Apa iya Pak? Motifnya apa ya?" tanya Mas Fatih."Justru itu yang akan kami dalami lagi, saya juga butuh kesaksian 2 orang karyawan yang melihat langsung kejadian ini, nanti akan kami kirimkan surat permohonan kehadirannya," jawab petugas dengan suara lugas."Baik atuh, Pak." Istriku menyetujui.Setelah berbincang sebentar dengan petugas, mereka izin untuk kembali melakukam tugasnya."Ya sudah kami permisi, dulu."Kami jawab dengan anggukan.Ditatap lagi sisa-sisa kebakaran yang melahap habis semua gudang barang Asmi itu, tak ada yang tersisa, hanya kerangka rak-rak besi yang masih utuh serta beberapa jenis barang pecah belah.Asmi mengebuskan napasnya dengan berat."Sabar ya Neng Sayang, kita akan mulai semuanya dari nol lagi, Aa janji akan terus ada di samping, Neng." Aku mengelus punggung Asmi lalu menyenderkan kepalanya pada pundakku. Kuberi terus dia semangat dan kekuatan, tak tega rasanya aku melihat Asmi berada di posisi ini, semua ini tentu sangat berat baginya."
"Telepon karyawan Asmi sekarang, suruh mereka ke sini untuk membantu menyelesaikan permasalahannya, bagaimanapun caranya kita tetap harus memberitahu para buyer tentang musibah ini, bila perlu chat semua pembeli satu persatu," kata Papa mertua.Asmi mengangguk. Dan segera menelepon dua karyawan toko onlinenya.Papa mertua bangkit, kemudian berjalan mendekati istri bara-baraku. "Kamu pasti bisa melewati semua ini, Nak. Ujian, persaingan dan musibah dalam bisnis itu hal biasa, semua itu datang terkadang hanya ingin menempa mental kita apakah kita cukup kuat untuk memikul hal yang lebih besar atau tidak."Lagi, Asmi mengangguk dan memegang punggung tangan papa mertua."Anak Papa gak akan mundur atau kalah, anak Papa yang terbaik," kata beliau lagi."Uuh co cweet," seru si Hanum, ibu mencubit pahanya hingga anak itu menjerit."Aw Ibu apaan sih.""Bisa diem gak?" Selesai mengobrol dan membahas masalah kebakaran ini, kami semua akhirnya bubar barisan.Papa mertua bilang kami tidak usah k
Malam-malam sepulang dari tempat Patanyaan itu ibu datang menemuiku."San, katanya pelakunya perempuan, masih sodara sendiri, dia punya dendam sama keluargamu," bisik Ibu. Di sana hanya ada aku, ibu dan Mas Fatih karena semua orang sudah ambil posisi masing-masing untuk tidur."Bener, Mas?" tanyaku pada Mas Fatih, ia mengangguk."Tapi siapa sodara perempuan yang masih dendam sama kami? Bukannya kita semua udah akur?"Kami bertiga berpikir."Mungkin Kak Alfa? Si Hanum? Atau si Andin?" kata Mas Fatih menerka-nerka."Bisa jadi, hati manusia siapa yang tahu? Sodarapun bisa jadi musuh dalam selimut. Mungkin si Hanum merasa iri? Atau si Alfa yang masih dendam karena suaminya kalian masukan dalam penjara?" tutur Ibu.Mungkin juga, tapi ... rasanya aku kurang percaya kalau mereka yang lakukan ini, mereka kelihatan udah berubah dan kelihatan sangat tulus mengurus Asmi."Gimana kalau kita tangkap sendiri aja pelakunya, biar semuanya jelas dan gak menduga-duga lagi," usul Ibu."Ya 'kan ini juga
Tanpa menunggu lagi, wanita itu menumpahkan semua isi jeriken di depan toko Asmi. Sementara kedua bola matanya terus mengintai ke sekeliling, ia pikir semua sudah aman, padahal kami ada di pinggir toko sedang memperhatikannya dengan jelas."Rasakan kau Kak Asmi yang malang."Sejurus kemudian papa mertua memberi aba-aba agar kami maju serempak.Happ. Dalam sekali gerakan wanita itu sudah bisa ditangkap oleh papa mertua, sontak saja wanita itu melepaskan jeriken dari tangannya dan berusaha melindungi wajahnya yang masih tertutup masker."Sekarang mau lari kemana kau dasar wan-" Ucapan Papa mertua terhenti saat kubuka hoodie penutup kepala dan masker wanita itu.Tampak mata bulat meruncing menyambutku, wajahnya bengis tak santai."Nindy?" gumam Papa mertua, beliau lalu melepaskan tangan yang melingkar kencang di tubuh wanita itu.Kami semua menoleh, menatap papa mertua dan wanita itu bergantian.Nindy? Siapa itu Nindy? Kenapa papa mertua mengenalnya? Aku juga sepertinya pernah lihat wa
Ibuku nyengir."Iya nih Pak Asraja tadi si Hanum datang heboh banget, katanya ngeliat toko lagi ada yang mau bakar lagi, kami semua jadi panik dan akhirnya kami semua inisiatif ke sini bawa pasukan." "Katanya kamu mau nginep, Num?" tanyaku."Gak jadi, Kak, tadi pas Hanum lewat naik grab ke sini, Hanum lihat lagi ada orang yang lagi ancam-ancam kalian pake pemantik api, Hanum cepet-cepet suruh ibu siapin pasukan karena Hanum pikir kami juga harus ikut nangkep penjahat itu dan untunglah kami sampe tepat waktu," jawab si Hanum.Bapak menepuk pundak Hanum, "bagus, Bapak bangga sama kamu Num.""Ya untunglah kami sampai tepat waktu, meski si Hanum nyetir mobil udah kayak orang stres," seru Ibu lagi.Hanum tertawa. "Untungnya Nenek sama Neng gak kenapa-kenapa," kataku."Gak apa-apa A, cuma ...."Asmi mulai memegangi pinggangnya, wajahnya terlihat tak santai dan tampak kesakitan."Kenapa, Neng?""Cucuku mau lahir ini, ayo ayo bawa ke rumah sakit!" Ibu mulai heboh.Kami semua pun mengantar A
"Mau diazanin Pak bayinya?"Aku mengangguk dan segera melakukan tugasku melantunkan azan di telinga anakku.Keluar dari ruang khusus itu, Hasjun dipindahkan ke ruang bayi yang letaknya tak jauh dari sana, semua keluargaku mengintip dari luar, mereka masih belum diperbolehkan melihat karena bayi masih rentan katanya."Selamat San, kamu jadi seorang ayah." Bapak menepuk pundakku.Hanum dan Kak Alfa memelukku untuk mengucapkan selamat.-Menjelang subuh Mas Fatih dan papa mertua kembali dari kantor polisi. Mereka sangat senang mendengar Hasjunku sudah lahir.Selain itu mereka juga membawa kabar yang bahagia, karena katanya mereka sudah berhasil meringkus Kak Andin yang ternyata benar ikut terlibat di kasus pembakaran gudang Asmi itu."Gak nyangka sekeji itu hati si Andin, dia sengaja sekongkol dan ngasih ide gila sama anaknya Pak Asraja," kata Mas Fatih."Itu motifnya kenapa katanya, Tih?" tanya Ibu."Ya dendam sama Fatih, karena Fatih bisa hidup meski tanpa dia.""Ck ck ck dasar perem
"Ya terus kenapa tadi Aa narik-narik selimut, Neng?" sahut Asmi.Aduh, aku tepok jidat, kenapa juga Asmi mesti ngomong gitu sih? Jadinya mereka makin percaya 'kan aku mau minta jatah. Gawat ini gawaat."Tuh 'kan bener, dasar ya kamu Hasan, gak punya perasaan banget, istri baru dijahit aja udah dipaksa begituan," kata Ibuku lagi, ucapannya makin ngaco dan bikin semua orang senyam-senyum."Bu ... denger dulu, Ibu nih salah paham, sueeerrr Hasan gak ada niat mau gituan sama Asmi, Hasan cuma mau minjem selimut karena udaranya dingin banget Hasan gak kuat," ujarku akhirnya."Ooooh." Mulut semua orang kompak membola."Jadi ini salah paham San?" tanya Papa mertua cengengesan."Iya Pa, akibat Ibu nih selalu aja main hakim sendiri, malu 'kan Hasan jadinya ah," dengusku kesal."Jadi bener kamu gak ada niat maksa Asmi begituan?" tanya Ibu kemudian.Aku mengembuskan napas berat, "ya enggaklah Bu, walau gini-gini Hasan tahu aturan agama," jawabku kesal."Oh ya udah Ibu minta maaf."Semua orang men
"Ya kalau ada." Aku nyengir."Ada. Tenang aja. tar aku bukain deallernya khusus buat kalian. Eh tapi apa kalian mau beli mobil aku aja? Kebetulan nih istriku kemarin beliin mobil buat si bujang eeh tapi malah gak ditolak karena cocok katanya. Mobilnya padahal bagus tapi dia mau yang boddynya lebih macco.""Wah yang bener? Emang mobil apa Yon?""Itu di garasi, ayo lihat aja."Aku dan Ranti pun digiring ke garasinya. Buset emang dasar orkay, di sana mobilnya berjejer sampe 6 biji."Gila banyak amat mobil kamu Yon, udah sukses ya kamu sekarang.""Ah biasa aja. Ini buat kujual juga kalau ada yang nanyain. Nah ini mobilnya." Yono menepuk satu mobil berwarna putih mengkilat yang kelihatannya emang masih mulus banget itu."Pajero San. Bagus," katanya lagi.Aku melirik ke arah Ranti. Dia langsung mengangguk yakin."Beneran Ran mau yang ini?" "Beneran Yah, Ranti suka banget."Akhirnya setelah bernego dan membayar setengahnya langsung bawa mobil itu pulang. Sisa harganya nanti kubayar setelah
Esok harinya. Hari raya dan Asmi udah sibuk sejak sebelum subuh buta. Masak opor, masak ketupat, masak sambel goreng kentang dan pastinya ada sop iga sapi.Suasana lebaran di desa ini emang paling aku nantikan banget. Karena bertahun-tahun melewati suasana di kota saat aku kecil sampe dewasa, rasanya lebaran tak seberkesan seperti di desa.Beneran dah sumpah, aku baru ngerasa lebaran itu berkesan dan seru banget saat aku lebaran di desa Asmi ini. Di sini itu antara tetangga satu dan lainnya saling berkunjung, saling meminta maaf dan yang jelas aku bersyukur karena di sekitar rumah kami gak ada yang namanya tetangga julid. Mereka semua pada baik, pada ramah, pada saling mendukung dan menjunjung namanya tali persaudaan dengan gotong royong.Bahkan saat lebaran, biasanya mereka ada yang saling memberi makanan khas lebaran, walau sebenernya di setiap rumah juga ada. Ya 'kan namanya lebaran haha.Hari ini Asmi juga gitu, dia sengaja masak banyak karena mau ngasih ke ibu dan ke rumah tetang
Ranti DatangKarena penasaran aku pun bangkit menguping dekat pintu dapur."Iya iya kamu tenang aja, pokoknya Mas secepetnya kirim, Mas 'kan harus minta dulu sama istri Mas, uangnya baru cair tadi," kata si Broto lagi.Waduh parah. Ini sih bau-bau perselingkuhan kayaknya. Kasihan si Ratu ular, dia dikadalin sama lakinya."Wah aku harus buru-buru bawa si Ratu ke sini. Biar seru nih lanjutannya."Gegas aku ke depan.Tok! Tok! Tok! Kuketuk pintu kamar si Ratu cepat-cepat."Raaat, Raaat, buka!"Pintupun dibuka walau agak lama."Apaan sih? A Hasan? Ada apa? Ngetok pintu kayak mau nagih hutang aja," ketusnya, kesal."Rat, ayo buruan ke belakang. Kamu harus denger juga apa yang tadi Aa denger," ajakku tanpa basa-basi.Si Ratu mengernyit, "apaan sih, ogah," ketusnya sambil membanting pintu.Tok tok tok!"Rat Rat, buka Rat bukaa!""Berisik. Sana pergi! Ganggu orang istirahat aja!" teriaknya dari dalam.Aku mendengus kesal sambil kukeplak daun pintu kamar itu sedikit, "huh dasar, ya udah kalau
"Nah itu baru bagus," timpalku sambil kujentikan jari telunjuk dan jempolku.Si Ratu menoleh, "Apaan sih, ikutan aja," ketusnya.Aku menjebik, lah sok cantik amat, tuh bibir pake digaling-galingin gitu segala. Kesel banget dah."Loh Dewi, Putri, ada apa ini teh? Kenapa kalian mendadak enggak mau ambil uangnya?" tanya Ibu mertua, beliau kelihatan bingung."Gak ah Bu, gak usah, biar bagian Putri dikasih ke orang lain aja, buat Ibu juga gak apa-apa." Si Putri menjawab. Wanita berkulit putih itu nyengir kuda sambil lirak-lirik pada kakaknya, si Dewi.Aku sih paham, mereka pasti beneran takut sama omonganku tadi, takut mereka dijadiin tumbal haha."Dewi juga, biar duitnya buat Ibu aja, atau ... buat Bapak sekalian." Si Dewi melirik ke arah Papa mertua dengan tatapan sinis."Wah wah. Tumben-tumbenan nih pada baik," timpalku lagi sambil nyengir puas."Enggak!" sembur si Ratu kemudian. Dia spontan berdiri dari kursinya."Apaan sih kok jadi pada gak kompak gini? Dewi! Putri! Pokoknya kalian ak
"Ck dibilangin gak percaya," tandasku, gegas aku bangkit dan mabur ke depan. Di depan rumah aku cekikikan sendiri sambil geleng-geleng kepala, si Dewi itu bener-bener banget dah, obsesi banget dia sampe abis sahur pun masih nanyain soal kesalahpahaman semalem yang dia lihat haha.***Malam takbiran tiba.Alhamdulillah karena uang penjualan saham Asmi udah cair, malam itu juga Asmi langsung ajak aku lagi ke rumah ibu mertua."Ratu, Dewi, Putri, ini uang buat Teteh bayarin rumah teh udah ada, mau ditransfer sekarang apa gimana?" tanya Asmi pada ketiga adiknya.Mereka saling melirik sebentar sebelum akhirnya si Ratu menyahut."Ya sekarang dong Teh, kalau udah ada duitnya ngapain disimpen terus, si Putri juga 'kan mau pake buat lunasin sewa pelaminan.""Oh ya udah atuh, Teteh transfer ke rekening kamu aja semua dulu ya, nanti baru kamu bagi-bagi ke adik-adikmu.""Ya buruan, bawel ah," ketus si Ratu.Tau dah, kenapa orang satu itu makin ketus aja sama Asmi sekarang."Udah, tuh udah Teteh
"K-kami ...." Si Dewi dan Si Putri gelagapan, wajahnya terlihat tegang dan panik."Nguping ya kalian?" desakku."Enggak, kata siapa?" jawab si Dewi cepat."Dewi, Putri, jadi kalian teh lagi ngapain di sini?" tanya Asmi."Kami ... emm ... Teteh ngapain di dalam? Kok ada lilin sama baskom isi daun di dalam kamar? Dan ...." Si Dewi melirik ke arahku dengan tatapan aneh."Kenapa?" tanyaku risih."A Hasan pake apa itu? Kalian beneran ....""Beneran apa?" desakku."Kalian beneran ... ngepet?""Hah?" Aku dan Asmi saling melirik dengan mata melongo."Ngepet?" Asmi mengulang."Ya ngepet, kalian ngepet biar bisa dapat duit banyak 'kan?" "Astagfirullah Dewi, apa-apaan kamu teh? Omongannya kenapa ngaco begitu atuh ah.""Tapi bener 'kan Teteh sama A Hasan ngepet? Buktinya itu di dalam ada lilin sama baskom isi daun terus A Hasan pake jubah hitam begini," timpal si Putri sambil terus menerus lirik-lirik ke dalam kamar."Astagfirullah." Asmi elus dada sambil geleng-geleng kepala. Sementara aku cek
"Neng, kalau malam ini nginep di rumah Ibu lagi saja gimana?" tanya Ibu mertua saat aku sampai di dekat Asmi."Iya Bu, Ibu teh tenang aja, Neng pasti nginep lagi di sini, oh ya, kalau si Papa teh kemana? Kenapa enggak kelihatan lagi?""Tadi teh pamit katanya mau nyari rempah sama dedaunan buat penurun tekanan darah.""Ck ck ck ai ai Papa teh ada-ada aja, meski berasal dari kota ternyata masih percaya pengobatan tradisional begitu.""Ya bagus dong Neng, itu namanya melestarikan kebudayaan leluhur," timpalku cengengesan.Asmi menjebik saja.-Sore hari selepas aku balik sebentar ngabarin Hasjun kalau kami mau menginap lagi, di desa hujan gede.Bahkan saking gedenya sampe aliran listrik di desa mati dan signal hape pun jadi darurat.Gak aneh sih, emang di desa sering banget mati lampu dan darurat signal begini saat hujan gede, tapi lama-lama jengkel juga karena mati listrik dan mati signal itu gak nyaman banget rasanya.Aku pikir ini salah satu yang bikin gak enaknya tinggal di desa Asm
"Oh saya jadi sungkan," kata Pak Mantri lagi."Ah Pak Mantri ini kayak sama siapa saja atuh.""Ya sudah kalau begitu saya pamit dulu ya Teh Asmi, semoga ibunya cepat membaik.""Baik Pak, biar suami saya antar ke depan."Pak mantri mengangguk, gegas aku antar dia ke depan bareng si Ratu CS.Setelah mantri itu pergi, aku buru-buru kembali ke dalam, tapi belum sempat kaki ini melangkah ke kamar, kudengar si Ratu CS pada rumpi."Eh gak salah itu Teh Asmi ngasih lebihan duit ke mantri itu sampe 300 rebu?" bisik si Putri."Iya, kalau Teh Asmi gak punya duit harusnya duit 300 rebu gede loh, jangankan yang gak punya duit, kita aja yang duitnya banyak sayang banget rasanya kalau ngasih segitu banyak, gile aja, duit loh itu," balas si Dewi.Wah karena topiknya kayaknya seru, aku pun mundur lagi ke dekat jendela depan, kupasang telinga tegak-tegak, nguping kayaknya seru nih haha."Halah palingan pencitraan, biar dikata banyak duit, gak usah heran sama orang desa tuh, emang pada begitu kalau carm
Kudengar suara Asmi dan ibu mertua, ternyata mereka lagi ada di kamar ibu mertua."Ibu teh enggak apa-apa Neng, cuma sedikit pusing aja kepala Ibu, rebahan sebentar juga nanti sehat lagi."Kasihan, ibu mertua pasti pusing karena kelakuan anak-anaknya yang pada dableg itu."Ibu teh enggak usah banyak pikirian, udah biar acara hajatan Putri, Neng yang urus aja.""Iya Neng, Ibu teh percaya sama Neng, cuma Ibu teh pusing sama kelakuan adik-adikmu, udah pada dewasa kok bisa mereka teh sikapnya begitu sama kamu dan Papamu.""Gak apa-apa, mungkin mereka hanya belum paham aja bagaimana menerima, orang baru dalam kehidupan mereka Bu.""Semua ini salah Ibu, dulu Ibu terlalu memanjakan mereka dan selalu menanamkan rasa benci sama kamu di hati mereka.""Udah atuh Bu, yang dulu teh biarlah berlalu, enggak usah atuh dibahas lagi, mereka bersikap begitu mungkin karena mereka belum bisa menerima kenyataan aja.""Iya, Neng."Obrolan mereka terdengar makin lesu, aku sampe gak tega dengernya, karena saa