"Nada, kamu bilang apa? Kamu mengucapkan sesuatu tadi?" bibir Tama tersenyum, tak ingin telinganya salah mendengar kata yang diucapkan oleh Nada.Jika salah mendengar maka sudah pasti dirinya akan sangat kecewa.Kecewa pada dirinya sendiri yang salah dalam mendengarkan penjelasan."Nada?""Mas, jangan pergi. Aku tidak bisa tanpa mu," kata Nada dengan bibirnya yang bergetar dan air matanya yang menetes.Menahan perasaan yang begitu luar biasanya."Jangan pergi ya Mas, Nada sayang sama Mas," kata Nada lagi sambil menundukkan kepalanya.Tama pun mengangguk, karena pernyataan yang dikatakan oleh Nada sungguh membuat semangatnya menjadi lebih besar."Iya, terima kasih," kata Tama dan tak tahu lagi harus mengatakan apa."Mas, Nada bakalan bicara lagi sama Ayah. Ayah serius ngomong barusan apa gimana? Tapi jangan pergi dulu ya, tunggu di sini," kata Nada.Tama pun menganggukkan kepalanya, sedangkan Nada berlari masuk ke dalam rumah.Menuju kamarnya, karena sudah pasti Adam berada di sana ber
Tama begitu merasa bahagia, setelah malam tadi Nada yang menyetujui untuk kembali bersatu lagi.Bahkan Tama pun menceritakan pada Mira tentang semua itu, tentunya Mira juga tidak kalah bahagia.Sebab, apa yang membuat Tama bahagia tentunya akan sangat membuat Mira ikut bahagia.Apa lagi Nada dan Tama sudah memiliki seorang putri."Mama, senang senang sekali. Mama, benar-benar merasa bahagia," Mira pun mengusap wajahnya yang basah karena air mata haru, akhirnya dirinya tidak akan dihantui oleh bayang-bayang rasa bersalah.Pagi harinya Tama pun memutuskan untuk menemui Nada, sekaligus menemui putrinya Amanda.Tak disangka ternyata Nada sedang berada di teras bersama dengan Amanda, berjemur di sana."Mas?" Nada sedikit terkejut melihat kehadiran Tama yang begitu pagi."Kamu sedang apa?" tanya Tama yang menyadari Nada seperti sedang kebingungan."Berjemur, kamu nggak liat Amanda?" tanya Nada lagi sambil menunjuk putrinya."Iya juga ya," kata Tama merasa semakin bingung menyadari dirinya y
"Mas, masih di sini? Kirain udah pulang."Nada yang baru saja kembali lagi ke teras melihat Tama masih berada di sana.Awalnya Nada mengira Tama sudah kembali, karena dirinya memang begitu lama di dalam sana untuk membersihkan baby Amanda.Namun nyatanya tidak, tampak Tama masih duduk di tempatnya tanpa berpindah sama sekali."Memangnya kamu ngusir aku?" tanya Tama kembali.Sudah menunggu lama, malah di suguhkan dengan pertanyaan yang membuat Tama merasa kecewa.Mungkin kah sebenarnya Nada ingin dirinya untuk segera pergi dari sana.Semoga saja tidak, Tama benar-benar berdebat dengan pikirannya sendiri.Hanya ada pikiran buruk saja, karena tak ingin lebih lama menjadi duda."Nggak gitu Mas," Nada pun menahan tawa karena Tama yang mendadak menjadi cemberut setelah dirinya bertanya.Padahal itu hanya sebuah pertanyaan ringan yang tak berarti apa-apa."Kamu nanya begitu?""Maaf," Nada pun tersenyum kemudian melihat wajah baby Amanda, "Papi, kamu ngambek, liat tu," kata Nada seolah berbic
"Mas, kenapa?" tanya Nada yang melihat Tama begitu aneh.Bagaimana tidak, mendadak Tama menutup matanya.Kemudian bibirnya tersenyum dan entah apa yang ada di pikirannya.Malahan Nada berpikir jika Tama sedang kerasukan setan jahat.Semetara Tama pun tersadar, ternyata barusan dirinya hanya sedang berkhayal saja.Sial.Mengapa tidak nyata saja, mengapa harus berkhayal saja.Apakah begitu merindukan saat-saat bersama dengan Nada?Mungkin saja begitu.Mengapa bisa Tama menjadi sebodoh ini?Ini semua karena Nada, kenapa bisa begitu mudahnya memperdaya dirinya.Lihatlah, hanya dengan senyuman saja bisa membuatnya menjadi hampir tidak bisa beralih pada yang lainnya.Wanita ini memang begitu cantik, hingga membuatnya begitu tergila-gila.Dasar wanita racun dunia yang nyata, sayangnya Tama sangat menyukai racun itu."Mas?" tanya Nada lagi sebab Tama masih saja tampak diam."Tidak, apa-apa," jawab Tama.Semetara Nada mengangguk, dirinya sepertinya tidak terlalu ambil pusing akan jawaban Tama.
Sore harinya Tama pun kembali menemui Nada, setelah pagi tadi dirinya pergi dengan rasa kesal tapi alasannya kali ini hanya untuk Amanda.Benarkah demikian?"Sepertinya kau rajin sekali berkunjung ke rumah kami?" tanya Fikri yang melihat Tama ada di taman belakang.Sebelumnya dirinya melihat dari balkon kamarnya dan memutuskan untuk menghampiri Tama yang duduk di gazebo kayu bersama dengan Amanda dan juga Nada.Membuat Tama pun tersadar ada yang yang lain selain dari dirinya dan Nada."Apa tidak punya malu?" tanya Fikri lagi."Tidakkah kau ingin duduk di sini juga?" tanya Tama yang meminta Fikri untuk duduk di sana bersama dengan mereka.Fikri pun tersenyum miring, karena dirinya merasa Tama harus sopan pada dirinya."Sopan pada ku, bukankah aku adalah Kakak dari Nada?""Ya Kakak ipar," jawab Tama.Niat hati ingin mengerjai Tama malah dirinya yang merasa geli dengan panggilan tersebut."Menjijikan sekali, dan satu lagi. Kalian belum menikah lagi. Jadi, aku belum jadi Kakak ipar mu!"
Hari-hari Tama terus saja berkunjung menemui Nada dan juga Amanda, membuat Fikri merasa kesal bukan main.Sebab, dalam satu harinya bisa tiga kali Tama berkunjung ke sana."Aku sudah bosan melihat wajahmu itu yang selalu datang ke rumah ku ini, apa kau tidak punya malu?" tanya Fikri yang langsung menghampiri Tama.Padahal Tama baru saja sampai dan turun dari mobilnya."Tidak, karena kau itu adalah kakak ipar tercinta ku," jawab Tama dengan konyolnya.Dirinya sendiri juga bingung mengapa bisa seperti ini, namun dirinya benar-benar tak bisa jika sehari tanpa melihat Nada.Terutama putrinya yang begitu menggemaskan itu."Menjijikkan!""Jangan marah-marah, nanti kau suka pada ku!" kata Tama lagi menggoda Fikri.Membuat Fikri pun merasa kesal, ulah Tama memang sangat menjijikkan."Huuueekkk," tiba-tiba saja Mentari muncul, namun dirinya mendadak merasakan mual yang begitu luar biasa.Perlahan Mentari turun dari mobilnya sambil memegang kepalanya yang terasa pusing, beruntung bisa sampai di
Sedangkan di kamar lainnya Nada tampaknya begitu panik karena suhu panas baby Amanda semakin tinggi."Sarah, Panggilkan Bunda, atau Mentari, ya," pinta Nada.Dengan segera Sarah pun melakukan apa yang diperintahkan oleh Nada, mencari Kinanti.Namun, saat di ruang tengah malah bertemu dengan Tama."Tunggu," Tama pun menghentikan langkah kaki Sarah."Ya Om?" tanya Sarah."Nada di mana?""Di kamar, Amanda sedang demam. Demamnya tinggi, Sarah cari Tante Kinanti dulu ya Om, kasihan Amanda," Sarah pun segera mencari keberadaan Kinanti.Sedangkan Tama merasa khawatir mendengar apa yang dikatakan oleh Sarah barusan.Dengan segera menuju kamar Nada, dirinya tidak berpikir seharusnya tidak melakukan itu.Karena, terlalu khawatir akan keadaan putri tercintanya."Mas?" Tama pun melihat Tama yang berada di ambang pintu yang terbuka lebar.Namun, Tama hanya berdiri sampai di sana. Karena tak ingin sampai ada yang memikirkan hal buruk jika menemukan mereka hanya berdua saja."Apa dia baik-baik saja?
Fikri bisa tahu jika saat ini pikiran Tama sedang melayang jauh, singkatnya menebak apa yang ada di pikirkan oleh Tama, yaitu Nada.Susah pasti otak suda kesepian itu tak jauh dari ranjang dengan sawah kecil yang akan dia garap dalam waktu dekat ini.Rasanya Fikri semakin bersemangat untuk membuat Tama sedikit tersiksa, anggap saja itu sebagai ucapan selamat datang sebagai anggota keluarga dari Fikri.Membuatnya pun berinisiatif untuk memberikan sedikit pelajaran yang cukup baik.Yaitu menginjak kaki Tama di bawah meja sana.Tama yang sedang larut dalam lamunannya pun tersentak, karena ada rasa sakit yang bercampur juga."Akh!" Tama pun menahan suaranya, kemudian melihat sekiranya.Bagaimana pun dirinya harus memiliki harga diri di hadapan Adam dan juga Kinanti, sebab selama ini Tama terkenal dengan kehebatannya dalam berbisnis.Seorang pebisnis hebat, pemimpin perusahaan bahkan memiliki anak perusahaan yang tersebar di beberapa daerah sampai ada yang diluar negeri."Kamu kenapa?" tan
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada