"Siap-siap, sebentar lagi aku jemput!" Paul bicara pada seseorang di ponselnya.. "Pulang dari terapi nanti, Aku akan ajak Kamu fitting baju untuk acara pernikahan kita nanti."Paul tersenyum membayangkan hari pernikahannya dengan Syafa yang tak lama lagi. Ia ingin prosesnya lebih cepat. Ia tak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan diantara mereka. "Iya, Kak Paul. Aku siap-siap dulu!" sahut Syafa dari seberang sana. Walau ada keraguan pada hati gadis itu ,namun sesungguhnya cintanya pada Paul sudah mulai tumbuh. Ia merasa Paul memang pria yang tepat sebagai pendamping hidupnya. "Aku kangen banget. Kamu yang cantik, ya!" goda Paul masih dengan senyum mengembang. Hatinya selalu berbunga-bunga setiap berbicara dengan Syafa walau hanya lewat ponsel. Wajah sumringah Paul persis seperti seseorang yang sedang jatuh cinta. Tanpa pria bule itu sadari, diam-diam seseorang mendengar pembicaraannya dari ballik pintu yang memang sejak tadi terbuka.. Air mata Aina kembali menetes. Ia sa
"Maafin Aku, Kak Paul. Pertanyaan Aku pasti bikin Kakak kepikiran lagi!" Syafa bicara dengan rasa bersalah. Karena Paul tak menjawab pertanyaannya dan malah mendadak diam. "Sudah Syaa, Kamu nggak usah memikirkan hal itu. biar Aku dan Rein yang akan membujuk Mama. Maira juga akan bantu." Syafa terdiam beberapa saat. Sepanjang menuju ruang rehabilitasi medik yang memang berada paling ujung di rumah sakit ini, Syafa berkali-kali menarik napas panjang. Bagaimanapun juga ia tidak mungkin tidak memikirkan hal ini. "Tapi ..., bagaimana jika Bapak dan Ibu tidak melihat Bu Laura di saat pernikahan kita, Kak? Aku harus jawab apa?" tanya Syafa putus asa. "Kita bisa bilang jika mama ada urusan mendadak dan berhalangan hadir. Udah beres." jawab Paul pura-pura tenang. Syafa hanya mengangguk. Kedua orang tuanya bukan anak kecil atau orang bodoh yang mudah dibohongi. Untuk hal ini, Ia akan memikirkannya nanti. Mungkin ia akan bercerita apa adanya pada Bapak dan ibunya.. Pintu ruang rehabilitasi
"Reiin ...?" Maira mengulang panggilannya. Ia terheran melihat sikap suaminya yang dia pikir tidak seperti biasanya. "Ada apa, Rein?" Perlahan Maira mendekati Rein setelah dia memastikan pintu kamar telah tertutup kembali. "Maira ... Maira, Kamu milikku. Kamu hanya milikku. Siapapun tak akan aku biarkan untuk merebutmu dariku!" Maira hampir terpekik saat tiba-tiba saja Rein memeluknya erat sambil meracau kata-kata yang Maira tak mengerti maksudnya. Maira membelai lembut punggung tegap dan kekar milik suaminya. Ia merasakan Rein sedang takut kehilangan dirinya. Pelukannya sangat erat. Maira merasakan kehangatan dan debaran yang luat biasa. Ia juga sangat merindukan suaminya itu. "Ada apa, Rein? Ada masalah? Cerita sama Aku!" Tiba--tiba Rein merenggangkan pelukannya dan memegang kedua lengan atas Maira dengan lembut. "Maira, tolong jawab Aku!" Maira menatap kedua mata elang milik Rein. Ia tidak mengerti dengan sorot mata Rein yang penuh tanda tanya. "Ada, Apa Rein?" Maira sema
"Apaa? Dibatalkan? Bukankah waktu itu kamu bilang ini adalah proyek besar dengan keuntungan milyaran bagi PT Anggada Jaya?" Maira terkejut mendengar pernyataan Rein barusan. "Atau, Abraham sendiri yang membatalkan kerjasama ini karena aku menolaknya mengajak makan siang di restorannya tadi?" Maira terus mencecar dengah berbagai pertanyaan. "Jadi, Abraham datang ke kantormu untuk mengajakmu makan siang, dan kamu menolaknya?" balad Rein dengan tatapan tajam. Maira mengangguk lemah. "Maafin Aku, Rein. Aku tidak menyangka gara-gara itu Abraham marah dan membatalkan kerjasama itu denganmu." Maira tertunduk masih dengan perasaan bersalah. "Teriimakasih, Sayang! Terimakasih sudah menolak ajakan pria arab itu." Rein kembali memeluk Maira erat. "Loh, jadii kamu memang ingin membatalkan kerjasama itu? Memangnya nggak apa-apa?" Maira yang penasaran kembali merenggangkan pelukannya.. Rein mengangguk dengan yakin. "Lebih baik Aku kehilangan keuntungan milyaran, dari pada kehilang
"Bagaimana proses fitting bajunya kemarin, Syafa? Lancar? Bagus bajunya?" tanya Rita pagi ini di dapur, saat sedang menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga. Semalam Paul dan Syafa pulang sudah larut, hingga mereka tak sempat menanyakannya semalam. Syafa nampak kelelahan dan langsung tertidur setelah sampai di rumah. "Bagus banget, Bu. Syafa merasa sangat cantik memakai gaun itu. Apalagi jika nanti Syafa sudah bisa berdiri." Ada setetes embun menggantung di dua sudut mata gadis itu. Rita tak kuasa menatap wajah Syafa, mendengar gadis itu hendak bisa berdiri. "Hari ini Kak Paul mau ajak kita semua ke Mall. Bapak dan ibu ikut, ya!" Wajah Rita sontak menjadi bersemangat. "Mau, mau! Ibu mau beli baju-baju bagus. Nanti Paul yang bayarin, kan?" tanya Rita antusias. "Iya, Bu. Kata Kak Paul. Mungkin Ibu mau mengadakan pengajian di rumah, jadi Bapak dan Ibu harus punya beberapa pakaian bagus." "Ibumu sajalah, Bapak tidak usah ikut!" sanggah Akbar yang mendengar pembicaraan istri dan ana
"Mama ...!" "Bu Laura ...!" Paul dan Syafa spontan menyebut Laura secara bersamaan. Mereka semua terkejut dan tak menyangka akan bertemu di mall itu. Sementara Akbar dan Rita sesaat merasakan adanya ketegangan diantara dua keluarga itu. Kedua suami istri itu merasa ada yang aneh. Dalam hati mereka bertanya-tanya, siapakan gerangan wanita cantik paruh baya yang sedang menggandeng Maira? Sorot mata wanita itu begitu tajam pada Paul dan Syafa. Akbar dan Rita curiga bahwa ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan. "Hai, Syafa! Wah, kebetulan sekali kita ketemu di sini. Apa kabar Pak Akbar, Bu Rita?" Maira yang tersadar dengan situasi yang canggung dan menegangkan, segera mengalihkan perhatian dengan berusaha mencairkan suasana. Dengan senyum yang mengembang, wanita cantik itu menyapa dan berusaha untuk saling memperrkenalkan. "Oh ya, Ma. Ini loh, Bapak dan Ibunya Syafa. Yuk kenalan dulu!" Dengan lembut Maira membawa Laura mendekati sepasang suami istri yang saat ini berpenampilan
"Maa, kok diam saja?" Rein melirik kaca spion di depannya untuk melihat Laura yang hanya terdiam sejak masuk.ke dalam mobilnya. Maira ikut melirik kaca spion dan melihat Laura hanya menoleh ke jendela. Kaisar dalam pangkuan Nina, sedang asik menonton video khusus batita yang ada pada layar televisi mini dalam mobil itu. "Apa rumah Ayahmu masih jauh, Maira" tanya Laura tanpa menoleh. "Tdak begitu jauh, Ma. Sekitar tiga puluh menit lagi kita akan tiba di sana." Maira menjawab sambil melirik pada Rein. Sesaat terdengar hembusan napas panjang dari Laura. Wanita paruh baya itu baru saja sembuh. Kini sudah memikirkan kembali masalah yang mungkin baginya cukup berat. "Maafin Mama, masih belum bisa menerima Syafa sebagai calon istri Paul." Tiba-tiba Laura berkata lirih. Rein dan Maira saling pandang beberapa saat. Nampak aura kegelisahan diantara mereka berdua. "Tapi ..., mereka saling mencintai, Ma. Kasian jika harus dipisahkan." Rein mencoba untuk memberi pengertian pada Mamanya.
"Pratama ...!" "Laura, kamu di sini?" Wajah Pratama sangat terkejut. "Ayah, kenal dengan Mama Laura? Mama Laura ini adalah ibu kandung Rein." Maira mendekati Pratama dan mencium tangannya. Rein yang sedang menggendong Kaisar mengikuti Maira mencium tangan Pratama. Namun tatapan Pratama belum lepas pada Laura yang masih berdiri menatapnya. Hal itu tidak luput dari perhatian Nuri. Rasa-rasanya Pratama belum pernah menceritakan tentang wanita bernama Laura padanya. Beberapa detik kemudian, Pratama dan Laura tersadar akan sikap mereka yang sempat menjadi pusat perhatian. Dengan cepat Pratama segera mengklarifikasi sikap mereka itu. "Oh ,ya. Bu Laura ini dulu sempat menjadi relasi bisnis Ayah dulu." Pratama nampak gugup. "Oh gitu. berarti sudah lama dong, Yah? Waktu Maira masih kecil?" tanya Maira penasaran. Laura sudah duduk kembali dan tersenyum canggung. ia seakan merasakan kembali debaran yang pernah hadir berpuluh tahun yang lalu. "Pratama masih sangat tampan dan gagah," p
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b