"Maaf, kalau saya ikut campur. Kalau diizinkan, Saya ingin menemani Syafa fisioterapi mulai besok." Paul tiba-tiba saja bicara. Ia mengangguk sopan pada Akbar dan Rita. Kedua orang tua Syafa itu sempat terkejut mendengar permintaan pria bule itu. Mereka memandang Paul dengan tatapan bingung. "Saya Paul. Saya teman dari Rein dan Maira. Sejak beberapa hari ini Saya sudah mengenal putri Bapak dan Ibu," lanjut pria tampan berwajah bule itu. Sejak tadi Akbar dan Rita memang melihat keberadaan Paul di sana. Namun mereka tidak menyadari kalau sebenarnya putri mereka beberapa kali saling mencuri pandang dengan pria itu. Sebuah senyum bahagia namun malu-malu terbit dari wajah gadis cantik berhidung mancung itu. Pipi chubynya tampak semakin menggemaskan saat ia tersenyum. "Bagaimana, Sya? Kamu mau ditemani oleh Dia?tanya Akbar. Syafa mengangguk malu-malu. Maira dan Rein saling melirik dan mengulum senyum mereka. "Kalau Syafa mau, kami tidak mungkin melarang. Yang penting saat ini adala
Deru mesin mobil memasuki halaman terdengar dari dalam. Aina yang sejak tadi belum tidur segera bangkit dari ranjang, lalu melangkahkan kakinya hendak keluar membukakan pintu untuk Paul. "Hai, kamu baru pulang?" Paul terkejut saat pintu rumahnya terbuka. Aina tersenyum menyambutnya. Wanita itu memakai pakaian yang sangat minim. "Kamu belum tidur?" Paul balik bertanya sambil melangkah masuk melewati Aina yang masih berdiri di ambang pintu. Aina merasa sedikit kesal karena Paul mengabaikannya. Padahal ia sudah memakai pakaian tidur yang sangat tipis. Biasanya, Paul tidak akan pernah tahan melihatnya seperti itu. "Paul, tunggu!" Aina mengikuti Paul hingga ke kamarnya. "Ada apa? Aku lelah. Aku ingin istirahat." Paul membuka kaosnya lalu melemparkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Lalu melorotkan celana panjangnya hingga meninggalkan sehelai boxer hitam, satu-satunya kain yang melekat di tubuhnya kini. Aina menelan salivanya melihat kejantanan Paul yang tercetak jelas dari ba
"Mbak Kayla, dipanggil Bu Nurma." Kayla yang baru saja keluar dari kamar mandi mendadak cemas saat mendengar nama Bu Nurma. Manajer restoran yang sejak kemarin mengancam akan memecatnya. "Iya, Mbak," sahutnya pada salah satu pelayan di restoran itu. Kayla melangkah ragu menuju ruang Bu Nurma yang terletak di belakang restoran ini, tepatnya di samping musholla. Apakah ia akan dipecat hari ini ? Apa dia akan dimarahi karena kemarin sempat hampir terjatuh hingga membuat suasana restoran jadi panik? Kayla hanya bisa menerka-nerka apa yang akan terjadi padanya sesaat lagi. Perlahan ia mengetuk pintu ruangan Bu Nurma dengan gemetar. "Masuk!" Terdengar sahutan dari dalam. Perlahan Kayla membuka pintu. Nampak.wanita bertubuh gemuk itu sedang menatapnya dengan intenst. "Selamat pagi, Bu!" Kayla mengangguk hormat pada manajer restoran itu. "Duduk!" Kayla perlahan duduk pada kursi yang berada tepat di depan wanita bertubuh gemuk itu. "Tolong jawab dengan jujur! Apa kamu sedang hamil?
"Bu Shinta. Terimakasih. Saya pikir, Saya akan langsung dipecat lagi setelah Ibu tau kalau Saya hamil." Kayla masih terus meneteskan air mata. Ia masih terkagum-kagum pada kebaikan wanita cantik di hadapannya. "Saya juga tidak menyangka, ternyata Ibu adalah pemilik perusahaan ini. Betapa ibu sangat baik dan bijaksana." lanjut Kayla yang tak sanggup menyimpa rasa haru, kagum dan bahagia melebur menjadi satu Maira yang sejak tadi menatap Kayla tak berkedip, tanpa dia sadari ikut meneteskan air mata. Ia dapat merasakan kesulitan wanita di hadapannya. Merasa sendirian, dikelilingi oleh orang-orang yang membencinya, dibentak, dimarahi serta dimaki setiap hari. Maira pernah merasakan hal itu dulu, dan ia tak pernah lupa sampai kapanpun. Bukan berarti dia dendam. Namun, ia bisa merasakan sakitnya saat itu, hingga ia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan melakukan hal yang sama pada siapapun.."Kay..., maaf ya. Suami kamu ... dimana?" Dengan sangat hati-hati Maira bertanya sambil meng
"Sendirian? Mau ditemani?" Seorang wanita cantik bertubuh sintal mendekati pria yang sejak tadi hanya termenung di sebuah meja yang berada di sudut night club. Namun, pria itu sama sekali tak menghiraukan pertanyaan wanita seksi yang kini telah duduk di sampingnya. "Kok diam aja. Lagi bete ya, Om? Ke atas, yuk!" Wanita berpakaian serba terbuka itu mengedipkan sebelah matanya. Jemari lentiknya mulai meraba-raba bagian dari tubuh kekar pria disebelahnya. "Maaf, Saya sedang tidak berminat!" gumam Raka seraya beringsut menjauh dari tubuh wanita itu. Entah kenapa ia sama sekali tidak terpengaruh oleh sentuhan dan godaan wanita muda yang sangat seksi itu. "Huh sombong banget. Bilang aja lagi bokek!" Suara wanita itu berubah ketus. Ia melirik penampilan Raka dari atas ke bawah. Di meja pun sama sekali tidak ada minuman yang terhidang. "Heh, kalau lagi bokek jangan ke sini! Miskin bangetlu! Minuman aja nggak sanggup beli!" Dengan kesal wanita itu bangkit berdiri dan beranjak dari meja Ra
"Rein ..., mau kemana?" Maira yang baru saja selesai salat subuh berjamaah dengan suaminya, terheran melihat Rein membuka kembali baju koko dan sarungnya. Maira pikir Rein akan berganti pakaian. "Tidak ke mana-mana. Karena hari libur, aku mau kelonan lagi sama istriku yang seksi ini." Rein memeluk Maira yang masih memakai mukena. Maira tersenyum, ternyata setelah membuka baju kokonya, Rein hanya memakai kaos tipis berupa dalaman dan boxer saja. Jelas terlihat otot-otot tubuhnya yang kekar. Hingga membuat Maira menelan salivanya. Rein membantu Maira membuka mukena. Kini ia yang tersenyum melihat istrinya yang sangat seksi dengan pakaian kesukaannya jika di dalam kamar. Seperti biasa, Maira mengenakan kaos sangat pendek dan menggantung di atas perut, serta celana soft jeans yang sangat pendek. Rambut panjangnya yang hitam dan lebat dibiarkan terurai bebas. "Aku serasa lagi pacaran sama abege tiap liat kamu berpenampilan kayak gini," gumam Rein. Matanya menatap kagum pada kaki jenja
"Sudah siap, Bro?" Raka baru saja tiba di rumah Paul. Pria bule pemilik rumah minimalis itu tampak sudah rapi dengan pakaian casualnya. Paul terlihat semakin tampan hingga Raka sedikit minder berada di dekatnya. Dulu, Raka begitu percaya diri setiap berada di manapun. Namun kini, sejak ia tak lagi bekerja, kepercayaan dirinya hilang begitu saja. Ia juga sudah tak mempedulikan lagi bagaimana penampilannya sekarang. Beban pikiran yang memenuhi kepalanya membuatnya tak lagi peduli dengan hal itu. "Kita sarapan dulu!" ajak Paul. Raka menggeleng. "Tidak. Terimakasih. Aku di sini saja." Raka mendudukkan tubuhnya di kursi teras. "Serius nggak mau sarapan? Lihat, tubuhmu semakin kurus, Bos!" Paul sedikit memaksa. Ia tau Raka pasti belum makan. Sekali lagi Raka menggeleng. Ia enggan masuk ke dalam rumah Paul. Ada Aina dan Maminya di sana. Dirinya yang kini sudah bangkrut merasa tak berharga berada di antara kedua wanita yang merupakan mantan istri dan mertuanya. "Ya sudah kalau begitu.
"Maafin Papa, Sayang!" Raka menggendong tubuh montok Kaisar dan mendekapnya erat. Aroma khas bedak bayi tubuh Kaisar membuatnya teringat kembali saat Kaisar masih merah. "Kaisar mau kan maafin Papa?" Raka mengurai pelukan dan menatap wajah anaknya dengan penuh penyesalan. Seakan mengerti, Kaisar mengangguk mendengar permintaan Raka. Raka kembali mendekap putra satu-satunya itu. Kaisar menatap wajah papanya yang sudah basah. Tangan mungil itu terulur dan mengusap lembut pipi Raka. "Papa kok nangis?" tanyanya dengan wajah polos. "Papa menyesal pernah marahin Kaisar waktu itu. Papa Sayang dan rindu dengan Kaisar." Bocah tampan dan lucu itu tersenyum. "Kata Daddy, jagoan tidak boleh cengeng!" Kaisar memperlihatkan telunjuknya pada Raka. Sontak semua yang ada di ruangan itu tersenyum. Maira melirik suaminya penuh cinta. Rein telah banyak memberikan pengaruh baik pada putranya. Siang itu Raka sangat bahagia kembali bisa dekat dengan Kaisar. Mereka makan siang bersama. Walaupun Kais
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b