"Pakaianmu sudah aku ambil, Sayang. Jadi kita tidak perlu kembali ke hotel lagi," ujar Raka setelah mengemasi pakaian istrinya. Shinta hanya mengangguk tanpa menoleh. Tak ada sedikitpun senyum yang terbit di bibirnya. Ia hanya berbicara seperlunya saja pada Raka. Pratama yang sejak kemarin menemani putrinya, hanya diam memperhatikan mereka. Keributan dalam rumah tangga adalah wajar menurutnya. Mungkin saja sudah terjadi kesalahpahaman di antara mereka. Apalagi belakangan ini ia beberapa kali melihat Rein di dekat Shinta. Bisa saja Shinta tak terima saat Raka menegurnya agar tak lagi berdekatan dengan Rein. Lalu siapa wanita yang kemarin malam bersama Raka? Apakah menantunya itu juga bermain api di belakangnya? Selama ini Pratama sangat mempercayai Raka. Anak dari sahabatnya itu telah dikenalnya sejak lahir. Namun.hati seseorang siapa yang tahu. Sebagai seorang Ayah, Pratama hanya ingin anak dan menantunya bahagia. "Ayah kenapa melamun?" Pratama terkejut karena tiba-tiba saja Shin
"Bersiaplah, Maira. Sebentar lagi aku akan menjemputmu bertemu dengan Rein. Dia akan memperkenalkan kita dengan temannya yang pengacara itu." Shinta baru saja selesai rapat dengan para staf keuangan, saat ingin beranjak dari ruang meeting, ia menerima sebuah panggilan masuk dari Hafiz pada ponselnya. "Baiklah. Aku tunggu." Setelah menutup panggilan dari Hafiz, Shinta melangkah menuju ruangannya. Sejak kepulangannya dari Bandung, hubungannya dengan Raka semakin jauh. Walau suaminya itu terus berusaha untuk meminta maaf. Namun Shinta tak menghiraukannya..Bahkan sejak malam itu dia tidak lagi tidur di kamar mereka di lantai atas. Shinta lebih memilih tidur di kamarnya dulu di bawah bersama Kaisar. "Dewi, setelah ini apa masih ada meeting atau janji dengan yang lainnya?" Shinta berhenti sejenak di meja Dewi, sebelum ia masuk ke ruangannya. "Tidak ada, Bu." "Baiklah. Sebentar lagi aku akan keluar bersama Pak Hafiz. Jika ada yang bertanya katakan saja ada urusan keluarga. Nanti aku la
"Apa kalian telah menemukan bukti-bukti perselingkuhan mereka?" Pengacara tampan itu mulai bertanya beberapa hal. Rein memang tidak main-main mencarikan pengacara untuk Shinta. Hafiz beberapa kali melihat Elkan di televisi. Pria gagah dan tampan dengan penampilan perlente itu sudah banyak di kenal di kalangan pejabat dan artis papan atas. "Aku siap menjadi saksi perselingkuhan mereka," tegas Shinta dengan suara bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca. Luka yang baru saja ditorehkan oleh suaminya itu kembali berdarah. "Shinta ...! Tenangkan dirimu!" Rein mengingatkan Shinta dengan hati-hati. Sungguh dia tak sanggup melihat kesedihan di mata wanita pujaannya. Andai saja bisa, ia akan meraih wajah cantik itu dan mendekapnya ke dalam dadanya. "Elkan, sebenarnya aku punya satu bukti lagi." Shinta sontak menoleh pada Hafiz. "Apa yang kamu ketahui, Kak?" Hafiz dan Rein saling memandang. Mereka tak tega mengatakan hal ini sekarang pada Shinta. Namun mau sekarang atau besok, Shinta akan ta
"Kamu yakin nggak perlu aku antar ke dalam?" "Nggak apa-apa. Kakak langsung pulang aja. Kasian Hikmah." Shinta turun dari mobil Hafiz. Kakak tirinya itu langsung pulang karena Hikmah-istrinya sedang kurang sehat. Sebenarnya Rein menawarkan diri untuk mengantar. Namun sementara ini Shinta memilih untuk menjaga jarak dengan Rein, agar Raka tidak membolak balikkan fakta nantinya. "Dari mana saja kamu seharian ini?" Raka tampak tak suka melihat Shinta baru saja turun dari mobil Hafiz. Suami Shinta itu telah sampai di rumah sejak sore tadi. Ia menatap kesal mobil Toyota Rush keluaran terbaru milik Hafiz yang meluncur keluar pintu gerbang. Shinta tak menghiraukan suaminya. Mencium tangannya seperti biasa pun, tidak. Shinta langsung melangkah menuju kamarnya dan menguncinya dari dalam. Raka yang mengikutinya dari belakang tersentak saat mendengar pintu dikunci. "Maira ... Maira ..., tolong buka pintunya!" Raka yang sedang emosi berusaha meredam amarahnya. Tentu Shinta akan semakin men
"Surat gugatan cerai?" Raka sungguh terkejut saat membaca isi surat dari amplop coklat itu. Seketika Raka panik. Dia tidak menyangka Shinta diam-diam mengurus perceraian mereka. Kemarin istrinya itu sama sekali tidak menyinggung tentang perceraian. Raka lantas berdiri dan langsung melangkah menuju ruangan Shinta. "Maira, Aku mau bicara." Shinta melihat amplop coklat dalam genggaman Raka. Ia sudah menduga kalau suaminya itu sudah menerima surat gugatannya. "Dewi, kita lanjutkan nanti. Aku mau bicara dengan Bapak dulu." Dewi mengangguk mendengar ucapan Shinta, lalu keluar dari ruangannya. Sepeninggal Dewi, Raka langsung menghampiri Shinta dan memeluknya erat. Shinta kelabakan, tak sempat mengelak, karena dipeluk secara tiba-tiba. "Maira ..., Aku mohon ..., maafkan aku, maafkan Aku ...!" "Tolong lepas, Mas!" Shinta terus berusaha melepaskan diri. "Tidak! Kamu tidak boleh pergi dariku. Kamu milikku, Maira. Tidak ada seorangpun boleh memilikimu. Kamu hanya milikku, Maira ... M
"Surat dari pengadilan agama, Pak!" Said meletakkan amplop coklat kedua yang diterima Raka. Sejak menerima surat gugatan cerai siang itu, Raka seakan pasrah. Shinta tak lagi mau mendengar permohonan maafnya. Walaupun mereka masih tinggal satu rumah, tapi mereka berpisah kamar. Makan pun sudah tak satu meja. Setiap hari ke kantor Shinta selalu diantar Pak Pardi. Mereka berangkat sendiri-sendiri. Sungguh situasi yang tidak nyaman. Raka membuka amplop coklat dari Said. Tubuhnya bergetar ketika membaca surat undangan untuk menghadiri sidang pertama perceraiannya dengan Shinta. Sudah tak ada harapan lagi untuk tetap bisa bersama dengan wanita yang sangat dia cintai. Apalagi Shinta telah memiliki.bukti-bukti perselingkuhannya dengan Aina. Sungguh ia menyesal pernah memiliki niat yang tidak baik terhadap Shinta. Siapa yang menduga, hatinya justru bertekuk lutut pada wanita itu. Raka tak menyangka jika ia sampai begitu memuja istrinya. Hingga ia lupa dengan tujuan awalnya bersama Aina.
"Aina, sampai kapan pernikahanmu dan Raka kamu sembunyikan? Mami malu sama teman-teman mami. Mereka bilang kamu ini seperti istri simpanan saja!" Aina berdecak kesal karena lagi-lagi sang Mami membicarakan hal yang sama belakangan ini. Sore itu Aina sedang menikmati cemilan sorenya di taman belakang rumah mewahnya. Rumah yang di beli Raka beberapa bulan yang lalu. "Sabar dong, Mi. Sebentar lagi Raka pasti akan menceraikan istri pertamanya. Akulah yang akan menjadi istri Raka satu-satunya." "Ya, tapi kapan doong? Mami capek dengar gunjiingan teman-teman sosialita Mami." "Nggak akan lama lagi kok, Mi. Percaya sama Aku." Aina senyum-senyum. Dia sangat yakin sebentar lagi Raka akan bercerai dengan Shinta. Aina meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Raka. "Halo, ada apa lagi? Bukankah aku baru saja mengirim banyak uang untukmu? Apa masih kurang?" Raka menjawab panggilan Aina dengan nada dingin dari seberang sana. "Hei, kamu kenapa? Nada ngomongnya nggak enak gitu?" ketus Aina s
"Bawakan koperku ke mobil!" perintah Raka pada salah seorang pelayan. Kemudian pria yang telah siap dengan kemeja kerjanya itu menghampiri Shinta di meja makan. "Pagi, Sayang." "Pagi," sahut Shinta dingin tanpa menoleh. Shinta sedang asik menyuap nasi gorengnya yang sudah tinggal sedikit. "Maira ... " Raka menghela napas panjang saat memanggil istrinya Shinta hanya diam. "Aku ... akan ke Bandung beberapa hari. Aku akan menceraikan Aina. Mungkin wanita itu tidak akan terima aku ceraikan. Dia pasti akan berbuat apapun untuk mengungkapkan kemarahannya." Raka menjeda pembicaraannya. Walau Shinta hanya diam seribu basa, dia yakin wanita itu pasti menyimaknya. "Aku harap kamu lebih hati-hati. Perketat penjagaan. Aku akan minta pak pardi dan para bodyguard untuk selalu mendampingimu."Suara Raka semakin berat. Jelas terlihat kekhawatiran di sana. "Kamu pasti akan terkejut dengan berita terburuk tentang diriku nantinya. Aku sangat yakin, Aina akan nekad berbuat apapun demi menghancurka