Kuperhatikan lelaki itu dari ujung kepala hingga kaki dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Dia membawa bunga mawar berwarna burgundy, di tengah bunga itu tampak duduk manis boneka hello kitty kecil yang memeluk tulisan ‘I love you’. Tentu itu sangat ucul, seperti diriku.Gegas, aku menghampirinya dan membuka topi yang menutupi bagian atas wajahnya itu guna memastikan tebakanku.Tatapan kami bertemu begitu topinya sudah berpindah ke tanganku.“Mas?” tanyaku kaget, tapi juga tak bisa menahan diri untuk tidak memeluknya. “Kamu di sini?”“Selamat ya, Sayang, karena sudah selesai sidang,” bisiknya sambil mengusap-usap pelan rambutku.Aku mengurai pelukan kami. Lantas, menatap wajah tampan itu penuh tanya.“Urusan kamu udah selesai? Kok cepat bisa di sini?” tanyaku.Mas Ezar menghela napas pelan. Setidaknya, senyum gulanya kembali terpancar di bibirnya membuat segala persendianku seketika ter“Sha, aku ....” Raihan tak melanjutkan ucapannya. Dia mencoba meraih tanganku, tetapi aku menghindar. Lagian, dia kesambet apa coba mau pegang-pegang tangan begini? Jadi was-was aku dibuatnya. “Maaf,” lirihnya. Aku membuang napas kasar. Sesekali menatap matanya berusaha mencari maksud dan tujuan dari ucapannya barusan.Sayangnya, aku tak dapat membaca sorot matanya dengan jelas. Tatapan itu sayu. Entah ada apa dengan dirinya sekarang? “Maaf, Sha. Aku ....” Dia masih menggantung ucapannya. Aku sampai mengerutkan dahi menunggunya melanjutkan ucapan. Hanya saja, ia tak kunjung melanjutkan.Sekarang, aku bisa menebak kalau dia berada di sini sepertinya khusus untuk meminta maaf padaku. Ah, tak mau berpikir yang tidak-tidak, tapi aku menduga kalau Raihan sedari tadi sepertinya mengawasi pergerakanku di restoran ini. Barangkali, dia memang mencari waktu untuk mengobrol denganku berdua, tapi takut pada
Setelah pertemuan dengan Raihan malam itu, jadinya aku tidak tenang dengan ucapannya. Malah kepikiran sepanjang malam, entah kenapa?Rasanya seperti ada bom yang siap meletus dan akan menghanguskan di kemudian hari. Ah, kenapa dia harus datang lagi, sih?“Assalamualaikum!” teriak seseorang yang kutebak pasti Vina. Dia memang kuminta datang ke rumah pagi ini karena lagi gabut Mas Ezar ke kampus sampai siang. Sedangkan, aku dilarang ke mana-mana. “Sha, udah jawab salam belum sih?” tanya Vina setelah menghempaskan bokong di sofa. Aku menoleh, melihatnya sebentar. “Udah.”“Kapan?” tanyanya.“Dalam hati,” kekehku. “Astagfirullah. Bersuara dong. Mengucap salam hukumnya sunnah, Asha, tapi menjawab salam itu wajib. Ayo, jawab yang benar. Assalamualaikum.”Aku menghela napas panjang, lantas mencebikkan bibir. “Waalaikumsalam Ukhti Sholehah yang kadang bar-bar.”“Heh, aku ikutan sesat kalau
Mas Ezar buru-buru masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Aku tahu dia pasti sengaja mencuri kesempatan dalam kesempitan untuk menemuiku. ‘Dasar gak sabaran!’Pria tampan itu melangkah pelan ke arahku, bahkan aku melihat matanya tak berkedip menatapku.Entah dia tersepona atau kenapa? Tapi aku merasa tatapan itu tatapan memuja yang ditujukan untukku.Apa dia terpukau dengan penampilanku? ‘Duh, jadi salting.’Mana dia teramat ganteng juga dengan setelan warna baju senada denganku. Dasi kupu-kupunya terlihat ucul, seucul diriku. ‘Jadi pengen nyosor, tapi takut nanti bibir yang udah cetar membahana jadi runyam.’“Cantik banget istriku,” ucapnya. Aku tersenyum lebar dan berdiri menyambutnya. Detik kemudian, tangan ini bergerak membelai pipinya. Pandangan kami beradu hingga saling terkunci. “Emang lagi syantik, tapi bukan sok syantik, syantik-syantik gini hanya untuk dirimu.” Aku menyen
Setelah membuat suamiku meradang, Fadly memberikan mic pada Mas Ezar dan memintanya untuk bernyanyi bersama.“Banyak bunga-bunga nampak merasa iri, seolah-olah kumbang tiada perduli.” Mas Ezar mulai bernyanyi dengan cengkokan yang sopan sekali masuk di telinga turun ke hati. “Betapa mulia Tuhan telah mencipta, kecantikan dara hingga mempesona, moga-moga pribadinya secantik parasnya.”Dia memegang tanganku dan mengayunkannya pelan. Detik kemudian, ia melepas genggamannya, lalu jemarinya bergerak menyentuh pipi ini hingga aku harus menunduk menyembunyikan senyum karena malu diteriaki penonton.“Memang cantik, oh cantik, sangat memikat hati--bila sedang berjalan, nampak asik sekali.”Setelah lagu berakhir, Mas Ezar lantas mengusir Fadly dari pelaminan.Aku hanya tertawa pelan melihat tingkah mereka yang seperti Tom and Jerry, bukan lagi antara dosen dan mahasiswa. Selain Fadly, teman-temanku dari toko Aina Fashion, Kak Ky
POV EZARHari ini, bisa dibilang hari yang sangat bersejarah bagiku. Mungkin juga bagi Asha. Di mana--di singgasana pelaminan itu aku bisa berdiri dan menggenggam erat tangan wanita yang kucinta sekaligus wanita yang membuatku sangat takut kehilangan dirinya. Aku sangat bersyukur, Tuhan menyatukanku dengan wanita cantik itu melalui perantara perjodohan orang tua. Walaupun, nyatanya aku sudah bertemu dengannya jauh sebelum rencana perjodohan kami. Sekitar pukul 10 malam, acara resepsi kami sudah berakhir. Hanya saja, memang masih ada beberapa tamu yang terlihat mengobrol dengan Papa dan Bunda. Walaupun begitu, aku tetap memilih membawa Asha ke belakang karena ia tampak sudah sangat lelah berdiri menyambut tamu sepanjang hari ini. Tim MUA bookingan Bunda yang memang sudah bersiap di belakang langsung mengambil alih Asha dariku. Mereka membantu melepas gaun dan mengganti pakaian Asha dengan pakaian santai. Serta menghapus makeup-nya.Selama proses yang cukup memakan waktu itu, aku m
Gara-gara si Manda tak tahu malu, Asha jadi menganggapku layaknya najis yang tidak boleh dipegang.Begitu sampai di pintu kamar mandi, aku kembali berbalik dan melihat Asha tengah sibuk mencharger ponselnya. “Istriku, mau sekalian mandi bareng, gak?” tanyaku setengah berteriak. “Ogah! Kamu banyak bakteri jahatnya.” Jawabannya seketika membuatku menghentakkan kaki kesal hingga membanting pintu dengan kasar.Selesai mandi, aku pun keluar dan menghampiri Asha yang sedang menopang wajah melotot ke arah televisi. Dia menoleh ke arahku sekilas, tanpa mengatakan apa pun. Namun, kali ini ia tak lagi menghindar jika kudekati. “Aku sudah siapkan air hangat untuk kamu mandi. Biar otot-otot tubuhmu rileks, seharian cuma duduk dan berdiri pasti capek dan pegal.”“Wah, pengertian banget,” ujarnya kemudian bangkit dari duduknya. “Terima kasih ya Mas Suami.”Sekitar tiga puluh menit, Asha baru selesai mandi dan ia pun kelua
Dengan malas, aku menyingkap selimut tebal yang menutupi tubuh, lalu beranjak dari tempat tidur.Kuhampiri Mas Ezar yang tengah duduk di dekat jendela. Kupikir ia menikmati pemandangan kota Jakarta di pagi hari, nyatanya dia fokus pada ponselnya.Aku mendaratkan bokong di dekatnya, lantas menelusup ke dalam pelukannya. “Udah bangun?” tanyanya sambil mengusap-usap pelan kepalaku. “Hmm. Kamu sibuk banget ya?” tanyaku melirih, sedikit mengintip aktivitas di ponselnya.“Gak, kok. Cuma bikin tugas buat mahasiswa.” “Hmm. Bunda pintar banget ya milih hotel buat kita. Ini pemandangan dari sini indah banget tau,” kataku sambil menatap wajah suamiku dari samping. Mas Ezar meletakkan ponselnya, lantas menatapku lekat. “Lebih indah pemandangan di sebelahku.”Aku menunduk tersipu. Entah semerah apa wajahku sekarang mendengar rayuannya pagi ini? “Bagaimana rasanya menjadi bagian dari hidupku?”Kuhela napas panjang, kembali mendongak menatap wajah tampan yang seakan-akan tak pernah bosan untuk k
“Manusia aja kalau udah mati gak bisa liat makamnya sendiri, apalagi ikan,” celetuk Bina.Aku mengulum senyumku mendengar respons Bina. Untungnya, Elizha tak memperpanjang pertanyaannya lagi. Padahal sudah was-was, jangan sampai Elizha malah melanjutkan perdebatan dengan pertanyaan yang semakin di luar prediksi BMKG. Misalnya, ikan kalau mati bisa jadi hantu, tidak?Kan, agak meras keringat, eh meras otak ya buat jawabnya. Sepersekian detik, tiba-tiba ada kupu-kupu yang terbang melewati kami. Aku yang kebetulan menunduk, melihat tatapan Elizha mengikut arah kupu-kupu itu. “Kak, kalau kupu-kupu pakai makeup, warnanya bisa semakin cantik gak, ya?” Hah?‘Ini kenapa si Elizha otaknya rada geser juga, sih?’Lagi, aku melongo tak percaya dengan pertanyaannya yang benar-benar di luar prediksi BMKG. “Kamu pikir kupu-kupu mau kondangan pake makeup segala?” timpal Bagas yang entah sejak kapan sudah berjalan
Mas Ezar membawaku ke samping resto yang sepi-sepi orang. Entah ada tujuan apa dia membawaku ke sini? Sudah persis gadis polos mau diperkaos pria hidung belang. “Mas, kenapa dibawa ke sini?” tanyaku mengerucutkan bibir kesal. “Padahal masih pengen nyinyirin si pirang gatal itu.”“Makanya aku bawa ke sini untuk menepi sejenak, Sayang. Jangan nyinyir lagi ya. Yang ada nanti kamu stres kebawa janin kamu juga ikutan stres,” ujar Mas Ezar. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya pada tembok agar tubuh kami tak bersentuhan walau posisinya mengurungku pada tembok. Aku menghela napas panjang. Sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar terkesan judes. “Kamu kok belain dia, sih?”Mas Ezar menangkup wajahku dan menatap mata ini lekat. “Bukan membela, Sayang. Aku juga gak suka sikap dia tadi, tapi aku gak mau dia nyakitin kamu. Kamu tadi liat? Dia emosi kamu bilangin gatal. Untung gak jambak kamu.”“Aku kan bisa jambak balik,” cici
Begitu Bagas telah selesai bernyanyi dan Naila sedikit berlari turun dari panggung, barangkali lupa membawa stok urat malu. Hahaha. Bercanda urat malu!Seketika itu, aku pun terlintas ide untuk merayakan ulang tahun suamiku yang ke-29. Dari kemarin, aku berpikir keras bagaimana mengucapkan agar terkesan romantis dan tidak kaku macam sikapnya saat awal kami menikah. Aku pun naik ke panggung. Bukan untuk goyang ngebor di sana, tapi buat ngambil mic, lalu diskusi sebentar dengan Akang piano. Gak usah penasaran kami diskusi apaan? Intinya, setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dengan mic di tangan. Saat ini, aku percaya diri dengan suaraku yang membahana, walau nyatanya seperti suara kodok. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang, tapi aku bangga punya suara yang seksi ini, walau tak seseksi orangnya jika hanya berdua dengan Mas Ezar di kamar. Eya!Begitu musik mulai mengalun, aku membuka ponsel dan melihat lirik la
Belum sempat kusambut uluran tangan Ahsan, Mas Ezar yang entah muncul darimana lebih dulu menyambut tangan duda beranak satu itu. “Kami baik,” katanya sambil menarik pinggangku posesif hingga tubuh ini menabrak tubuhnya. “Duh, pocecip detected,” ucap Kak Akmal pelan. Dia sampai menutup mulut dan menoleh ke arah lain. Ia terlihat susah payah menahan tawanya. Ahsan tersenyum tipis. Barangkali menyadari kecemburuan Mas Ezar padanya. “Maaf ini, Mas, karena datang gak diundang. Cuma ikut-ikutan Kak Akmal,” kekeh Ahsan tak enak hati. “Gak apa-apa. Malah senang kalau banyak yang datang.”Mas Ezar mengulas senyum tipis berlagak sangat ramah. Padahal, kutahu hatinya tengah meradang melihat Ahsan mengulurkan tangannya padaku tadi. Dia pasti mengingat kejadian di pernikahan Vina kemarin, di mana saat itu Ahsan melamarku. Barangkali, sekarang ia tetap takut istrinya masih diincar oleh duduk beranak satu itu.
“Jangan cantik-cantik, Sayang. Aku takut nanti malah banyak yang naksir kamu di sana.” Lengan kekar Mas Ezar tiba-tiba saja sudah melingkar di perutku. Bahkan, kini hidungnya pun semakin liar menjelajahi leher ini.Ia sesekali memejamkan mata, kulihat dari cermin di hadapan kami..“Kalau aku jelek yang ada nanti kamu malu bersanding denganku. Katanya mau didampingi meresmikan resto,” ujarku masih mengoles tipis-tipis lipstik ke bibir. “Iya, tapi kalau cantiknya kebangetan aku takut kamu digodain laki-laki lain. Kamu gak pake makeup aja aku pede aja gandeng kamu, kok,” tutur Mas Ezar.Dia masih memeluk erat tubuh ini dari belakang. Napasnya yang hangat sesekali menyapu lembut di kulit leherku, aku bisa rasakan itu. “Aku yang malu tampil dengan muka burik tanpa polesan walau tipis, takut kebanting kegantengan Pak Dosen.”"Hmm, ya udah. Ayo kita pergi,” ajak Mas Ezar. Aku mengecek jam tangan, ternyata sudah puk
Sampai di rumah Ayah, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Habis perjalanan jauh dari Jakarta ke Makassar rasanya capek banget.Padahal, tadi di pesawat cuma duduk doang. Tak sedang mencoba goyang ngebor sambil kayang. Mungkin efek hamil juga jadi badan serasa pegal-pegal dari ujung kepala hingga ujung kaki.Entah berapa lama aku istirahat sampai tertidur hingga kembali terbangun saat alarm pengingat meeting berbunyi. Sore ini, aku memang ada meeting online dengan Bu Aina dan para karyawan Aina Fashion. Begitu meeting berakhir, aku keluar kamar dan mendapati Mas Ezar yang sedang main ular tangga dengan Elizha di ruang tengah. ‘Astaga, laki gue mau-mau aja diajak main ular tangga.’Aku tertawa cekikikan melihat wajah Mas Ezar kayak ditekuk bak orang terpaksa. Aku tebak, dia pasti dipaksa nemanin main oleh Elizha. Soalnya, anak itu kalau keinginannya ditolak suka ngambek sampai 7 hari 7 malam. “Udah gede
“Sayang, dia tadi cuma nanya kabar, jangan salah paham, ya.”Nanya kabar? Penting amat gitu tahu kabar suami orang? Mas Ezar langsung duduk di sampingku, tapi aku sengaja tak memedulikan. Terlihat jelas dari gelagatnya kalau dia bingung bagaimana cara menjelaskan keberadaan Manda padaku? Ah, kurasa hatinya sedang gundah gulana, takut aku marah padanya. Kuraih ponsel dan pura-pura sibuk chat-an untuk menambah kesan judes ini. “Zar, Sha ... karena kebetulan kita ketemu di sini ....” ‘Lah, terus kenapa kalau ketemu di sini? Mau kopral sambil kayang?’“Jadi, sekalian aja gue minta maaf dan pamit pada kalian, terkhusus pada lu, Zar,” lanjut Manda.Setidaknya, aku memasang telinga baik-baik untuk lebih memperjelas pendengaran.Benarkah dia minta maaf? ‘Tumbenan banget seorang Manda minta maaf? Gak salah orang gue, kan, ya?’Takutnya aku cuma mimpi dan pas bangun malah ketampa
Sore ini, ketika pulang dari rumah sakit menjenguk Kak Kyra, aku mengajak Mas Ezar untuk ke makamnya Almarhumah Mika.Sebelumnya aku juga sudah janjian dengan Vina untuk bertemu di gerbang masuk pemakaman.Setelah bertemu Vina, kami sama-sama menyusuri makam hingga berhenti di sebuah makam yang di nisannya bertuliskan nama Ditya Diatmika binti Gilang Baskara. Aku dan Vina berjongkok secara bersamaan disusul oleh Mas Ezar dan Kak Akmal yang juga ikut berjongkok di samping kami.Sejurus kemudian, aku dan Vina bergantian menyiram air ke tanah makan, menabur bunga untuk Mika, dan bersama-sama membacakan doa untuknya. “Mika, terima kasih banyak atas semua warna yang pernah lu berikan pada hidup gue. Saat hidup gue suram, lu yang datang dan susah payah menghibur walau mulanya gue gak pernah ngerespons baik kedatangan lu di masa laluJahatnya gue, karena berpikir kalau lu sama pengkhianatnya dengan orang-orang yang gue kenal sebelumny
Aku yang penasaran dengan wujud Baby Boy Kak Ghazaar dan Kak Kyra tak bisa menunggu lama lagi untuk melongoknya. Selesai sarapan dan mandi, aku langsung mengajak Mas Ezar ke rumah sakit. Untungnya, karena dia tak banyak neko-neko. Sampai di rumah sakit, Mas Ezar langsung membuka pintu ruang rawat Kak Kyra hingga perhatian semua orang yang fokus pada Baby Boy beralih ke kami sebentar. “Assalamualaikum,” ucap kami kompak.Di ruangan sudah ada Bunda, Papa, Kak Ghazaar, ibunya Kak Kyra, juga Bu Aina yang tampaknya malah sudah bergegas untuk pulang."Waalaikumsalam,” jawab mereka kompak.“Gak jodoh banget sama ponakan ganteng dan cantik yang satu ini. Giliran mereka datang, Tante mau pulang,” ujar Bu Aina. “Kenapa buru-buru, Bu?” tanyaku. “Mau ke butik. Ada klien yang nungguin di sana.”Kuanggukkan kepala berulang kali tanda mengerti. “Ibu gak ke toko kan?” tanyaku memicing. “Kenapa emang?” tanya wanita berhijab itu menyelidik. “Soalnya Asha bolos,” ucapku jujur, sengaja memasang eks
Bunda Ola tersenyum tipis, lalu celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. “Itu dia orangnya.” Ibu mertuaku itu menunjuk dua orang pria yang kegantengannya tak diragukan lagi tengah berjalan beriringan ke arah kami. “Selamat ya, Nak.” Papa menyodorkan tangan yang langsung kusambut dan mencium punggung tangannya dengan takzim. “Mau lanjut kuliah magister di UNNUS juga, gak?” tanya Papa. Aku terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Nanti dipikir-pikir lagi, Pa. Kalau gak mager, boleh di-gas tanpa rem.”Aku beralih menatap Mas Ezar yang sedari tadi hanya tersenyum tanpa membuka suara. Satu tangannya berada di belakang, entah apa yang disembunyikan itu? Aku berusaha mengintip, tapi pria tampanku itu bergeser seolah tak membiarkanku melihatnya.“Bawa apa, sih?” tanyaku penasaran. Seketika itu, Mas Ezar mengusap-usap kepala ini pelan dan langsung mengeluarkan benda dari balik punggungnya.