Padahal Yuksel nampak marah. Tapi, begitu berhadapan langsung dengan tetangganya, dia justru tersenyum. Aruna membingkai serius ekspresi pria itu dari dalam mobil.
"Apa dia berkepribadian ganda?" gumam Aruna penuh rasa penasaran.Terlihat pria itu mengeluarkan dompet dan memberi sejumlah uang, yang berhasil membuat Aruna membulatkan mata. Entah berapa jumlahnya, namun Aruna yakin. Jumlahnya tidak sedikit.Yuksel berjalan ke arahnya dan mengetuk kaca mobil. "Turun."Aruna pun menurut dan matanya bertemu dengan tetangga begitu keluar mobil. Baik Aruna mau pun tetangganya, sama-sama melempar senyuman."Aku membayar lumayan mahal karena kelakuanmu, kau berhutang padaku, jadi jangan menolak menikah denganku," bisik Yuksel.Dia ternyata pria yang picik. Menggunakan alasan menabrak dan membayar ganti rugi atas keniatannya yang ingin kabur, untuk menjeratnya dalam status pernikahan."Nak Aruna, kalau bukan calon suami, sudah bapak laporkan ke RT," ujar tetangganya membuat Aruna menoleh pada Yuksel."Terima kasih karena Bapak sudah berbelas kasih," sahut Yuksel sembari tersenyum."Aih, bapak ini sudah melihat Aruna tumbuh sejak kecil."Kepala Aruna pun menoleh, saat pintu rumah terbuka. Ibunya berdiri di ambang pintu dan menyaksikan semuanya, apalagi perbincangan itu.***"Calon suami? Kapan ibu mengizinkanmu menikah dengannya?"Malam ini, Aruna disidang oleh ibunya di dalam kamar. Sementara Yuksel telah lama pamit pulang. Aruna menatap ibunya serius. Jika Aruna menolak pernikahan itu, maka ... Yuksel tak akan berhenti mengganggu ibunya.Mengingat tujuan pria itu bukan hanya untuk menyerahkan warisan milik ayahnya."Lantas kalau tidak menikah, aku harus bagaimana bu?" tanya Aruna berusaha tenang, "perutku bakal terus membesar."Diana menarik napas cukup panjang. "Apa kau tergoda ketampanannya? Sehingga kau hamil anaknya?"Aruna terdiam. Yuksel memang lebih tampan dari Adrian, tapi hatinya sudah berlabuh untuk artis yang tak bertanggung jawab itu. Dan alasannya bukan karena wajah, tapi rasa nyaman ketika bersama Adrian."Setidaknya aku tidak membuat Ibu malu, karena dia mau menikahiku," ujarnya pelan.Namun membuat ibunya terlihat marah. "Kau pikir tindakanmu ini benar? Berani hamil karena janji bakal dinikahi? Di mana harga dirimu sebagai wanita hah?"Aruna berkaca-kaca mendengarnya. Benar, entah di mana Aruna meletakkan harga dirinya itu? Diana menatap Aruna jauh lebih serius."Pasti semua tetangga cepat atau lambat tahu hubungan kalian karena kejadian tadi, segera menikahlah sebelum anakmu ketahuan," ujar ibunya terlihat tak ada rencana lain."Setidaknya, dia lahir bukan tanpa ayah," lanjut ibunya dan mulai meninggalkan kamar.Aruna menggigit bibirnya dan menahan tangis. Menerima pernikahan pria lain, itu artinya Aruna harus siap melupakan setiap kenangan berharganya dengan Adrian."Bodoh, kenapa aku masih memikirkan pria yang tak mau bertanggung jawab seperti dia," gumam Aruna dan mulai mengusap matanya.Esok harinya. Aruna sibuk kuliah dengan sangat berusaha menahan rasa ingin muntahnya. Bisa kacau jika ia sampai ketahuan, apalagi Aruna kuliah dengan jalur beasiswa.Selepas kuliah, Aruna mampir ke asrama. Tempat tinggalnya dengan ketiga sahabat karibnya. Sekarang, Aruna harus meninggalkan asrama karena dalam hitungan hari, pernikahannya akan tiba."Na, serius mau nikah?"Tangan Aruna terhenti sejenak dari kegiatannya memasukkan baju, kemudian menoleh pada Tiara. Aruna tersenyum manis."Serius, bahkan undangan pun besok mulai disebar."Intan berdecak sembari mengayunkan kaki di atas ranjang. "Memangnya tidak repot, kuliah sambil nikah?""Ya, apalagi nanti kalau punya anak. Waktumu hanya akan tersita untuk anak dan suami, lalu kuliahmu?" tanya sahabatnya yang lain, dia bernama Susan.Aruna kembali tersenyum. "Dia pria yang kaya, kalian bisa tenang."Jari Aruna mulai menghitung. "Suami? Tidak perlu aku yang urus, dia terbiasa dengan pembantu. Anak? Dia bisa menyewa baby siter saat aku kuliah. Lalu kuliahku? Tentu saja akan berjalan lancar."Tiara terdiam dan menatap ekspresinya yang memang tidak dibuat-buat, tapi hatinya ingin tertawa. Benci tapi ia memuji-muji Yuksel serta kekayaan pria itu.Ponsel yang bergetar membuat Aruna meraih dan menatap serius. Nomor yang kemarin berbincang dengannya, Yuksel."Aku sudah di depan gedung asramamu, keluarlah," ujar Yuksel begitu Aruna mengangkat telepon."Kalau begitu tunggu aku."Setelah Aruna mematikan telepon. Ketiga sahabatnya menatap padanya dengan ekspresi penasaran. Kemudian terburu membuka gorden, melalui jendela ini. Mereka bisa melihat Yuksel yang berdiri menyender pada bodi mobil dengan mata mengawasi. Kemudian melambai tersenyum pada ketiga sahabatnya."Wah! Pantas kau mau diajak menikah," ujar Susan sembari tersenyum lebar."Benar, dia sangat tampan!" puji Intan juga.Sementara Tiara hanya diam dan menatapnya cukup serius. Hal itu membuat Aruna melirik dan langsung tersenyum."Dia sangat tampan, aku tidak akan menyesal menikah dengannya," ujarnya masih tersenyum.Tapi, setelah membuat satu asrama heboh dengan Aruna yang dijemput oleh Yuksel. Bibir Aruna cemberut di dalam mobil, membuat Yuksel yang mengemudi melirik."Bukannya tadi masih bahagia, begitu naik mobil langsung kembali ke sifat aslimu," sindir Yuksel.Aruna menoleh dengan wajah kesal. "Aku mengizinkanmu datang karena ketiga sahabatku penasaran, tapi tidak perlu semua orang tahu masalah pernikahan ini."Yuksel menyeringai. "Pernikahan akan diadakan dengan megah, jadi untuk apa disembunyikan?""Megah?" ulang Aruna kaget."Menurutmu? Cucu satu-satunya dari Pradipta generasi pertama akan menikah, apakah pernikahannya hanya dilakukan di KUA?" sindir Yuksel.Mendengarnya membuat Aruna terdiam. Ia telah lupa, siapa yang dirinya nikahi. Yuksel Pradipta, pria dari keluarga kaya. Jika saja dia memiliki orang tua atau kakek, kemungkinan pernikahan ini tak akan terwujud.Sayangnya, tak ada satu pun yang melarang Yuksel menikah dengannya, wanita dari keluarga miskin."Beberapa hari lagi, kita akan menikah. Bukankah kau harus segera menyelesaikannya?" tanya Yuksel membuatnya menoleh.Kepala Aruna pun tertunduk. Memberi tahu pria yang ia cintai mengenai pernikahannya dengan pria lain, itu adalah hal yang sulit."Jika masih belum kau atasi pria itu, maka aku yang akan turun tangan," ujar Yuksel sekaligus terdengar mengancam."Tidak usah! Aku saja."Sementara itu, di studio musik. Adrian keluar dari ruang record dan mendekati sang manajer sembari tersenyum."Aku sudah bisa pulang kan?"Manajer bernama Lusi ini menyipitkan mata dan berbisik, "kau mau menemui kekasihmu?""Tentu saja, setelah lelah dengan pekerjaan, aku butuh energi dari pelukannya," sahut Adrian terdengar ceria.Lusi tersenyum dan mengikuti sang artis. "Meski begitu, kau harus berhati-hati. Sekarang kau seorang publik figur, kamera bisa menangkapmu kapan dan di mana pun.""Ya aku tahu, kau tidak usah menasihatiku lagi."Lusi menghela napas melihat Adrian yang berjalan lebih cepat."Aku dengar pamanmu akan menikah."Adrian langsung menyamai langkah kaki dengan Lusi. "Paman yang mana?""Pamanmu, Yuksel Pradipta. Pemilik perusahaan Horation."Adrian langsung tertawa. "Akhirnya dia memandang wanita, aku jadi penasaran. Siapa yang berhasil membuat pamanku tertarik hingga ingin menikah.""Namanya Aruna," ujar Lusi mulai terlihat serius.Adrian tersenyum lebar. "Kebetulan sekali, namanya sama dengan kekasihku. Aku pergi dulu, sudah tak sabar ingin bertemu Aruna."Kaki Lusi terhenti dan mata menatap punggung Adrian yang berlari itu, kemudian menghela napas. "Bodoh, calon istri pamanmu dan kekasihmu adalah Aruna yang sama."Adrian nampak menghubungi Aruna sepanjang perjalanan. Namun, berakhir dengan mengerutkan dahi. Karena Aruna tak kunjung mengangkat telepon.Adrian menarik napas. "Sebenarnya sedang apa kamu Aruna? Dua hari ini tidak ada kabar darimu."Pria itu memilih menepi di sudut jalan dengan raut bingung. Tidak tahu alamat rumah Aruna sama sekali, selama berpacaran karena terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa menanyakan."Atau dia ada di asrama ya?"Adrian memutuskan untuk menemui Aruna di kampus. Namun, ragu karena di sana banyak sekali orang yang kemungkinan akan menimbulkan gosip. Adrian pada akhirnya memilih pulang dan menunggu kabar dari Aruna.Sementara Aruna sendiri sedang sibuk mencoba gaun pengantin di balik gorden. Bibir Yuksel menyeringai, setelah mengambil ponsel milik Aruna di atas meja."Adrian ini artis yang itu kan?" tanya Yuksel dengan mata melirik sekretaris."Benar sekali Pak."Yuksel kembali menyeringai. "Bukankah dia keponakanku? Golongan kerabat dari generasi kedua."Ke
Hari pernikahan telah tiba. Aruna berada di sebuah ruangan khusus setelah dirias. Aruna menarik napas dengan gugup, sembari menatap wajahnya yang kini telah dipoles dengan indah. Padahal, ia tahu jika pernikahan ini bukanlah pernikahan yang didasari cinta. Tapi, mengapa dia segugup ini?"Sudah saatnya untuk pengantin wanita keluar."Sebuah suara mengejutkan lamunannya, seseorang menghampiri Aruna, bahkan membantunya berdiri dengan gaun pernikahan yang sangat lebar dan berat ini. Aruna berjalan memasuki altar pernikahan, telah duduk Yuksel di kursi bersama penghulu.Mata Aruna mencari seseorang di antara keramaian. Ia ingin menikah dengan ayahnya sebagai wali, namun menghadiri pernikahannya saja dirasa mustahil. Namun, bibir Aruna mengulas senyum saat menemukan ibunya duduk di sekitar altar. Meski sempat melengos dengan raut kesal saat mata berpandangan."Baiklah, kita mulai ijab kabulnya."Pandangan Yuksel yang semula tertuju pada Aruna, mulai melirik penghulu yang mengulurkan tangan,
Jemari Yuksel menyentuh dagu Aruna, dia tahu tubuh istri bergetar, antara menahan rasa takut juga amarah. Namun, Yuksel tidak ingin berhenti.Wajah mendekat dan ingin mengobrak-abrik mulut Aruna dengan lidahnya. Namun, tangan Aruna mendorong pundak Yuksel."Anda jangan lupa, saya bukan hanya seorang istri. Saya juga seorang ibu yang sedang hamil muda."Mendengar perkataan itu. Yuksel mendapati mata Aruna yang nampak penuh tekad. Cara terbaik untuk menghindari malam pertama dengan suami, hanyalah anak di kandungannya. Yuksel tersenyum sinis, kemudian mulai bangkit dari tubuh Aruna. Jantungnya berdetak sangat kencang, tak pernah terpikir olehnya untuk berbagi kehangatan tubuh dengan Yuksel."Jadi, kamu sedang menegaskan bahwa kamu tidak boleh disentuh?"Aruna mulai terduduk di ranjang, mata menyorot sengit ke arah Yuksel. Meski secara hukum status pria ini adalah suami baginya. Namun, menurut Aruna mereka hanyalah dua orang yang saling memanfaatkan."Pada trimester pertama, lebih baik
Mata Aruna memandang pembantu dengan tidak mengerti. "Senin dan kamis?"Pembantu tersenyum. "Benar sekali, Nyonya.""Selain hari itu, kalian tidak akan makan bersama. Meja makan ini adalah tempat pertemuan nanti."Aruna memandang meja yang ada di hadapannya, kemudian sempat menyeringai. Yuksel sedang bermain dengannya. Bukan hanya tidak ingin menampakan batang hidung pada Aruna. Bahkan jadwal makan saja diatur dan tidak disampaikan sendiri."Lantas di mana tuan Yuksel?""Tuan sedang bekerja, Nyonya."Aruna mengangguk mengerti. Jadi, untuk hari ini sampai lusa, Aruna tidak akan menatap atau bertemu dengan Yuksel. Karena pria itu tidak akan pulang ke rumah ini.Aruna mulai memahami, semenjak tinggal di sini. Yuksel hanya datang pada hari tertentu dan memperlakukan Aruna selayaknya wanita selingkuhan.***"Nyonya sepertinya merasa bosan."Yuksel menyibak halaman dokumen dengan mata menatap lekat. Namun, mendadak perhatian teralihkan setelah mendengarnya. Yuksel mengangkat pandangan dan
"Siapa juga yang mau cium?" keluh Aruna pelan.Aruna merasa malu karena ketahuan menatap suami sendiri. Yuksel pasti sedang berpikir buruk tentangnya. Begitu selesai berbelanja. Aruna pikir, Yuksel akan masuk ke mobil setelah memasukkan belanjaan di kursi belakang. Tapi, Yuksel menatap Aruna yang berjalan mendekat."Kita jalan sebentar, cari angin," ujar Yuksel sembari menunjuk jalanan.Mata Aruna saling berpandangan dengan Yuksel. "Baiklah."Setelah mendapat persetujuan dari Aruna. Yuksel terlihat berjalan mendahului, membuat Aruna mengikuti. Mereka berdua saling diam satu sama lain, Aruna mengatur napasnya yang gugup."Aku dengar kamu bosan di rumah," singgung Yuksel.Ketika Aruna melirik, Yuksel langsung menoleh. Hingga mata kembali berpandangan, terburu Aruna menurunkan wajahnya. "Sedikit."Yuksel mengangguk mengerti. Namun, tak menyahut sama sekali. Membuat suasana di antara mereka canggung, padahal jalanan nampak ramai.Rasa mual yang semula muncul karena pemicunya aroma dagin
Matahari merengkuh bumi dengan santai. Berbeda dengan Aruna yang sedang memandang pembantu bernama Tuti amat serius. Wanita itu kerap datang dan pergi dari pintu gerbang belakang. Lantas pandangan Aruna tertuju pada rumah di sebelah. Semua gorden tertutup, seolah tidak mau mengekspos diri. Lagi, sebuah mobil Pajero mulai pergi dari rumah itu pada jam yang sama setiap harinya. Aruna menutup gorden dan melirik ke arah pintu kamarnya."Tiga, dua, satu."Aruna memandang pintu yang diketuk dan perlahan dibuka oleh Tuti. Raut yang sama, napas sedikit sulit dikendalikan dan keringat tipis di wajah."Tuan Yuksel ke mana?""Tuan sudah pergi ke kantor, Nyonya."Aruna mengangguk mengerti. Sekarang dirinya sudah menyimpulkan, bahwa penghuni di rumah sebelah tak lain adalah suaminya sendiri. Tuti nampak heran dengan Aruna yang hampir tiap hari menanyakan Yuksel. Namun, pembantu tersebut langsung tersenyum lebar."Apa Nyonya merindukan, tuan? Mau saya sampaikan padanya?" tawar Tuti begitu ceria.
"Saya tidak mau," ujar Aruna sedikit menghindar.Aruna mulai takut, ketika lutut Yuksel berada di antara kedua kakinya. Sementara tubuh lebih dekat dari sebelumnya. Yuksel meraih dagu Aruna dan mata begitu fokus pada bibirnya."Layani suami, itu bukan hal tabu, Aruna."Jemari Aruna mendorong Yuksel untuk menjauh. Namun, bibirnya sudah lebih dulu dikecup. Yuksel yang tertarik, mulai merengkuh leher dan pinggangnya. Memperdalam ciuman dan lidah menjelajahi mulutnya.Aruna benar-benar merasa tidak ada harapan, karena Yuksel cukup antusias dan menunjukan hasrat pada Aruna. Mengangkat tubuh Aruna dan membawanya ke ranjang."Tuan, sebaiknya kita jangan seperti ini," tolaknya sembari berusaha memberontak."Diam, nanti kamu jatuh."Yuksel menjatuhkan tubuh Aruna perlahan di atas ranjang. Aruna tak diberi kesempatan untuk kabur, karena tangan dicekal sementara dia membuka kancing kemeja satu persatu. "Saya lagi hamil," ujarnya dengan mata menghindar.Otot perut Yuksel mulai terpampang jelas k
Mata Aruna menatap Adrian dengan sorot marah. Rindu? Selama ini Adrian sama sekali tidak mencari keberadaannya. Bahkan, Aruna mendapat kabar bahwa Adrian akan mengeluarkan album baru dalam waktu dekat. Melihat Aruna yang hanya bergeming, membuat Adrian tersenyum dan melangkah maju untuk memeluk."Berhenti di sana."Adrian tak menuruti permintaannya, terus melangkah dan merentangkan tangan. Namun, melihat Aruna yang minggir, membuat pria tersebut hanya berhasil memeluk angin.Mata Adrian menatap terkejut padanya. "Sayang, ada apa? Kenapa kamu menghindari aku?"Aruna tatap Adrian serius. "Kamu lupa, statusku yang sekarang bagimu, Adrian?"Mendengar hal itu, Adrian tersenyum miris. Pria tersebut tak menerima kenyataan, bahwa Aruna telah menikah dengan sang paman. Mata Adrian yang menatapnya nampak memerah. "Kesepakatan apa yang kamu dan pamanku buat, Sayang?""Berhenti memanggil seperti itu, kamu sudah tidak pantas."Tangan Adrian langsung mengepal. Merasa kesal dengan Aruna yang mulai
Beberapa minggu telah berlalu. Terlihat Yuksel di ruang kerja sibuk mendengarkan percakapan yang direkam secara diam-diam. Yuksel berusaha mengenali suara-suara yang bicara. Mereka membicarakan masalah penjualan organ dan penculikan. Namun, Yuksel tidak berhasil mengenali suara mereka. Yuksel menarik napas. "Kenapa tidak ada bukti rekaman video?" Tangan Yuksel melepaskan earphone dan berhenti mendengarkan rekaman suara. Pintu ruang kerja diketuk sebentar dan terlihat Aruna memasuki ruangan dengan secangkir teh di tangan. Bibir Yuksel langsung mengulas senyum dan menutup laptop. "Kemarilah, Aruna!" pinta Yuksel dengan tangan menepuk pangkuan sendiri. "Aku datang hanya untuk memberikan teh saja, Mas." Mata Yuksel menatap lekat secangkir teh yang sudah diletakkan oleh Aruna. Namun, melihat istri yang berdiam diri di depan meja kerja membuat Yuksel tersenyum. Lantas, dia berdiri dari duduk dan menghampiri Aruna yang menyerahkan permen jahe. "Makanlah ini Mas, supaya t
Yuksel tatap mata Aruna dengan serius. Kuliah sang istri tetap saja tidak bisa dilanjutkan, sekali pun jabatan dia tinggi dan namanya mempengaruhi keseimbangan ekonomi di kota ini. Jika Yuksel biarkan Aruna tetap kuliah. Bukan hanya cemoohan orang yang akan istri dengarkan, tapi protes serta demo kemungkinan akan dilakukan. Demi mengeluarkan Aruna dari kampus."Jadi, aku tidak bisa kembali kuliah, ya?" Aruna langsung berkesimpulan, karena melihat suami yang hanya diam saja.Tiba-tiba saja Yuksel mendekat dan menaiki brankar ranjang. Bahkan sudah merebahkan diri di sisinya. Aruna masih menunjukkan ekspresi kaget."Mas, apa yang sedang kamu lakukan?"Yuksel bahkan menarik Aruna dengan pelan untuk berada di dekapan suami. Yuksel langsung memejamkan mata, tentunya Aruna bisa melihatnya."Dari pada memikirkan hal yang memusingkan. Lebih baik kita tidur.""Tapi ini masih siang," ocehnya."Biarkan aku tidur, aku sudah terjaga lama selama menjagamu."Aruna masih melirik suaminya. "Jadi, apa
Aruna langsung menatap suaminya kaget. "Kenapa aku harus menyukai kamu, Mas?""Ya, karena aku suka sama kamu.""Itu sangat tidak masuk akal!" serunya.Yuksel menyilangkan tangan di dada. Dia tatap istri yang nampak tidak senang. Padahal cinta dari dia sangatlah berharga. "Masuk akal, karena aku suami kamu. Memangnya ada yang kamu sukai selain suami?"Aruna menatap suaminya dengan tidak percaya. Sebenarnya dari mana sifat kepedean dari suaminya ini.Pandangan Yuksel melirik pada bibirnya. "Aku ingin cium kamu."Begitu mendengar ucapan dari Yuksel. Aruna langsung berbalik dan memunggungi suami. Yuksel sampai menyeringai karena diabaikan oleh istri.Yuksel ingin kembali menggoda istri, dia bangun dari duduk dan ingin mendekati ranjang. "Mba Tuti bagaimana keadaannya?"Namun, begitu mendengar pertanyaan dari Aruna. Niat Yuksel untuk menggoda pun langsung terhenti. Bahkan, dia memutuskan untuk kembali menghuni kursi dan duduk di sana."Tuti? Dia baik."Aruna menatap jendela dengan sediki
Mendengar ucapan dari Yuksel. Pandangan Aruna pun mulai terangkat. Benar, kenapa tidak terbesit secuil pun dalam pikirannya mengenai itu."Kamu selalu cemas ayahmu aku sakiti. Sekarang aku tahu siapa dan keberadaannya. Nampaknya kamu tidak cemas sama sekali," sindir Yuksel.Aruna tersenyum sinis. Matanya memandang langit-langit kamar. Perutnya saat ini semakin rata saja, karena telah kehilangan isinya."Aku tidak ingin memikirkan apa pun hari ini," ujarnya dengan mata mulai terpejam.Yuksel diam cukup lama. Memandang ke arah jendela yang sedang memunculkan adegan hujan. Kilatan petir samar terdengar, namun cahayanya membelah langit."Adrian sudah tahu."Mata Aruna kembali terbuka saat mendengar ucapan dari Yuksel. Bahkan kepalanya menoleh dengan cepat."Mas bercanda, kan?"Yuksel menatapnya lama. "Menurutmu, aku sedang bercanda begitu?"Mata saling bertatapan dengan suami. Tidak ada kebohongan sama sekali di pandangan suaminya. Aruna tak sanggup lagi menatap, ia turunkan pandangan.Ar
Ayah Aruna nampak mengemudi dengan ugal-ugalan. Tidak peduli diklakson banyak pengendara. Ayah Aruna memaksakan diri mendatangi rumah sakit tempat Aruna dirawat.Pria tersebut, tidak peduli jika bertemu Yuksel dengan identitas yang telah terbongkar. Fokus pria tersebut hanyalah pada Aruna. "Yuksel!"Yuksel yang semula menundukkan wajah dengan posisi duduk pada kursi tunggu. Perlahan, Yuksel mengangkat kepala. Mata menatap sosok ayah tiri Adrian yang nampak kehabisan napas."Bagaimana keadaan Aruna?"Bibir Yuksel menyeringai. Mangsa justru masuk ke kandang predator dengan kaki sendiri."Jangan diam saja! Bagaimana keadaan Aruna?"Pria ini nampak tidak sabar sama sekali. Yuksel melirik ke arah pintu kamar rawat Aruna yang ditutup rapat. "Kita bicara di tempat lain."Yuksel sudah berdiri dari duduk. Dia tidak ingin mengganggu Aruna yang tidur terbangun, kemudian dalam kondisi yang lemah malah memilih mengejar sang ayah.Mata Yuksel melirik ayah Aruna yang menurut mengikuti. Tanpa peras
Daris mengerjapkan mata. "Tunggu sebentar."Mata Daris menatap Yuksel serius. "Jadi, kalian berdua melakukannya karena ingin dan tidak terpaksa."Kepala Yuksel mengangguk. Daris mulai bertepuk tangan. "Wah! Sepertinya kalian berdua sudah di tahap saling nyaman, kemudian akan--"Yuksel melempar berkas acak ke arah Daris. "Bereskan berkasnya!""Loh, bukannya Tuan yang mengacaknya sendiri?"Mata Yuksel menatap tajam, membuat Daris menarik napas. Bukan Yuksel namanya jika tidak menyiksa orang.Daris membereskan tumpukan berkas yang jadi berserakan. Tatapan Yuksel tertuju pada sekretaris cukup serius."Aku tidak menaruh rasa pada Aruna. Aku hanya merasa kasihan saja padanya," ujar Yuksel memberi tahu.Namun, Daris diam-diam melirik. Padahal pria tersebut tidak menyinggung perihal perasaan Yuksel sama sekali. Hanya soal mereka yang mulai nyaman.Ekspresi Yuksel mulai terlihat serius kembali. Dia telah mengetahui keberadaan ayah Aruna. Hanya perlu memikirkan cara yang sempurna untuk menangk
Mendadak Yuksel berhenti mencium. Dia menjauhkan kepala dengan mata menatap berhasrat pada Aruna. Yuksel menarik napas, kemudian benar-benar menjauh.Yuksel menyugar rambut. Bagaimana bisa dia bersikap seperti ini? Padahal istri mengeluh perut kram. Yuksel jelas bukanlah binatang."Mas."Ketika Yuksel menoleh. Sebuah kecupan dia dapatkan dari Aruna. Bahkan Aruna yang tidak pandai ini, mencoba untuk tetap melumat.Tangan Yuksel meraih wajah Aruna. "Jangan bangkitkan hasratku, Aruna."Jarak di antara mereka berdua benar-benar tipis. Suara napas Yuksel mulai memberat, membuktikan hasrat sepenuhnya sudah bangkit.Perlahan, jemari Aruna merambat di baju suami. Kemudian mencoba melepas kancingnya satu persatu. Mata Yuksel tersita untuk melirik perbuatan dari Aruna."Aruna," sebut Yuksel."Tidak apa, aku masih bisa melayani."Entah apa yang merasuki Aruna. Ia juga justru ingin disentuh oleh suami. Sentuhan yang membuat dirinya melayang dan merasa damai."Aku mungkin akan menggila, tapi sebis
Yuksel memasuki rumah dengan raut serius. Dia memikirkan siapa yang mengawasi rumah diam-diam. Apalagi seorang pria paruh baya.Namun, saat melihat Aruna menyibukkan diri di dapur. Membuat Yuksel mulai menyadari sesuatu. "Bisa saja itu ayah dari Aruna," gumam Yuksel pelan.Mendengar ada suara yang melangkah. Aruna berhenti sejenak dari kegiatannya. Bahkan mematikan kompor, hal itu membuat Yuksel berjalan mendekati."Apa yang sedang kamu buat, Aruna?"Dengan senyuman, Aruna menjawab, "aku membuat buah dilapisi gula. Rasanya manis di luar asam dan segar di dalam."Kepala Yuksel mengangguk. "Kalau begitu makanlah.""Apa ... Mas tidak ingin memakannya?"Mata Yuksel menatap strawberi dilapisi gula buatan istri. Ini jelas bukan makanan yang disukai oleh Yuksel."Ibunya yang ingin makan atau anaknya?" tanya Yuksel.Aruna tersenyum. "Ibunya."Kepala Yuksel mengangguk mengerti, kemudian mengambil satu tusuk. Menggigit sedikit, namun suara renyah sampai terdengar membuat Aruna tersenyum."Baga
Aruna mulai kembali ke ruangan dan sempat menatap pada Yuksel yang sedang menelpon di dekat jendela. Aruna menatap makanan di atas meja dengan tidak minat.Namun, demi anaknya. Aruna harus duduk dan memulai makan. Yuksel menoleh karena mendengar suara alat makan yang Aruna gunakan."Ya, tetap seperti itu saja."Yuksel menggeser kursi dan duduk di sebelahnya. Memandang ke arah Aruna yang makan sembari melamun. Bahkan mata sedikit bengkak, hal itu membuat Yuksel menatap lama.Aruna yang menyadari ditatap suami, langsung mengangkat kepala dan membalas mata Yuksel."Ya lakukan saja."Yuksel sepenuhnya mengakhiri telepon dan mengusap sudut mata Aruna."Kamu menangis?"Aruna langsung menghindar dan memalingkan muka. "Aku tidak menangis."Yuksel menarik napas dan terus saja memandang ke arahnya. Tangan Aruna langsung mendorong wajah suaminya untuk menatap ke arah lain. "Jangan terus menatap!" pintanya."Katakan!" pinta Yuksel juga.Jemari Yuksel mengetuk permukaan meja dengan raut tak sabar