Hari pernikahan telah tiba. Aruna berada di sebuah ruangan khusus setelah dirias. Aruna menarik napas dengan gugup, sembari menatap wajahnya yang kini telah dipoles dengan indah. Padahal, ia tahu jika pernikahan ini bukanlah pernikahan yang didasari cinta. Tapi, mengapa dia segugup ini?
"Sudah saatnya untuk pengantin wanita keluar."Sebuah suara mengejutkan lamunannya, seseorang menghampiri Aruna, bahkan membantunya berdiri dengan gaun pernikahan yang sangat lebar dan berat ini. Aruna berjalan memasuki altar pernikahan, telah duduk Yuksel di kursi bersama penghulu.Mata Aruna mencari seseorang di antara keramaian. Ia ingin menikah dengan ayahnya sebagai wali, namun menghadiri pernikahannya saja dirasa mustahil. Namun, bibir Aruna mengulas senyum saat menemukan ibunya duduk di sekitar altar. Meski sempat melengos dengan raut kesal saat mata berpandangan."Baiklah, kita mulai ijab kabulnya."Pandangan Yuksel yang semula tertuju pada Aruna, mulai melirik penghulu yang mengulurkan tangan, Yuksel pun sadar apa yang harus dilakukan.Aruna memejamkan mata, bukan karena menghayati proses pernikahan atau pun 329 juta, 100 gram logam mulia dan satu set perhiasan berlian sebagai mahar. Melainkan, bayangan pernikahan dengan Yuksel ibarat mencabuti umur Aruna dari tahun ke tahun."Bagaimana saksi, sah?" tanya penghulu kepada tamu yang hadir."Sah."Yuksel menoleh dan meraih wajah Aruna, kemudian mendaratkan kecupan di dahinya. Mata saling pandang satu sama lain, namun tidak ada percikan cinta sama sekali di antara mereka.Pernikahan yang dinilai sangat mewah itu, ditulis dalam artikel dan disiarkan secara langsung oleh beberapa chanel televisi. Bahkan salah satu kantor berita menayangkan pada panel besar milik mereka, untuk disaksikan oleh khalayak umum.Pernikahan megah itu, ditatap oleh Adrian yang sedang mengemudikan mobil. Mata sampai terbelalak saat melihat kedua mempelai di panel itu."Aruna."Tanpa memperhatikan jalanan. Adrian langsung menepikan mobil dan mendapat klakson dari beberapa pengendara. Adrian terburu keluar dari mobil hanya untuk memastikan penglihatan salah.Adrian terpaku, begitu mendapati sang paman yang bersanding di sisi Aruna sebagai mempelai. Adrian teringat dengan ucapan manajer yang memberi tahu mempelai wanita sang paman bernama Aruna."Mustahil, ini tidak mungkin." Adrian memungkiri apa yang dilihat."Bukankah itu Adrian?"Adrian sama sekali tidak peduli dengan beberapa masyarakat yang berkumpul setelah menyadari bertemu artis. Mereka mengabadikan momen saat Adrian menatap tercengang ke arah acara pernikahan itu.***Yuksel menggoyangkan wine di dalam gelas. Matanya menatap langit-langit balkon cukup lama, kemudian menatap seseorang dengan serius. Tatapannya sangat dingin, seolah siap memangsa siapapun yang mengganggunya. "Sudah kamu lakukan sesuai rencana?"Seorang pria berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Yuksel."Sudah, Tuan."Yuksel tersenyum senang. "Rilis beritanya saat aku suruh.""Baik."Ketika pintu kamar terbuka. Sekretaris Yuksel pun mulai undur diri, meski sempat tersenyum ke arah Aruna yang berjalan dengan gugup.Aruna menatap pada Yuksel yang meneguk habis wine di gelas. Meskipun pria yang kini telah menjadi suami sahnya itu terduduk menggunakan bathrobe, otot-otot kekarnya seolah menolak untuk tak tampil. Ditambah lagi dengan cahaya bulan dari jendela, seolah membuat ketampanannya semakin terlihat."Saya disuruh ke sini oleh pegawai hotel."Ya, karena malam ini mereka berada di hotel untuk merayakan malam pertama. Namun, itu sangat mustahil terjadi di antara mereka."Tentu saja, tidak lucu jika suami atau istri saling meninggalkan satu sama lain." ucap Yuksel, maniknya menatap istri lugunya itu dengan dalam.Pandangan Aruna terangkat saat Yuksel bangun dari duduk. Menutup pintu balkon dan berjalan mendekatinya. Kini, sorot mata Aruna menjadi tajam.Keberaniannya harus dikumpulkan jika sampai Yuksel main-main padanya.Melihat Aruna yang memandang sengit, membuat dia kembali menyeringai. Menjatuhkan pantat di atas ranjang, kemudian Yuksel menepuk ranjang."Duduklah dan bicara denganku.""Saya di sini saja, saya tidak tuli dan masih bisa menyahut." jawabnya. Wanita itu tak ingin rasa takutnya tertangkap basah oleh Yuksel. Yuksel menatap tertarik pada Aruna yang sudah hamil, tapi terlihat takut didekati apalagi disentuh seorang pria.Yuksel memutuskan untuk bangkit dari duduk dan langsung berjalan mendekati Aruna terburu.Tak pernah Aruna sangka, pria itu kini hanya berjarak beberapa senti dari tubuhnya, dan pria itu juga memeluk pinggangnya!
"Apa yang Anda--"
Mata Aruna terbelalak ketika tubuhnya diputar dengan begitu mudah oleh sang suami. Tak hanya itu, tak sempat Aruna melanjutkan perkataannya, bibirnya sudah langsung dibungkam oleh Yuksel. Bahkan pria ini melumat dan melepaskan lidah ke dalam untuk menjelajahi mulutnya."Lepas--"Aruna memukul dengan sering dan berusaha mendorong sekuat tenaga. Namun, hasilnya sia-sia. Yuksel semakin menjadi, bahkan mengangkat tubuh Aruna begitu mudahnya."Anda sudah gila! Anda mau bawa saya ke mana!"Yuksel tak menyahut, namun tubuh Aruna yang direbahkan di atas ranjang membuatnya takut. Apalagi dengan Yuksel yang menindih Aruna."Kamu lupa? Ini malam pertama kita sebagai suami dan istri, Aruna ..."Jemari Yuksel menyentuh dagu Aruna, dia tahu tubuh istri bergetar, antara menahan rasa takut juga amarah. Namun, Yuksel tidak ingin berhenti.Wajah mendekat dan ingin mengobrak-abrik mulut Aruna dengan lidahnya. Namun, tangan Aruna mendorong pundak Yuksel."Anda jangan lupa, saya bukan hanya seorang istri. Saya juga seorang ibu yang sedang hamil muda."Mendengar perkataan itu. Yuksel mendapati mata Aruna yang nampak penuh tekad. Cara terbaik untuk menghindari malam pertama dengan suami, hanyalah anak di kandungannya. Yuksel tersenyum sinis, kemudian mulai bangkit dari tubuh Aruna. Jantungnya berdetak sangat kencang, tak pernah terpikir olehnya untuk berbagi kehangatan tubuh dengan Yuksel."Jadi, kamu sedang menegaskan bahwa kamu tidak boleh disentuh?"Aruna mulai terduduk di ranjang, mata menyorot sengit ke arah Yuksel. Meski secara hukum status pria ini adalah suami baginya. Namun, menurut Aruna mereka hanyalah dua orang yang saling memanfaatkan."Pada trimester pertama, lebih baik
Mata Aruna memandang pembantu dengan tidak mengerti. "Senin dan kamis?"Pembantu tersenyum. "Benar sekali, Nyonya.""Selain hari itu, kalian tidak akan makan bersama. Meja makan ini adalah tempat pertemuan nanti."Aruna memandang meja yang ada di hadapannya, kemudian sempat menyeringai. Yuksel sedang bermain dengannya. Bukan hanya tidak ingin menampakan batang hidung pada Aruna. Bahkan jadwal makan saja diatur dan tidak disampaikan sendiri."Lantas di mana tuan Yuksel?""Tuan sedang bekerja, Nyonya."Aruna mengangguk mengerti. Jadi, untuk hari ini sampai lusa, Aruna tidak akan menatap atau bertemu dengan Yuksel. Karena pria itu tidak akan pulang ke rumah ini.Aruna mulai memahami, semenjak tinggal di sini. Yuksel hanya datang pada hari tertentu dan memperlakukan Aruna selayaknya wanita selingkuhan.***"Nyonya sepertinya merasa bosan."Yuksel menyibak halaman dokumen dengan mata menatap lekat. Namun, mendadak perhatian teralihkan setelah mendengarnya. Yuksel mengangkat pandangan dan
"Siapa juga yang mau cium?" keluh Aruna pelan.Aruna merasa malu karena ketahuan menatap suami sendiri. Yuksel pasti sedang berpikir buruk tentangnya. Begitu selesai berbelanja. Aruna pikir, Yuksel akan masuk ke mobil setelah memasukkan belanjaan di kursi belakang. Tapi, Yuksel menatap Aruna yang berjalan mendekat."Kita jalan sebentar, cari angin," ujar Yuksel sembari menunjuk jalanan.Mata Aruna saling berpandangan dengan Yuksel. "Baiklah."Setelah mendapat persetujuan dari Aruna. Yuksel terlihat berjalan mendahului, membuat Aruna mengikuti. Mereka berdua saling diam satu sama lain, Aruna mengatur napasnya yang gugup."Aku dengar kamu bosan di rumah," singgung Yuksel.Ketika Aruna melirik, Yuksel langsung menoleh. Hingga mata kembali berpandangan, terburu Aruna menurunkan wajahnya. "Sedikit."Yuksel mengangguk mengerti. Namun, tak menyahut sama sekali. Membuat suasana di antara mereka canggung, padahal jalanan nampak ramai.Rasa mual yang semula muncul karena pemicunya aroma dagin
Matahari merengkuh bumi dengan santai. Berbeda dengan Aruna yang sedang memandang pembantu bernama Tuti amat serius. Wanita itu kerap datang dan pergi dari pintu gerbang belakang. Lantas pandangan Aruna tertuju pada rumah di sebelah. Semua gorden tertutup, seolah tidak mau mengekspos diri. Lagi, sebuah mobil Pajero mulai pergi dari rumah itu pada jam yang sama setiap harinya. Aruna menutup gorden dan melirik ke arah pintu kamarnya."Tiga, dua, satu."Aruna memandang pintu yang diketuk dan perlahan dibuka oleh Tuti. Raut yang sama, napas sedikit sulit dikendalikan dan keringat tipis di wajah."Tuan Yuksel ke mana?""Tuan sudah pergi ke kantor, Nyonya."Aruna mengangguk mengerti. Sekarang dirinya sudah menyimpulkan, bahwa penghuni di rumah sebelah tak lain adalah suaminya sendiri. Tuti nampak heran dengan Aruna yang hampir tiap hari menanyakan Yuksel. Namun, pembantu tersebut langsung tersenyum lebar."Apa Nyonya merindukan, tuan? Mau saya sampaikan padanya?" tawar Tuti begitu ceria.
"Saya tidak mau," ujar Aruna sedikit menghindar.Aruna mulai takut, ketika lutut Yuksel berada di antara kedua kakinya. Sementara tubuh lebih dekat dari sebelumnya. Yuksel meraih dagu Aruna dan mata begitu fokus pada bibirnya."Layani suami, itu bukan hal tabu, Aruna."Jemari Aruna mendorong Yuksel untuk menjauh. Namun, bibirnya sudah lebih dulu dikecup. Yuksel yang tertarik, mulai merengkuh leher dan pinggangnya. Memperdalam ciuman dan lidah menjelajahi mulutnya.Aruna benar-benar merasa tidak ada harapan, karena Yuksel cukup antusias dan menunjukan hasrat pada Aruna. Mengangkat tubuh Aruna dan membawanya ke ranjang."Tuan, sebaiknya kita jangan seperti ini," tolaknya sembari berusaha memberontak."Diam, nanti kamu jatuh."Yuksel menjatuhkan tubuh Aruna perlahan di atas ranjang. Aruna tak diberi kesempatan untuk kabur, karena tangan dicekal sementara dia membuka kancing kemeja satu persatu. "Saya lagi hamil," ujarnya dengan mata menghindar.Otot perut Yuksel mulai terpampang jelas k
Mata Aruna menatap Adrian dengan sorot marah. Rindu? Selama ini Adrian sama sekali tidak mencari keberadaannya. Bahkan, Aruna mendapat kabar bahwa Adrian akan mengeluarkan album baru dalam waktu dekat. Melihat Aruna yang hanya bergeming, membuat Adrian tersenyum dan melangkah maju untuk memeluk."Berhenti di sana."Adrian tak menuruti permintaannya, terus melangkah dan merentangkan tangan. Namun, melihat Aruna yang minggir, membuat pria tersebut hanya berhasil memeluk angin.Mata Adrian menatap terkejut padanya. "Sayang, ada apa? Kenapa kamu menghindari aku?"Aruna tatap Adrian serius. "Kamu lupa, statusku yang sekarang bagimu, Adrian?"Mendengar hal itu, Adrian tersenyum miris. Pria tersebut tak menerima kenyataan, bahwa Aruna telah menikah dengan sang paman. Mata Adrian yang menatapnya nampak memerah. "Kesepakatan apa yang kamu dan pamanku buat, Sayang?""Berhenti memanggil seperti itu, kamu sudah tidak pantas."Tangan Adrian langsung mengepal. Merasa kesal dengan Aruna yang mulai
Bukannya merasa senang akan memimpin perusahaan secara cuma-cuma. Pria tersebut langsung menunjukkan wajah penuh beban. Hingga tangan menunjukkan tanda silang."Maaf, Tuan. Hadiah dari taruhannya sangat berbahaya bagi saya.""Berbahaya?" Yuksel sampai mengerutkan dahi."Coba bayangkan, jika saya menang jabatan tertinggi bisa dikantongi. Kalau semisal kalah?"Yuksel menatap sekretaris bernama Daris serius. Benar juga, pria tersebut tidak memiliki hal serupa seperti dirinya. "Kalau begitu, aku bakal jadi pembantu. Hal itu juga berlaku untukmu jika aku kalah."Daris kali tersebut mengangguk setuju. Sorot mata menampilkan kepercayaan diri tingkat tinggi. Pria tersebut mengenal baik siapa Yuksel. Sang atasan bukanlah pria yang mau terjerat hubungan dengan wanita, hanya karena alasan mencari info atau memanfaatkan."Apa sebelumnya, Anda sudah mengenal nyonya?""Apa ini semacam wawancara?"Daris tersenyum. "Ini hanya sebuah rasa penasaran.""Enyah," ujar Yuksel sembari menunjuk pintu.Meli
"Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan."Mata Aruna memandang lekat suaminya yang nampak menghindari sejenak. Kemudian, membalas tatapannya. "Kamu yang lebih tahu, Kak. Bagaimana caraku memakai ponsel itu."Yuksel menarik napas. "Baiklah, aku tadi tidak akan menuduhmu."Melihat Yuksel yang berjalan meninggalkan dapur, membuat Aruna menatap serius."Tolong berhenti menyadap ponsel milikku."Tubuh Yuksel langsung berhenti. Dia tak segera menoleh atau pun berbalik. Memang dia sudah ketahuan dan tak bisa lagi mengelak, namun berhenti mengawasi ponsel istri. Sebuah keputusan yang berat bagi Yuksel.Hingga perlahan, tubuh berbalik dan mata saling bertatapan dengan Aruna."Ceritakan soal ayahmu, lebih tepatnya keberadaan dia. Maka, aku akan berhenti melakukannya."Sudah Aruna duga. Yuksel sampai melakukan perbuatan tercela, hanya untuk mencari tahu keberadaan ayahnya. Aruna tidak sebodoh itu, hingga langsung menghubungi ayahnya."Aku bisa mengantar Kakak ke pemakaman--"Aruna kaget den
Beberapa minggu telah berlalu. Terlihat Yuksel di ruang kerja sibuk mendengarkan percakapan yang direkam secara diam-diam. Yuksel berusaha mengenali suara-suara yang bicara. Mereka membicarakan masalah penjualan organ dan penculikan. Namun, Yuksel tidak berhasil mengenali suara mereka. Yuksel menarik napas. "Kenapa tidak ada bukti rekaman video?" Tangan Yuksel melepaskan earphone dan berhenti mendengarkan rekaman suara. Pintu ruang kerja diketuk sebentar dan terlihat Aruna memasuki ruangan dengan secangkir teh di tangan. Bibir Yuksel langsung mengulas senyum dan menutup laptop. "Kemarilah, Aruna!" pinta Yuksel dengan tangan menepuk pangkuan sendiri. "Aku datang hanya untuk memberikan teh saja, Mas." Mata Yuksel menatap lekat secangkir teh yang sudah diletakkan oleh Aruna. Namun, melihat istri yang berdiam diri di depan meja kerja membuat Yuksel tersenyum. Lantas, dia berdiri dari duduk dan menghampiri Aruna yang menyerahkan permen jahe. "Makanlah ini Mas, supaya t
Yuksel tatap mata Aruna dengan serius. Kuliah sang istri tetap saja tidak bisa dilanjutkan, sekali pun jabatan dia tinggi dan namanya mempengaruhi keseimbangan ekonomi di kota ini. Jika Yuksel biarkan Aruna tetap kuliah. Bukan hanya cemoohan orang yang akan istri dengarkan, tapi protes serta demo kemungkinan akan dilakukan. Demi mengeluarkan Aruna dari kampus."Jadi, aku tidak bisa kembali kuliah, ya?" Aruna langsung berkesimpulan, karena melihat suami yang hanya diam saja.Tiba-tiba saja Yuksel mendekat dan menaiki brankar ranjang. Bahkan sudah merebahkan diri di sisinya. Aruna masih menunjukkan ekspresi kaget."Mas, apa yang sedang kamu lakukan?"Yuksel bahkan menarik Aruna dengan pelan untuk berada di dekapan suami. Yuksel langsung memejamkan mata, tentunya Aruna bisa melihatnya."Dari pada memikirkan hal yang memusingkan. Lebih baik kita tidur.""Tapi ini masih siang," ocehnya."Biarkan aku tidur, aku sudah terjaga lama selama menjagamu."Aruna masih melirik suaminya. "Jadi, apa
Aruna langsung menatap suaminya kaget. "Kenapa aku harus menyukai kamu, Mas?""Ya, karena aku suka sama kamu.""Itu sangat tidak masuk akal!" serunya.Yuksel menyilangkan tangan di dada. Dia tatap istri yang nampak tidak senang. Padahal cinta dari dia sangatlah berharga. "Masuk akal, karena aku suami kamu. Memangnya ada yang kamu sukai selain suami?"Aruna menatap suaminya dengan tidak percaya. Sebenarnya dari mana sifat kepedean dari suaminya ini.Pandangan Yuksel melirik pada bibirnya. "Aku ingin cium kamu."Begitu mendengar ucapan dari Yuksel. Aruna langsung berbalik dan memunggungi suami. Yuksel sampai menyeringai karena diabaikan oleh istri.Yuksel ingin kembali menggoda istri, dia bangun dari duduk dan ingin mendekati ranjang. "Mba Tuti bagaimana keadaannya?"Namun, begitu mendengar pertanyaan dari Aruna. Niat Yuksel untuk menggoda pun langsung terhenti. Bahkan, dia memutuskan untuk kembali menghuni kursi dan duduk di sana."Tuti? Dia baik."Aruna menatap jendela dengan sediki
Mendengar ucapan dari Yuksel. Pandangan Aruna pun mulai terangkat. Benar, kenapa tidak terbesit secuil pun dalam pikirannya mengenai itu."Kamu selalu cemas ayahmu aku sakiti. Sekarang aku tahu siapa dan keberadaannya. Nampaknya kamu tidak cemas sama sekali," sindir Yuksel.Aruna tersenyum sinis. Matanya memandang langit-langit kamar. Perutnya saat ini semakin rata saja, karena telah kehilangan isinya."Aku tidak ingin memikirkan apa pun hari ini," ujarnya dengan mata mulai terpejam.Yuksel diam cukup lama. Memandang ke arah jendela yang sedang memunculkan adegan hujan. Kilatan petir samar terdengar, namun cahayanya membelah langit."Adrian sudah tahu."Mata Aruna kembali terbuka saat mendengar ucapan dari Yuksel. Bahkan kepalanya menoleh dengan cepat."Mas bercanda, kan?"Yuksel menatapnya lama. "Menurutmu, aku sedang bercanda begitu?"Mata saling bertatapan dengan suami. Tidak ada kebohongan sama sekali di pandangan suaminya. Aruna tak sanggup lagi menatap, ia turunkan pandangan.Ar
Ayah Aruna nampak mengemudi dengan ugal-ugalan. Tidak peduli diklakson banyak pengendara. Ayah Aruna memaksakan diri mendatangi rumah sakit tempat Aruna dirawat.Pria tersebut, tidak peduli jika bertemu Yuksel dengan identitas yang telah terbongkar. Fokus pria tersebut hanyalah pada Aruna. "Yuksel!"Yuksel yang semula menundukkan wajah dengan posisi duduk pada kursi tunggu. Perlahan, Yuksel mengangkat kepala. Mata menatap sosok ayah tiri Adrian yang nampak kehabisan napas."Bagaimana keadaan Aruna?"Bibir Yuksel menyeringai. Mangsa justru masuk ke kandang predator dengan kaki sendiri."Jangan diam saja! Bagaimana keadaan Aruna?"Pria ini nampak tidak sabar sama sekali. Yuksel melirik ke arah pintu kamar rawat Aruna yang ditutup rapat. "Kita bicara di tempat lain."Yuksel sudah berdiri dari duduk. Dia tidak ingin mengganggu Aruna yang tidur terbangun, kemudian dalam kondisi yang lemah malah memilih mengejar sang ayah.Mata Yuksel melirik ayah Aruna yang menurut mengikuti. Tanpa peras
Daris mengerjapkan mata. "Tunggu sebentar."Mata Daris menatap Yuksel serius. "Jadi, kalian berdua melakukannya karena ingin dan tidak terpaksa."Kepala Yuksel mengangguk. Daris mulai bertepuk tangan. "Wah! Sepertinya kalian berdua sudah di tahap saling nyaman, kemudian akan--"Yuksel melempar berkas acak ke arah Daris. "Bereskan berkasnya!""Loh, bukannya Tuan yang mengacaknya sendiri?"Mata Yuksel menatap tajam, membuat Daris menarik napas. Bukan Yuksel namanya jika tidak menyiksa orang.Daris membereskan tumpukan berkas yang jadi berserakan. Tatapan Yuksel tertuju pada sekretaris cukup serius."Aku tidak menaruh rasa pada Aruna. Aku hanya merasa kasihan saja padanya," ujar Yuksel memberi tahu.Namun, Daris diam-diam melirik. Padahal pria tersebut tidak menyinggung perihal perasaan Yuksel sama sekali. Hanya soal mereka yang mulai nyaman.Ekspresi Yuksel mulai terlihat serius kembali. Dia telah mengetahui keberadaan ayah Aruna. Hanya perlu memikirkan cara yang sempurna untuk menangk
Mendadak Yuksel berhenti mencium. Dia menjauhkan kepala dengan mata menatap berhasrat pada Aruna. Yuksel menarik napas, kemudian benar-benar menjauh.Yuksel menyugar rambut. Bagaimana bisa dia bersikap seperti ini? Padahal istri mengeluh perut kram. Yuksel jelas bukanlah binatang."Mas."Ketika Yuksel menoleh. Sebuah kecupan dia dapatkan dari Aruna. Bahkan Aruna yang tidak pandai ini, mencoba untuk tetap melumat.Tangan Yuksel meraih wajah Aruna. "Jangan bangkitkan hasratku, Aruna."Jarak di antara mereka berdua benar-benar tipis. Suara napas Yuksel mulai memberat, membuktikan hasrat sepenuhnya sudah bangkit.Perlahan, jemari Aruna merambat di baju suami. Kemudian mencoba melepas kancingnya satu persatu. Mata Yuksel tersita untuk melirik perbuatan dari Aruna."Aruna," sebut Yuksel."Tidak apa, aku masih bisa melayani."Entah apa yang merasuki Aruna. Ia juga justru ingin disentuh oleh suami. Sentuhan yang membuat dirinya melayang dan merasa damai."Aku mungkin akan menggila, tapi sebis
Yuksel memasuki rumah dengan raut serius. Dia memikirkan siapa yang mengawasi rumah diam-diam. Apalagi seorang pria paruh baya.Namun, saat melihat Aruna menyibukkan diri di dapur. Membuat Yuksel mulai menyadari sesuatu. "Bisa saja itu ayah dari Aruna," gumam Yuksel pelan.Mendengar ada suara yang melangkah. Aruna berhenti sejenak dari kegiatannya. Bahkan mematikan kompor, hal itu membuat Yuksel berjalan mendekati."Apa yang sedang kamu buat, Aruna?"Dengan senyuman, Aruna menjawab, "aku membuat buah dilapisi gula. Rasanya manis di luar asam dan segar di dalam."Kepala Yuksel mengangguk. "Kalau begitu makanlah.""Apa ... Mas tidak ingin memakannya?"Mata Yuksel menatap strawberi dilapisi gula buatan istri. Ini jelas bukan makanan yang disukai oleh Yuksel."Ibunya yang ingin makan atau anaknya?" tanya Yuksel.Aruna tersenyum. "Ibunya."Kepala Yuksel mengangguk mengerti, kemudian mengambil satu tusuk. Menggigit sedikit, namun suara renyah sampai terdengar membuat Aruna tersenyum."Baga
Aruna mulai kembali ke ruangan dan sempat menatap pada Yuksel yang sedang menelpon di dekat jendela. Aruna menatap makanan di atas meja dengan tidak minat.Namun, demi anaknya. Aruna harus duduk dan memulai makan. Yuksel menoleh karena mendengar suara alat makan yang Aruna gunakan."Ya, tetap seperti itu saja."Yuksel menggeser kursi dan duduk di sebelahnya. Memandang ke arah Aruna yang makan sembari melamun. Bahkan mata sedikit bengkak, hal itu membuat Yuksel menatap lama.Aruna yang menyadari ditatap suami, langsung mengangkat kepala dan membalas mata Yuksel."Ya lakukan saja."Yuksel sepenuhnya mengakhiri telepon dan mengusap sudut mata Aruna."Kamu menangis?"Aruna langsung menghindar dan memalingkan muka. "Aku tidak menangis."Yuksel menarik napas dan terus saja memandang ke arahnya. Tangan Aruna langsung mendorong wajah suaminya untuk menatap ke arah lain. "Jangan terus menatap!" pintanya."Katakan!" pinta Yuksel juga.Jemari Yuksel mengetuk permukaan meja dengan raut tak sabar