Yuksel menatap kesal ke arah sekretaris. "Memangnya aku malaikat? Tidak boleh bersikap emosi pada istri yang pembangkang macam itu."Daris hanya mengangguk saja. Baiklah, mungkin sudah saatnya pria tersebut mengalah dan tidak lagi berkomentar. Kaki mendekati kursi kerja dan Yuksel mendudukinya lagi. Dia memejamkan mata, berusaha menyudahi amarah yang masih mengganjal hati."Dokumen," pinta Yuksel dengan tangan menengadah.Daris memberikan dokumen yang dibawa pada atasan. Yuksel membuka tiap halaman dan begitu sibuk memenjarakan beberapa baris angka dan tabel di sana."Selidiki Adrian, jika dia sudah menemukan rumah ini langsung kabari aku."Pandangan Yuksel terangkat. "Jangan sampai telat satu detik pun, atau kamu tahu akibatnya.""Iya, Tuan."Paling nominal gaji Daris berkurang sedikit, itulah kebiasaan yang Yuksel lalukan. Memang seorang atasan yang sangat menyebalkan.***Tuti membawakan sarapan ke lantai atas. Dua pembantu lain mengikuti di belakang dengan nampan di tangan mereka
Baru saja Yuksel ingin berdiri tegak. Adrian kembali mendekat dan memukul, namun satu hal yang membuat pria itu heran. Karena Yuksel sama sekali tidak membalas."Ada apa, Paman? Apakah kemampuan Paman dalam berkelahi sudah berkurang?" sindir Adrian.Yuksel tertawa sinis. "Kenapa aku harus berkelahi denganmu?"Adrian kembali mengepalkan tangan, bersiap untuk meninju. Namun, Yuksel malah memasang wajah."Pukul lagi.""Paman sedang mencoba merendahkan aku? Aku bisa menumbangkan Paman!"Yuksel menyeringai. "Ya, pukul saja. Karena aku akan memperlihatkannya pada Aruna."Seketika tubuh Adrian membeku dengan ekspresi kaget. "Apa maksud Paman?" Yuksel menatap Adrian menang. "Tentu saja Aruna akan mengasihi aku dan memarahi kamu, karena telah memukul suaminya.""Sialan!"Meski Adrian berkoar marah. Namun, tangan tak bisa lagi memukuli Yuksel. Karena bekas di wajah akan semakin terlihat dan Aruna jelas marah. Adrian saja yang mondar-mandir di depan kampus, diprotes oleh Aruna. Apalagi melihat
"Jangan bicara seperti itu!"Mata Aruna mengerjap dengan gugup. Tubuhnya terburu duduk lagi, karena merasakan tangan Yuksel yang merambat di perutnya.Aruna menatap suaminya yang sudah tersenyum. Padahal kemarin mereka berdua berdebat begitu heboh, sampai pembantu mendengar. Namun, hari ini seolah mereka berdua tidak memiliki masalah apa pun."Hanya membuka ikat pinggang saja, kamu tidak mau?"Kepala Aruna langsung menggeleng. "Tidak.""Baiklah. Terpaksa aku yang harus melepaskannya sendiri."Melihat pergerakan tangan suaminya. Aruna langsung melengos, jantungnya saat ini berdetak sangat kencang. Bagaimana bisa Yuksel melepas celana di sebelahnya juga. "Kamu sudah lihat lebih dari ini, Aruna. Kenapa harus malu?"Aruna tak menyahut sama sekali. Hanya sibuk menenangkan diri dari rasa canggung yang datang secara mendadak ini. Yuksel yang menuruni ranjang dan bersiap memakai baju tidur pun, sempat terhenti. Mata melirik istri yang duduk dengan kaku di atas ranjang."Kalau aku ajak berhu
Sindiran dari Yuksel, membuat Aruna meremas selimut rumah sakit. Mata saling tatap dengan suaminya yang sedang menunjukkan emosi padanya."Di antara banyaknya orang, kamu malah terlibat gosip dengan keponakanku. Hebat sekali kamu, Aruna."Aruna memejamkan matanya karena mendengar ocehan suaminya. Aruna juga tidak ingin hal ini terjadi, kehamilannya diketahui oleh publik.Yuksel menatap istri dengan sangat penasaran. "Adrian."Perlahan matanya terbuka dan saling tatap dengan suaminya. Aruna tahu betul apa yang akan dibicarakan oleh Yuksel."Apa dia sudah tahu?"Kepalanya menggeleng. "Tidak tahu. Kebetulan aku tidak melakukan pemeriksaan, jadi tidak ada yang tahu berapa usia kandunganku.""Mengingat kandungan, apa kamu pernah memeriksakannya?"Aruna langsung diam. Setelah tahu datang bulannya terlambat, Aruna langsung mengecek dengan tes kehamilan. Melihat istri yang hanya diam, membuat Yuksel bisa menyimpulkan. Aruna tidak berani mendatangi dokter kandungan dengan status mahasiswi dan
"Kenapa aku tidak boleh pulang ke rumah sendiri? Kakak jangan bercanda karena itu tidak lucu."Lusi kembali menarik napas. Wanita itu mendapat pesan dari sekretaris ayah Adrian. "Ayah tirimu itu, menyuruh sekretarisnya untuk memintaku menyelidiki Aruna."Adrian langsung menatap dengan ekspresi kesal. "Untuk apa pria sialan itu bertanya?""Entahlah. Tapi, aku tidak ingin kamu pulang ke apartemen. Karena ayah tirimu ada di sana."Adrian menatap Lusi cukup lama, kemudian menyahut, "aku akan pulang ke rumah sendiri, jadi tolong antar aku, Kak.""Kenapa sih kamu tidak mau mendengar!""Aku ingin mencegah pria sialan itu menyakiti Aruna."Lusi menarik napas panjang, kemudian mengubah tujuan perjalanan untuk mengantar Adrian ke apartemen. Setelah mengemudi cukup lama. Lusi menatap Adrian yang keluar dari mobil dengan serius."Langsung kabari aku jika ayah tirimu sudah pergi."Adrian menyeringai. "Apa Kakak akan membawa obat untukku nanti?"Lusi mendengkus. "Kabari saja apa susahnya!"Perlah
Yuksel menyeringai. "Kamu bilang apa barusan? Aku jatuh cinta padamu? Wah, lucu sekali."Aruna memilih menatap ke luar jendela, hari ternyata sudah mulai menggelap. Infus di tangannya juga sudah dilepas, namun Yuksel melarangnya keluar dari rumah sakit.Kepala Aruna menatap suaminya yang nampak sibuk dengan ponsel. Aruna pun mengurungkan niat untuk bertanya kapan pulang. "Kamu tetap di sini, aku keluar sebentar mengambil laptop dari karyawan di depan rumah sakit.""Iya, Kak."Mata Aruna membingkai suaminya yang sudah berjalan cepat dan sepenuhnya meninggalkan dirinya. Tangan Aruna meraih ponselnya di laci meja samping ranjang."Dia melarang aku keluar rumah sakit dan ke kampus, pasti karena ini alasannya."Jemari Aruna menggulir artikel yang dirinya baca. Terlebih komentar-komentar yang penggemar Adrian berikan. Aruna berakhir dengan menarik napas dan meletakkan ponselnya lagi.Pintu yang kembali terbuka membuat Aruna berkomentar, "cepat sekali Kak? Orangnya sudah--"Aruna langsung b
Yuksel menyeringai atas ucapan dari istri. Dia tidak tahu kalau Aruna ternyata begitu naif. "Kamu pikir jurnalis berpikiran lurus seperti kamu, Aruna? Tidak. Mereka penuh dengan siasat, demi bertahan di kursi mereka sendiri."Aruna tatap suaminya yang jauh lebih memiliki banyak siasat. Tubuhnya sekarang sudah rebahan di atas ranjang lagi. Namun, ekspresi Aruna yang tidak baik membuat Yuksel mengerutkan dahi."Ada apa?""Perutku terasa sedikit kram."Yuksel menarik napas. "Bukankah aku sudah menyuruhmu jangan pergi ke mana pun."Matanya memperhatikan Yuksel yang memanggil perawat jaga dengan tombol yang tersedia di sekitarnya. Aruna langsung menurunkan pandangan saat bertemu dengan suaminya."Dasar tidak tahu diuntung. Dicemaskan suami, kamu malah keluyuran.""Aku kan butuh udara segar, Kak.""Kamu kan bisa menungguku, minta bantuanku," celetuk Yuksel terlihat kesal.Apakah boleh seperti ini? Bergantung pada Yuksel. Sementara Aruna sampai sekarang masih belum bisa menukar informasi ke
Yuksel mengusap bibir. "Kamu sudah lebih ahli sekarang ya, Aruna."Mendengar hal itu, Aruna merasa malu dan langsung melirik pada sopir yang diam-diam mendengarkan. Yuksel menyenderkan punggung dan mata mengunci Aruna dengan serius.Hingga kini, Yuksel belum menemukan informasi apa pun terkait ayah Aruna yang bersembunyi di perusahaan keluarga Adrian. Namun, Yuksel sudah berjanji tidak akan menyinggung hal tersebut sampai Aruna melahirkan."Ada apa, Kak? Kenapa menatap begitu?" Aruna yang menyadari tatapan suaminya, tentu saja langsung menoleh."Mulai sekarang panggil aku mas, karena kakak itu terasa asing."Baru dirinya sadari, ternyata Yuksel banyak maunya juga. Namun, Aruna memilih untuk tidak menguras tenaga dan berdebat."Baiklah."Yuksel sendiri menatap tak percaya pada istri yang hari ini begitu penurut. Apakah hanya karena dia telah membantu Adrian? Maka dari itu sikap Aruna berubah.***Sementara di apartemen. Adrian nampak emosi setelah melihat berita wawancara dengan Yukse