Arman saat ini sedang dalam perjalanan menuju tempat tinggal Dita, yang terletak di pinggiran kota. Telah turut menghancurkan hidup Dita, membuat pria itu tak dapat tenang, akibat selalu saja di hantui rasa bersalah nya. Menempuh perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dari dua jam, kini Arman telah tiba di depan tempat tinggal Dita.Namun, sekejap-raut wajah pria itu berubah, saat dari dalam mobil diri nya yang mendapati pintu rumah Dita dalam keadaan tertutup. Di landa tanda tanya, namun pria itu tetap berlalu dari dalam mobil nya. "Ke mana, dia? Apakah, dia sedang pergi ke pasar-ataukah, sedang mengantarkan jahitan orang?" gumam Arman, dengan berbagai tanda tanya yang kini bersarang di dalam diri nya. Menunggu tentu nya adalah hal yang membosankan. Guna mengusir kejenuhan itu, Arman memutuskan untuk berselancar dengan dunia maya. Bersandar malas pada body mobil nya, hingga suara seseorang yang menyapa pada nya--membuat lamunan pria itu membela. "Hallo Tuan," sapa seseorang.
Arman telah kembali ke rumah nya. Namun, di dalam diri pria itu selalu di liputi tanda tanya. Tentang, siapa sosok ayah bayi-dalam kandungan Dita. Namun, Dita yang memilih untuk merahasiakan nya, membuat Arman tak bisa melakukan apa-apa.Menghempaskan tubuh nya ke atas ranjang, melepaskan lelah yang begitu menggorogoti tubuh nya. Bukan hanya lelah raga, namun Arman juga lelah dengan pikiran nyaBerpikir keras tentang sosok ayah, dari bayi yang Dita kandung? Hingga kesedihan, dan luka di wajah Dita yang kembali melintas dalam pikiran nya, membuat hati Arman tersentil dan rasa bersalah itu kembali datang. Suara telepone menyapa gawai milik Arman tiba-tiba, membuat pria itu segera memalingkan pandangan pada HP nya-yang tersimpan di atas meja. Segera bangkitkan tubuh nya, dan membawa langka kaki itu. Mimik wajah Arman tak lagi sama, begitu mendapati-kalau yang melakukan panggilan telepone adalah adik nya, Jeni."Jeni," gumam nya, dan dengan gerakan yang malas-Arman menyambut panggilan ma
Dua hari kemudian.Arman memutuskan untuk kembali menemui Dita. Namun, kali ini ada yang nampak berbeda dengan pria itu. Bukan-karena potongan rambut nya yang baru, atau penampilan pria itu yang nampak berbeda, melainkan di dalam mobil milik nya, yang di penuhi dengan barang-barang. Mulai dari sembako, dan barang lain nya. Hampir dua jam menempuh perjalanan, kini Arman teah tiba di depan kontrakkan sederhana milik Dita. Segera membawa tubuh nya ke luar dari dalam mobil, Arman bergegas menuju pintu belakang, membuka nya, dan mengeluarkan banyak barang dari sana.Melangkah menuju kediaman Dita-tak sengaja memalingkan wajah itu, dan mendapati ada nya beberapa pasang mata-yang menatap nya, seraya berbisik. Dan, hanya bisa menghela napas nya yang berat. *****Dita saat ini tengah sibuk dengan pekerjaan menjahit nya. Wanita itu tengah menjahit dress orang dewasa. Sekejap, diri nya membeku begitu mendapati kedatangan Arman. Bukan karena kedatangan pria itu yang membuat Dita shyok, namun
Seolah melupakan kegamangan hati nya saat ini, Dita turut membawa langka kaki nya-menyusul Arman, saat pria itu melangka ke luar dari dalam kontrakkan nya. Gerakan tubuh yang nampakl panik, bahkan saat Arman melajukan mobil nya meninggalkan depan rumah Dita, Arman melajukan nya dengan kecepatan tinggi. Pria itu seolah mengejar sesuatu dan takut akan tertinggal. "Ada apa sebenar nya, dengan, Kak Arman? Aku tahu, dia pasti mengenal Dion dengan sangat baik, sebab Dion adalah sahabat baik dari Aditya. Namun, kekhawatiran yang dia tunjukkan menurut ku sangat terlalu berlebihan," gumam Dita, dengan mimik wajah yang nampak berpikir. Tak sengaja memalingkan pandangan nya-ke arah lain, raut wajah Dita berubah, setelah mendapati beberapa ada nya beberapa warga, yang menatap nya, dengan tatapan mencemooh-seraya berbisik. Tak ingin menambah kegamangan di hati nya, Dita segera menutup pintu rumah nya. *** *** Melajukan mobil nya dengan kecepatan tinggi, kini Arman telah berada di depan rumah
Tanpa Aditya sadari, ternyata sedari tadi-Jeni terus saja memperhatikan nya. Melihat bagaimana ekspresi Aditya yang begitu serius saat menyambut panggilan masuk itu, membuat Jeni tak mampu menahan diri nya-untuk tidak menghampiri pria itu.Jeni segera membawa langka kaki nya, dengan ke dua mata yang tetap terfokus pada Aditya. Berniat menguping pembicaraan sang suami, namun, Jeni harus menelan kekecewaan-sebab saat jarak nya semakin dekat dengan Aditya, pria itu telah mengakhiri panggilan telepone nya. "Sayang--," panggil Jeni tiba-tiba, dan sambutan Aditya nampak terkejut, dan itu semakin memancing rasa curiga dalam diri Jeni, "Kau sedang melakukan panggilan telepone dengan, siapa?" tanya Jeni hati-hati, namun-sepasang pupil hitam nya-menatap Aditya penuh curiga. "Bukan siapa-siapa. Dan, ayo-kita kembali ke dalam!" ajak Aditya-seraya satu tangan nya merangkul penuh pundak Jeni, dan menyeretkan langka kaki nya. Ada nya gelagat aneh-yang dia temukan di dalam diri Aditya, membuat Jen
Di saat semua orang telah terbuai, menikmati dunia mimpi-indah mereka, Aditya justru sebalik nya. Sepasang pupil mata pria itu masih setia terbuka. Dengan tatapan kosong nya, pria itu menatap langit-langit kamar. Pikiran Aditya tengah berkelana, tengan berkelana saat ini. Sekejap, mimik wajah Aditya tak lagi sama-pria itu seperti mendapatkan solusi atas masalah nya, "Kenapa, aku tidak terpikir ke desa itu? Mungkin saja, saat ini Dita berada di sana," bathin Aditya. Masih-hanyut dalam apa yang menjadi beban pikiran nya, hingga perhatian Aditya teralihkan-saat merasakan pergerakan Jeni, yang saat ini tidur dalam dekapan nya. Menurunkan pandangan nya, pria itu mendapati Jeni yang telah membuka mata nya. "Sayang, kau belum tidur?" tanya Jeni dengan mata setengah terpejam, akibat menahan rasa kantuk. "Aku belum bisa tidur," sahut Aditya, dan jawaban yang terlontar dari bibir pria itu, berhasil menghilangkan rasa kantuk Jeni. Bangun dari tidur nya, menatap Aditya dengan lekat. Pikiran
Hanya tinggal Arman seorang yang dia miliki di muka bumi ini, membuat rindu-begitu menyeruak di dalam diri Jeni pada sang Kakak, sebabn sudah satu minggu tidak bertemu. Selama satu minggu ini pula Jeni mencoba menahan diri, membiarkan amarah sang Kakak dapat mereda. Namun, Arman tak kunjung menghubungi nya. Jeni, memutuskan untuk menghubungi terlebih dahulu. Namun, berkali-kali mencoba menghubungi-nomor Kakak laki-laki nya itu, tidak aktif. "Apakah, Kak Arman-sudah menggantikan nomor?" gumam Jeni, yang nampak berpikir. Jeni-begitu tenggelam dalam apa yang menjadi beban pikiran nya, hingga seseorang yang tiba-tiba menyeruhkan nama nya-membuat lamunan wanita itu membela. Memalingkan pandangan nya pada asal suara, dan diri nya mendapati kedatangan Aditya. Pria itu nampak-sudah akan berangkat bekerja."Aku mencari mu, ternyata kau berada di sini.""Aku sedang menghubungi Kak Arman, namun-nomor nya tidak aktif. Apakah, kamu mengetahui nomor-baru nya?" tanya Jeni, menatap Aditya dengan le
Terlalu penasraan-sebab mobil yang dia lihat serasa tidak asing untuk nya. Namun, saat berpikir tentang suatu kebenaran, bukan kah banyak mobil yang sama, di dunia ini? Dan, Aditya segera membuang jauh-jauh pikiran buruk nya itu. "Bukankah, di dunia ini-banyak mobil yang sama. Jadi, sangat tidak mungkin-kalau itu adalah mobil nya Kak Arman," gumam Aditya, yang merasa yakin dengan opini nya. Begitu hanyut dalam apa yang menjadi beban pikiran nya saat ini, hingga suara dari salah satu wanita-berhasilmembuat lamunan Aditya membela. "Maaf-Tuan, kami harus kembali ke rumah masing-masing. Kalau Tuan, ingin menemui janda gatel itu, sebaik nya tunggu pelanggan yang satu nya pulang, sebab seperti nya mereka sedang---." Wanita itu seketika memutuskan kalimat nya, dan terkikik, seraya menatap pada Aditya, yang menatap nya dengan tatapan penuh arti.Tersenyum, namun-siapa yang menyangkah, kalau saat ini Aditya tengah menahan gemuruh di dalam dada nya. Aditya nampak tidak terima dengan yang d
Beberapa jam kemudianBeberapa menit menempuh perjalanan--akhirnya mobil yang membawa Dita telah kembali berada di rumahnya. Saat akan turun dari dalam mobil, mimik wajah Dita seketika berubah setelah mendapati adanya sebuah mobil asing yang terparkir di depan rumah. Melangkahkan kakinya--namun pandangan itu tak Dita putuskan dari mobil berwarna merah itu. "Dita---." Panggil suara tidak asing-membuat pandangan Dita teralihkan, dan seketika mimik wajah Dita berubah kaget--setelah mendapati siapa yang menyeruhkan namanya itu."Anita!" gumam Dita dengan tatapan tidak percayanya. Dita segera mengambil langka lebarnya menghampiri wanita yang sudah lama tidak dia temuinya itu.Namun, adanya baby Damar dalam gendongan Anita membuat antusias di dalam diri Dita hilang sekejap. "Kapan kau datang?" tanya Dita, tanpa meminta persetujuan Anita--wanita itu segera mengambil alih Damar dalam gendongan sahabatnya, dan melabuhkan kecupan singkat pada pipi gembul baby Damar. "Sekitar dua puluh menit y
Kendaraan yang membawa Dita--telah terparkir di halaman depan rumah sakit. Dengan ragu, wanita bernama Anandita Setiawan itu menurunkan kedua kakinya. "Apakah perlu saya temani, Nyonya?" tanya sang sopir tiba-tiba, saat Dita tak kunjung melangkahkan kakinya ke dalam bangunan di depannya. "Tidak perlu Pak, Bapak tunggu di sini saja," sahut Dita dengan menoleh sebentar pada sopir pribadinya, dan kembali membawa pandangan pada bangunan yang berada di depan."Baiklah Nyonya, kalau begitu saya akan memarkirkan mobil-dan menunggu anda di sana saja," ujar sang sopir memberitahu, seraya jari telunjuknya mengarah pada sebuah pohon yang rindang yang berada di dekat halaman parkir. "Baik Pak," sahut Dita, dan sang sopir segera melajukan kembali kendaraan roda empat itu. Dita menghembuskan napasnya kasar, meraup udara sebanyak mungkin--saat merasa pasukan oksigen di dalam dadanya berkurang. Suasana hatinya tiba-tiba tak karuan. Antara iya, dan tidak, untuk dirinya masuk ke dalam bangunan rum
Awan tak lagi putih, langit tak lagi biru--sebab kini bumi telah diselimuti kegelapan kala malam kembali menyapa. Angin berhembus sedikit kencang, membuat tirai yang menggelantung tertiup kala angin berhasil mencuri masuk ke dalamnya. Mendapati hal itu Dita segera menghampiri. Kedua tangannya menarik ujung gorden, dan menyatukannya dengan lebih rapat lagi. Mengedarkan pandangannya menjelajahi seisi ruangan. Suasana kamar kini sangat berbanding terbalik dengan tadi. Tadinya kamar ini sangat riuh, dengan celotehan, dan tangisan ketiga buahatinya. Namun, kini telah lenggang karena bayi-bayi miliknya sudah terlelap. Menghembuskan napasnya panjang, Dita meraup oksigen sebanyak mungkin melepas lelah yang begitu menggerogoti di tubuh. Dita merasa seperti baru saja melepaskan beban yang cukup berat. "Ternyata ada asam-manisnya," gumam Dita, dengan senyuman yang dia ukir di wajahnya. Dita memutuskan untuk kembali melihat ketiga bayinya. Menyingkap tirai tipis yang menghalangi pandangan, s
Sangat tidak keberatan untuk seorang Aditya Wijaya jika Dion memberikan putranya untuk dia asuh--sebab perasaan memiliki itu sudah ada untuk anak dari sahabat baiknya itu sejak dia lahir. Namun, yang jadi pertanyaan untuk Aditya--kenapa Dion ingin memberikan anaknya pada dia, sebab pria itu sendiri pernah meminta padanya agar Aditya mengikhlaskan Damar untuknya."Katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi, sampai kau ingin memberikan Damar padaku?" tanya Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar menuntut. Kedua alis tebal Aditya menyurut, saat pupil hitam pekat pria itu semakin tajam ketika menatap Dion. Bukan hanya Aditya saja yang dibuat kaget dengan permintaan Dion, namun Dita juga. Dirinya sama sekali tidak keberatan jika Dion memberikan putranya pada dia, dan Adtya, untuk diasuh oleh mereka. Namun, yang membuat Dita heran---sebab Dion--dulu ingin merawat putranya sendiri. "Iya, Dion. Aku sama sekali tidak masalah kalau kau memberikan Damar pada aku, dan Aditya. Aku akan mer
Baby Adrian yang sudah mabuk ASI perlahan melepaskan puting susu ibunya sendiri, dan kini sudah terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya. Dan saat Dita kembali menyodorkan putingnya, bayi itu kembali melepaskannya dan kini justru memasukkan gumpalan jari ke dalam mulutnya. Baby Adrian kini fokus bermain."Sepertinya dia sudah kenyang," ujar Aditya. "Iya Mas," sahut Dita membenarkan, dan wanita itu memutuskan untuk membaringkan putranya disamping saudara kembarnya. Dalam keadaan kenyang, membuat baby Adrian dan juga Adriana tak lagi rewel. Kedua bayi itu kini bermain, menendang-nendang kecil kaki mereka, ataupun mengemut jari-jarinya. Dan, kegiatan kecil yang dilakukan oleh bayi kembar itu mampu membuat perasaan kedua orang tuanya terhibur. "Mereka sangat menggemaskan ya, Dit?" ujar Aditya-dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Sekilas menatap pada Dita, dan kembali memfokuskan pandangannya pada kedua anaknya. Aditya nampak sangat menikmati apa yang dia lakukan saat ini. "Mas-
Dua bulan kemudianWaktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa dua bulan telah berlalu, sejak kelahiran baby Adrian, dan Adriana. Banyak hal yang telah dilewati dalam dua bulan terakhir ini. Salahsatunya Dita yang kini telah pindah dari villa, dan menempati rumah barunya, yang barus atu bulan ini dibeli oleh Aditya.Hari-hari yang dilewati Dita penuh dengan kebahagiaan. Suami yang sangat mencintainya, dan memiliki kedua anak yang semakin hari, semakin menggemaskan di matanya. Dita, seperti memiliki mainan baru-sebab sejak kehadiran baby Adrian, dan baby Adriana membuat hari-hari dari Ibu muda itu terasa jauh lebih berwarna. Namun, kadang Dita suka menemukan kerepotan kalau kedua bayi kembar itu rewel bersamaan.Dan, tanpa Dita sadari dirinya sering mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Seperti biasa, saat pagi hari sebelum Aditya bangun Dita telah berkunjung ke kamar bayi yang bersebelahan dengan kamarnya, dan Aditya. Berada di kamar dengan cat berwarna putih yang mendomi
Dunia Dita seperti berhenti berputar, setelah dirinya mendapati kedatangan Mama Nita. Serasa seperti mimpi, bolamata wanita itu tak ada kedipan sama sekali saat menatap pada wanita yang masih berstatus ibu mertuanya nya. Hingga, Dita nampak tercengang saat menyadari kalau saat ini posisinya dan Mama Nita sudah sangat dekat. Sekian tahun tak bersua, membuat suasana canggung begitu terasa untuk kedua wanita beda generasi itu. Saling menatap, namun keduanya tetap dengan diam. Bingung, harus memulainya dari mana. "Dit--." Mama Nita bersuara pelan, setelah sekian detik keheningan melandanya dan Dita. Dia tahu, kalau menantunya itu ingin menyapanya lebih dulu namun merasa sungkan."Maa," sahut Dita, dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Sebab, walaupun sang ibu mertua telah bersuara terlebiih dahulu namun dirinya masih merasa canggung. "Maaf, untuk semuanya. Mama sangat menyesal. sebab telah membencimu padahal kau tidak melakukan kesalahan apapun,"lirih Mama Nita. Mimik wajahnya tela
Aditya membeo. Pria itu masih memfokuskan pandangannya pada kedua orangtuanya. Kedatangan mereka sama sekali tidak disangka-sangka pria itu. Terutama sang Bunda--yang juga turut datang bersama ayahnya. "Adit! Bagaimana? Apakah Dita, sudah melahirkan?" tanya Mama Nita. Mimik wajah wanita paruhbaya itu menunjukkan kekhwatirannya yang teramat sangat. Saat melayangkan pertanyaan, Mama Nita melemparkan pandangannya ke arah pintu ruang operasi. Aditya tak langsung menyambut. Sebagai orang yang turut tahu tentang dia dan Dita selama ini, Aditya melirikkan matanya-menatap sang ayah dengan lekat. Dan, Papa Herman yang ditatap seperti itu hanya menganggukkan kepalanya pelan. Pria paruhbaya itu seolah sudah mengerti tatapan dari putranya, itu. "Belum Maa," sahut Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar berat. Saat menjawab pertanyaan Mama Nita, hati Aditya mendadak perih sebab operasinya sudah memakan waktu sedikit lama. Raut wajah pria itu mendadak layu. "Kita berdoa semoga operasinya be
Suara dering telepone terdengar di dalam ruangan, membuat keheningan yang melanda seketika membelah. Dan, ternyata itu panggilan telepone yang datang dari gawai milik Aditya yang saat ini sedang dalam pengisian daya. "Dari tadi HPmu terus saja berbunyi, dan sepertinya itu telepone yang penting," ujar Mama Nita memberitahu.Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Ibunya tanpa menunggu lama lagi, Aditya segera menghampiri gawainya yang tersimpan di atas sebuah kabonet kecil. Melepaskan colokannya, dan mendapati nama Bibi Supi pada layar HPnya. Meyakini ada sesuatu yang serius, Aditya segera melakukan panggilan balik pada Bibi Supi. Saat melakukan telepone balik, Aditya tak berada lagi di ruangan yang sama dengan kedua orang tuanya dan Roki. Lki-laki tampan itumemilih untuk berpisah ruang, menuju teras rumah dengan kolam renang yang berada di depannya. Apa yang Aditya lakukan, membuat ketiga sosok yang bersamanya seketika dilanda rasa penasaran. Dan, mendapati bagaimana gestur tub