Tak ada kecupan, atau pun panggilan manis yang biasa nya menjadi akhir dari panggilan telepone, dan tentu saja hal itu membuat hati Aditya ter-iris, sebab tidak menyangkah kalau Dita akan menyambut sampai seperti ini. Sakit. Sebab itu bukan hal yang dia harapkan, namun dia harus bisa memahami perasaan Dita saat ini.Wanita itu mungkin membutuhkan waktu untuk sendiri.Hening, Aditya membiarkan diri itu tenggelam dalam kemelut yang tengah dia rasakan. Kian tenggelam dalam kegundahan di hati itu, hingga suara bariton yang menyeruhkan nama nya membuat pandangan pria itu teralihkan pada asal suara dan diri nya mendapati keberadaan sang ayah di belakang nya."Papa," gumam Aditya, dengan mimik wajah yang tak lagi sama. Terus membawa pandangan nya pada Papa Herman, di mana lelaki paruh baya itu kini tengah membawa langka pada nya.Sepasang mata Papa Herman yang memicing, membuat Aditya merasa tidak nyaman-dan dalam diri nya meyakini kalau sang ayah telah mendengar pembicaraan nya dan Dita tadi
Terletak di daerah pegunungan, dengan pohon-pohon besar yang tumbuh di sekitar nya--membuat udara malam hari terasa sangat begitu dingin di malam ini. Duduk santai pada sebuah sofa tunggal, Roki dan Dion begitu fokus pada kegiatan bermain HP nya mengabaikan keberadaan satu sama lain, hingga menciptakan suasana yang begitu sunyi antara ke dua pria itu. Semakin larut membuat ke dua lelaki tampan itu kian tenggelam dalam apa yang mereka lakukan, hingga seketika suara panggilan Roki memecahkan suasana. Pria itu seperti menemukan sesuatu saat berselancar dengan dunia maya nya. "Dion!" panggil Roki tiba-tiba. Dan, Dion yang di panggil segera menolehkan pandangan pada Roki--dan menatap sahabat nya itu dengan tatapan penuh tanda tanya. Lama menatap, namun pria itu tetap memfokuskan pandangan nya pada layar HP nya--tanpa memperdulikan Dion yang tengah menantikan apa yang akan dia katakan selanjut nya. Tak kunjung mendapatkan apa yang dia mau-membuat Dion jadi kesal. Mendecak, dan kembali
Beberapa jam melakukan perjalanan, Roki dan Dion sudah tiba di tempat yang mereka tuju. Tanpa menunggu lama lagi ke dua lelaki tampan itu, langsung membawa langka kaki mereka menuju ruangan bayi. Bukan seperti Roki yang berpenampilan seperti orang pada umum nya, Dion--nampak berbeda, Pria itu terihat seperti seorang artis yang tengah menyamar-yang ingin kehadiran nya tak di ketahui oleh semua orang. Pria itu memakai jacket hoody. Namun, bukan nya melepaskan penutup kepala--Dion malah memakai nya dan tak lupa masker yang menutupi sebagian wajah nya. Hingga pada bagian wajah Dion yang terlihat hanya bagian hidung dan juga mata nya. Tentu saja dengan berpenampilan seperti itu tak ada satu pun orang yang mengetahui kalau sosok yang bersama Roki itu adalah seorang Dion Sucipto, yang di ketahui oleh orang-orang telah meninggal beberapa bulan lalu. Dion dan Roki sudah hampir tiba di ruangan yang mereka tuju. Namun, sekejap Dion tertegun saat Roki tiba-tiba saja menarik nya, dan membawa nya
Saat tengah tenggelam dalam rasa penasaran nya tiba-tiba saja gawai milik Roki mendendangkan nada nya. Wajah ponsel segera dia tatap, dan mendapati nama Dion yang tertulis pada layar HP nya. Menolehkan wajah nya ke arah ruangan bayi, Roki tak mendapati ada nya sosok Dion lagi di sana.. Dan, dengan tidak ada nya Dion-Roki yakin kalau sahabat nya itu sudah pergti setelah mendengar suara Aditya."Siapa yang menelpone?" tanya Aditya tiba-tiba, saat melihat Roki hanya menatap layar ponsel-tanpa berniat menjawab nya.Wajah Roki mendadakj pasih, saat Aditya menatap nya dengan tatapan yang tak biasa. Menelan susah payah ludah nya Roki akhir nya bersuara setelah beberapa detik kemudian pria itu mengabaikan pertanyaan yang Aditya layangkan. "Ada telepone mengenai pekerjaan, dan kalau begitu aku jawab dulu," sahut Roki, dan membawa langka kaki nya menjauh dari Aditya. Setelah sudah berjarak sedikit jauh dengan Aditya, Roki segera menyambut panggilan telepone dari Dion . Pria itu meminta sahaba
Dua minggu kemudianKelahiran sang buahati memberi warna baru bagi kehidupan seorang Aditya Wijaya. Hari-hari yang pria itu lewati terasa sangat cepat, sebab hanya ada bahagia, tanpa ada nya air mata. Duduk di atas ranjang--Aditya saat ini tengah bersama putra nya, di mana bayi kecil itu sedang tidur dengan sangat lelap setelah mabuk Asi."Hallo anak Papa," gumam Aditya. Pria itu menciptakan senyum di wajah tampan nya, seraya jari tengah Aditya mencolek-colek ujung dagu putra nya. Tindakan jahil Aditya-di respon oleh bayi kecil itu. Bayi laki-laki itu menggeliatkan tubuh nya sebentar, seraya membuka sedikit mata nya dan kembali tidur. Dan, kelakuan putra nya yang menggemaskan membuat Aditya seketika tertawa.Tercetak jelas pancaraan kebahagiaan di wajah seorang Aditya Wijaya, tak ada beban-semua itu nyata ada nya. Dia benar-benar bahagia.Sungguh. Pemandangan di depan mata nya sangat manis. Jeni tak mampu membendung rasa haru itu lagi, sebab sejak kelahiran putra mereka- Aditya sudah t
Satu jam kemudian Dita dan Aditya saat ini tengah berada di dalam kamar mereka. Suasana hening begitu menyelimuti di dalam kamar itu. Aditya dan Dita masing-masing diam, tenggelam dalam apa yang mereka pikirkan. Suasana begitu canggung untuk Dita. Ntah kenapa, saat ini diri nya merasa sungkan dengan suami nya sendiri. Kelahiran anak dari Aditya dan Jeni, membuat Dita kembali menyadari kalau suami nya itu juga di miliki wanita lain dan juga memiliki anak bersama wanita lain. Kenyataan ini sangat menyakitkan, namun itu lah takdir hidup yang harus dia jalani. Dia memiliki madu dan madu nya itu baru saja melahirkan seorang anak dari suami nya. "Dit--."Panggilan dari Aditya berhasil membuyarkan lamunan Dita. Wanita itu seketika menatap suami nya dengan intens. Hanya menatap saja tanpa bersuara sama sekali. Seolah kata-kata yang akan dia ucapkan tertahan semua di tenggorokan nya. "Aku masih Aditya yang dulu," lanjut Aditya dengan lirih, pria itu dapat merasakan sang istri yang memberi j
Saat kendaraan roda empat nya telah terparkir, Aditya segera bergegas turun dari dalam mobil nya, tanpa memperdulikan hujan deras yang saat ini turun. Melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa, jelas terlihat kekhawatiran di wajah lelaki tampan itu. Suara dorongan pintu yang cukup kuat, membuat Jeni yang tengah membaca novel seketika menolehkan pandangan nya pada asal suara, dan di sana--wanita itu mendapati kedatangan pria yang sedari tadi dia tunggu kepulangannya. Napas Aditya tersendat-sendat, dengan kepanikan yang terlihat jelas di wajah tampannya."Bagaimana keadaan, Damar?" tanya Aditya. Pria itu mengambil langka lebarnya, saat membawa tubuh itu kedalam kamar. Kepanikan yang menyelimuti diri Aditya--sangat berbanding terbalik yang terlihat pada Jeni kini. Wanita itu nampak tenang, tidak menunjukkan keresahan sama sekali. Jeni justru tersenyum pada Aditya. Senyum di wajah Jeni memudarkan kepanikan di wajah Aditya. Dahinya berkerut samar, Aditya kini menatap Jeni dengan tatapan p
DUAARR Suara petir begitu menggelegar di malam ini. Kilatan-kilatan api nya berpencar, terlihat indah menyatu dengan air hujan yang tersiram dari atas langit. Suasana semakin mencekam. Petir terus bersusulan dan angin malam yang cukup kencang serasa ingin menyapu batang-batang kokoh yang tumbuh disekitarnya. Suasana terasa horor--membangunkan rasa takut seorang Dita. Wanita itu kini memilih meringkuk di dalam selimut. "Malam ini seram-banget. Semoga saja nggak ada badai," gumam Dita. Wajah, dan bibirnya nampak memucat akibat rasa takutnya yang teramat sangat.Walaupun ketakutan begitu menguasai diri-namun Dita berusaha untuk dapat tidur. Perlahan Dita menutup kelopak matanya. Namun, harus dia urungkan--saat samar-samar daun telinganya mendengar suara mobil yang berhenti didepan villa. "Sepertinya ada suara mobil," gumam Dita. Mimik wajah wanita itu kini telah berubah penasaran. Walaupun tidak sepenuhnya yakin dengan apa yang dia dengar namun Dita tetap menurunkan kedua kaki nya. Mem
Beberapa jam kemudianBeberapa menit menempuh perjalanan--akhirnya mobil yang membawa Dita telah kembali berada di rumahnya. Saat akan turun dari dalam mobil, mimik wajah Dita seketika berubah setelah mendapati adanya sebuah mobil asing yang terparkir di depan rumah. Melangkahkan kakinya--namun pandangan itu tak Dita putuskan dari mobil berwarna merah itu. "Dita---." Panggil suara tidak asing-membuat pandangan Dita teralihkan, dan seketika mimik wajah Dita berubah kaget--setelah mendapati siapa yang menyeruhkan namanya itu."Anita!" gumam Dita dengan tatapan tidak percayanya. Dita segera mengambil langka lebarnya menghampiri wanita yang sudah lama tidak dia temuinya itu.Namun, adanya baby Damar dalam gendongan Anita membuat antusias di dalam diri Dita hilang sekejap. "Kapan kau datang?" tanya Dita, tanpa meminta persetujuan Anita--wanita itu segera mengambil alih Damar dalam gendongan sahabatnya, dan melabuhkan kecupan singkat pada pipi gembul baby Damar. "Sekitar dua puluh menit y
Kendaraan yang membawa Dita--telah terparkir di halaman depan rumah sakit. Dengan ragu, wanita bernama Anandita Setiawan itu menurunkan kedua kakinya. "Apakah perlu saya temani, Nyonya?" tanya sang sopir tiba-tiba, saat Dita tak kunjung melangkahkan kakinya ke dalam bangunan di depannya. "Tidak perlu Pak, Bapak tunggu di sini saja," sahut Dita dengan menoleh sebentar pada sopir pribadinya, dan kembali membawa pandangan pada bangunan yang berada di depan."Baiklah Nyonya, kalau begitu saya akan memarkirkan mobil-dan menunggu anda di sana saja," ujar sang sopir memberitahu, seraya jari telunjuknya mengarah pada sebuah pohon yang rindang yang berada di dekat halaman parkir. "Baik Pak," sahut Dita, dan sang sopir segera melajukan kembali kendaraan roda empat itu. Dita menghembuskan napasnya kasar, meraup udara sebanyak mungkin--saat merasa pasukan oksigen di dalam dadanya berkurang. Suasana hatinya tiba-tiba tak karuan. Antara iya, dan tidak, untuk dirinya masuk ke dalam bangunan rum
Awan tak lagi putih, langit tak lagi biru--sebab kini bumi telah diselimuti kegelapan kala malam kembali menyapa. Angin berhembus sedikit kencang, membuat tirai yang menggelantung tertiup kala angin berhasil mencuri masuk ke dalamnya. Mendapati hal itu Dita segera menghampiri. Kedua tangannya menarik ujung gorden, dan menyatukannya dengan lebih rapat lagi. Mengedarkan pandangannya menjelajahi seisi ruangan. Suasana kamar kini sangat berbanding terbalik dengan tadi. Tadinya kamar ini sangat riuh, dengan celotehan, dan tangisan ketiga buahatinya. Namun, kini telah lenggang karena bayi-bayi miliknya sudah terlelap. Menghembuskan napasnya panjang, Dita meraup oksigen sebanyak mungkin melepas lelah yang begitu menggerogoti di tubuh. Dita merasa seperti baru saja melepaskan beban yang cukup berat. "Ternyata ada asam-manisnya," gumam Dita, dengan senyuman yang dia ukir di wajahnya. Dita memutuskan untuk kembali melihat ketiga bayinya. Menyingkap tirai tipis yang menghalangi pandangan, s
Sangat tidak keberatan untuk seorang Aditya Wijaya jika Dion memberikan putranya untuk dia asuh--sebab perasaan memiliki itu sudah ada untuk anak dari sahabat baiknya itu sejak dia lahir. Namun, yang jadi pertanyaan untuk Aditya--kenapa Dion ingin memberikan anaknya pada dia, sebab pria itu sendiri pernah meminta padanya agar Aditya mengikhlaskan Damar untuknya."Katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi, sampai kau ingin memberikan Damar padaku?" tanya Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar menuntut. Kedua alis tebal Aditya menyurut, saat pupil hitam pekat pria itu semakin tajam ketika menatap Dion. Bukan hanya Aditya saja yang dibuat kaget dengan permintaan Dion, namun Dita juga. Dirinya sama sekali tidak keberatan jika Dion memberikan putranya pada dia, dan Adtya, untuk diasuh oleh mereka. Namun, yang membuat Dita heran---sebab Dion--dulu ingin merawat putranya sendiri. "Iya, Dion. Aku sama sekali tidak masalah kalau kau memberikan Damar pada aku, dan Aditya. Aku akan mer
Baby Adrian yang sudah mabuk ASI perlahan melepaskan puting susu ibunya sendiri, dan kini sudah terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya. Dan saat Dita kembali menyodorkan putingnya, bayi itu kembali melepaskannya dan kini justru memasukkan gumpalan jari ke dalam mulutnya. Baby Adrian kini fokus bermain."Sepertinya dia sudah kenyang," ujar Aditya. "Iya Mas," sahut Dita membenarkan, dan wanita itu memutuskan untuk membaringkan putranya disamping saudara kembarnya. Dalam keadaan kenyang, membuat baby Adrian dan juga Adriana tak lagi rewel. Kedua bayi itu kini bermain, menendang-nendang kecil kaki mereka, ataupun mengemut jari-jarinya. Dan, kegiatan kecil yang dilakukan oleh bayi kembar itu mampu membuat perasaan kedua orang tuanya terhibur. "Mereka sangat menggemaskan ya, Dit?" ujar Aditya-dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Sekilas menatap pada Dita, dan kembali memfokuskan pandangannya pada kedua anaknya. Aditya nampak sangat menikmati apa yang dia lakukan saat ini. "Mas-
Dua bulan kemudianWaktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa dua bulan telah berlalu, sejak kelahiran baby Adrian, dan Adriana. Banyak hal yang telah dilewati dalam dua bulan terakhir ini. Salahsatunya Dita yang kini telah pindah dari villa, dan menempati rumah barunya, yang barus atu bulan ini dibeli oleh Aditya.Hari-hari yang dilewati Dita penuh dengan kebahagiaan. Suami yang sangat mencintainya, dan memiliki kedua anak yang semakin hari, semakin menggemaskan di matanya. Dita, seperti memiliki mainan baru-sebab sejak kehadiran baby Adrian, dan baby Adriana membuat hari-hari dari Ibu muda itu terasa jauh lebih berwarna. Namun, kadang Dita suka menemukan kerepotan kalau kedua bayi kembar itu rewel bersamaan.Dan, tanpa Dita sadari dirinya sering mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Seperti biasa, saat pagi hari sebelum Aditya bangun Dita telah berkunjung ke kamar bayi yang bersebelahan dengan kamarnya, dan Aditya. Berada di kamar dengan cat berwarna putih yang mendomi
Dunia Dita seperti berhenti berputar, setelah dirinya mendapati kedatangan Mama Nita. Serasa seperti mimpi, bolamata wanita itu tak ada kedipan sama sekali saat menatap pada wanita yang masih berstatus ibu mertuanya nya. Hingga, Dita nampak tercengang saat menyadari kalau saat ini posisinya dan Mama Nita sudah sangat dekat. Sekian tahun tak bersua, membuat suasana canggung begitu terasa untuk kedua wanita beda generasi itu. Saling menatap, namun keduanya tetap dengan diam. Bingung, harus memulainya dari mana. "Dit--." Mama Nita bersuara pelan, setelah sekian detik keheningan melandanya dan Dita. Dia tahu, kalau menantunya itu ingin menyapanya lebih dulu namun merasa sungkan."Maa," sahut Dita, dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Sebab, walaupun sang ibu mertua telah bersuara terlebiih dahulu namun dirinya masih merasa canggung. "Maaf, untuk semuanya. Mama sangat menyesal. sebab telah membencimu padahal kau tidak melakukan kesalahan apapun,"lirih Mama Nita. Mimik wajahnya tela
Aditya membeo. Pria itu masih memfokuskan pandangannya pada kedua orangtuanya. Kedatangan mereka sama sekali tidak disangka-sangka pria itu. Terutama sang Bunda--yang juga turut datang bersama ayahnya. "Adit! Bagaimana? Apakah Dita, sudah melahirkan?" tanya Mama Nita. Mimik wajah wanita paruhbaya itu menunjukkan kekhwatirannya yang teramat sangat. Saat melayangkan pertanyaan, Mama Nita melemparkan pandangannya ke arah pintu ruang operasi. Aditya tak langsung menyambut. Sebagai orang yang turut tahu tentang dia dan Dita selama ini, Aditya melirikkan matanya-menatap sang ayah dengan lekat. Dan, Papa Herman yang ditatap seperti itu hanya menganggukkan kepalanya pelan. Pria paruhbaya itu seolah sudah mengerti tatapan dari putranya, itu. "Belum Maa," sahut Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar berat. Saat menjawab pertanyaan Mama Nita, hati Aditya mendadak perih sebab operasinya sudah memakan waktu sedikit lama. Raut wajah pria itu mendadak layu. "Kita berdoa semoga operasinya be
Suara dering telepone terdengar di dalam ruangan, membuat keheningan yang melanda seketika membelah. Dan, ternyata itu panggilan telepone yang datang dari gawai milik Aditya yang saat ini sedang dalam pengisian daya. "Dari tadi HPmu terus saja berbunyi, dan sepertinya itu telepone yang penting," ujar Mama Nita memberitahu.Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Ibunya tanpa menunggu lama lagi, Aditya segera menghampiri gawainya yang tersimpan di atas sebuah kabonet kecil. Melepaskan colokannya, dan mendapati nama Bibi Supi pada layar HPnya. Meyakini ada sesuatu yang serius, Aditya segera melakukan panggilan balik pada Bibi Supi. Saat melakukan telepone balik, Aditya tak berada lagi di ruangan yang sama dengan kedua orang tuanya dan Roki. Lki-laki tampan itumemilih untuk berpisah ruang, menuju teras rumah dengan kolam renang yang berada di depannya. Apa yang Aditya lakukan, membuat ketiga sosok yang bersamanya seketika dilanda rasa penasaran. Dan, mendapati bagaimana gestur tub