Lelah hati, dan juga raga, membuat Arman seperti kehilangan semangat untuk hidup. Kenyataan yang baru saja dia tahu, berhasil memporak-porandakan diri pria itu. Menghempaskan tubuh nya ke atas ranjang, pikiran Arman berkelana-menatap kosong pada langit-langit kamar, yang terlihat kelabu untuk nya. Hanyut dalam apa yang tengah menjadi beban pikiran nya, membuat ke dua sudut mata Arman-melelehkan cairan bening, tanpa diri nya sadari sendiri. Saat mengingat bagaimana kehidupan Dita yang tadi dia temui, membuat rasa bersalah itu kembali datang. "Maafkan aku, Dit---, maaf---. Seandai nya saja aku tahu semua nya akan terjadi seperti ini, aku pasti tidak akan mendukung, apa yang akan Jeni lakukan pada mu," lirih Arman. Sesak yang kian menghimpit di dalam dada nya, membuat air mata itu kembali menyeruak-membasahi ke dua pipi Arman. Berkelana dalam apa yang dia pikirkan, tiba-tiba suara telepone menyapa gawai milik Arman. Pria itu segera bangkit dari tidur nya, dan menghampiri ponsel nya
Malam hari Setelah memarkirkan kendaraan roda empat nya di halaman depan, Aditya segera membawa langka kaki nya ke dalam rumah. Alunan langka yang terasa berat, raut wajah Aditya nampak tak bersemangat. Mengetahui Dita yang saat ini tengah mengandung, membuat energi di dalam tubuh nya seolah terkuras habis memikirkan hal itu. Dita tengah hamil. Ke mana, dia harus mencari wanita itu? Bahkan, Lisa yang merupakan harapan terakhir nya untuk mengetahui di mana Dita, tak mengetahui keberadaan wanita itu sama sekali. Mengayunkan langka nya pelan, alunan langka-itu Aditya hentikan--saat dari jauh pria itu mendapati keberadaan Jeni. Membekukan manik elang nya, terus menghantarkan pandangan nya pada wanita itu, hingga mata Aditya berhenti pada perut buncit Jeni. Kembali di sadarkan oleh keadaan, raut wajah itu tak lagi sama--sebab kini ada dua wanita yang tengah mengandung anak nya, "Aku sama sekali tidak menyangkah, semua nya akan terjadi seperti ini. Bukan hanya Jeni saja yang telah m
Dion memang adalah sahabat baik nya, dan sudah seperti saudara untuk Aditya. Dan-hal yang wajar, jika pria itu datang menjenguk istri nya. Namun, kekhawatiran yang Dion tunjukkan menurut Aditya sangat sudah berlebihan. Seperti seseorang yang memiliki hubungan yang begitu dekat. "Dia masih sedang di periksa," sahut Aditya, sekian detik pria itu mengabaikan pertanyaan yang Dion lontarkan untuk nya. Kembali diam, namun Aditya tetap bergelayut dengan rasa penasaran nya, apa lagi-dari mana Dion mengetahui kalau Jeni sedang masuk rumah sakit? Membuat pria itu tak mampu menahan diri nya lagi, untuk tidak bertanya. "Bolehkah aku tahu, dari mana kau mengetahui Jeni masuk rumah sakit?" tanya Aditya, dengan nada suara nya yang berat, sebab takut jika pertanyaan yang dia lontarkan akan menyinggung perasaan sahabat baik nya itu."Dari Amina," sahut Dion, sekilas menatap Aditya dan kembali melemparkan pandangan nya ke arah pintu ruangan, dan kembali menunjukkan wajah gusar nya. Terlalu hanyut d
Merenung-memikirkan semua perkataan Mama Nita, dan tentang perselingkuhan nya dengan Jeni--hingga sampai membuahkan hasil, membuat-Dion sampai tidak menyadari kalau saat ini Arman sedang membawa langka kaki menuju pada nya. Hingga, saat tiba-tiba saja--saat ada seseorang yang menarik kra baju nya, membuat pria itu terkejut bukan main. "Arman," gumam Dion, dengan wajah kaget nya. Namun, karena dalam posisi tak siap-membuat Dion seperti tak memiliki waktu untuk melakukan perlawanan.Menyeret nya ke tempat yang sepi, dan saat Arman telah menghentikan langka kaki nya--Dion cepat-cepat melepaskan kra baju nya, "Lepaskan!" hardik Dion, dan memperbaiki baju nya yang nampak kusut."Apa, yang kau lakukan di sini?!" tanya Arman, dengan nada penuh emosi."Jeni masuk rumah sakit, bagaimana pun-aku harus melihat nya. Dan, aku rasa kau sudah tahu-kalau anak yang di kandung adik mu, bukan anak dari Aditya, melainkan aku."Arman mengusap wajah nya frustasi, memandang tidak percaya--mendengar kata-ka
Saat membuka pintu ruangan--raut wajah Mama Nita seketika berubah, begitu wanita paruh baya itu mendapati keberadaan Dion, sahabat baik putra nya di dalam kamar rawat. Kembali memutar memory nya pada malam hari, di mana-diri nya mendapati Dion yang begitu mengkhawatirkan keadaan Jeni. Dan-Mama Nita merasa aneh dengan sesuatu yang menurut nya tak biasa. "Dion," gumam Mama Nita, dengan tatapan lekat-lekat nya pada pria itu.Kedatangan Mama Nita yang tak di sangka nya, mampu menciptakan rasa tidak nyaman di dalam diri Dion. Apa lagi--diri nya dapat melihat dengan jelas, kalau Ibu kandung dari sahabat nya itu--nampak tidak suka dengan keberadaan nya. "Jeni, Tante, aku pamit," ujar Dion tiba-tiba, yang akhir nya memutuskan untuk pulang. "Kamu, sudah mau pulang?" tanya Mama, dengan tatapan lekat-lekat nya pada Dion."Iya Tante, saya pamit pulang--sebab ada hal yang mesti saya kerjakan sekarang," sahut Dion, namun pria itu melemparkan lirikan mata nya pada Jeni. "Baiklah, kalau begitu ha
Arman saat ini sedang dalam perjalanan menuju tempat tinggal Dita, yang terletak di pinggiran kota. Telah turut menghancurkan hidup Dita, membuat pria itu tak dapat tenang, akibat selalu saja di hantui rasa bersalah nya. Menempuh perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dari dua jam, kini Arman telah tiba di depan tempat tinggal Dita.Namun, sekejap-raut wajah pria itu berubah, saat dari dalam mobil diri nya yang mendapati pintu rumah Dita dalam keadaan tertutup. Di landa tanda tanya, namun pria itu tetap berlalu dari dalam mobil nya. "Ke mana, dia? Apakah, dia sedang pergi ke pasar-ataukah, sedang mengantarkan jahitan orang?" gumam Arman, dengan berbagai tanda tanya yang kini bersarang di dalam diri nya. Menunggu tentu nya adalah hal yang membosankan. Guna mengusir kejenuhan itu, Arman memutuskan untuk berselancar dengan dunia maya. Bersandar malas pada body mobil nya, hingga suara seseorang yang menyapa pada nya--membuat lamunan pria itu membela. "Hallo Tuan," sapa seseorang.
Arman telah kembali ke rumah nya. Namun, di dalam diri pria itu selalu di liputi tanda tanya. Tentang, siapa sosok ayah bayi-dalam kandungan Dita. Namun, Dita yang memilih untuk merahasiakan nya, membuat Arman tak bisa melakukan apa-apa.Menghempaskan tubuh nya ke atas ranjang, melepaskan lelah yang begitu menggorogoti tubuh nya. Bukan hanya lelah raga, namun Arman juga lelah dengan pikiran nyaBerpikir keras tentang sosok ayah, dari bayi yang Dita kandung? Hingga kesedihan, dan luka di wajah Dita yang kembali melintas dalam pikiran nya, membuat hati Arman tersentil dan rasa bersalah itu kembali datang. Suara telepone menyapa gawai milik Arman tiba-tiba, membuat pria itu segera memalingkan pandangan pada HP nya-yang tersimpan di atas meja. Segera bangkitkan tubuh nya, dan membawa langka kaki itu. Mimik wajah Arman tak lagi sama, begitu mendapati-kalau yang melakukan panggilan telepone adalah adik nya, Jeni."Jeni," gumam nya, dan dengan gerakan yang malas-Arman menyambut panggilan ma
Dua hari kemudian.Arman memutuskan untuk kembali menemui Dita. Namun, kali ini ada yang nampak berbeda dengan pria itu. Bukan-karena potongan rambut nya yang baru, atau penampilan pria itu yang nampak berbeda, melainkan di dalam mobil milik nya, yang di penuhi dengan barang-barang. Mulai dari sembako, dan barang lain nya. Hampir dua jam menempuh perjalanan, kini Arman teah tiba di depan kontrakkan sederhana milik Dita. Segera membawa tubuh nya ke luar dari dalam mobil, Arman bergegas menuju pintu belakang, membuka nya, dan mengeluarkan banyak barang dari sana.Melangkah menuju kediaman Dita-tak sengaja memalingkan wajah itu, dan mendapati ada nya beberapa pasang mata-yang menatap nya, seraya berbisik. Dan, hanya bisa menghela napas nya yang berat. *****Dita saat ini tengah sibuk dengan pekerjaan menjahit nya. Wanita itu tengah menjahit dress orang dewasa. Sekejap, diri nya membeku begitu mendapati kedatangan Arman. Bukan karena kedatangan pria itu yang membuat Dita shyok, namun
Beberapa jam kemudianBeberapa menit menempuh perjalanan--akhirnya mobil yang membawa Dita telah kembali berada di rumahnya. Saat akan turun dari dalam mobil, mimik wajah Dita seketika berubah setelah mendapati adanya sebuah mobil asing yang terparkir di depan rumah. Melangkahkan kakinya--namun pandangan itu tak Dita putuskan dari mobil berwarna merah itu. "Dita---." Panggil suara tidak asing-membuat pandangan Dita teralihkan, dan seketika mimik wajah Dita berubah kaget--setelah mendapati siapa yang menyeruhkan namanya itu."Anita!" gumam Dita dengan tatapan tidak percayanya. Dita segera mengambil langka lebarnya menghampiri wanita yang sudah lama tidak dia temuinya itu.Namun, adanya baby Damar dalam gendongan Anita membuat antusias di dalam diri Dita hilang sekejap. "Kapan kau datang?" tanya Dita, tanpa meminta persetujuan Anita--wanita itu segera mengambil alih Damar dalam gendongan sahabatnya, dan melabuhkan kecupan singkat pada pipi gembul baby Damar. "Sekitar dua puluh menit y
Kendaraan yang membawa Dita--telah terparkir di halaman depan rumah sakit. Dengan ragu, wanita bernama Anandita Setiawan itu menurunkan kedua kakinya. "Apakah perlu saya temani, Nyonya?" tanya sang sopir tiba-tiba, saat Dita tak kunjung melangkahkan kakinya ke dalam bangunan di depannya. "Tidak perlu Pak, Bapak tunggu di sini saja," sahut Dita dengan menoleh sebentar pada sopir pribadinya, dan kembali membawa pandangan pada bangunan yang berada di depan."Baiklah Nyonya, kalau begitu saya akan memarkirkan mobil-dan menunggu anda di sana saja," ujar sang sopir memberitahu, seraya jari telunjuknya mengarah pada sebuah pohon yang rindang yang berada di dekat halaman parkir. "Baik Pak," sahut Dita, dan sang sopir segera melajukan kembali kendaraan roda empat itu. Dita menghembuskan napasnya kasar, meraup udara sebanyak mungkin--saat merasa pasukan oksigen di dalam dadanya berkurang. Suasana hatinya tiba-tiba tak karuan. Antara iya, dan tidak, untuk dirinya masuk ke dalam bangunan rum
Awan tak lagi putih, langit tak lagi biru--sebab kini bumi telah diselimuti kegelapan kala malam kembali menyapa. Angin berhembus sedikit kencang, membuat tirai yang menggelantung tertiup kala angin berhasil mencuri masuk ke dalamnya. Mendapati hal itu Dita segera menghampiri. Kedua tangannya menarik ujung gorden, dan menyatukannya dengan lebih rapat lagi. Mengedarkan pandangannya menjelajahi seisi ruangan. Suasana kamar kini sangat berbanding terbalik dengan tadi. Tadinya kamar ini sangat riuh, dengan celotehan, dan tangisan ketiga buahatinya. Namun, kini telah lenggang karena bayi-bayi miliknya sudah terlelap. Menghembuskan napasnya panjang, Dita meraup oksigen sebanyak mungkin melepas lelah yang begitu menggerogoti di tubuh. Dita merasa seperti baru saja melepaskan beban yang cukup berat. "Ternyata ada asam-manisnya," gumam Dita, dengan senyuman yang dia ukir di wajahnya. Dita memutuskan untuk kembali melihat ketiga bayinya. Menyingkap tirai tipis yang menghalangi pandangan, s
Sangat tidak keberatan untuk seorang Aditya Wijaya jika Dion memberikan putranya untuk dia asuh--sebab perasaan memiliki itu sudah ada untuk anak dari sahabat baiknya itu sejak dia lahir. Namun, yang jadi pertanyaan untuk Aditya--kenapa Dion ingin memberikan anaknya pada dia, sebab pria itu sendiri pernah meminta padanya agar Aditya mengikhlaskan Damar untuknya."Katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi, sampai kau ingin memberikan Damar padaku?" tanya Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar menuntut. Kedua alis tebal Aditya menyurut, saat pupil hitam pekat pria itu semakin tajam ketika menatap Dion. Bukan hanya Aditya saja yang dibuat kaget dengan permintaan Dion, namun Dita juga. Dirinya sama sekali tidak keberatan jika Dion memberikan putranya pada dia, dan Adtya, untuk diasuh oleh mereka. Namun, yang membuat Dita heran---sebab Dion--dulu ingin merawat putranya sendiri. "Iya, Dion. Aku sama sekali tidak masalah kalau kau memberikan Damar pada aku, dan Aditya. Aku akan mer
Baby Adrian yang sudah mabuk ASI perlahan melepaskan puting susu ibunya sendiri, dan kini sudah terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya. Dan saat Dita kembali menyodorkan putingnya, bayi itu kembali melepaskannya dan kini justru memasukkan gumpalan jari ke dalam mulutnya. Baby Adrian kini fokus bermain."Sepertinya dia sudah kenyang," ujar Aditya. "Iya Mas," sahut Dita membenarkan, dan wanita itu memutuskan untuk membaringkan putranya disamping saudara kembarnya. Dalam keadaan kenyang, membuat baby Adrian dan juga Adriana tak lagi rewel. Kedua bayi itu kini bermain, menendang-nendang kecil kaki mereka, ataupun mengemut jari-jarinya. Dan, kegiatan kecil yang dilakukan oleh bayi kembar itu mampu membuat perasaan kedua orang tuanya terhibur. "Mereka sangat menggemaskan ya, Dit?" ujar Aditya-dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Sekilas menatap pada Dita, dan kembali memfokuskan pandangannya pada kedua anaknya. Aditya nampak sangat menikmati apa yang dia lakukan saat ini. "Mas-
Dua bulan kemudianWaktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa dua bulan telah berlalu, sejak kelahiran baby Adrian, dan Adriana. Banyak hal yang telah dilewati dalam dua bulan terakhir ini. Salahsatunya Dita yang kini telah pindah dari villa, dan menempati rumah barunya, yang barus atu bulan ini dibeli oleh Aditya.Hari-hari yang dilewati Dita penuh dengan kebahagiaan. Suami yang sangat mencintainya, dan memiliki kedua anak yang semakin hari, semakin menggemaskan di matanya. Dita, seperti memiliki mainan baru-sebab sejak kehadiran baby Adrian, dan baby Adriana membuat hari-hari dari Ibu muda itu terasa jauh lebih berwarna. Namun, kadang Dita suka menemukan kerepotan kalau kedua bayi kembar itu rewel bersamaan.Dan, tanpa Dita sadari dirinya sering mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Seperti biasa, saat pagi hari sebelum Aditya bangun Dita telah berkunjung ke kamar bayi yang bersebelahan dengan kamarnya, dan Aditya. Berada di kamar dengan cat berwarna putih yang mendomi
Dunia Dita seperti berhenti berputar, setelah dirinya mendapati kedatangan Mama Nita. Serasa seperti mimpi, bolamata wanita itu tak ada kedipan sama sekali saat menatap pada wanita yang masih berstatus ibu mertuanya nya. Hingga, Dita nampak tercengang saat menyadari kalau saat ini posisinya dan Mama Nita sudah sangat dekat. Sekian tahun tak bersua, membuat suasana canggung begitu terasa untuk kedua wanita beda generasi itu. Saling menatap, namun keduanya tetap dengan diam. Bingung, harus memulainya dari mana. "Dit--." Mama Nita bersuara pelan, setelah sekian detik keheningan melandanya dan Dita. Dia tahu, kalau menantunya itu ingin menyapanya lebih dulu namun merasa sungkan."Maa," sahut Dita, dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Sebab, walaupun sang ibu mertua telah bersuara terlebiih dahulu namun dirinya masih merasa canggung. "Maaf, untuk semuanya. Mama sangat menyesal. sebab telah membencimu padahal kau tidak melakukan kesalahan apapun,"lirih Mama Nita. Mimik wajahnya tela
Aditya membeo. Pria itu masih memfokuskan pandangannya pada kedua orangtuanya. Kedatangan mereka sama sekali tidak disangka-sangka pria itu. Terutama sang Bunda--yang juga turut datang bersama ayahnya. "Adit! Bagaimana? Apakah Dita, sudah melahirkan?" tanya Mama Nita. Mimik wajah wanita paruhbaya itu menunjukkan kekhwatirannya yang teramat sangat. Saat melayangkan pertanyaan, Mama Nita melemparkan pandangannya ke arah pintu ruang operasi. Aditya tak langsung menyambut. Sebagai orang yang turut tahu tentang dia dan Dita selama ini, Aditya melirikkan matanya-menatap sang ayah dengan lekat. Dan, Papa Herman yang ditatap seperti itu hanya menganggukkan kepalanya pelan. Pria paruhbaya itu seolah sudah mengerti tatapan dari putranya, itu. "Belum Maa," sahut Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar berat. Saat menjawab pertanyaan Mama Nita, hati Aditya mendadak perih sebab operasinya sudah memakan waktu sedikit lama. Raut wajah pria itu mendadak layu. "Kita berdoa semoga operasinya be
Suara dering telepone terdengar di dalam ruangan, membuat keheningan yang melanda seketika membelah. Dan, ternyata itu panggilan telepone yang datang dari gawai milik Aditya yang saat ini sedang dalam pengisian daya. "Dari tadi HPmu terus saja berbunyi, dan sepertinya itu telepone yang penting," ujar Mama Nita memberitahu.Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Ibunya tanpa menunggu lama lagi, Aditya segera menghampiri gawainya yang tersimpan di atas sebuah kabonet kecil. Melepaskan colokannya, dan mendapati nama Bibi Supi pada layar HPnya. Meyakini ada sesuatu yang serius, Aditya segera melakukan panggilan balik pada Bibi Supi. Saat melakukan telepone balik, Aditya tak berada lagi di ruangan yang sama dengan kedua orang tuanya dan Roki. Lki-laki tampan itumemilih untuk berpisah ruang, menuju teras rumah dengan kolam renang yang berada di depannya. Apa yang Aditya lakukan, membuat ketiga sosok yang bersamanya seketika dilanda rasa penasaran. Dan, mendapati bagaimana gestur tub