“Kenapa sih, ibu jahat banget sama Hau!”
“Hau ada salah apa sama ibu?”Masih dengan air mata yang mengalir dari kedua pelupuk matanya, gadis kecil berponi dora itu terus berlari tak tentu arah, sehingga karena kurangnya keseimbangan ia harus tergelincir oleh batu kelikir yang saat itu juga langsung mengambrukkan tubuhnya di atas paving yang kasar.“Hau mau benci ibu, kayak Ibu benci Hau.”Dengan tersedu-sedu ia terus berbicara melalui suaranya yang serak, berusaha melampiaskan segala rasa sakit yang menikam hati nya saat ini, sampai tak sadar jika darah pun turut merembes dari lututnya yang sedikit sobek karena benturan.“Ayah, Hau takut!”Dalam keadaan terduduk di atas paving, gadis yang diketahui bernama Haura itu menekuk kedua lutut dan memeluknya seerat mungkin, tak lupa ia juga menelungkupkan wajahnya di dalam lipatan itu.Hingga sebuah tepukan kecil berhasil membuatnya terlonjak dan reflek mendongak, menataSesuai dengan apa yang Hanny katakan sebelumnya. Kini mereka semua, sudah berada dalam satu ruangan yang dipenuhi oleh berbagai macam bunga segar.“Huft! Akhirnya selesai juga.” Hembusan nafas penuh kelegaan akhirnya dapat Tania lepaskan, lantas secara bergantian wanita itu menoleh ke kanan dan ke kiri, guna menatap kedua sahabat yang tengah menghimpit tubuhnya.“Btw, makasih ya kalian. Udah mau bantu beres-beres disini. Terutama kamu Tiar,” sambung Hanny menatap tulus Tania, lantas berhenti pada Tiar yang sudah mau merelakan tidur siangnya hanya untuk membantu beres-beres.Merasa namanya disebut, membuat pria berkacamata itu mengangguk semangat. Kemudian dengan perlahan ia menggerakkan kakinya untuk melangkah, dan berdiri tepat di samping Hanny. Tanpa aba-aba ia pun langsung melingkarkan lengan kekarnya pada pundak Hanny."Demi bumil apa sih, yang enggak," gumamnya, disertai kedipan sebelah matanya genit. Dan Hanny sendiri sa
Sepeninggal Tiar dari kediamannya, Hanny segera melangkah masuk ke dalam rumah, menyusul Raka yang sudah lebih dulu meninggalkannya.“Mas, tunggu! Aku mau ngomong sama kamu!” Suara Hanny yang menggema di ruangan, tetapi Raka justru semakin mempercepat langkah, dan tak mengindahkan panggilannya sedikitpun. Hanny yang tidak mau kalah pun turut menambah kecepatan pada langkahnya, berusaha untuk mensejajarkan langkah keduanya. Tepat di depan pintu kamar mereka, Hanny berhasil menahan pergelangan tangan Raka, dan membuat pria itu berhenti seketika.“Mas, lihat aku! Aku mau ngomong sama kamu!” serunya, membuat Raka akhirnya berbalik badan, menghadap penuh ke arahnya. “Kamu apa-apaan sih? Tiar itu temen aku dari kecil, apa pantes kamu ngusir dia kayak tadi?” Protes Hanny tak terima dengan perlakuan Raka beberapa menit yang lalu.Namun, Raka justru menunjukkan raut datar tanpa ekspresi, tampak tak terpengaruh sedikitpun oleh ucapan Hanny. Hingg
Dengan setiap tekanan pada pedal gas, langit malam menjadi saksi pria berahang tegas itu membelah jalanan dengan mobilnya, disertai sebuah ekspresi marah yang menggelegak di dalam dirinya. Suara mesin yang bergemuruh memotong hening malam, menciptakan jejak kegelapan di belakangnya.Pandangan matanya yang tajam membelah kegelapan jalanan. Cahaya lampu jalan dan bayangan bangunan menciptakan serangkaian kontras yang mewarnai rasa amarah yang terpendam. Setiap tikungan yang dilewati oleh mobilnya menjadi arena di mana kemarahan itu mencari celah untuk meledak.Dalam kecepatan, bunyi ban mobil yang menghancurkan jalanan menyatu dengan denyut marahnya. Jiwanya merasakan getaran mesin sebagai penguat emosi yang terus tumbuh. Setiap kilometer yang dilaluinya membawa dia lebih jauh dari kenyamanan malam, atau mungkin … juga membawanya menuju pertarungan batin yang lebih dalam.Sesekali pandangannya melesat ke langit, seolah mencari jawaban di antara bintang-bin
Perlahan Raka mulai mengerjap-kerjapkan mata, berusaha menyesuaikannya dengan intensitas cahaya dari ruangan tempatnya berada saat ini.Pria itu sedikit mengerang saat merasakan lelah sekaligus puas dalam satu waktu. Namun, itu tidak berlangsung lama karena kini otaknya kembali memutar betapa kacaunya wajah Hanny yang ia tinggalkan sendirian di rumah.'Bodoh! Harusnya lo tenangin dia, lo peluk istri lo, bukan malah nyari kenikmatan di sini' batin pria pemilik rahang tegas dan mata yang condong kedalam yang kini telah sepenuhnya duduk.Saking merasa frustasinya ia sampai memjambak rambutnya sendiri, bergarap dengan itu ia bisa menghilangkan rasa bersalah yang hinggap dalam dirinya. Lantas kepalanya sedikit tertoleh, guna melihat ponselnya yang tergeletak di atas nakas, tangannya pun segera terulur untuk mengambil benda itu, dan lagi-lagi matanya harus dibuat terbelalak kaget saat mendapat beberapa spam chat dan panggilan dari nomor Tania.
Kini Raka sudah mengambil duduk tepat di samping tubuh Hanny yang masih terbaring tak bertenaga, diatas kasur rumah sakit. Wajah pucat pasi yang wanita itu tunjukan berhasil membuat rasa penuh kekhawatiran di dalam tubuh Raka meledak seketika.Suara bising dari perangkat medis yang tengah beroperasi, berhasil menjadi backsound yang memecah keheningan di antara sepasang suami istri itu. Kemudian dengan gerakan perlahan pria berahang tegas itu pun, segera menarik tangan yang masih tertancap infus untuk digenggam, lantas diusapnya dengan lembut, berharap sentuhan itu dapat memberikan sedikit kenyamanan untuk Hanny yang tengah berjuang untuk kembali pulih.Namun, siapa sangka hal itu berhasil membuat mulut Hanny mengerang, ketika merasakan sensasi pusing kembali mendera area kepalanya. Di tengah keadaan itu, bau alkohol dari pembersih medis turut menguar, hingga mencapai indera penciuman, dan otomatis membuat sepasang mata yang tadinya tertutup sayu perlah
Devina terus memutar-mutar boneka mini di tangannya, otaknya pun turut berputar memikirkan tujuan utama, dan dalang dibalik teror yang ia terima.“Yuda? Jika benar ini ulah pria itu, lalu apa tujuannya?” wanita itu tampak menimang-nimang beberapa asumsi yang bermunculan dalam kepalanya. Hingga tanpa sadar sudah ada seorang wanita lain yang berdiri tepat di hadapannya.“Are you okay?” Wanita itu tampak melambai-lambaikan tangannya di hadapan Devina, membuat sang empu terkejut dan reflek menyembunyikan benda itu di balik tubuhnya.“I-iya aku baik-baik aja!” jawabnya dengan gelagapan. Ekspresi pada wajahnya turut berubah tegang, mencerminkan kombinasi antara keterkejutan dan usaha menutupi aktivitas yang sebelumnya tengah dilakukannya. “Kamu yang waktu itu, ‘kan? Ada perlu apa? Tumben kesini, atau mau minta ganti rugi ya?” sambung wanita itu mencoba setenang mungkin. Mendapat pertanyaan seperti itu, membuat Tania menggelengkan kepalanya dengan cepat, merasa canggung. “Enggak! Bukan, b
Sudah terhitung hampir satu minggu, selepas kepulangan Hanny dari rumah sakit tempatnya dirawat. Namun, wanita berusia 25 tahun itu sama sekali tak mengendurkan sifat dingin, serta ekspresi datar yang terpampang jelas di wajahnya.Dan tentu, hal itu berhasil membuat sang suami kelabakan sendiri, Hanny yang biasanya selalu memberikannya perhatian ekstra, kini sama sekali tak mengindahkan keberadaannya. Bahkan jika tidak ditanya pun, wanita itu tidak akan pernah membuka suara. Seperti halnya saat ini, meskipun Raka tengah berada tepat di sampingnya, nyatanya Hanny lebih tertarik untuk menatap layar kaca yang berada di hadapannya, sesekali ia terkikik geli tatkala mendapati adegan lucu yang ditayangkan. Berbanding terbalik dengan Raka yang beberapa kali menghembuskan nafas berat, menciptakan suara yang nyaris terdengar di tengah keheningan yang membeku. Pria itu terus mencoba mencari cara untuk menyatukan kembali atmosfer hangat di antara mereka, tetapi setiap usaha yang ia lakukan tam
Memilih diam dan memendam, demi sebuah keharmonisan. Mungkin itulah yang tengah dijalani Hanny saat ini. Tak masalah jika setiap hari ia harus menyajikan senyuman palsu dan pura-pura bahagia, asalkan itu bisa menjaga ketenangan rumah tangganya. Tak apa jika ia akan dianggap bodoh, asalkan kelak anaknya bisa lahir dari keluarga yang utuh. Mungkin hanya itulah yang ada dipikiran wanita berusia 25 tahun itu, karena ia juga percaya bahwa pil pahit kehidupan yang tengah ia telan, akan membawanya ke dalam sebuah kebahagiaan yang manis nantinya. Namun, jika benar kalian telah menganggap wanita itu bodoh, maka selamat! Kalian salah besar. Sebab dibalik itu semua, seorang Hanny diratama, telah merencanakan langkah-langkah strategis untuk merebut kembali hati sang suami. Dengan sabar, Hanny berusaha menciptakan momen-momen kebersamaan yang bisa mengingatkan suaminya akan nilai-nilai keluarga yang pernah mereka bangun bersama. Meskipun semenjak Hanny tau fakta perselingkuhan Raka, pria itu sa
“Bunny!”“Hanny!”Teriakan yang menggema secara bersamaan, berhasil mengambil alih atensi Hanny, membuat wanita itu sontak menoleh guna mencari sumber suara, dan melemparkan senyum, sembari melambaikan tangan, ke arah Haura, juga Tania yang berada di tepian jalan.“Hanny, minggir! Di belakang lo!” Dengan wajahnya yang sudah pucat pasi, Tania kembali berteriak dengan lantang, membuat Hanny menyerngit heran. Namun, tak urung wanita itu menoleh, tapi sayang. Semuanya terlambat.Motor yang terus melaju kencang ke arahnya, membuat kakinya kelu untuk bergerak, saat itu juga netranya membulat sempurna dengan perasaan tak karuan.“Awas!” Hingga teriakan itu kembali menggema, bersamaan dengan tubuhnya yang terhuyung tak tentu arah, dan berakhir dengan suara tabrakan yang begitu nyaring hingga memekikkan telinga. “Hanny!” Tania yang sudah berlari, reflek menghentikan langkahnya, dengan mata yang berembun detik itu juga. Sedangkan yuda, dengan cepat pria itu menutup wajah Haura, tak membiarkan
“Maksudnya pindah?” Tania reflek berdiri dan berbalik badan untuk menatap Tiar yang tengah berdiri.Tiar tidak langsung menjawab, pria itu lebih dulu menghela nafas berat, lantas membalas tatapan Tania tak kalah intens. “ Aku mau ajak Haura pergi dari sini. “Lebih tepatnya, pergi dari kota ini. Aku gak bisa tinggal di sini terus,” imbuhnya sembari menelisik keadaan sekeliling ruangan dengan senyum yang semakin pudar. Jika boleh jujur, Tiar sudah nyaman berada di rumah pemberian Hanny itu. Namun ia juga masih sadar diri. Ia tidak bisa berhutang budi pada wanita itu.“Jangan bilang, ini karena masalah Hanny sama devina?” Tania kembali bergumam, dengan suaranya yang tiba-tiba bergetar. Pertanyaan itu berhasil membuat Tiar langsung menundukan kepala, apalagi saat melihat wajah Tania yang tiba-tiba memerah, dengan mata yang berkaca-kaca.“Emangnya Bunny, sama Ibu punya masalah apa? Gara-gara Haura ya!” Sial sepertinya kedua orang dewasa itu telah melupakan sosok malaikat kecil yang seja
“Ooo … Jadi selama ini kita makan di resto milik pelakor!” Seorang wanita paruh baya memekik dengan begitu lantang. Disambung dengan suara ricuh dari pelanggan lain yang turut mencibir sosok Devina. Tentu saja, mendengar hal itu membuat Hanny merasa puas dengan perlawanan yang ia berikan. Cukup sudah berdiam diri, kini wanita hamil itu akan turun untuk beraksi.“Mending, kita pergi dari sini! Gak usah lagi makan disini. Bisa-bisa laki kita diembat juga sama dia.” Seorang wanita lain, turut nimbrung, lantas berjalan mendekati Devina, tanpa aba-aba ia langsung menyiramkan segelas air yang tergeletak diatas meja. “Dasar pelakor! Tau rasa kamu sekarang!” tuturnya tersenyum senang. Devina yang mendapatkan serangan mendadak, tentu saja berhasil dibuat terkejut. Wanita itu reflek menutup mata, tatkala segelas air langsung terjun membasahi seluruh wajahnya.Devina semakin dibuat naik pitam, dadanya yang bergemuruh, semakin panas saat menghela nafas, dengan kasar ia meraup wajahnya sendiri
Tania yang baru saja hendak pergi bekerja, harus terlonjak kecil tatkala mendapati sang sahabat sudah berdiri di ambang pintu rumahnya, kini wanita itu tak lagi tinggal di apartemen, ia memutuskan untuk kembali ke kediaman kedua orang tuanya. Tania segera meraih punggung Hanny untuk ia cengkram dengan kuat, netranya menelisik setiap jengkal tubuh wanita hamil di hadapannya. “ Hanny? Kok kesini gak bilang-bilang.”Hanny menggeleng, sembari menerbitkan seulas senyum ia meraih tangan Tania untuk ia genggam. “Ada perlu sama kamu,” “Yaudah yuk masuk!” Tania berniat menarik tubuh Hanny untuk melangkah masuk, tetapi wanita itu langsung menolak. Tentu saja, hal itu langsung membuat Tania menyerngit penuh tanya. “Nanti aja deh, Tan. Kamu mau berangkat kerja ‘kan,” tutur Hanny bermaksud untuk kembali beranjak dari sana. Namun, dengan cepat Tania langsung menahan tangannya.“Nggak papa, gue bisa tukeran shift sama dokter lain.” kilah Tania, yang langsung mengeluarkan benda pipih dari dalam
“Udah kenyang?” Tania yang saat ini teng duduk diatas trotoar, menoleh ke arah Yuda yang baru saja memberinya pertanyan.“Udah!” balasnya sembari menunjukan deretan gigi-gigi putihnya yang tersusun rapi.“Yaudah ayok!” Yuda lebih dulu berdiri, bukannya segera mengikuti, Tania justru hanya mendongak dengan menampilkan lipatan-lipatan pada dahinya.“Mau kemana?” wanita itu kembali bertanya dengan wajah cengonya, dan melihat itu membuat Yuda tak lagi bisa menahan kedua sudut bibirnya untuk terangkat.Malam ini, pria itu berhasil melihat siapa Tania yang sebenarnya, bukan gadis bar-bar yang suka asal ceplos, melainkan gadis unik dengan segala kelemotannya. Jadi sekarang dia sudah tidak heran lagi, kenapa Tiar suka sekali memarahi wanita di hadapannya itu. “Pantesan,” Tanpa sadar Yuda berucap, membuat Tania semakin menyerngit penuh tanya, begitu pula dengan dirinya yang juga tampak syok sendiri.“Apanya?” Tania bertanya. Yuda menggeleng cepat.“Bukan apa-apa!” Kali ini, Tania tidak bern
Tak perlu waktu yang lama, taxi yang ditumpangi Tania sudah sampi di tempat tujuan. Sebelum benar-benar beranjak, Tania membayar dan mngucapkan terimakasih kepada pria paruh baya yang sudah mengantarkannya dengan semangat.Seulas senyum pun langsung terbit di wajah cantik wanita itu, tatakal mendapti sebuah Toko bunga yang sudah tutup, lantas netranya bergerak pada favilliun kecil yang ada disebelahnya.“Akhirnya sampai juga,” gumamnya, sebelum kembali melangkah, dan langsung mengetuk pintu yang ada di hadapannya saat ini.“Permisi!” Tania kembali bergumam saat belum juga mendapat respon dari dalam.Gadis itu menghela nafas, “Apa udah pada tidur ya?” tanyanya pada diri sendiri, lantas ia melihat jam yang melingkar cantik di pergelangan tanganya. “Masa iya udah tidur, ‘kan masih jam segini!” sambungnya dilanda rasa bimbang. “Ck! aish!” Wanita itu berdecak, sembari menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “Lagi lupa lo ngapain sih, dateng kesini malem-malem. Gak jelas banget s
Sepeninggal kedua temannya, kini tatapan Hanny fokus ke arah depan, wanita itu sama sekali tak mengindahkan keberadaan sang suami yang berada tepat di sampingnya.Awalnya tidak ada yang membuka suara, semua tampak tengah fokus pada pikiran masing-masing. Hingga sang pria lah yang lebih dulu berdehem, tetapi sayang deheman utu sama sekali tak membuat sang istri menoleh ke arahnya. “Sayang,” panggil Raka setengah berbisik, bersamaan dengan itu, tangannya turut bergerak mengusap surai panjang milik Hanny.“Apa?” Akhirnya Hanny menoleh, walaupun tatapannya terlihat sangat tidak bersemangat. “Maafin aku ya!” balas Raka mengulum senyum.“Buat apa?” sembari menarik sebelas alisnya untuk terangkat, Hanny terkekeh singkat.Tangan yang masih setia mengusap surai sang istri, perlahan turun dan berhenti tepat pada kedua tangan Hanny, kemudian ia genggam tangan itu seerat mungkin. “Maaf, aku udah lali jaga kamu!” pria itu berkata penuh penyesalan, saat berhasil mencium kedua tangan sang istri de
Detik demi detik berlalu dengan begitu cepat, menggantikan menit menjadi jam, dan siang menjadi malam. Dan kini, Raka sudah berdiri tegak di hadapan pintu apartemen milik mantan sekretaris.Hampir 5 menit berlalu, tetapi sang empu tak juga kunjung menampakkan batang hidungnya, membuat Raka semakin frustasi.“Dev, ayo dong buka pintunya! Aku mau masuk!” Pria itu terus mengetuk daun pintu dihadapannya dan sesekali berteriak dengan lantang, berharap wanita di dalam sana segera keluar.“Aku masuk, atau pintunya aku dobrak!” Habis sudah kesabaran Raka, pria itu berucap dengan tegas, dan penuh intimidasi.Sedangkan di dalam sana, tepat diatas ranjang, Devina yang tengah berkutat dengan layar laptopnya menghela nafas jengah. Namun, tak urung wanita itu tetap beranjak menuju pintu utama.“Dobrak aja, kalau kamu berani!” katanya tatkala hampir mencapai daun pintu. “Devina!” Teriakan Raka kembali terdengar, membuat Devina mau tidak mau langsung memutar kunci dan membuka pintu tersebut.“Apa?
Sesuai yang sudah Tiar katakan sebelumnya, tepat setelah 3 jam berlalu, pria tampan berkacamata itu segera melepas jas putih yang sedari tadi melekat di tubuhnya.Menyisakan sebuah kemeja panjang berwarna Biru, yang saat itu juga langsung ia gulung hingga mencapai siku.Dan tidak perlu waktu lama, pria dewasa itu seger! menekan pedal gas mobilnya untuk segera menemui sang sahabat. Hampir 15 menit berlalu dan kini Tiar sudah sampai pada sebuah rumah megah nan tampak sepi.“Tumben lo pulang?” Tiar berujar setelah berada di ambang pintu, membuat sang pemilik rumah yang tengah terduduk di sofa ruang tamu reflek menoleh.Dan tanpa menunggu disuruh, pria itu langsung bergerak dan mengambil duduk tepat di samping Tania.“Telat 15 menit,” cibir Tania mengecek jam di pergelangan tangannya sendiri.“Ck! Lo kira gue iron man, bisa terbang kemana saja?”“Emang iron man bisa terbang?” balas Tania menanggapi ucapan tidak berfaedah dari Tiar.“Hust! Diem. Gue gak tau dan gak mau tau!” Dengan cepat T