Entah sudah berapa jauh Kirei berlari. Satu yang pasti, kakinya terasa begitu sakit karena hanya mengenakan kaos kaki. Kirei tertegun, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. Di sekelilingnya terdapat banyak gedung megah yang menjulang. Kekaguman hadir di hati Kirei. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, dia bisa menjelajahi dua negara, meskipun dengan cara tidak biasa. Kirei mengembuskan napas pelan. Lelah dan lapar mendera hebat. Dia memilih menepi, sambil memikirkan apa yang harus dilakukan, tanpa uang serta bekal apa pun. Entah bagaimana dirinya bisa bertahan. Terlebih, ini adalah Kanada, bukan Indonesia. “Bantu aku, Tuhan,” gumam Kirei. Ditatapnya orang yang berlalu-lalang tanpa peduli.Kirei terduduk di emperan sebuah toko. Dia bersandar di sana, sekadar melepas lelah. Tanpa terasa, kantuk datang. Kirei tertidur dengan kepala terkulai ke depan. Beberapa saat berlalu. Entah berapa lama Kirei tertidur. Dia membuka mata perlahan. Tanpa diduga, di pangkuannya ada beberapa lembar
Sandra kembali tersenyum. “Siapa namamu?” tanyanya.“Ki … Helena. Helena Aguilera,” jawab Kirei yakin.“Apa kau gadis Latin? Hm ….” Sandra memperhatikan Kirei dengan sorot aneh penuh selidik. “Agak berbeda, tapi … maksudku, aku punya teman seorang gadis Latin. Dia tidak terlihat sepertimu, meskipun …. Ah, sudahlah. Lupakan.” Sandra mengibaskan tangan di depan wajah, tak peduli dengan apa yang ada dalam pikirannya.“Ayahku berasal dari Indonesia,” ucap Kirei. Dia mengatakan yang sebenarnya, tetapi mengesankan bahwa dirinya berdarah campuran.Sandra manggut-manggut. “Baiklah, Helena. Apa kau mau ikut denganku?” tawarnya.
“Malam ini?” ulang Kirei tak percaya. “Ya. Kenapa? Apa kau belum siap?” Alicia menatap keheranan. “Bar ini baru dibuka beberapa bulan yang lalu. Kami membutuhkan sekitar tiga sampai lima pegawai lagi. Setiap malam, kami selalu kewalahan melayani pengunjung,” terang Alicia. “Um, iya. Aku … aku hanya belum tahu apa yang harus dilakukan. Maksudku, tugasku di sini.”“Aku akan menjelaskan padamu,” ucap Alicia. Sementara itu, Dev dan Luis terus mencari Kirei dengan menyusuri jalanan kota. Namun, mereka tak juga menemukan wanita muda itu. “Aku heran. Kirei sangat pandai melarikan diri. Jejaknya selalu hilang dengan cepat,” ucap Dev, saat berhenti di sebuah kedai kopi untuk beristirahat. “Tenang saja, Tuan. Kita masih memiliki banyak waktu di sini.” Luis menanggapi tenang ucapan Dev, sebelum meneguk kopinya. Luis merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Dev. Dia belum pernah melihat sang majikan diresahkan oleh seorang wanita. Kali ini, sang ketua La Lechuza tersebut tampak sangat berbeda
“Hai, Kawan. Apa kabar?” sapa Luis, seraya menyalami Owen.“Seperti yang kau lihat,” jawab Owen kalem, kemudian mengalihkan perhatian kepada Dev.“Ini Tuan Dev Aydin,” ucap Luis memperkenalkan.“Apa kabar, Tuan Dev,” sapa Owen, seraya mengulurkan tangan mengajak bersalaman.“Baik,” balas Dev datar. “Langsung saja ke inti dari pertemuan ini,” ucapnya tanpa basa-basi.Owen mempersilakan duduk, lalu memanggil pramusaji untuk memesan minuman. “Jadi, bagaimana? Apa yang bisa kubantu?” tanyanya.Dev tidak langsung menjawab. Dia mengeluarkan selembar foto dari dalam saku jake
“Apa maksudmu, Tuan?” Kirei menatap tak mengerti.“Kami akan memberikan uang tips sesuai yang kau inginkan. Bagaimana?” Si pria tersenyum culas. “Kau tidak akan terlalu kewalahan melayani kami bertiga secara bersamaan ____”“Maaf. Aku tidak bisa,” tolak Kirei segera. Dia langsung berbalik, tak ingin meladeni para pria gila yang sedang berahi.“Hey, Sayang. Tunggu sebentar.” Pria itu meraih tangan Kirei, menahannya agar tidak pergi.Kirei yang merasa terancam, langsung berbalik. Tanpa segan, dia memukulkan nampan stainless yang dipegangnya ke kepala si pria hingga melepaskan cengkraman dan mundur beberapa langkah.Melihat temannya diperlakukan
Kirei tak langsung menyetujui ajakan Owen. Dia terpaku menatap pria tampan bermata biru itu. Kali ini, dirinya harus lebih berhati-hati. Jangan sampai kejadian seperti terhadap Hernan terulang kembali.“Aku bisa pulang sendiri,” tolak Kirei halus.“Kenapa?” Owen tersenyum kalem. “Jangan khawatir. Aku bukan penjahat yang akan menculikmu,” candanya, meskipun terdengar tidak lucu.Namun, Kirei tetap menanggapi dengan senyuman. Ucapan Owen cukup menghibur, walau tak tahu apakah itu murni candaan atau bukan.Owen melangkah makin dekat ke hadapan Kirei. “Aku tahu siapa kau sebenarnya,” ucap pria itu pelan dan dalam.“Maksudmu?” Kirei menautkan
Kirei duduk di hadapan Owen, yang menatapnya dengan sorot tak dapat diartikan. “Sejak kapan kau ada di sini?” “Aku baru masuk.” “Aku tidak percaya.” Kirei menatap ragu.“Sungguh menyedihkan jadi Owen Wyatt. Kenapa sulit sekali mendapat kepercayaan dari orang lain?” Owen menggeleng tak mengerti, lalu berdecak pelan. “Ya, ampun. Apakah kata-kataku telah menyinggung perasaanmu?” Kirei menatap tak enak. “Aku tidak bermaksud begitu, mengingat semalam kau ….” Kirei tak melanjutkan kalimatnya.Owen justru tersenyum kalem menanggapi ekspresi tak enak yang Kirei tunjukkan. “Aku hanya sedang membutuhkan teman bicara,” ucapnya. “Kau pikir, aku adalah orang yang tepat untuk dijadikan teman bicara?”Owen kembali tersenyum kalem. “Ayo. Temani aku jalan-jalan. Anggap saja sebagai balas budi atas pertolonganku kemarin malam,” ujarnya enteng. Kirei mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita muda berkulit eksotis itu menatap aneh.“Ayolah, Nona.” Owen beranjak dari duduk, seakan tak menerima
Kirei tersenyum lebar, diiringi gelengan tak percaya. “Kupikir, kau tidak selucu ini, Tuan Wyatt.”“Aku serius.”Perlahan, senyuman Kirei memudar. Raut wajahnya berubah aneh.“Kenapa?”“Seharusnya, aku yang bertanya kenapa.”Owen tidak menjawab. Dia berbalik, menghadapkan tubuh sepenuhnya kepada Kirei. Pria tampan berambut cokelat gelap itu makin mendekat. “Anggap saja sebagai salam pertemuan dan perpisahan.”“Maksudmu?” Kirei menatap tak mengerti.“Aku tak tahu apakah kita akan bertemu lagi atau tidak. Kau wanita yang sangat menarik, Helena.&rdqu
“New York?” Kirei menatap tajam Owen yang langsung mengangguk. “Kenapa? Kenapa kau ingin membawaku ke sana?” tanya Kirei penuh selidik.“Bukankah kau tidak ingin kembali pada Dev Aydin? Pria itu ada di kota ini. Jika kau juga masih di sini, bukan tak mungkin dia akan menemukanmu dalam waktu dekat,” jelas Owen.Namun, Kirei langsung menggeleng kencang. “Tidak!” tolaknya tegas, seraya berdiri dan menjauh dari Owen. “Aku tidak akan mengulangi kebodohan yang sama, dengan langsung percaya pada pria yang belum kukenal baik.”“Apa yang salah dariku? Aku tidak punya niat buruk padamu. Aku justru ….” Owen yang sudah beranjak dari duduk, berjalan ke hadapan Kirei. “Kau sangat menarik,” ucapnya, seraya menyentuh pipi wanita itu.“Jangan merayuku!” Kirei menepiskan kasar tangan Owen dari wajahnya. “Aku tidak mengenalmu dan tak tahu apa yang kau inginkan.”“Jika aku punya niat buruk, aku pasti sudah memberitahukan keberadaanmu sejak awal kepada Dev Aydin. Aku juga tidak akan mengakui telah ditugas
Kirei tersenyum lebar, diiringi gelengan tak percaya. “Kupikir, kau tidak selucu ini, Tuan Wyatt.”“Aku serius.”Perlahan, senyuman Kirei memudar. Raut wajahnya berubah aneh.“Kenapa?”“Seharusnya, aku yang bertanya kenapa.”Owen tidak menjawab. Dia berbalik, menghadapkan tubuh sepenuhnya kepada Kirei. Pria tampan berambut cokelat gelap itu makin mendekat. “Anggap saja sebagai salam pertemuan dan perpisahan.”“Maksudmu?” Kirei menatap tak mengerti.“Aku tak tahu apakah kita akan bertemu lagi atau tidak. Kau wanita yang sangat menarik, Helena.&rdqu
Kirei duduk di hadapan Owen, yang menatapnya dengan sorot tak dapat diartikan. “Sejak kapan kau ada di sini?” “Aku baru masuk.” “Aku tidak percaya.” Kirei menatap ragu.“Sungguh menyedihkan jadi Owen Wyatt. Kenapa sulit sekali mendapat kepercayaan dari orang lain?” Owen menggeleng tak mengerti, lalu berdecak pelan. “Ya, ampun. Apakah kata-kataku telah menyinggung perasaanmu?” Kirei menatap tak enak. “Aku tidak bermaksud begitu, mengingat semalam kau ….” Kirei tak melanjutkan kalimatnya.Owen justru tersenyum kalem menanggapi ekspresi tak enak yang Kirei tunjukkan. “Aku hanya sedang membutuhkan teman bicara,” ucapnya. “Kau pikir, aku adalah orang yang tepat untuk dijadikan teman bicara?”Owen kembali tersenyum kalem. “Ayo. Temani aku jalan-jalan. Anggap saja sebagai balas budi atas pertolonganku kemarin malam,” ujarnya enteng. Kirei mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita muda berkulit eksotis itu menatap aneh.“Ayolah, Nona.” Owen beranjak dari duduk, seakan tak menerima
Kirei tak langsung menyetujui ajakan Owen. Dia terpaku menatap pria tampan bermata biru itu. Kali ini, dirinya harus lebih berhati-hati. Jangan sampai kejadian seperti terhadap Hernan terulang kembali.“Aku bisa pulang sendiri,” tolak Kirei halus.“Kenapa?” Owen tersenyum kalem. “Jangan khawatir. Aku bukan penjahat yang akan menculikmu,” candanya, meskipun terdengar tidak lucu.Namun, Kirei tetap menanggapi dengan senyuman. Ucapan Owen cukup menghibur, walau tak tahu apakah itu murni candaan atau bukan.Owen melangkah makin dekat ke hadapan Kirei. “Aku tahu siapa kau sebenarnya,” ucap pria itu pelan dan dalam.“Maksudmu?” Kirei menautkan
“Apa maksudmu, Tuan?” Kirei menatap tak mengerti.“Kami akan memberikan uang tips sesuai yang kau inginkan. Bagaimana?” Si pria tersenyum culas. “Kau tidak akan terlalu kewalahan melayani kami bertiga secara bersamaan ____”“Maaf. Aku tidak bisa,” tolak Kirei segera. Dia langsung berbalik, tak ingin meladeni para pria gila yang sedang berahi.“Hey, Sayang. Tunggu sebentar.” Pria itu meraih tangan Kirei, menahannya agar tidak pergi.Kirei yang merasa terancam, langsung berbalik. Tanpa segan, dia memukulkan nampan stainless yang dipegangnya ke kepala si pria hingga melepaskan cengkraman dan mundur beberapa langkah.Melihat temannya diperlakukan
“Hai, Kawan. Apa kabar?” sapa Luis, seraya menyalami Owen.“Seperti yang kau lihat,” jawab Owen kalem, kemudian mengalihkan perhatian kepada Dev.“Ini Tuan Dev Aydin,” ucap Luis memperkenalkan.“Apa kabar, Tuan Dev,” sapa Owen, seraya mengulurkan tangan mengajak bersalaman.“Baik,” balas Dev datar. “Langsung saja ke inti dari pertemuan ini,” ucapnya tanpa basa-basi.Owen mempersilakan duduk, lalu memanggil pramusaji untuk memesan minuman. “Jadi, bagaimana? Apa yang bisa kubantu?” tanyanya.Dev tidak langsung menjawab. Dia mengeluarkan selembar foto dari dalam saku jake
“Malam ini?” ulang Kirei tak percaya. “Ya. Kenapa? Apa kau belum siap?” Alicia menatap keheranan. “Bar ini baru dibuka beberapa bulan yang lalu. Kami membutuhkan sekitar tiga sampai lima pegawai lagi. Setiap malam, kami selalu kewalahan melayani pengunjung,” terang Alicia. “Um, iya. Aku … aku hanya belum tahu apa yang harus dilakukan. Maksudku, tugasku di sini.”“Aku akan menjelaskan padamu,” ucap Alicia. Sementara itu, Dev dan Luis terus mencari Kirei dengan menyusuri jalanan kota. Namun, mereka tak juga menemukan wanita muda itu. “Aku heran. Kirei sangat pandai melarikan diri. Jejaknya selalu hilang dengan cepat,” ucap Dev, saat berhenti di sebuah kedai kopi untuk beristirahat. “Tenang saja, Tuan. Kita masih memiliki banyak waktu di sini.” Luis menanggapi tenang ucapan Dev, sebelum meneguk kopinya. Luis merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Dev. Dia belum pernah melihat sang majikan diresahkan oleh seorang wanita. Kali ini, sang ketua La Lechuza tersebut tampak sangat berbeda
Sandra kembali tersenyum. “Siapa namamu?” tanyanya.“Ki … Helena. Helena Aguilera,” jawab Kirei yakin.“Apa kau gadis Latin? Hm ….” Sandra memperhatikan Kirei dengan sorot aneh penuh selidik. “Agak berbeda, tapi … maksudku, aku punya teman seorang gadis Latin. Dia tidak terlihat sepertimu, meskipun …. Ah, sudahlah. Lupakan.” Sandra mengibaskan tangan di depan wajah, tak peduli dengan apa yang ada dalam pikirannya.“Ayahku berasal dari Indonesia,” ucap Kirei. Dia mengatakan yang sebenarnya, tetapi mengesankan bahwa dirinya berdarah campuran.Sandra manggut-manggut. “Baiklah, Helena. Apa kau mau ikut denganku?” tawarnya.
Entah sudah berapa jauh Kirei berlari. Satu yang pasti, kakinya terasa begitu sakit karena hanya mengenakan kaos kaki. Kirei tertegun, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. Di sekelilingnya terdapat banyak gedung megah yang menjulang. Kekaguman hadir di hati Kirei. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, dia bisa menjelajahi dua negara, meskipun dengan cara tidak biasa. Kirei mengembuskan napas pelan. Lelah dan lapar mendera hebat. Dia memilih menepi, sambil memikirkan apa yang harus dilakukan, tanpa uang serta bekal apa pun. Entah bagaimana dirinya bisa bertahan. Terlebih, ini adalah Kanada, bukan Indonesia. “Bantu aku, Tuhan,” gumam Kirei. Ditatapnya orang yang berlalu-lalang tanpa peduli.Kirei terduduk di emperan sebuah toko. Dia bersandar di sana, sekadar melepas lelah. Tanpa terasa, kantuk datang. Kirei tertidur dengan kepala terkulai ke depan. Beberapa saat berlalu. Entah berapa lama Kirei tertidur. Dia membuka mata perlahan. Tanpa diduga, di pangkuannya ada beberapa lembar