"Saya kira anda tidak akan datang," cibir Princess Lilyana. Earwen menggulum bibirnya ke dalam mendengar cibiran tersebut. "Saya memang berniat untuk tidak dat––" "My Lord!" ungkap Prince Albert dan Princess Lilyana secara bersamaan. Earwen menengok kebelakang dan benar saja Edmund kini sudah berdiri dibelakangnya. Pria itu mengucapkan akan bertemu dengan petinggi kerajaan lain dan tidak akan menyapa Albert dan Lilyana. Tapi sekarang Edmund berdiri di belakangnya. Cih!"Selamat atas pernikahan anda," ucap Edmund seraya melingkarkan tangannya di pinggang Earwen. "Kau menunggu lama?" Earwen menyerngit heran mendengar pertanyaan itu. Tidak biasanya Edmund bertanya seperti itu dan dengan suara yang sangat soft di dengar. Gerutan di dahi Earwen memancing gelak tawa Edmund. Prince Albert dan Princess Lilyana juga ikut menatap heran kepada Edmund yang tertawa kecil, mereka baru pertama kali ini melihat King of Devils itu tersenyum dan tertawa. Bukannya kagum, Lilyana malah merasa takut
"Memangnya apa yang mereka lakukan?" tanya Edmund penasaran sambil melihat ke sekelilingnya. Earwen menghela nafas panjang dan menjatuhkan kembali kepalanya pada dada bidang Edmund. "Mereka menggunjingku, mereka bilang kau terlalu sempurna untukku. Aku Princess non magic, dan kau the perfect King. Kau punya kekuasaan, kau punya kekuatan hebat, kau hampir punya segalanya," ucap Earwen sambil mendongakkan kepalanya menatap wajah Edmund Hening. Edmund menatap wajah Earwen yang memerah karena terpengaruh alkohol. Ia tidak berniat menjawab unek-unek dari Earwen. "Aku tidak bisa memungkiri itu, Oompa Callen bilang aku adalah Special Princess. Tapi, aku tidak menemukan apapun yang spesial pada diriku," lanjut Earwen. Manik hitam milik Edmund bertabrakan dengan manik milik Earwen yang mengembun karena air mata yang membendung. Edmund mengusap pelan kelopak mata wanita yang tengah di dekapnya. "It's okay,"cicit Edmund. "I miss Oompa Callen, maaf aku menangis. Mungkin terakhir aku menan
Earwen melenguh kecil ketika kepalanya terasa pening. Matanya menyipit mengedarkan pandangannya dan menangkap sosok Edmund yang tengah duduk di sofa dengan berkas ditangannya. Kemeja hitam yang membungkus tubuh atletis pria itu dan celana kain yang senada. Pemandangan pagi yang indah dan mempesona. Kepalanya kembali terasa pening, Earwen mendudukkan tubuhnya dan menyandarkan kepalanya pada kepala ranjang. Tangannya memijat pelan keningnya. Earwen memikirkan kembali kejadian semalam. Ia tidak ingat sama sekali, ingatan terakhirnya adalah meneguk wine yang terlihat menggoda di matanya. Lalu apa yang terjadi? Bahkan ia tidak ingat kenapa dirinya berakhir di ranjang dengan gaun satin ini. Matanya menatap tajam ke arah Edmund, shit! Pria itu pasti dengan lancang menggantinya. "Ada apa dengan tatapan matamu?" tanya Edmund tanpa mengalihkan perhatiannya pada kertas miliknya. Earwen memutar bola matanya mengganti tatapannya. "Tidak," ucapnya dan kembali memejamkan mata menikmati pijatannya
"She's? Dia perempuan?" tanya Carlo. Steve melirik sekilas ke arah Carlo yang tengah menyerngit ke arahnya. Ah ini salahnya karena membuat peraturan agar mendaftar hitamkan perempuan di Deville Morte. Dulu dirinya pikir perempuan terlalu lemah untuk ia jadikan sebuah pasukan, para Gert miliknya. Namun, setelah ia tahu bahwa sang legenda berjenis kelamin perempuan membuatnya bungkam seketika. Steve kala itu tidak bisa bertindak gegabah dengan mencoret peraturan yang baru ia buat, dan ia memilih melanjutkannya dan merahasiakannya hingga sekarang. "Ya," ucap Steve. Carlo menatap tidak percaya ke arah Steve. "Kenapa? Kenapa anda baru berbicara sekarang, Capo?" Steve memejamkan matanya perlahan, jika Carlo sudah memanggilnya dengan sebutan 'Capo' maka pria itu benar-benar menahan amarahnya. "Tolong rahasiakan ini terlebih dahulu sebelum saya yang akan membawanya ke markas, " titah Steve. Carlo tersenyum jenaka. "Lalu kau pikir dengan membawanya kesini, dia akan diterima di antara kita
Earwen menggoyangkan kakinya pada rerumputan di tempat yang beberapa minggu lalu ia temukan dengan Briana– beautiful place. Setelah kembali dari laut Saterin ia memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya pada tempat ini, sedangkan Edmund ia sudah diboyong oleh Jack untuk menghadiri jamuan dengan Prince Hilman.Netra coklatnya mengedarkan pandangannya menjelajahi setiap inci tempat ini, karena sebelumnya ia hanya sebentar disini––memanjakan mata dengan jernihnya air di tempat yang belum Earwen ketahui namanya. Hingga sebuah pintu kecil nyaris tidak terlihat itu mengusik indra penglihatan Earwen. Pintu itu tertutup dedaunan yang menjalari pintu tersebut. Earwen bangun dari posisinya dan berjalan mendekati pintu aneh itu, rasa keingintahuannya sudah membuncah. Dirinya ingin tahu, apakah ada sesuatu dibalik pintu tersebut? Ceklek.Pintu terbuka dan menampakkan sebuah ayunan yang menggantung pada pohon. Dipojok kanan terdapat sebuah ruangan berpintu putih. Earwen berjalan mendekatinya. F
Earwen menatap langit-langit kamar, setelah kembali dari luar bersama Briana ia mengurung dirinya di kamar. Pikirannya kacau mengetahui fakta yang baru saja ia dengar. Masalah terus bertambah layaknya virus, Earwen harus memikirkan untuk kedepannya. Ia tidak boleh stuck di satu tempat seperti ini, mimpinya! Free life, Earwen ingin kembali fokus untuk itu. Kali ini ia berjanji untuk itu, walaupun hatinya tidak kontras Earwen ingin berusaha. Netra hazel miliknya menatap guci yang terdapat pada nakas. Earwen memfokuskan pikirannya kepada satu titik yang ia minta. Dan-guci tersebut melayang di udara, tepat di atas kepala Earwen. "Magic," lirih Earwen menatap guci yang melayang-layang. Ah Steve! Pria itu benar-benar menepati janjinya. Kini Earwen sudah lumayan bisa untuk menguasai kekuatannya. Steve bilang kini Earwen hanya perlu untuk mengebalkan tubuhnya. Ah ia jadi rindu dengan pria itu yang sedang perjalanan jauh entah kemana dan tidak tahu kapan pulangnya. Ceklek.Pintu terbuka da
Briana membantu memasangkan jubah musim dingin pada tubuh Earwen dan mengaitkannya menggunakan pin yang bersimbol Kerajaan Hillary. Gunanya untuk meminimalisir terjadinya penyerangan bandit jalanan yang tiba-tiba. Pin tersebut sudah di sihir agar menghubungi pihak kerajaan jika terjadi marabahaya, walaupun kecil kemungkinan karena Earwen bepergian dengan Sean, sang Alpha dari Black Team. "Sudah selesai Lady," ucap Briana setelah memundurkan tubuhnya. Earwen tersenyum, ia berbalik dan menatap pantulan dirinya pada cermin. Tatanan rambut half-bun dan Tiara kecil menghiasi kepalanya. Gaun berwarna merah pekat dan sedikit corak putih di atas lutut. Sepatu boots tinggi berwarna hitam. Penampilannya malam ini benar-benar berbeda, Earwen memang sengaja, dirinya ingin menunjukkan kepada keluarganya bahwa ia baik-baik saja walaupun mereka menjualnya ke pria iblis itu. "Perfect Briana, apakah Sean sudah menunggu?" tanya Earwen sambil memasangkan tudungnya. "Ya dia sudah menunggu anda di bel
"See, she's also curious! Let me know Ayahanda," ucap Valiant. King Valiant mengendurkan dasinya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah berkas dari balik sebuah lukisan yang terpajang di ruang kerjanya. King Valiant berjalan menghampiri Earwen dan melemparkan berkas tersebut di depan wajah Earwen. "Jawabanmu ada disini!" ucap King Valiant dan kembali duduk di kursi kebesarannya. Earwen mengambil berkas yang tergeletak di lantai. Matanya menangkap sebuah kertas yang sudah menguning, dan mengambilnya. "Apa ini?" tanya Earwen. Philips berjalan mendekat ia kemudian merampas kertas tersebut dari tangan Earwen. Ia tersenyum miring melihat judul yang tertulis. "Akta kelahiran Earwen Freya Salazar, daughter of Zane Salazar dan Nayara Laurels--" Philips menggantungkan ucapnya dan melirik ke arah Earwen yang tengah tertunduk. "Nayara Laurels, kau pasti tahu bukan bahwa dia adik kandung Ayahanda yang sudah lama mati bahkan sebelum kau lahir. Namun, siapa sangka dia ternyata ibumu Earwen?" sambu
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu, Earwen dan Carlo akhirnya sampai di pusat kota Hillary. Salju sudah mulai turun di Hillary, orang-orang berseliweran menggunakan pakaian musim dingin. Earwen menengadahkan tangannya menangkap salju yang turun. Netranya menelisik salju yang tengah berada di telapak tangannya. "Hei, ayo lanjutkan perjalanan ke tempat Gert."Ucapan Carlo membuyarkan Earwen. Ia menolehkan kepalanya ke samping. "Kau duluan saja, aku akan kembali lagi setelah senja." Carlo mendelik tidak suka. "Kau gila?! Kau bahkan belum tahu di mana letak tempat itu." "Kalau begitu aku akan menunggumu di sini nantinya, bye Mr. Pirang." Earwen memacu kudanya ke arah kanan, meninggalkan Carlo yang setengah mendidih. Tujuannya adalah pergi ke taman Yolain. Berharap menemukan Briana di sana. Setibanya di taman Yolain, Earwen membuka tudung kepalanya membebaskan rambutnya yang terkuncir layaknya ekor kuda itu. Earwen tidak yakin orang-orang akan mengenalinya yang dulu
Bunyi Sepatu yang beradu dengan dinginnya lantai terdengar nyaring. "Kau datang, eh." Suara bariton milik pria yang sudah berumur itu menggelegar di setiap sudut. "Datang untuk menyerahkan ini," sahutnya dan melemparkannya ke arah pria tua itu. "Crystal Balls, dari mana kau mendapatkannya Sean Osbert?" "Anda tak perlu tahu, ayahanda. Kudengar benda itu terbuat dengan darah unicorn," tanya Sean dan mendudukkan tubuhnya pada sofa. "Benar sekali, son. Crystal Balls akan membantu menyempurnakan ramuanku." Galadriel menyeringai lebar melihat Crystal Balls yang berada di genggamannya, ah ia sudah tidak sabar untuk mengolahnya menjadi hal 'hebat'."Kau sudah banyak membantuku, son." Galadriel membuka lemari yang tak jauh dari dirinya berdiri. Ia mengambil sebuah pedang dan menyerahkannya kepada sang anak. "Untukmu," sambung Galadriel. Sean menerima pedang tersebut. "Téggewira? Anda serius menghadiahkan pedang Téggewira?" tanyanya memastikan. Pasalnya Téggewira bukanlah pedang biasa. Pe
Earwen mengeliat dalam tidurnya, ia benar-benar tidur nyenyak dan melupakan segala beban pikirannya, setelah tadi malam ia berpesta dengan para Gert. Pria-pria bertubuh kekar itu mulai menerima kenyataan bahwa sosok legenda seorang 'wanita'. Pintu di ketuk dari luar, dan tak lama kemudian pintu tersebut terbuka dan menampakkan sosok Steve. "Kau sudah bangun? Aku membawakan beberapa potong gaun untukmu, mandilah dan keluar dari kamarmu Earwen," ucap Steve dan meninggalkan beberapa potong pakaian untuk Earwen di atar ranjang wanita itu. "Baiklah, kau bisa keluar." Earwen turun dari ranjang dan berjalan ke arah Steve yang juga berjalan keluar dari kamar Earwen. Setelah kepergian Steve, Earwen mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Earwen menanggalkan pakaiannya dan menenggelamkannya ke dalam bathtub yang sudah terisi air, entah siapa yang mengisinya. Aroma wewangian menguar menciptakan sensasi tentram pada otak Earwen.Dirasa sudah cukup, Earwen m
"Apakah anda sang legenda itu?" tanya laki-laki yang menyerukan kata 'Capo' tadi. Earwen mengigit bibirnya was-was, bagaimana dia mengetahui tentang identitas aslinya? Ia kemudian melirik ke arah Steve yang masih saja bercengkerama dengan singa putih itu. Sialan! Bagaimana ia menjawab pertanyaan lelaki di depannya ini. "Carlo ini Earwen, dan Earwen ini Carlo," ucap Steve dan berjalan mendekati keduanya. "Earwen ikut aku," sambung Steve. Earwen mengikuti langkah Steve kedalam ruangan yang tak jauh dari ia berdiri tadi. Setelah keduanya masuk ke dalam satu ruangan, Steve menutup pintu tersebut. Ia kemudian duduk di atas kursinya. Earwen juga ikut duduk di kursi yang ada di depan meja yang ia pastikan bahwa ruangan ini adalah tempat kerja. "Sebenarnya tempat apa ini?" tanya Earwen to the point. Jujur saja, siapa yang tidak bingung kala di tempatkan di sebuah tempat asing tetapi di dalamnya orang-orangnya mengetahui tentang dirinya."Ini adalah markas, Earwen, markas Deville Morte. D
Earwen memungut kemeja putih milik Edmund yang sengaja dia tinggalkan untuknya setelah melewati pergulatan mereka. Kaki Earwen bergetar hebat menahan berat tubuhnya. Rasanya ia seperti di perkosa saja, karena Edmund benar-benar memperlakukannya layaknya seorang kupu-kupu malam. Earwen menyibak kasar air matanya, ia kemudian menatap kertas berisikan gugatan cerai untuknya yang tergeletak di lantai. Earwen mengambil kertas tersebut dan tanpa berpikir panjang lagi, ia mencantumkan tanda tangannya. Matanya menyorot ke arah cincin pernikahan dan juga cincin yang dijadikan hadiah oleh Belinda. Earwen melepaskan keduanya, ia melepaskan semua hal-hal yang berbau Edmund pada tubuhnya. Mulai dari cincin, kalung yang di buat Edmund saat di laut Saterin dan hanya menyisakan kalung milik mendiang ibunya. Earwen menaruh seluruhnya pada meja kerja Edmund, ia kemudian berbalik badan tanpa memperdulikan ruangan Edmund yang berantakan Earwen berjalan keluar. Dengan kaki yang tak beralaskan apapun, Ear
Sudah satu minggu berlalu semenjak kejadian kepergoknya Earwen. Sejak saat itu Earwen benar-benar tidak pernah menjumpai Edmund lagi. Bahkan di ruang makan pun ia hanya berdua dengan Daisy. Sedangkan Edmund? Ia tidak tahu kemana perginya pria itu. Apakah Edmund semarah itu dengannya? "Apa itu tidak enak Yang Mulia? Anda ingin menu makan malam yang lain?" Pertanyaan pramusaji itu membuyarkan lamunan Earwen. Ia menatap piringnya yang berisikan carbonara itu. Earwen menggeleng menolak ucapan sang pramusaji. Ia kemudian mulai menyuapkan sesendok demi sesendok ke dalam mulutnya. Sesekali matanya melirik ke arah Daisy yang tengah berkutat dengan bukunya. Omong-omong, hubungan iparnya dengan Daisy benar-benar tidak ada progres kemajuan sama sekali semenjak Earwen menginjakkan kakinya di Hillary. Di tambah kematian Belinda yang terjadi karena menyelematkannya itu membuat Daisy semakin tidak menyukainya. Earwen menghela nafas berat, Daisy tidak menyukainya sebagai kakak ipar dan sekarang Edm
"Maaf Yang Mulia, King Edmund sedang tidak bisa untuk dijumpai sekarang." Ucapan sang pengawal yang berjaga di depan ruang kerja Edmund beberapa jam lalu.Earwen menatap dari kejauhan ruang kerja Edmund yang masih juga tertutup. Entah sudah berapa lama dirinya menghabiskan waktu untuk ini, duduk dengan mata menyorot ke depan sana. Sikap Edmund yang seperti itu justru mengundang rasa khawatir Earwen, ia takut terjadi sesuatu dengan pria itu. "Apa yang kau lakukan disini?" Earwen menoleh ke samping kala mendengar suara yang mengacaukan pikirannya. "Daisy? Bagaimana kabarmu?" tanya Earwen tanpa membalas pertanyaan Daisy tadi. Daisy menatap tajam ke arah Earwen kemudian beralih pandang melihat lurus ke depan, ia penasaran apa yang sedari tadi dilihat oleh Earwen. "Tidak usah berbasa-basi seperti itu!" Sinis Daisy. "Saya hanya ingin tahu bagaimana kabarmu, apakah itu sal–" "Lawyer Glenn?" Ucapan Daisy membuat Earwen ikut memandang ke depan. Benar saja seorang lelaki masuk ke dalam ru
Rombongan Earwen sudah sampai di Hillary. Earwen langsung turun dari kudanya meninggalkan Briana dan Steve. Ia berjalan di lorong-lorong Paviliun utama, Earwen hendak kembali ke kamar dan melakukan ritual mandinya sebelum ia kembali bergulat dengan rencana-rencananya. Baru memegang kenop pintu suara pengawal terdengar. "Yang Mulia, maaf sebelumnya. Anda sudah dilarang untuk memasuki kamar Yang Mulia King Edmund lagi. Kamar anda sekarang berada di Paviliun timur," ucap pengawal tersebut sembari menundukkan pandangannya. Matanya mengerjap berulang kali, berusaha menyerap ucapan pengawal tersebut. Apa maksudnya? Dirinya sudah tidak tinggal di Paviliun utama lagi? Apa ada sesuatu hal yang membuat Edmund mengusirnya dari kamarnya?Earwen membuyarkan seluruh pertanyaan di kepalanya. Ia akan tanyakan itu nanti kepada Edmund, yang jelas sekarang mencari keberadaan Zane Salazar dan King Valiant. Earwen buru-buru melangkah kakinya ke paviliun timur, ia tidak akan menyangka akan kembali ke kam
"Jadi Zane Salazar di tuduh sebagai penyebab kematian Faleia Jacqueline?" tanya Steve setelah Earwen menceritakan berkas yang dia temukan di ruang kerja Edmund tadi malam. Bola mata Earwen melesat jauh menatap langit yang membiru terang. Ia memikirkan kemana Ayahnya pergi. Earwen masih menyangkal bahwa Zane Salazar telah mati, karena hatinya mengatakan tidak. "Kau menemukan sesuatu Steve?" "Tidak, tapi kurasa kau ikuti saja Edmund. Mungkin di dalang di balik menghilangnya Zane Salazar." Earwen mengangguk kecil, Edmund sudah pasti sosok dibalik semua ini. Ia harus mengorek lebih dalam lagi mengenai Edmund. Earwen hanya menginginkan dirinya dapat di pertemukan dengan Zane Salazar, walau dalam keadaan tulang belulangnya saja. Tangannya terulur mengusap liontin milik mendiang ibunya. "Tolong bantu Earwen menemukannya," batinnya berbisik lirih. "Lady!" Pekikan Briana membuat Earwen dan Steve menoleh menatap Briana yang berlari ke arah mereka yang sedang duduk. "Ada apa?" tanya Earwen