Milka tahu tidak seharusnya dia merasa kesal atas ucapan Moreno. Karena memang kenyataannya seperti itu. Tapi tetap saja bagi Milka, suaminya itu tidak berhak mengatakan seperti itu tepat di depan wajahnya.Itu seperti tidak memberinya muka sebagai sang istri.Karena itulah, Milka melotot lebar.Tapi Moreno sedang tidak berbaik hati malam ini. Dia melihat bagaimana Savanah bersama Storm. Bagaimana kakaknya bisa memperlakukan Savanah dengan sebaik itu. Itu semua membuat hatinya terasa tak senang. Bahkan jika mau jujur, Moreno menyesal membuang Savanah pada Storm.Padahal seharusnya dia lega karena Storm ternyata memperlakukan Savanah dengan baik. Tapi kenyataannya tidak. Ini seperti mengikis sedikit harapan di hatinya andai Savanah menderita dengan pernikahannya, dia sudah bersiap untuk menunjukkan penyesalan, lalu menghibur Savanah, dan mereka bisa kembali bersama meskipun dalam status yang tak seharusnya.Membayangkan itu saja Moreno sudah bersemangat. Dia memang tak pernah ingin mel
Bersiap di pagi ini untuk datang ke Paradice Cakery, Savanah merasa berbeda.Sekalipun dia tidak bersalah, tapi hatinya tetap gelisah. Bagaimana jika dalang di balik kecurangan kompetisi tidak terungkap dan dirinya tetap dinyatakan bersalah hanya karena dia membawa bahan premiumnya sendiri?Memikirkan itu, Savanah sampai terpaku di depan cermin ketika dia sudah mengenakan setelan kerjanya.Sebelah tangannya masih memegang sisir yang dipakai untuk merapikan dan menguncir rambut panjangnya, sementara dirinya sendiri bagai mematung.“Ada apa?” tanya Storm begitu dia sudah selesai dengan rutinitas paginya dari toilet.Sapaan itu bagai memutus lamunan Savanah. Mereka saling menatap untuk beberapa saat baru kemudian Savanah menggeleng.‘Tidak apa-apa,’ ucap Savanah lewat gerakan jarinya.Storm melanjutkan mengelap rambutnya yang habis dicuci, lalu menuju lemari pakaian untuk mengambil baju dan celananya.Tiba-tiba saja suara dari ponsel Savanah bergema.“Aku takut kalau penyelidikan nanti ti
Milka heran. “Clean-freak? Penggila kebersihan?”“Iya! Clean freak mengacu pada seseorang yang terlalu berlebihan berekspektasi pada kebersihan.”Mendengar penjelasan Mr. Stanthom, Milka langsung menggeleng.“Tentu tidak! Kalau Anda bertanya apakah saya pecinta bersih, ya, saya pecinta kebersihan! Tapi kalau dibilang seorang clean-freak, tentu tidak!”“Oke, baik. Lalu apakah selama bekerja di sini, Anda pernah menemukan peralatan di sini masih kotor saat akan dipakai?”Tanpa banyak waspada, Milka menjawab, “Tidak.”“Kalau begitu, kenapa saat kompetisi dimulai, Anda tidak langsung membuat adonan melainkan malah membersihkan dahulu peralatan yang akan digunakan? Bukankah semua peralatan yang dipersiapkan sudah dalam keadaan bersih?”Milka terperangah. Sial! Dia benar-benar lupa akan tingkahnya sendiri waktu itu.“It- itu kar- karena-” Milka tergagap sendiri.Dia sungguh tak mengingat apa yang telah diperbuatnya saat kompetisi dua hari sebelumnya.Selama weekend, dia sibuk membaca artikel
Bertubi-tubi Milka berusaha keras mencari alasan, tapi dia tak bisa menemukannya. Dia benar-benar terlalu percaya diri bahwa tindakannya tidak akan ketahuan, bahwa tidak ada kamera di ruang bahan, dan bahwa tidak akan pernah ada pertanyaan seperti ini dilontarkan padanya.Karena itulah, Milka tidak mempersiapkan jawaban yang bagus untuk diberikan pada pihak penyidik maupun Miss Georgina.Kini hatinya gelisah bukan main.Ditambah lagi Mr. Stanthom terlihat tak percaya padanya.Setiap bantahan yang dia buat hanya membuat Miss Georgina semakin marah.“Astaga! Pantasan begitu semangatnya meneriaki Savanah sebagai pelaku. Ternyata kau maling yang berteriak maling! Cuih, memalukan!”Brianna yang tak tahan lagi langsung saja menggunakan kesempatan ini untuk mencibir Milka.“Kau memang tidak tertarik pada uang hadiah, tapi aku tahu orang sepertimu gila sanjungan. Kau pastilah berharap bisa dipuja-puja oleh keluarga suamimu, bukan? Kau ingin dianggap sosok yang cerdas dan memiliki talenta sepe
Berhubung saat investigasi hari masih pagi, Moreno belum beranjak dari tempat tidurnya.Dia bahkan masih bersenang-senang di alam mimpinya. Senyum di wajah terbentuk dengan sendirinya, padahal kedua mata masih terpejam.Matahari pun sudah cukup tinggi mengangkasa di langit.Tapi tirai kamar Moreno masih tertutup rapat. Belum ada tanda-tanda dia ingin bangun pagi hari ini.Hingga tiba-tiba ponselnya berdering kencang.Deru musik band dengan genre rock yang menekankan pada beat yang kuat serta dominasi gitar elektrik yang meraung-raung, membahana di sepanjang ruang kamarnya.Moreno terkaget dalam sekejap. Dia seperti disiram air dingin dan langsung terputus dari dunia mimpinya.“Sialan! Kenapa juga aku memasang lagu itu untuk ringtone ku! Argh! Siapa sih yang menelpon pagi-pagi buta?”Moreno menggeram sendiri, padahal matahari akan tegak lurus tepat di atas kepala dalam satu jam ke depan. Tapi dia masih bilang pagi buta.Meraih ponsel, dengan pandangan mata yang masih buram, dia melihat
Moreno tiba di Dyazz Dining Restaurant. Begitu turun dari mobil, pandangannya tertuju pada mobil milik asisten Tn. Fear Laidir sebagai satu-satunya mobil yang terparkir di sana, selain mobil asistennya, Zein.Kekecewaan Moreno pun muncul dan bercampur dengan kekesalan karena di situasi seperti ini, dengan pembahasan sepenting ini, lagi-lagi yang muncul untuk bertemu dengannya hanyalah sang asisten dari Tn. Fear Laidir.‘Dasar sialan!’ rutuk Moreno dalam hatinya.Kenyataan bahwa Tn. Fear Laidir sangatlah misterius -tidak ada yang pernah bertatap muka secara langsung dengan Tn. Fear Laidir- tidak pernah mengganggunya selama ini.Bagi Moreno, yang penting dia bisa tersambung dengan Tn. Fear Laidir dan berhasil mendapatkan kontrak kerja sama dengan pria itu. Sekalipun setiap pembicaraan, telepon, serta meeting, Tn. Fear Laidir selalu diwakilkan oleh sang asisten, itu tidak masalah.Tapi untuk kali ini, kenyataan bahwa meeting kali ini lagi-lagi hanya diwakilkan oleh asisten Tn. Fear Laid
“Apa sih yang kau bicarakan ini?”Milka yang masih teramat kesal karena Moreno baru muncul setelah beberapa jam dia menunggu, bahkan menelpon tanpa mendapatkan jawaban, membalas tanpa mau mencerna kata-kata Moreno terlebih dulu.“Tuan Fir Ladir, Fir Ladir, apa memangnya? Kau itu yang dari mana saja? Aku sudah menelponmu dari tadi, satu pun tidak kau angkat. Mungkin kau senang kali ya kalau istrimu ini sampai membusuk di kantor polisi!”“Tidak perlu berlebihan! Mana ada yang membusuk di sini!Ponselku di-silent tadi dan aku ada meeting mendadak dengan asisten Tn. Fear Laidir, orang yang sudah kau singgung itu! Kalau kau tidak menyinggungnya, tidak mungkin aku terpaksa meeting tadi.Maka sudah pasti aku akan bisa menjawab panggilan teleponmu dengan tepat waktu.Jadi tak perlu kau menyalahkanku. Ini salahmu sendiri!”“Salahku sendiri? Jangan banyak alasan kau! Paling-paling juga tadi kau tidur kan? Aku tahu benar ponselmu itu volumenya besar, tidak pernah silent. Kenapa tiba-tiba kau men
“APA? Chateau-Sawyer adalah kepunyaan Storm? Bagaimana bisa?!”Suara ibunya Moreno teramat terkejut ketika mendengar apa yang disampaikan Moreno setibanya mereka di rumah.Wajah kesal Moreno ditambah pertikaiannya terhadap Milka membuat seisi rumah yang melihat mereka jadi bertanya-tanya, ada apa dengan mereka.Karena itulah Moreno menceritakan semuanya pada ibunya. Ada Misty di sana, seperti biasanya.Dan jelas apa yang disampaikan Moreno membuat sang ibu terkejut sampai berteriak cukup kencang.“Jangan bercanda, Kak, mana mungkin wine mahal seperti itu kepunyaan Storm? Hidupnya saja serampangan seperti itu!” Misty ikut-ikutan bicara karena dia sendiri selalu memandang rendah Storm.Baginya, Storm adalah simbol pria-pria tak mampu, yang hidup liar di jalanan, hidup mengais sisa-sisa rezeki orang lain.Misty pun selalu malu mengakui bahwa dia dan Storm memiliki ayah yang sama.“Bukannya CEO Chateau-Sawyer adalah Tn. Fear Laidir? Bagaimana bisa tiba-tiba menjadi Storm?” tanya ibunya la
Savanah memeluk Storm dari belakang, mengalungkan lengannya di leher Storm, lalu berbisik lembut, “Redakan amarahmu. Langit sudah gelap, tidak baik menahan marah sampai esok hari.Kita akan membekali Sky, River, dan Aspen dengan pembelajaran bahwa jika ayahmu mendekati mereka lagi, lalu mengajak pergi bersama, mereka harus pastikan bahwa kita berdua ikut, atau setidaknya diberitahu.”Selesai berbisik, Savanah menciumi tengkuk pria itu agar amarahnya sedikit teralihkan.Benar saja, Storm mulai meletakkan ponselnya lalu memanjangkan lengannya ke arah belakang dan merangkul leher Savanah. Dia lalu membawa sang istri ke depan dan kini posisi Savanah yang didekapnya dari belakang.Seakan hasrat sudah mengambil alih, kini giliran Storm yang menciumi tengkuk Savanah setelah dia menyampirkan rambut panjang Savanah ke bahu kiri sang istri.Leher putih, mulus, dan jenjang itu begitu menggoda, membuat kemarahannya pun sedikit mereda digantikan hasrat yang mengembang apalagi rasa frustrasinya tad
Savanah menatap Braxton yang menjawab tanpa rasa bersalah sama sekali. Pria itu malah terkesan menikmati kekesalan dan kekhawatiran Savanah.Tidak tahukah dia bahwa Savanah begitu khawatir pada River sampai-sampai dia tidak nafsu makan, bahkan tidak mengingat bagaimana Sky dan Aspen makan malam tadi. Apakah mereka makan dengan benar, dengan cukup? Atau malah mereka hanya memainkan makanan mereka?Andai bisa, Savanah rasanya ingin meninggalkan Braxton tanpa kata sama sekali dan langsung membawa anak-anak dan keluarganya masuk. Biarkan saja dia merasa tidak dianggap.Tapi ada ayah dan ibunya yang turut mendelik tajam pada Braxton. Hanya saja pria itu seakan tidak menganggap kekesalan mereka semua dengan serius. Braxton malah membiarkan wajahnya terlihat senang seperti tak ada rasa bersalah pada Savanah dan yang lainnya.Dia menunjuk sekotak hadiah besar yang dipegang River.“Kakek kenapa mengajak River jalan-jalan tidak izin dulu dengan mommy dan daddy? Asal kakek tahu, Mommy dan Daddy
Storm marah. Dia pun mengajak Savanah dan anak-anak untuk segera pulang. Perjalanan yang tadinya terasa menyenangkan dengan berjalan santai bersama, kini terasa terlalu panjang seakan tak berujung.“Mommy, kenapa dengan River? Bukankah kata Mommy, kakek Braxton adalah ayahnya daddy? Mungkin saja Kakek Braxton sedang bermain bersama River.”Celotehan Sky membuat Storm terperangah. Savanah pun ikut kehilangan kata-katanya.Mereka berpandangan dan merasa sulit untuk menjelaskan pada Sky.Sudah jelas Savanah tidak ingin menjelekkan Braxton di depan anak-anak mereka. Biar bagaimanapun Braxton adalah ayahnya Storm. Tidak baik jika dia menjelekkannya di hadapan anak-anaknya.Dan sekalipun Storm tidak peduli jika sifat asli ayahnya dikuak di depan anak-anaknya, dia tetap tidak menyalahkan Savanah. Storm menghormati keputusan Savanah untuk tetap menjaga image ayahnya.Storm juga mengerti jika dari sudut pandang anak-anak, mereka masih sep
“Hei!” seru Braxton menyapa Sky dengan senyum ramah.Pria itu mengambilkan bola yang menggelinding lalu memberikannya pada Sky.“Kakek? Terima kasih.” Sky mengambil bola yang disodorkan.Braxton pun mengangguk senang dengan mata berbinar-binar.Sky lalu berbalik hendak kembali, tapi dia berhenti sejenak lalu berbalik lgi menghadap Braxton.“Kakek ... ayahnya daddyku, bukan?” tanyanya dengan polos.Hanya pertanyaan sederhana tapi Braxton terharu. Ternyata Storm masih menceritakan jati dirinya dengan benar pada anak-anaknya.“Iya, aku kakekmu.”Sky lalu tersenyum padanya dan merentangkan tangan. Braxton terkesiap melihatnya dan segera membungkukkan tubuh agar bisa dipeluk Sky.“Aku senang karena masih memiliki kakek. Jadi sekarang, kakekku ada dua. Kakek Zach dan kakek.”Braxton begitu tersentuh sampai-sampai air matanya menetes. Hatinya kembali berat ketika Sky melepaskan pelukan mereka.“Dah, Kakek. Aku mau bermain lagi.” Sky melambaikan tangan dan berlari pergi.Bergeming di tempatny
Siang yang santai, Storm mengajak anak-anak dan Savanah untuk berjalan-jalan santai sedikit jauh dari rumah. Mereka melwati pohon-pohon dengan daun yang sudah berubah beberapa warna, yang juga berguguran di jalanan.Warna kuning, merah, lalu coklat, menjadi dominan di pepohonan, menggantikan daun hijau yang menghias musim panas yang lalu.Suhu udara juga turun cukup banyak di musim gugur ini sehingga berjalan di siang hari adalah waktu yang tepat. Lagipula, siang hari menjadi lebih pendek, dan langit menggelap di sore hari.Storm merangkul Savanah yang perutnya kini sudah cukup besar. Jaket dan syal melingkupi tubuh Savanah yang kini seahri-hari mengenakan dress longgar demi kenyamanan perut besarnya. Storm sendiri hanya mengenakan sweater lengan panjang yang tidak terlalu tebal serta celana jeansnya yang berwarna biru muda, kesukaannya.Sky berjalan di depan mereka mendorong sebuah stroller yang akan ditempati Aspen jika bocah itu lelah.“Di ujung sana ada taman bermain, Daddy. Boleh
Miranda masih mengingat jelas bagaimana wajah Scilla saat muda, saat dia berhasil merayu Braxton untuk menikahinya dan mengusir Scilla dari rumah ini.Scilla sangat cantik dengan pembawaannya yang tenang dan bersahaja. Miranda selalu cemburu melihat Scilla yang tak pernah terlihat patah hatinya sekalipun Braxton telah jelas-jelas memperkenalkan dirinya pada Scilla.Wanita itu bagaikan putri raja yang begitu agung dan terhormat, yang hanya menatap dalam diam bagaikan air tenang yang menghanyutkan.“Aku akan menikahinya, karena dia sekarang mengandung anakku,” kata Braxton waktu itu.Raut wajah Scilla tidak berubah ketika mendengar kata-kata Braxton kala itu. Dia dengan diam berdiri dan menatap datar pada Braxton lalu Miranda.“Baiklah kalau kau ingin menikahinya, aku akan menceraikanmu.”Bahkan Miranda sangat kesal karena Braxton terus membahas kalimat Scilla waktu itu. Dia yang menceraikan Braxton, bukan dia meminta diceraikan. Hah, wanita sombong!Lebih sombong lagi karena permintaann
“Haaah ... kita lagi-lagi pulang hanya ada rumah yang kosong. Seharusnya tadi itu kau jangan banyak bicara. Sebelum Storm pulang, kita sebenarnya punya kesempatan untuk mengambil salah satu dari bocah itu!”Braxton duduk di salah satu sofa dengan raganya yang terlihat letih. Mendapati rumah ini yang hanya berisi beberapa pelayan saja, tanpa adanya Misty dan Moreno lagi, membuat hati Braxton merasa hampa.Biar bagaimana pun rumah ini terlalu besar untuk ditempati mereka berdua saja.Apalagi tadi dia sempat melihat sekilas isi dalam rumah Storm. Sekalipun perabot mereka biasa saja dan kebanyakan menggunakan perabot berbahan kayu, rumah Storm terlihat hangat.Bayangan anak-anak kecil duduk dan mengitari setiap sudut rumah, bermain sambil berlarian, bercekikikkan, berceloteh, bahkan bertengkar, membuat hati Braxton berkedut lebih sedih lagi. Dia ingin merasakan semua itu di rumahnya ini.Rasanya sungguh iri melihat teman-temannya yang lain memiliki kesibukan extra di masa tua mereka, yaitu
Raut wajah Storm perlahan melunak seiring menghilangnya mobil Braxton dari pandangan mereka.Pria itu menatap anak-anaknya satu demi satu.“Kalian tidak apa-apa?” tanyanya sambil memeluk Sky dan River bersamaan.“Kami tidak apa-apa. Tapi tadi itu siapa, Dad? Kenapa mereka sepertinya ingin membawa kami pergi dari sini?”Storm tidak langsung menjawab. Dia hanya memeluk erat lalu mengecup kepala dua bocah itu satu per satu. Lalu pandangannya tertuju pada Aspen yang berada dalam gendongan Savanah.Dia pun turut memeluk Aspen lalu istri tercintanya.“Mau apa mereka?” tanyanya pada Savanah saat mengurai pelukannya.“Mereka memintaku untuk mengizinkan Sky dan River menginap di rumah ayahmu. Alasannya karena dia berhak atas mereka, karena dia adalah kakek mereka. Lalu mereka juga bilang, bahwa anak-anak berhak memilih di mana mereka ingin tinggal.”Storm meradang lagi ketika mendengar penjelasan istrinya. Bagaimana bisa ayahnya dan istri ayahnya itu tiba-tiba memiliki pikiran seperti ini? Su
“Hah!” Savanah tak habis pikir dengan bagaimana Braxton dan Miranda bisa datang ke rumah mereka dan mengatakan semua itu dengan lantangnya?Padahal, jika dirunut puluhan tahun ke belakang, Braxton menelantarkan Storm. Lalu mereka telah menghina Savanah saat bisu. Ada banyak pertikaian dan mereka masih berani mengatakan hal seperti ini?Di mana urat malu mereka?“Mohon maaf, Tn. Braxton, tapi putramu mengurus anak-anaknya dengan sangat baik. Jika saat kecil Storm dibuang dari rumahmu itu benar disebut ditelantarkan. Tapi anak-anakku merasakan kehangatan di rumah kami, sudah tentu mereka tidak ditelantarkan.Mereka kami rawat dengan penuh sayang. Bagaimana bisa kau mengatakan mereka terlantar?Lagipula, asal kau tahu, Tn. Braxton, Storm telah menjadi ayah yang hebat bagi mereka. Dia selalu hadir di setiap moment hidup anak-anaknya.Setiap ulang tahun mereka, dia selalu hadir. Jangankan ulang tahun, setiap sarapan dan makan malam, Storm selalu bersama kami. Bagaimana mungkin kau dengan e