“Meminta maaf pada Storm??” Milka tersentak kaget. “Tentu saja ... aku TIDAK SUDI!”Tidak mungkin dia meminta maaf pada Storm!Mau dikemanakan wajahnya jika dia harus melakukan itu?“Kalau kau tidak mau meminta maaf padanya, aku tidak akan membantumu lagi saat nanti menghadapi tuntutan persidangan.Sekalipun kau dijatuhi hukuman pekerjaan sosial pembangunan rumah bagi tuna wisma, aku tidak akan membantu. Malahan, aku akan menontonmu bekerja, kalau perlu kuvideokan lalu kuposting di medsos dengan caption: Istriku yang malang sedang menjalani hukumannya.”“Apa kau bilang?!” Milka menunjukkan raut yang begitu tersakiti. Dia tak menyangka suaminya sanggup berkata seperti itu.“Kau berani melakukan itu?” serunya lagi sambil menggeretakkan giginya menahan marah.Ucapan Moreno itu sungguh melukai harga dirinya. Apalagi Moreno mengucapkan itu semua di depan orang tuanya, bahkan Misty.Ini benar-benar melukai harga diri Milka.“Kau keterlaluan! Suami sialan!” sergah Milka lagi sembari dia melar
“Jadi Dyazz Dining Restaurant adalah milik ibumu?” tanya Savanah lewat suara ponselnya.Storm mengangguk pelan. Tak terlihat kegetiran atau kepahitan di binar matanya saat itu. Ini cukup mengherankan bagi Savanah.“Benar. Ibuku yang merintis, tapi dia yang didepak dan mereka mengambilnya lalu mengganti nama menjadi milik Dyazz.”Savanah bisa merasakan kemarahan dan kepahitan Storm lewat tutur katanya. Juga lewat percikan api kebencian di mata pria itu.Savanah menjadi tidak nyaman. Dia tak ingin melihat Storm seperti ini. Rasanya ini seperti memberi ruang pada sisi negatif dari pria itu.Dan Savanah tidak menginginkan ini.“Aku tidak mengerti kenapa ayahmu bisa setega itu pada ibumu.”“Aku lebih tidak mengerti lagi. Apa salah ibuku sampai dia dibuang seperti itu. Kalau mau ditelusuri, keluarga ayahku bukanlah keluarga berada, bahkan jauh lebih tak berada dari keluarga ibuku. Seharusnya dia mensyukuri ibuku mau menjadi istrinya.”“Iya, kau benar.”Ada jeda sesaat di antara mereka saat i
Savanah tak bisa menahan diri untuk tidak kentara saat merona kali ini.Storm ... Storm ... kenapa dia harus memberitahukan terlebih dahulu ya?Bagi Savanah, semua akan terasa lebih mudah andai Storm mau langsung menyambar bibirnya tanpa memberitahu terlebih dahulu.Dengan begitu, dia tidak akan memiliki waktu untuk merona malu.Seperti sekarang ini. Sungguh rasanya ini memalukan.Tapi rona di pipi ini merambat tanpa bisa dia hentikan.Karena gugup juga, Savanah mengangkat tangan untuk berkata-kata lewat gerakan jarinya.Dia sampai lupa kalau Storm tidak bisa membaca bahasa isyaratnya.“Aku tidak mengerti. Apa yang kau katakan?” tanya Storm dengan kening berkerut dalam.Savanah kembali terperangah. Dia sungguh lupa Storm tidak mengerti bahasa isyaratnya. Sungguh, di saat seperti ini, lebih mudah baginya untuk berkata lewat jarinya daripada mengetikkan semua di ponselnya.Tangannya pun dia turunkan, tapi tanpa diduganya, Storm sudah meraih jari Savanah dan memeluk jari itu dengan telapa
“Sudah saya jelaskan, Boss. Tapi memang saat itu Chateau-Sawyer teramat laris. Sekalipun pembagian kita hanya 50-50 dengan mereka, tapi tetap saja dari segi angka, penjualan Chateau-Sawyer menyumbang angka yang lebih besar daripada 70 persen perhitungan penjualan Amare Il Vino, Boss.”“Argh! Itukan masa lalu! Sekarang kau hubungi saja manajer Amore Il Vino, suguhkan proposal dari kita. Kita beli putus, hanya saja kita minta potongan harga 35 persen. Kita harus melihat dulu respon pelanggan.Selain Amore Il Vino, siapkan juga ready stock untuk beberapa merk yang terkenal lainnya, agar pelanggan memiliki lebih banyak pilihan.”“Baik, Bos.” Tak ada yang bisa Zein katakan selain menuruti keputusan Moreno. ***Tring!Ponsel Savanah berbunyi. Gadis yang baru saja selesai mandi itu gegas mengambil ponselnya.Tertera di sana uang kemenangan kompetisi sudah terkirim ke rekeningnya.Savanah tersenyum ketika melihat layar ponsel.“Ada apa?” tanya Storm yang baru saja memasuki kamar.Savanah
Zein mendatangi kantor Amare Il Vino. Di tangannya tertenteng rapi tas koper eksekutif yang mana di dalamnya terdapat lembaran surat kontrak untuk diserahkan pada Amare Il Vino.Zein sudah membuat janji tadi malam untuk bertemu siang ini membahas kemungkinan kerja sama dengan Amare Il Vino.“Ini Tn. Vino. Dyazz Dining Restaurant menawarkan kerja sama dengan wine Anda untuk disajikan bagi pesanan spesial di restoran kami. Boleh Anda pelajari dulu, Tuan.”Tn. Vino, pemilik sekaligus CEO Amare Il Vino membaca dengan seksama, tetapi super cepat. Pria yang namanya sendiri berarti ‘wine’ itu melemparkan berkas tawaran kerja sama dari Zein ke atas meja dengan bunyi yang cukup keras.Glek!Zein tahu apa yang akan didengarnya sangat tidak enak.“Apa kalian lupa, tiga tahun lalu aku sudah mengajukan tawaran kerja sama dengan nilai yang nyaris sama dengan nilai yang kalian tawarkan?”“Maaf, Tuan, mungkin terlewat oleh kami,” kata Zein yang tidak tahu harus berkata apa lagi.Dia tak bisa membantah
Sore sepulang kerja esok harinya, Storm sudah menunggu di dalam Jeep Wrangler abu-abunya.Begitu dia melihat Savanah muncul dari pintu staff dan melintasi pekarangan belakang tempat parkir kendaraan para staff, Storm turun dari Jeep dan membukakan pintu untuk Savanah.Wajahnya serius seperti biasa, tapi tatapannya menyorot lekat pada Savanah.“Kau terlihat ceria. Pastilah ada hal bagus, kan?” tanyanya ketika Savanah memasuki mobil dan duduk di kursi penumpang.Savanah hanya mengangguk dengan senyum memukau. Storm cepat menutup pintu, berlarian kecil ke pintu pengemudi, lalu melesak masuk dengan cepat.“Jangan menggodaku. Kau sudah tahu kenapa hari ini wajahku ceria,” suara dari ponsel Savanah sudah menyapa Storm begitu pria itu duduk di balik kemudi.Selagi Storm berjalan menuju pintu mobil, Savanah sudah mengetik balasannya itu.“Hmm, karena aku customer spesial pertamamu hari ini?” tanya Storm lagi dengan raut terlihat cuek, padahal
Tapi Liora mengerti.“Aku senang kalian akan menginap, Sayang. Apalagi daddy-mu. Dia bahkan bercukur sampai bersih hanya karena kau akan menginap malam ini.” Liora menunjuk kepada suaminya.Savanah tertawa lebar melihat wajah bersih ayahnya dari kumis dan cambang. Lalu Savanah kembali memeluk sang ayah dan mencium pipinya penuh sayang. Dielusnya rahang ayahnya yang kini mulus bersih.'Daddy tampak 30 tahun lebih muda,' kata Savanah lewat jarinya sambil tersenyum lebar. Lalu dengan jarinya dia berkata pada ayahnya, 'Aku akan sering mengajak daddy jalan-jalan. Aku juga ingin bermain ski dengan daddy lagi. Sudah lama kita tidak bermain ski.'Tampak sang ayah mengangguk lalu dari sudut matanya luruh sebutir air bening.Savanah langsung berkaca-kaca kedua matanya ketika melihat bulir bening itu. Dihapusnya air mata yang menetes dari sudut mata ayahnya itu dengan punggung jarinya. Dia tersenyum dan kembali memeluk ayahnya.Makan malam berjalan pen
‘Aku lupa kalau tempat tidurku berukuran single. Juga tidak ada sofa di kamar ini. Jika kita tidur bersama di satu ranjang sempit begini, apa jadinya?’Savanah mengatakan itu lewat gerakan jarinya yang cepat yang tentu saja tidak dimengerti sama sekali oleh Storm.Pria itu sampai ternganga bingung.“Apa yang kau katakan? Kau tahu kan aku tidak bisa bahasa isyarat?” tanya Storm sambil memandangi Savanah dengan begitu lekat.Savanah tersenyum geli. Dia memang sengaja mengatakan lewat gerakan jarinya, tidak ingin Storm mengerti.Tapi akhirnya dia mengambil juga ponselnya dan mengetik, meskipun apa yang dia ketikkan berbeda dari apa yang dia ungkapkan lewat bahasa isyarat tadi.“Maaf, aku merasa lebih enak menggunakan bahasa isyarat untuk kata-kataku tadi. Maka dari itu, aku tidak mengetikkannya di ponsel.”Storm mendengar lalu mengernyit heran.“Ya ... tapi apa yang kau katakan tadi lewat gerakan jarimu?”“Oh, itu. Lupakan saja.”Savanah tersenyum setelah suara ponsel selesai mengucapkan
Savanah memeluk Storm dari belakang, mengalungkan lengannya di leher Storm, lalu berbisik lembut, “Redakan amarahmu. Langit sudah gelap, tidak baik menahan marah sampai esok hari.Kita akan membekali Sky, River, dan Aspen dengan pembelajaran bahwa jika ayahmu mendekati mereka lagi, lalu mengajak pergi bersama, mereka harus pastikan bahwa kita berdua ikut, atau setidaknya diberitahu.”Selesai berbisik, Savanah menciumi tengkuk pria itu agar amarahnya sedikit teralihkan.Benar saja, Storm mulai meletakkan ponselnya lalu memanjangkan lengannya ke arah belakang dan merangkul leher Savanah. Dia lalu membawa sang istri ke depan dan kini posisi Savanah yang didekapnya dari belakang.Seakan hasrat sudah mengambil alih, kini giliran Storm yang menciumi tengkuk Savanah setelah dia menyampirkan rambut panjang Savanah ke bahu kiri sang istri.Leher putih, mulus, dan jenjang itu begitu menggoda, membuat kemarahannya pun sedikit mereda digantikan hasrat yang mengembang apalagi rasa frustrasinya tad
Savanah menatap Braxton yang menjawab tanpa rasa bersalah sama sekali. Pria itu malah terkesan menikmati kekesalan dan kekhawatiran Savanah.Tidak tahukah dia bahwa Savanah begitu khawatir pada River sampai-sampai dia tidak nafsu makan, bahkan tidak mengingat bagaimana Sky dan Aspen makan malam tadi. Apakah mereka makan dengan benar, dengan cukup? Atau malah mereka hanya memainkan makanan mereka?Andai bisa, Savanah rasanya ingin meninggalkan Braxton tanpa kata sama sekali dan langsung membawa anak-anak dan keluarganya masuk. Biarkan saja dia merasa tidak dianggap.Tapi ada ayah dan ibunya yang turut mendelik tajam pada Braxton. Hanya saja pria itu seakan tidak menganggap kekesalan mereka semua dengan serius. Braxton malah membiarkan wajahnya terlihat senang seperti tak ada rasa bersalah pada Savanah dan yang lainnya.Dia menunjuk sekotak hadiah besar yang dipegang River.“Kakek kenapa mengajak River jalan-jalan tidak izin dulu dengan mommy dan daddy? Asal kakek tahu, Mommy dan Daddy
Storm marah. Dia pun mengajak Savanah dan anak-anak untuk segera pulang. Perjalanan yang tadinya terasa menyenangkan dengan berjalan santai bersama, kini terasa terlalu panjang seakan tak berujung.“Mommy, kenapa dengan River? Bukankah kata Mommy, kakek Braxton adalah ayahnya daddy? Mungkin saja Kakek Braxton sedang bermain bersama River.”Celotehan Sky membuat Storm terperangah. Savanah pun ikut kehilangan kata-katanya.Mereka berpandangan dan merasa sulit untuk menjelaskan pada Sky.Sudah jelas Savanah tidak ingin menjelekkan Braxton di depan anak-anak mereka. Biar bagaimanapun Braxton adalah ayahnya Storm. Tidak baik jika dia menjelekkannya di hadapan anak-anaknya.Dan sekalipun Storm tidak peduli jika sifat asli ayahnya dikuak di depan anak-anaknya, dia tetap tidak menyalahkan Savanah. Storm menghormati keputusan Savanah untuk tetap menjaga image ayahnya.Storm juga mengerti jika dari sudut pandang anak-anak, mereka masih sep
“Hei!” seru Braxton menyapa Sky dengan senyum ramah.Pria itu mengambilkan bola yang menggelinding lalu memberikannya pada Sky.“Kakek? Terima kasih.” Sky mengambil bola yang disodorkan.Braxton pun mengangguk senang dengan mata berbinar-binar.Sky lalu berbalik hendak kembali, tapi dia berhenti sejenak lalu berbalik lgi menghadap Braxton.“Kakek ... ayahnya daddyku, bukan?” tanyanya dengan polos.Hanya pertanyaan sederhana tapi Braxton terharu. Ternyata Storm masih menceritakan jati dirinya dengan benar pada anak-anaknya.“Iya, aku kakekmu.”Sky lalu tersenyum padanya dan merentangkan tangan. Braxton terkesiap melihatnya dan segera membungkukkan tubuh agar bisa dipeluk Sky.“Aku senang karena masih memiliki kakek. Jadi sekarang, kakekku ada dua. Kakek Zach dan kakek.”Braxton begitu tersentuh sampai-sampai air matanya menetes. Hatinya kembali berat ketika Sky melepaskan pelukan mereka.“Dah, Kakek. Aku mau bermain lagi.” Sky melambaikan tangan dan berlari pergi.Bergeming di tempatny
Siang yang santai, Storm mengajak anak-anak dan Savanah untuk berjalan-jalan santai sedikit jauh dari rumah. Mereka melwati pohon-pohon dengan daun yang sudah berubah beberapa warna, yang juga berguguran di jalanan.Warna kuning, merah, lalu coklat, menjadi dominan di pepohonan, menggantikan daun hijau yang menghias musim panas yang lalu.Suhu udara juga turun cukup banyak di musim gugur ini sehingga berjalan di siang hari adalah waktu yang tepat. Lagipula, siang hari menjadi lebih pendek, dan langit menggelap di sore hari.Storm merangkul Savanah yang perutnya kini sudah cukup besar. Jaket dan syal melingkupi tubuh Savanah yang kini seahri-hari mengenakan dress longgar demi kenyamanan perut besarnya. Storm sendiri hanya mengenakan sweater lengan panjang yang tidak terlalu tebal serta celana jeansnya yang berwarna biru muda, kesukaannya.Sky berjalan di depan mereka mendorong sebuah stroller yang akan ditempati Aspen jika bocah itu lelah.“Di ujung sana ada taman bermain, Daddy. Boleh
Miranda masih mengingat jelas bagaimana wajah Scilla saat muda, saat dia berhasil merayu Braxton untuk menikahinya dan mengusir Scilla dari rumah ini.Scilla sangat cantik dengan pembawaannya yang tenang dan bersahaja. Miranda selalu cemburu melihat Scilla yang tak pernah terlihat patah hatinya sekalipun Braxton telah jelas-jelas memperkenalkan dirinya pada Scilla.Wanita itu bagaikan putri raja yang begitu agung dan terhormat, yang hanya menatap dalam diam bagaikan air tenang yang menghanyutkan.“Aku akan menikahinya, karena dia sekarang mengandung anakku,” kata Braxton waktu itu.Raut wajah Scilla tidak berubah ketika mendengar kata-kata Braxton kala itu. Dia dengan diam berdiri dan menatap datar pada Braxton lalu Miranda.“Baiklah kalau kau ingin menikahinya, aku akan menceraikanmu.”Bahkan Miranda sangat kesal karena Braxton terus membahas kalimat Scilla waktu itu. Dia yang menceraikan Braxton, bukan dia meminta diceraikan. Hah, wanita sombong!Lebih sombong lagi karena permintaann
“Haaah ... kita lagi-lagi pulang hanya ada rumah yang kosong. Seharusnya tadi itu kau jangan banyak bicara. Sebelum Storm pulang, kita sebenarnya punya kesempatan untuk mengambil salah satu dari bocah itu!”Braxton duduk di salah satu sofa dengan raganya yang terlihat letih. Mendapati rumah ini yang hanya berisi beberapa pelayan saja, tanpa adanya Misty dan Moreno lagi, membuat hati Braxton merasa hampa.Biar bagaimana pun rumah ini terlalu besar untuk ditempati mereka berdua saja.Apalagi tadi dia sempat melihat sekilas isi dalam rumah Storm. Sekalipun perabot mereka biasa saja dan kebanyakan menggunakan perabot berbahan kayu, rumah Storm terlihat hangat.Bayangan anak-anak kecil duduk dan mengitari setiap sudut rumah, bermain sambil berlarian, bercekikikkan, berceloteh, bahkan bertengkar, membuat hati Braxton berkedut lebih sedih lagi. Dia ingin merasakan semua itu di rumahnya ini.Rasanya sungguh iri melihat teman-temannya yang lain memiliki kesibukan extra di masa tua mereka, yaitu
Raut wajah Storm perlahan melunak seiring menghilangnya mobil Braxton dari pandangan mereka.Pria itu menatap anak-anaknya satu demi satu.“Kalian tidak apa-apa?” tanyanya sambil memeluk Sky dan River bersamaan.“Kami tidak apa-apa. Tapi tadi itu siapa, Dad? Kenapa mereka sepertinya ingin membawa kami pergi dari sini?”Storm tidak langsung menjawab. Dia hanya memeluk erat lalu mengecup kepala dua bocah itu satu per satu. Lalu pandangannya tertuju pada Aspen yang berada dalam gendongan Savanah.Dia pun turut memeluk Aspen lalu istri tercintanya.“Mau apa mereka?” tanyanya pada Savanah saat mengurai pelukannya.“Mereka memintaku untuk mengizinkan Sky dan River menginap di rumah ayahmu. Alasannya karena dia berhak atas mereka, karena dia adalah kakek mereka. Lalu mereka juga bilang, bahwa anak-anak berhak memilih di mana mereka ingin tinggal.”Storm meradang lagi ketika mendengar penjelasan istrinya. Bagaimana bisa ayahnya dan istri ayahnya itu tiba-tiba memiliki pikiran seperti ini? Su
“Hah!” Savanah tak habis pikir dengan bagaimana Braxton dan Miranda bisa datang ke rumah mereka dan mengatakan semua itu dengan lantangnya?Padahal, jika dirunut puluhan tahun ke belakang, Braxton menelantarkan Storm. Lalu mereka telah menghina Savanah saat bisu. Ada banyak pertikaian dan mereka masih berani mengatakan hal seperti ini?Di mana urat malu mereka?“Mohon maaf, Tn. Braxton, tapi putramu mengurus anak-anaknya dengan sangat baik. Jika saat kecil Storm dibuang dari rumahmu itu benar disebut ditelantarkan. Tapi anak-anakku merasakan kehangatan di rumah kami, sudah tentu mereka tidak ditelantarkan.Mereka kami rawat dengan penuh sayang. Bagaimana bisa kau mengatakan mereka terlantar?Lagipula, asal kau tahu, Tn. Braxton, Storm telah menjadi ayah yang hebat bagi mereka. Dia selalu hadir di setiap moment hidup anak-anaknya.Setiap ulang tahun mereka, dia selalu hadir. Jangankan ulang tahun, setiap sarapan dan makan malam, Storm selalu bersama kami. Bagaimana mungkin kau dengan e