“Ada apa yang gawat?!”Moreno ikut panik mendengar nada panik di suara Zein.“Pelanggan di ruang VIP 08, Boss! Mereka mabuk!”Moreno memijat keningnya. “Pelanggan mabuk bukankah sudah biasa?”“Iya, Boss. Tapi ini benar-benar mabuk yang sampai-sampai tak bisa mengenali lagi dirinya. Mereka mabuk, bicara sendiri, lalu mengamuk hebat. Meja, kursi, piring, gelas sampai dilempar.Banyak barang pecah termasuk barang dekorasi yang dari Persia, Boss!”“Apa?!” Moreno terang saja terkejut.Dekorasi restorannya jauh-jauh dipesan dari Persia yang tentu saja bukan barang murah.Memang tidak banyak, tapi itu semua tidak murah.Tentu saja membuat hatinya gelisah.“Aku ke sana sekarang! Kau panggil segera security agar mengantar customer kita pulang dengan selamat.”“Baik, Boss.”Sepanjang perjalanan Moreno memijit pelipisnya lagi. Bagaimana bisa pelanggannya mabuk sampai parah seperti ini?Selama bertahun-tahun ini tidak ada customer yang mabuk parah. Kenapa bisa tiba-tiba ada yang mabuk parah? Apaka
Dia sudah dari lama heran, tapi tak pernah mengerti. Dan kini, ketika ibunya menyinggung semua ini, Savanah pasti akan memasang telinganya baik-baik.Desahan napas Liora pun terdengar penuh sesal. Dipandanginya sang suami yang duduk diam di sampingnya. Sambil menggenggam tangan Zach, Liora mulai bercerita lagi, “Ibunya Milka itu adalah sepupu ayahmu, Sav. Tapi ... dia jatuh cinta pada ayahmu.”Savanah membelalakkan kedua bola matanya. Yang benar saja?Dari sekian banyak alasan, dia tak pernah terpikir akan alasan yang satu ini.Bagaimana mungkin ibunya Milka yang notabene bibinya sendiri ternyata mencintai ayahnya?Bukan hanya dirinya, Storm pun ikut terperangah. Dia sampai menyugar kasar rambutnya yang cukup gondrong. ***Apa yang diceritakan ibunya cukup memukul relung hati Savanah. Storm menyadarinya dari saat mereka di perjalanan pulang tadi.Ketika tiba di rumah, dengan pekarangan yang penuh dengan lampu-lampu kecil menghias pagar rumah mereka, Savanah masih terlihat berpikir.
Pikiran Moreno pun mulai terpengaruh.Memang benar, bahkan sampai pemutusan kontrak pun dia tak pernah bicara langsung pada Tuan Fear Laidir.Dan Storm juga tidak pernah menyatakan bahwa dialah Fear Laidir.“Seberapa besar kau yakin apa yang kau sampaikan ini akurat?” tanya Moreno akhirnya sambil menatap Milka menyelidik.“Aku yakin yakin saja. Dari awal memang tidak pernah percaya jika kakakmu itu pemilik Chateau-Sawyer. Dugaanku dia hanya kenal dengan asisten Fear Laidir lalu dia memanfaatkan moment dengan mengatakan putus kontrak. Padahal tidak ada kontrak yang bisa dia putuskan karena sejatinya dia pengangguran. Cih!”“Aku jadi bingung mendengarmu ini. Bagaimana kalau kita datangi dia?”“Ke rumahnya?”“Iya!”“Ayo! Aku tak sabar ingin melihatnya malu karena mengaku-ngaku sebagai Tuan Fear Laidir!”Untuk pertama kalinya Moreno akhirnya mengajak Milka ke kediaman Storm.Bahkan sebelum tiba di sana, Milka sudah mengeluh panjang lebar. Jalanan setapak menuju perkebunan belakang terlalu
Moreno menoleh dan menatap lekat pada Milka. “Jangan asal bicara! Itu kan baru pemikiranmu sendiri!”“Memang! Tapi kalau bukan seperti yang aku katakan, mau darimana lagi barang ini? Ini bukan murah lho! Lihat harganya di sini!”Moreno menatap dan melihatnya. Harga mobil itu setara harga jual Dyazz Dining dalam keadaan bangkrut. Malahan harga mobil itu masih lebih tinggi sedikit. Lalu gara-gara ini juga dia jadi teringat, uang penjualan restorannya yang rencananya dia gunakan untuk membuka bisnis baru, pada akhirnya habis digunakan membayar utang-utang usahanya.Sungguh sialan! Selama lima tahun kejayaan Dyazz Dining, dia telah lalai menyisihkan sebagian hasilnya. Dia juga lalai melunasi utang. Dia hanya mencicil senilai minimum, beranggapan bahwa kejayaan Dyazz Dining akan bertahan lama.Kini setelah restorannya itu dijual, tidak ada yang dia dapatkan lagi. Semua habis.Diliriknya kesal pada Milka yang sekarang tampak sedang memotret Rolls Royce Ghost di pekarangan Storm dari berbaga
Storm tidak pergi lama. Dia hanya bertemu dengan Oliver yang membawakan contoh kemasan, lalu meminta Storm memilihnya. Storm mengelus bahan yang dibawakan Oliver lalu memilih bahan yang memiliki tingkat kehalusan tinggi.“Ini saja! lebih halus, juga tebal,” ujar Storm yang diiyakan Oliver.“Kenapa istrimu tidak ikut? Kau takut aku merayunya?” tanya Oliver dalam candaannya.Storm berdecak lalu menepuk bahu Oliver tanpa menggubris candaannya.“Sudah, ya. Aku pulang. Istriku sendirian!”“Sudah tahu ketemuan di cafe, kenapa tidak mengajaknya? Dasar pelit kau!”“Kenapa aku dibilang pelit? Ini aku bayar minumanmu!” Storm mengeluarkan selembar uangnya lalu memberikan pada Oliver.“Tidak perlu. Aku bukan merujuk pelit di ini. Tapi kau pelit, tidak boleh membiarkanku cuci mata sedikit melihat kecantikan istrimu.”“Apa kau bilang? Mau kena hajar? Kubuat kau jadi pizza baru tahu rasa!”Oliver tergelak dalam tawanya mendengar seruan Storm yang tak senang. Dia suka sekali mengerjai Storm, boss yan
“Apakah dengan Tuan Schaeffer?” tanya suara pria di ujung telepon.“Iya, saya! Ada apa?” Meskipun gelisah, Storm merasa telepon ini ada hubungannya dengan Savanah.Dan apa yang diperkirakannya benar saat pria di ujung telepon melanjutkan, “Kami menahan istri Anda di kantor. Silakan datang untuk menjawab pertanyaan dari kami!”Storm berang. “Apa? Memangnya apa yang kami perbuat sampai-sampai kalian membawa istriku secara diam-diam?!”“Maaf, Tuan. Silakan datang saja. Kami menunggu kehadiran Anda!”Telepon ditutup sepihak sehingga membuat Storm makin berang.“Istriku ternyata di kantor polilsi,” katanya pada detektif.Meskipun terlihat berang, di hatinya dia merasa lega. Setidaknya, apa yang terjadi tidak mengerikan seperti yang ada dalam pikirannya tadi.Detektif pun akhirnya undur diri sembari memberikan pesan untuk memanggil pengacara saat ke kantor polisi nanti.Storm mengikuti arahannya, menelpon pengacara dan akan bertemu langsung di kantor polisi.Di kantor polisi ...Storm tampa
Storm yang diliputi kemarahan jadi tidak bisa tidur. Rasanya tak habis pikir dengan Milka. Segala tindak tanduknya seperti tidak melewati saringan dari otaknya.Sekalipun Milka mewarisi iri dengki dari ibunya karena tak berhasil mendapatkan cinta Zach, tetap saja, ini sudah keterlaluan. Apalagi ini menyangkut keselamatan Savanah.Storm lalu melaporkan pada pengacaranya untuk menuntut Milka secara hukum atas unggahannya yang tak bertanggung jawab.Geramnya sudah tak tertahankan apalagi tuntutannya karena curang di Kompetisi Paradise Cakery pun seperti dipatahkan begitu saja.“Tunggu dulu ...” seru Storm dalam bisiknya ketika dia teringat akan kecurangan Milka, lalu tuntutan terhadap Milka, tapi kasusnya tidak mengalami perkembangan yang berarti hingga saat ini.“Bisa kau selidiki kasus Milka yang sebelum ini? Aku dan owner Paradise Cakery sempat menuntut wanita itu atas kecurangan dan pencemaran nama baik saat kompetisi di Paradise Cakery. Tapi hingga saat ini tidak ada perkembangan la
Milka masih gemetar sekalipun Storm sudah tidak terlihat lagi di depan wajahnya.Jantungnya berdegup tak karuan dengan seluruh isi perutnya terasa berputar.Tungkai kakinya pun lemas seakan tak bertenaga.Namun, kemarahannya timbul ketika dia menyadari pelayan dari tadi diam di pojokan mengamati perseteruannya dengan Storm.“Kenapa kau di situ dari tadi? Apa kau tidak punya otak? Seharusnya kau memanggil yang lainnya agar menyelamatkanku dari si sialan tadi! Kau tidak lihat betapa kasarnya dia, hah?”Pelayan terdiam dan menunduk.“Oh ya ... kau bahkan menyembunyikan bahwa yang mencariku adalah dia! Kenapa kau tidak mengatakannya sedari tadi, hah? Apa dia menyuapmu untuk kau menipuku agar aku bersedia turun menemuinya?”Pelayan masih diam dan hanya menggeleng.“Ada yang mencari katanya penting sekali ...” cibir Milka dengan bibirnya dimajukan, mengulangi kata-kata pelayannya tadi.Rasanya dia seperti dikhianati orang dalam karena si pelayan tidak mengatakan siapa yang mencarinya. Itu se
Savanah memeluk Storm dari belakang, mengalungkan lengannya di leher Storm, lalu berbisik lembut, “Redakan amarahmu. Langit sudah gelap, tidak baik menahan marah sampai esok hari.Kita akan membekali Sky, River, dan Aspen dengan pembelajaran bahwa jika ayahmu mendekati mereka lagi, lalu mengajak pergi bersama, mereka harus pastikan bahwa kita berdua ikut, atau setidaknya diberitahu.”Selesai berbisik, Savanah menciumi tengkuk pria itu agar amarahnya sedikit teralihkan.Benar saja, Storm mulai meletakkan ponselnya lalu memanjangkan lengannya ke arah belakang dan merangkul leher Savanah. Dia lalu membawa sang istri ke depan dan kini posisi Savanah yang didekapnya dari belakang.Seakan hasrat sudah mengambil alih, kini giliran Storm yang menciumi tengkuk Savanah setelah dia menyampirkan rambut panjang Savanah ke bahu kiri sang istri.Leher putih, mulus, dan jenjang itu begitu menggoda, membuat kemarahannya pun sedikit mereda digantikan hasrat yang mengembang apalagi rasa frustrasinya tad
Savanah menatap Braxton yang menjawab tanpa rasa bersalah sama sekali. Pria itu malah terkesan menikmati kekesalan dan kekhawatiran Savanah.Tidak tahukah dia bahwa Savanah begitu khawatir pada River sampai-sampai dia tidak nafsu makan, bahkan tidak mengingat bagaimana Sky dan Aspen makan malam tadi. Apakah mereka makan dengan benar, dengan cukup? Atau malah mereka hanya memainkan makanan mereka?Andai bisa, Savanah rasanya ingin meninggalkan Braxton tanpa kata sama sekali dan langsung membawa anak-anak dan keluarganya masuk. Biarkan saja dia merasa tidak dianggap.Tapi ada ayah dan ibunya yang turut mendelik tajam pada Braxton. Hanya saja pria itu seakan tidak menganggap kekesalan mereka semua dengan serius. Braxton malah membiarkan wajahnya terlihat senang seperti tak ada rasa bersalah pada Savanah dan yang lainnya.Dia menunjuk sekotak hadiah besar yang dipegang River.“Kakek kenapa mengajak River jalan-jalan tidak izin dulu dengan mommy dan daddy? Asal kakek tahu, Mommy dan Daddy
Storm marah. Dia pun mengajak Savanah dan anak-anak untuk segera pulang. Perjalanan yang tadinya terasa menyenangkan dengan berjalan santai bersama, kini terasa terlalu panjang seakan tak berujung.“Mommy, kenapa dengan River? Bukankah kata Mommy, kakek Braxton adalah ayahnya daddy? Mungkin saja Kakek Braxton sedang bermain bersama River.”Celotehan Sky membuat Storm terperangah. Savanah pun ikut kehilangan kata-katanya.Mereka berpandangan dan merasa sulit untuk menjelaskan pada Sky.Sudah jelas Savanah tidak ingin menjelekkan Braxton di depan anak-anak mereka. Biar bagaimanapun Braxton adalah ayahnya Storm. Tidak baik jika dia menjelekkannya di hadapan anak-anaknya.Dan sekalipun Storm tidak peduli jika sifat asli ayahnya dikuak di depan anak-anaknya, dia tetap tidak menyalahkan Savanah. Storm menghormati keputusan Savanah untuk tetap menjaga image ayahnya.Storm juga mengerti jika dari sudut pandang anak-anak, mereka masih sep
“Hei!” seru Braxton menyapa Sky dengan senyum ramah.Pria itu mengambilkan bola yang menggelinding lalu memberikannya pada Sky.“Kakek? Terima kasih.” Sky mengambil bola yang disodorkan.Braxton pun mengangguk senang dengan mata berbinar-binar.Sky lalu berbalik hendak kembali, tapi dia berhenti sejenak lalu berbalik lgi menghadap Braxton.“Kakek ... ayahnya daddyku, bukan?” tanyanya dengan polos.Hanya pertanyaan sederhana tapi Braxton terharu. Ternyata Storm masih menceritakan jati dirinya dengan benar pada anak-anaknya.“Iya, aku kakekmu.”Sky lalu tersenyum padanya dan merentangkan tangan. Braxton terkesiap melihatnya dan segera membungkukkan tubuh agar bisa dipeluk Sky.“Aku senang karena masih memiliki kakek. Jadi sekarang, kakekku ada dua. Kakek Zach dan kakek.”Braxton begitu tersentuh sampai-sampai air matanya menetes. Hatinya kembali berat ketika Sky melepaskan pelukan mereka.“Dah, Kakek. Aku mau bermain lagi.” Sky melambaikan tangan dan berlari pergi.Bergeming di tempatny
Siang yang santai, Storm mengajak anak-anak dan Savanah untuk berjalan-jalan santai sedikit jauh dari rumah. Mereka melwati pohon-pohon dengan daun yang sudah berubah beberapa warna, yang juga berguguran di jalanan.Warna kuning, merah, lalu coklat, menjadi dominan di pepohonan, menggantikan daun hijau yang menghias musim panas yang lalu.Suhu udara juga turun cukup banyak di musim gugur ini sehingga berjalan di siang hari adalah waktu yang tepat. Lagipula, siang hari menjadi lebih pendek, dan langit menggelap di sore hari.Storm merangkul Savanah yang perutnya kini sudah cukup besar. Jaket dan syal melingkupi tubuh Savanah yang kini seahri-hari mengenakan dress longgar demi kenyamanan perut besarnya. Storm sendiri hanya mengenakan sweater lengan panjang yang tidak terlalu tebal serta celana jeansnya yang berwarna biru muda, kesukaannya.Sky berjalan di depan mereka mendorong sebuah stroller yang akan ditempati Aspen jika bocah itu lelah.“Di ujung sana ada taman bermain, Daddy. Boleh
Miranda masih mengingat jelas bagaimana wajah Scilla saat muda, saat dia berhasil merayu Braxton untuk menikahinya dan mengusir Scilla dari rumah ini.Scilla sangat cantik dengan pembawaannya yang tenang dan bersahaja. Miranda selalu cemburu melihat Scilla yang tak pernah terlihat patah hatinya sekalipun Braxton telah jelas-jelas memperkenalkan dirinya pada Scilla.Wanita itu bagaikan putri raja yang begitu agung dan terhormat, yang hanya menatap dalam diam bagaikan air tenang yang menghanyutkan.“Aku akan menikahinya, karena dia sekarang mengandung anakku,” kata Braxton waktu itu.Raut wajah Scilla tidak berubah ketika mendengar kata-kata Braxton kala itu. Dia dengan diam berdiri dan menatap datar pada Braxton lalu Miranda.“Baiklah kalau kau ingin menikahinya, aku akan menceraikanmu.”Bahkan Miranda sangat kesal karena Braxton terus membahas kalimat Scilla waktu itu. Dia yang menceraikan Braxton, bukan dia meminta diceraikan. Hah, wanita sombong!Lebih sombong lagi karena permintaann
“Haaah ... kita lagi-lagi pulang hanya ada rumah yang kosong. Seharusnya tadi itu kau jangan banyak bicara. Sebelum Storm pulang, kita sebenarnya punya kesempatan untuk mengambil salah satu dari bocah itu!”Braxton duduk di salah satu sofa dengan raganya yang terlihat letih. Mendapati rumah ini yang hanya berisi beberapa pelayan saja, tanpa adanya Misty dan Moreno lagi, membuat hati Braxton merasa hampa.Biar bagaimana pun rumah ini terlalu besar untuk ditempati mereka berdua saja.Apalagi tadi dia sempat melihat sekilas isi dalam rumah Storm. Sekalipun perabot mereka biasa saja dan kebanyakan menggunakan perabot berbahan kayu, rumah Storm terlihat hangat.Bayangan anak-anak kecil duduk dan mengitari setiap sudut rumah, bermain sambil berlarian, bercekikikkan, berceloteh, bahkan bertengkar, membuat hati Braxton berkedut lebih sedih lagi. Dia ingin merasakan semua itu di rumahnya ini.Rasanya sungguh iri melihat teman-temannya yang lain memiliki kesibukan extra di masa tua mereka, yaitu
Raut wajah Storm perlahan melunak seiring menghilangnya mobil Braxton dari pandangan mereka.Pria itu menatap anak-anaknya satu demi satu.“Kalian tidak apa-apa?” tanyanya sambil memeluk Sky dan River bersamaan.“Kami tidak apa-apa. Tapi tadi itu siapa, Dad? Kenapa mereka sepertinya ingin membawa kami pergi dari sini?”Storm tidak langsung menjawab. Dia hanya memeluk erat lalu mengecup kepala dua bocah itu satu per satu. Lalu pandangannya tertuju pada Aspen yang berada dalam gendongan Savanah.Dia pun turut memeluk Aspen lalu istri tercintanya.“Mau apa mereka?” tanyanya pada Savanah saat mengurai pelukannya.“Mereka memintaku untuk mengizinkan Sky dan River menginap di rumah ayahmu. Alasannya karena dia berhak atas mereka, karena dia adalah kakek mereka. Lalu mereka juga bilang, bahwa anak-anak berhak memilih di mana mereka ingin tinggal.”Storm meradang lagi ketika mendengar penjelasan istrinya. Bagaimana bisa ayahnya dan istri ayahnya itu tiba-tiba memiliki pikiran seperti ini? Su
“Hah!” Savanah tak habis pikir dengan bagaimana Braxton dan Miranda bisa datang ke rumah mereka dan mengatakan semua itu dengan lantangnya?Padahal, jika dirunut puluhan tahun ke belakang, Braxton menelantarkan Storm. Lalu mereka telah menghina Savanah saat bisu. Ada banyak pertikaian dan mereka masih berani mengatakan hal seperti ini?Di mana urat malu mereka?“Mohon maaf, Tn. Braxton, tapi putramu mengurus anak-anaknya dengan sangat baik. Jika saat kecil Storm dibuang dari rumahmu itu benar disebut ditelantarkan. Tapi anak-anakku merasakan kehangatan di rumah kami, sudah tentu mereka tidak ditelantarkan.Mereka kami rawat dengan penuh sayang. Bagaimana bisa kau mengatakan mereka terlantar?Lagipula, asal kau tahu, Tn. Braxton, Storm telah menjadi ayah yang hebat bagi mereka. Dia selalu hadir di setiap moment hidup anak-anaknya.Setiap ulang tahun mereka, dia selalu hadir. Jangankan ulang tahun, setiap sarapan dan makan malam, Storm selalu bersama kami. Bagaimana mungkin kau dengan e