Milka melempar dirinya di atas ranjang empuknya lalu mengambil ponsel dan menghubungi nomor ibunya.Tidak berapa lama kemudian, terdengarlah suaranya berbicara di telepon.“Mom, aku tadi bertemu Savanah dan suaminya di grocery store. Masa iya, Mom, suaminya punya kartu debit platinum? Dan tadi dia membayar belanjaan mereka banyak sekali, Mom. Sampai hampir 400 dolar.”“Yang benar kamu? Paling-paling itu hanya akal-akalan mereka saja agar tidak tampak memalukan. Mungkin Savanah yang meminjamkan kartunya supaya bisa mengangkat citra diri suaminya?”“Nggak, Mom. Nama di kartu nama si berandal itu, Mom. Tapi kata Moreno, kemungkinan ya karena ayahnya masih memberi uang saku pada kakak tirinya itu. Tapi Tn. Braxton nya memang tidak mengakui. Entah karena ada istrinya atau hanya tidak mau mengakui.”“Oh, ya kalau begitu mungkin saja. Kalau dia mengisi rekeningnya dengan sedikit uang tapi setiap bulan rutin, ya lumayan juga. Cukup lah untuk membayar biaya administrasi dan biaya transaksi lai
Storm kembali merasa kesulitan untuk tidur. Membayangkan ada Savanah di tempat tidurnya sendiri, itu selalu berhasil menyulut api gairah dalam dirinya.Sekalipun mereka tidak tidur satu tempat, tetap saja Storm merasa panas dalam dirinya menggelora setiap kali dia mengingat ada Savanah di dalam kamar yang sama dengan dirinya, bahkan tidur di atas tempat tidurnya.Seperti malam ini, Storm gelisah, seluruh posisi sudah tak mampu membuatnya rileks. Storm pun akhirnya duduk termenung daripada dia mengganggu tidur Savanah yang tampak demikian nyenyak.Keinginannya untuk mengisap rokok mulai muncul, tapi hari sudah larut. Storm tidak ingin besok bangun kesiangan.Mulai berjalan mondar mandir di dalam kamar, akhirnya Storm tak bisa menepis keinginannya untuk merokok.Dia pun menuju balkon dan menghisap sebatang rokok sambil membiarkan dirinya diterpa angin malam yang dingin.Satu batang menjadi dua batang. Setelah habis, Storm baru masuk.Merasa pastilah Savanah tipe gadis yang tak menyukai
Savanah akhirnya menyimpan ponselnya ke dalam tas. Perjalanan menuju Paradise Cakery pun jadi sunyi dan sepi.Wajah Storm terus berfokus pada lampu lalu lintas yang mereka lewati.Melihat itu Savanah jadi teringat pada jepretan blits kamera saat Storm melanggar lampu merah kemarin.‘Oh, mungkin Storm hanya tidak ingin kembali mengulangi kesalahan kemarin. Pikirannya pastilah penuh beban dengan surat tilang yang sebentar lagi akan diterimanya. Mungkin karena itu juga dia tak menggubris kata-kataku tadi.’Savanah menghibur dirinya sendiri agar tidak terlalu kecewa hanya karena Storm tidak menyahuti kata-katanya tadi. Ketika tiba di parkiran Paradise Cakery pun Savanah langsung membuka seat belt dan membuka pintu.Melihat itu, Storm gegas melompat turun dan memutar ke arah Savanah. Tepat saat Savanah mulai menjulurkan kakinya untuk menapak turun, tangan Storm sudah terulur untuk Savanah jadikan pegangan.‘Trims, Storm
BRIANAAAAAAA ...!Nama itu bergema dan memantul-mantul dalam benak Savanah. Andai dia bisa menyuarakannya, dia pasti sudah meneriaki sahabatnya itu untuk segera diam.Sungguh setiap kata yang Briana ucapkan membuat dia dalam posisi memalukan.Namun, Savanah juga sadar semua itu hanyalah candaan belaka.Dan memang seperti itulah dia.Urgh!Savanah akhirnya hanya mampu memelototi Brianna yang masih juga tampak menyengir seolah tanpa dosa sama sekali.Melihat cengiran Brianna, hati Savanah terasa geram. Dia tahu dengan jelas bahwa Brianna sedang mengolok-oloknya.Dengan segala kekesalannya, ketika Brianna memandang ke arah lain, Savanah cepat-cepat menyambar sebotol krim kocok di sudut mejanya, menuangnya di tangan, lalu dia gegas menghampiri Brianna.“Lho kenapa, Sav? Ada apa?” tanya Brianna tanpa curiga.Savanah berhenti tepat di depan Brianna dengan tangannya dia letakkan di belakang tubuhnya, menyembunyikan krim di telapak tangannya.“Kenapa ya?” tanya Brianna masih tak menduga jika
“Jangan sembarangan bicara!” hardik Brianna sembari memelototi Milka. Tapi Milka pun tak mau kalah. Dia berkacak pinggang lalu balas menghardik Brianna. “Aku tidak sembarangan bicara! Moreno sendiri yang memberitahuku! Seperti dugaanku bukan? Mobil yang dibawanya itu hasil pemberian orang lain! Tidak mungkin dia membelinya sendiri! Huh, pantasan bisa membawa mobil bagus!” Milka membuang wajah sembari mendengus sinis. Tiga antek-anteknya di belakang Milka ikut mendengarkan dengan seksama. Clara pun akhirnya menambah minyak di api. “Ya, namanya juga pengangguran, pastilah mencurigakan kalau sampai bisa membawa mobil yang harganya segitu! Ternyata benar kecurigaan kita. Mobil itu bukan hasil keringatnya sendiri!” “Hahahha! Dari awal juga sudah bisa ditebak bukan? Mobil itu lebih mahal dari mobil Moreno. Ya kalau bukan hasil curian pastilah hasil pemberian orang lain! Dan ternyata benar! Tidak terkejut juga sih!” Reese pun menambahkan. Lalu Freya ikut berkomentar, “Untung kau bisa me
Brianna lagi-lagi mempermainkan Savanah. Dia cepat-cepat pulang membiarkan Savanah penasaran dengan segala pertanyaan menggantung di benak. Masih sempat teringat oleh Brianna saat dia diam-diam mengintip Savanah di cafe sedang memesan kue untuk dibawa pulang. Brianna berjinjit pelan lalu mengarah ke pintu samping tempat keluar masuknya staff. Cepat-cepat Brianna menuju mobil lalu tancap gas dari sana. Dia tidak akan mau memberitahu Savanah kenapa dia bisa seyakin itu tentang Storm. Biarlah Savanah penasaran dengan semua itu. Selain menurut Brianna ini hal lucu melihat Savanah penasaran akut, juga karena dia merasa bukan hak dan urusan dia untuk mengatakan apapun tentang Storm. Tak berapa lama, ponselnya berbunyi dan ternyata pesan dari Savanah. [Kenapa kau sudah pulang? Kau sengaja menghindariku? Aku jadi semakin yakin ada yang kau ketahui tentang Storm tapi sengaja kau menyembunyikannya dariku! Aku bahkan bisa mencium bau sumsung tulang belakang panggang dari punggungmu!] Brian
Sebelum Liora menyelesaikan ucapannya, terdengar erangan panjang dari dalam.Storm langsung menyeruak masuk dan menuju sumber suara. Di saat itu, Liora juga langsung berlari masuk lagi disusul Savanah.Storm sudah berada di kamar orang tua Savanah ketika Liora dan Savanah berhasil menyusulnya.“Zach!” seru Liora menghambur masuk begitu dia tiba di sana.Savanah yang di belakangnya pun tak kalah terkejut.Ayahnya terkapar di lantai dengan kursi di sampingnya ikut terjerembap.Yang lebih mengiris hati adalah ekspresi Zach yang terlihat tak bisa bicara bahkan menggerakkan anggota tubuhnya.“Kita harus membawanya ke rumah sakit,” kata Storm sembari memapah Zach agar bisa duduk.“Ayo kita bawa dia,” ucap Liora dengan suara yang lirih. Kesedihan dan kekhawatiran tak bisa dia sembunyikan dari wajahnya.Zach sedang mengeluhkan tubuhnya yang terus terusan lemas dengan tangan yang terasa seperti
“Aku berterima kasih dengan tawaranmu menyewa perawat pribadi untuk ayahku. Tapi aku tidak bisa terus membebanimu, Storm. Biarkan nanti aku mengganti tarif sewa perawat serta makan malam tadi. Jangan kau terus yang membayarnya.” Suara AI bergema dari ponsel Savanah ketika mereka telah berada di kamar. Savanah duduk di ranjang dan Storm di sofa tempatnya tidur. Kedua alis Storm mengernyit heran saat mendengar ucapan Savanah dari aplikasi ponsel. Lalu Storm menggeleng. “Tak perlu. Aku sudah mengatakan aku yang membayar, maka aku yang akan membayarnya.” Cepat-cepat Savanah mengetik lagi, “Tapi, sudah banyak sekali pengeluaranmu. Belum lagi kasus tilang kemarin. Please biar aku yang membayar tarif perawat untuk ayahku. Kau kan masih harus membayar tilang.” “Tak usah kau pikirkan juga tentang tilang. Aku sudah meminta orang untuk mengurusnya. Tenang saja.” Savanah terhenyak. Lalu cepat mengetik lagi. “Orang? Maksudmu orang yang mengurusnya itu bagaimana? Kau menyuap? Atau kau menganc
Savanah memeluk Storm dari belakang, mengalungkan lengannya di leher Storm, lalu berbisik lembut, “Redakan amarahmu. Langit sudah gelap, tidak baik menahan marah sampai esok hari.Kita akan membekali Sky, River, dan Aspen dengan pembelajaran bahwa jika ayahmu mendekati mereka lagi, lalu mengajak pergi bersama, mereka harus pastikan bahwa kita berdua ikut, atau setidaknya diberitahu.”Selesai berbisik, Savanah menciumi tengkuk pria itu agar amarahnya sedikit teralihkan.Benar saja, Storm mulai meletakkan ponselnya lalu memanjangkan lengannya ke arah belakang dan merangkul leher Savanah. Dia lalu membawa sang istri ke depan dan kini posisi Savanah yang didekapnya dari belakang.Seakan hasrat sudah mengambil alih, kini giliran Storm yang menciumi tengkuk Savanah setelah dia menyampirkan rambut panjang Savanah ke bahu kiri sang istri.Leher putih, mulus, dan jenjang itu begitu menggoda, membuat kemarahannya pun sedikit mereda digantikan hasrat yang mengembang apalagi rasa frustrasinya tad
Savanah menatap Braxton yang menjawab tanpa rasa bersalah sama sekali. Pria itu malah terkesan menikmati kekesalan dan kekhawatiran Savanah.Tidak tahukah dia bahwa Savanah begitu khawatir pada River sampai-sampai dia tidak nafsu makan, bahkan tidak mengingat bagaimana Sky dan Aspen makan malam tadi. Apakah mereka makan dengan benar, dengan cukup? Atau malah mereka hanya memainkan makanan mereka?Andai bisa, Savanah rasanya ingin meninggalkan Braxton tanpa kata sama sekali dan langsung membawa anak-anak dan keluarganya masuk. Biarkan saja dia merasa tidak dianggap.Tapi ada ayah dan ibunya yang turut mendelik tajam pada Braxton. Hanya saja pria itu seakan tidak menganggap kekesalan mereka semua dengan serius. Braxton malah membiarkan wajahnya terlihat senang seperti tak ada rasa bersalah pada Savanah dan yang lainnya.Dia menunjuk sekotak hadiah besar yang dipegang River.“Kakek kenapa mengajak River jalan-jalan tidak izin dulu dengan mommy dan daddy? Asal kakek tahu, Mommy dan Daddy
Storm marah. Dia pun mengajak Savanah dan anak-anak untuk segera pulang. Perjalanan yang tadinya terasa menyenangkan dengan berjalan santai bersama, kini terasa terlalu panjang seakan tak berujung.“Mommy, kenapa dengan River? Bukankah kata Mommy, kakek Braxton adalah ayahnya daddy? Mungkin saja Kakek Braxton sedang bermain bersama River.”Celotehan Sky membuat Storm terperangah. Savanah pun ikut kehilangan kata-katanya.Mereka berpandangan dan merasa sulit untuk menjelaskan pada Sky.Sudah jelas Savanah tidak ingin menjelekkan Braxton di depan anak-anak mereka. Biar bagaimanapun Braxton adalah ayahnya Storm. Tidak baik jika dia menjelekkannya di hadapan anak-anaknya.Dan sekalipun Storm tidak peduli jika sifat asli ayahnya dikuak di depan anak-anaknya, dia tetap tidak menyalahkan Savanah. Storm menghormati keputusan Savanah untuk tetap menjaga image ayahnya.Storm juga mengerti jika dari sudut pandang anak-anak, mereka masih sep
“Hei!” seru Braxton menyapa Sky dengan senyum ramah.Pria itu mengambilkan bola yang menggelinding lalu memberikannya pada Sky.“Kakek? Terima kasih.” Sky mengambil bola yang disodorkan.Braxton pun mengangguk senang dengan mata berbinar-binar.Sky lalu berbalik hendak kembali, tapi dia berhenti sejenak lalu berbalik lgi menghadap Braxton.“Kakek ... ayahnya daddyku, bukan?” tanyanya dengan polos.Hanya pertanyaan sederhana tapi Braxton terharu. Ternyata Storm masih menceritakan jati dirinya dengan benar pada anak-anaknya.“Iya, aku kakekmu.”Sky lalu tersenyum padanya dan merentangkan tangan. Braxton terkesiap melihatnya dan segera membungkukkan tubuh agar bisa dipeluk Sky.“Aku senang karena masih memiliki kakek. Jadi sekarang, kakekku ada dua. Kakek Zach dan kakek.”Braxton begitu tersentuh sampai-sampai air matanya menetes. Hatinya kembali berat ketika Sky melepaskan pelukan mereka.“Dah, Kakek. Aku mau bermain lagi.” Sky melambaikan tangan dan berlari pergi.Bergeming di tempatny
Siang yang santai, Storm mengajak anak-anak dan Savanah untuk berjalan-jalan santai sedikit jauh dari rumah. Mereka melwati pohon-pohon dengan daun yang sudah berubah beberapa warna, yang juga berguguran di jalanan.Warna kuning, merah, lalu coklat, menjadi dominan di pepohonan, menggantikan daun hijau yang menghias musim panas yang lalu.Suhu udara juga turun cukup banyak di musim gugur ini sehingga berjalan di siang hari adalah waktu yang tepat. Lagipula, siang hari menjadi lebih pendek, dan langit menggelap di sore hari.Storm merangkul Savanah yang perutnya kini sudah cukup besar. Jaket dan syal melingkupi tubuh Savanah yang kini seahri-hari mengenakan dress longgar demi kenyamanan perut besarnya. Storm sendiri hanya mengenakan sweater lengan panjang yang tidak terlalu tebal serta celana jeansnya yang berwarna biru muda, kesukaannya.Sky berjalan di depan mereka mendorong sebuah stroller yang akan ditempati Aspen jika bocah itu lelah.“Di ujung sana ada taman bermain, Daddy. Boleh
Miranda masih mengingat jelas bagaimana wajah Scilla saat muda, saat dia berhasil merayu Braxton untuk menikahinya dan mengusir Scilla dari rumah ini.Scilla sangat cantik dengan pembawaannya yang tenang dan bersahaja. Miranda selalu cemburu melihat Scilla yang tak pernah terlihat patah hatinya sekalipun Braxton telah jelas-jelas memperkenalkan dirinya pada Scilla.Wanita itu bagaikan putri raja yang begitu agung dan terhormat, yang hanya menatap dalam diam bagaikan air tenang yang menghanyutkan.“Aku akan menikahinya, karena dia sekarang mengandung anakku,” kata Braxton waktu itu.Raut wajah Scilla tidak berubah ketika mendengar kata-kata Braxton kala itu. Dia dengan diam berdiri dan menatap datar pada Braxton lalu Miranda.“Baiklah kalau kau ingin menikahinya, aku akan menceraikanmu.”Bahkan Miranda sangat kesal karena Braxton terus membahas kalimat Scilla waktu itu. Dia yang menceraikan Braxton, bukan dia meminta diceraikan. Hah, wanita sombong!Lebih sombong lagi karena permintaann
“Haaah ... kita lagi-lagi pulang hanya ada rumah yang kosong. Seharusnya tadi itu kau jangan banyak bicara. Sebelum Storm pulang, kita sebenarnya punya kesempatan untuk mengambil salah satu dari bocah itu!”Braxton duduk di salah satu sofa dengan raganya yang terlihat letih. Mendapati rumah ini yang hanya berisi beberapa pelayan saja, tanpa adanya Misty dan Moreno lagi, membuat hati Braxton merasa hampa.Biar bagaimana pun rumah ini terlalu besar untuk ditempati mereka berdua saja.Apalagi tadi dia sempat melihat sekilas isi dalam rumah Storm. Sekalipun perabot mereka biasa saja dan kebanyakan menggunakan perabot berbahan kayu, rumah Storm terlihat hangat.Bayangan anak-anak kecil duduk dan mengitari setiap sudut rumah, bermain sambil berlarian, bercekikikkan, berceloteh, bahkan bertengkar, membuat hati Braxton berkedut lebih sedih lagi. Dia ingin merasakan semua itu di rumahnya ini.Rasanya sungguh iri melihat teman-temannya yang lain memiliki kesibukan extra di masa tua mereka, yaitu
Raut wajah Storm perlahan melunak seiring menghilangnya mobil Braxton dari pandangan mereka.Pria itu menatap anak-anaknya satu demi satu.“Kalian tidak apa-apa?” tanyanya sambil memeluk Sky dan River bersamaan.“Kami tidak apa-apa. Tapi tadi itu siapa, Dad? Kenapa mereka sepertinya ingin membawa kami pergi dari sini?”Storm tidak langsung menjawab. Dia hanya memeluk erat lalu mengecup kepala dua bocah itu satu per satu. Lalu pandangannya tertuju pada Aspen yang berada dalam gendongan Savanah.Dia pun turut memeluk Aspen lalu istri tercintanya.“Mau apa mereka?” tanyanya pada Savanah saat mengurai pelukannya.“Mereka memintaku untuk mengizinkan Sky dan River menginap di rumah ayahmu. Alasannya karena dia berhak atas mereka, karena dia adalah kakek mereka. Lalu mereka juga bilang, bahwa anak-anak berhak memilih di mana mereka ingin tinggal.”Storm meradang lagi ketika mendengar penjelasan istrinya. Bagaimana bisa ayahnya dan istri ayahnya itu tiba-tiba memiliki pikiran seperti ini? Su
“Hah!” Savanah tak habis pikir dengan bagaimana Braxton dan Miranda bisa datang ke rumah mereka dan mengatakan semua itu dengan lantangnya?Padahal, jika dirunut puluhan tahun ke belakang, Braxton menelantarkan Storm. Lalu mereka telah menghina Savanah saat bisu. Ada banyak pertikaian dan mereka masih berani mengatakan hal seperti ini?Di mana urat malu mereka?“Mohon maaf, Tn. Braxton, tapi putramu mengurus anak-anaknya dengan sangat baik. Jika saat kecil Storm dibuang dari rumahmu itu benar disebut ditelantarkan. Tapi anak-anakku merasakan kehangatan di rumah kami, sudah tentu mereka tidak ditelantarkan.Mereka kami rawat dengan penuh sayang. Bagaimana bisa kau mengatakan mereka terlantar?Lagipula, asal kau tahu, Tn. Braxton, Storm telah menjadi ayah yang hebat bagi mereka. Dia selalu hadir di setiap moment hidup anak-anaknya.Setiap ulang tahun mereka, dia selalu hadir. Jangankan ulang tahun, setiap sarapan dan makan malam, Storm selalu bersama kami. Bagaimana mungkin kau dengan e