Tarik napas, keluarkan. Tarik napas, keluarkan. Ternyata menulis adegan dan dialog yang menguras emosi bisa memengaruhi perasaan penulisnya juga, ya. XD Hampir saja mouse di tangan kanan terlempar. Hahahaha .... Baiklah. Ini saat yang tepat untuk membeli popsickle. Bab lanjutannya akan aku publikasikan secepatnya. Salam sayang, Meina H.
Suasana rumah itu senyap ketika wanita tadi pulang. Aku hanya duduk diam membiarkan mereka menenangkan diri. Delima yang tadi memanggil aku untuk kembali duduk bersama mereka. Aku sudah menyiapkan kalimat untuk menghiburnya, tetapi melihat wajahnya saat masuk kamar, aku mengurung niatku tersebut. Ini bukan saat yang tepat untuk bercanda. Mama yang duduk di samping Papa mengusap-usap lengannya untuk membantu ayah mertuaku itu menenangkan emosinya. Pria itu tidak terlihat seperti seorang pemarah, jadi aku tahu bahwa dia membentak tadi karena dia sudah tidak tahan lagi. “Jadi, lima tahun kalian menikah, selama itu juga dia mengambil semua gaji Bakti?” tanya Papa kepada Delima. Dia mengangguk pelan. “Suamimu itu diam saja dan tidak melakukan apa pun?” “Dia beberapa kali mencoba memberi pengertian bahwa dia juga butuh uang, tetapi ibunya selalu berhasil menang dalam perdebatan mereka. Papa tahu sendiri Bakti tidak akan tega menyakiti ibunya. Akhirnya, gajinya selalu diberikan kepada mama
~Delima~ Oh, Tuhan. Apa yang sudah aku lakukan? Mengapa aku melakukan itu tadi?? Aku rasanya mau mati saja. Ini pasti gara-gara film bodoh itu! Kedua pemain utamanya berciuman begitu intens membuat aku menginginkannya juga. Aku sudah lama tidak pernah merasakan dorongan sekuat itu. Tetapi aku biasanya bisa mengendalikan diriku sendiri. Ini Ben. Ben yang seharusnya aku perlakukan dengan hati-hati. Bagaimana bisa aku malah mencium dia begitu saja tanpa izin dan tanpa peringatan? Apa yang dia pikirkan tentang aku sekarang? Dia pasti berpikir bahwa aku hanya mencoba untuk menaklukkan hatinya, seperti yang aku katakan beberapa hari yang lalu. Padahal aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya asal bicara. Hari ini kami akan ke rumah Kakek, aku harus bersikap bagaimana? Aku tidak mungkin berpura-pura tidur sampai besok pagi, ‘kan? Matilah aku. Ada apa sebenarnya denganku? Saat aku melihat dia berenang, aku berdebar-debar seperti tidak pernah melihat laki-laki bertelanjang dada. Lalu … lalu sem
“Yess! Yuhuu!!” sorakku girang. “Aku menang lagi. Aku menang lagi.” Aku menyusun kembali bidak demi bidak ke posisi mereka semula. “Kakek mau bidak warna apa sekarang? Hitam atau putih lagi?” “Aku tidak mau main lagi,” tolak Kakek dengan kesal. Aku mengangkat kepalaku dan melihat ke arahnya. “Kamu bilang kamu tidak pernah main catur. Lalu bagaimana kamu bisa menang mudah begitu?” katanya penuh protes. Aku menoleh ke arah Melvin yang menatap aku tidak percaya, kemudian ke arah Ben yang menutup mulut dengan tangannya. Kelihatannya dia berusaha untuk menyembunyikan senyumnya, karena matanya terlihat bersinar bahagia. Aku kembali menoleh ke arah Kakek yang cemberut. Mirip seperti ekspresi wajah Melvin saat kalah berulang kali darinya. “Kakek lihat sendiri aku bergerak sembarangan saja. Aku tidak tahu kalau semua langkah itu akan memojokkan posisi raja.” Aku mengangkat kedua bahuku dengan lugu. “Bagaimana kalau kita coba sekali lagi? Siapa tahu kali ini Kakek yang menang.” “Tidak. Aku s
Ben terlihat sedang berpikir. Aku mengingat tanggal hari ini. Hari Senin, tanggal Sepuluh Agustus. Tidak ada yang istimewa dengan tanggal itu. Oh. Sepertinya aku ingat pernah melihat angka itu di suatu tempat atau dokumen. Tetapi di mana? “Dia tidak ingat sama sekali.” Kakek menggelengkan kepalanya, lalu menoleh ke arah Danu. Pria itu mengangguk dan mengatakan sesuatu kepada seseorang lewat ponselnya. Kami menoleh ke arah gerbang mendengar bunyi mesin kendaraan berat memasuki pekarangan. Sebuah truk derek masuk dengan sebuah mobil ada di bagian belakangnya. Ada pita berwarna merah menghiasi mobil tersebut. Aku menganga melihatnya. “Mobil merek kesukaan kamu. Ini keluaran terbaru dengan tingkat keamanan dan kenyamanan yang jauh lebih baik dari mobil yang sekarang kamu miliki,” kata Kakek dengan bangga. “Selamat ulang tahun, Ben. Semoga kamu suka dengan hadiahmu.” Ah, iya! Itu dia! Aku melihat tanggal hari ini pada keterangan foto bayi Ben. Tetapi aku tidak terlalu memerhatikannya da
Aku terbukti mencuri uang perusahaan? Uang yang mana? Yang Puput berikan kepadaku hanyalah transaksi dalam bentuk pindaian atau foto. Dia belum pernah memberikan sejumlah uang kepadaku untuk dibelanjakan atau ditransfer ke divisi yang membutuhkan. Bahkan orang-orang dari divisi lain pun belum pernah meminta sejumlah uang kepadaku untuk aku teruskan ke supervisor mereka. Bila sebuah laporan sampai ke meja manajer SDM, maka ini adalah tuduhan yang serius. Ada bukti yang memberatkan aku sehingga mereka berani memanggil aku dengan cara memalukan ini. Kami sedang makan siang, mengapa mereka tidak memanggil aku saat aku masih berada di bilik atau nanti ketika aku sudah kembali ke bilikku. Ada aplikasi yang kami gunakan untuk berkomunikasi. Mengapa dia harus datang ke sini sekarang? Bukan hanya rekan-rekan kerjaku dan Elan yang mendengar tuduhannya itu, tetapi juga orang lain yang berada di meja di dekat kami. Dhini dan Jerome melihat aku dengan tatapan tidak percaya. Mereka hanya bisa pasr
~Benedict~ Kakek sudah lama tidak memikirkan aku, bicara denganku, apalagi sampai menjemput aku langsung untuk berkunjung ke vilanya, tempat istirahat favoritnya. Kenneth dan Eloisa sekalipun tidak akan mendapatkan kehormatan itu. Semua ini terjadi pasti karena Delima. Hal yang paling mengejutkan adalah Kakek mengingat hari ulang tahun yang bahkan aku lupakan. Aku masih mencari tahu apa artinya aku hidup dan lahir di tengah-tengah keluargaku dengan tubuh seperti ini. Jadi, aku tidak pernah mau mengingat tanggal kelahiranku. Hari lahirku adalah hari sial. Bukan hanya mengingat, Kakek juga memberikan sebuah hadiah yang aku dambakan. Keadaan mobil yang saat ini aku pakai masih bagus, jadi aku belum bisa memutuskan akan membeli mobil baru atau bertahan dengan yang lama. Tetapi Kakek menjadikan mobil itu sebagai hadiah ulang tahun. Semua itu terjadi karena Delima. Kakek tidak akan melihat atau mengingat aku, kalau bukan karena dia. Aku tahu dia akan menolak hadiah besar, jadi aku memesa
Orang tua Delima, Pangestu, dan Mikha berdiri di depan kami dengan topi berbentuk kerucut di kepala mereka. Mama memegang kue ulang tahun dengan lilin-lilin kecil menyala di atasnya. Mereka menyanyikan lagu ulang tahun dengan lirik yang diubah agar aku meniup lilin tersebut. Mereka bersorak senang ketika semua lilin telah padam. Delima menggandeng tanganku mendekati meja makan, lalu mempersilakan aku untuk duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja itu. Dia menerima tablet Pangestu dan mengarahkan layarnya kepadaku. Ada wajah Kakek di sana. “Sekali lagi, selamat ulang tahun untukmu. Maaf, aku tidak bisa hadir di sana. Tetapi semoga kamu menyukai kue yang aku kirim. Bukan kue kecil yang disiapkan oleh ibu mertuamu. Aku tidak tahu di mana mereka meletakkannya.” Keluarga Delima tertawa mendengar candaan Kakek. Setelah hubungan panggilan video itu diakhiri, Pangestu meletakkan sebuah kue besar berbentuk persegi panjang di depanku. Aku tertawa melihat Kakek memilih mobil yang dia h
Jantungku yang malang. Aku sudah berbaring di tempat tidurku entah berapa lama, tetapi dia masih berdebar dengan kencang. Aku juga belum bisa melupakan rasa bibir lembut itu di bibirku. Otakku sepertinya sudah rusak, karena seluruh inderaku tidak bisa berfungsi dengan baik. Rambut halus di tanganku saja terasa berdiri setiap kali aku mengingat sentuhannya. Malam hampir berganti pagi dan aku masih belum bisa memejamkan mata tanpa terbayang ciuman intensnya. Benarkah itu hal normal yang dilakukan oleh suami istri? Lalu bagaimana mereka semua bisa berumur panjang ketika mereka tidak bisa tidur usai melakukannya? Bagaimana lagi dengan jantung mereka bisa tidak sakit harus berdebar secepat ini setiap hari? Lelah melawan diri sendiri, aku memutuskan untuk mencari informasi mengenai apa yang terjadi padaku. Aku mengambil tabletku yang ada di tas ransel, lalu menyalakannya. Sama sekali tidak ada informasi tentang dampak buruk dari berciuman yang ada hubungannya dengan jantung. Justru bercium
~Delima~ Setiap kali mengingat Rora, aku selalu tertawa. Idenya dan saudara sepupunya itu termasuk biasa, namun brilian. Rora memanfaatkan ketidaktahuannya mengenai hubungan Elan dan Sania. Mereka beranggapan bahwa keluarga besar mereka juga tidak mengetahuinya. Elan datang dengan santainya ke acara ulang tahun Nenek Rora dan Sania. Keluarga Sania yang segera mengenalinya, langsung memarahinya habis-habisan. Ternyata Elan memutuskan hubungan secara sepihak. Dia tidak datang dan bicara baik-baik dengan keluarga Sania. Spontan saja kedua kakak laki-laki Sania dan ayahnya menggelar sidang di depan keluarga besar tersebut. Rora dan Sania membuat siaran langsung kejadian itu di media sosial mereka. Semoga saja Elan jera mempermainkan hati wanita. Aku bisa memahami perasaannya yang dia pendam untukku. Tetapi aku tidak bisa mengerti keegoisannya yang memaksa aku meninggalkan suamiku dan memberi dia kesempatan untuk menjalin hubungan denganku. Sania adalah wanita yang cantik dan dari cerit
~Benedict~ Delima dan kedua bayi kami sudah bukan milikku seorang begitu kedua orang tua kami mengetahui kehamilannya. Apalagi saat mereka tahu ada dua bayi yang tumbuh di rahimnya. Setiap akhir pekan, mereka ada di mana kami berada, lalu memanjakan Delima. Aku tersingkir dan hanya bisa manyun melihat istriku mereka monopoli. Bahkan saat kami mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan USG pada minggu kedua puluh. Sesuai kesepakatan, kami ingin tahu jenis kelamin kedua bayi kami. Ayah, Ibu, Papa, dan Mama juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi yang pertama mengetahui gender cucu mereka. Untung saja dokter melakukan hal yang bijak dengan mengusir para orang tua itu dan mengizinkan aku mendampingi istriku. Tetapi setelah aku melihat sendiri dan mendengarkan penjelasan dari dokter, maka aku mempersilakan kedua orang tua kami untuk bergantian melihatnya juga. Ada begitu banyak perayaan yang aku adakan pada akhir tahun. Aku tidak menyesal telah merogoh kocek dalam-dalam demi membahag
Elan segera keluar dari bilikku tanpa menunggu responsku. Laudya menatap aku dengan khawatir. Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Apa yang Elan lakukan kepada Rora? Apa mereka sedang menjalin hubungan asmara? “Apa yang terjadi, Delima?” tanya Dhini yang melihat dari atas papan pemisah bilik kami. “Mengapa Elan datang menemui kamu pada jam kerja? Aku hanya mengangkat kedua bahuku. “Pria yang aneh.” Dhini menggeleng pelan, sedangkan aku tertawa mendengarnya. Pada jam istirahat makan siang, aku mengerti mengapa Elan sampai nekat datang ke bilikku tadi. Ternyata dia mengundurkan diri. Dia sangat mencintai pekerjaannya, jadi aku tahu bahwa dia tidak melakukan itu dengan sukarela. Pasti Ben yang menyuruhnya memberikan surat pengunduran diri itu. Aku bertemu pandang dengan Natasha yang melihat aku dengan hormat, begitu juga teman-teman dari divisinya. Dia tidak lagi menatap aku dengan tajam. Itu perubahan yang sangat baik. “Menjadi istri bos memang ada keuntung
~Delima~ Aku melihat seorang wanita muda yang cantik sedang menatap Ben sambil berkedip genit. Dia salah satu pemenang lomba yang tadi makan bersama kami. Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah acara sudah selesai? Lalu mengapa dia lancang sekali memanggil Ben dengan namanya saja tanpa gelar bapak seperti yang mereka lakukan di dalam? “Apa yang perlu diingat lagi?” Ben balik bertanya. “Oh, ayolah, Ben. Kita hampir menikah. Bagaimana mungkin kamu bisa melupakan aku secepat itu? Kamu memilih aku sebagai pemenang pasti karena kamu ingat denganku, ‘kan?” katanya menggoda. “Ooo. Apa kamu wanita yang kabur pada hari pernikahan setelah melihat aku? Pantas saja aku butuh waktu untuk mengingatnya. Kamu salah paham. Saat memilih pemenang, aku memilih desain. Tidak ada nama yang tertera supaya penilaiannya adil,” jawab Ben dengan senyum mengejek di wajahnya. “Aku masih di sini sampai besok. Kamu pasti tahu nomor kamarku. Bila kamu ingin mengobrol ….” Dia melirik ke arahku sebelum kembali men
Suasana ruang kerja yang semula tenang itu berubah ramai dengan suara Ayah yang memarahi Kenneth dan Ibu yang menangis setengah menjerit tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Aku segera meminta rekaman CCTV ruang kerja Kenneth untuk melihat apa benar dia yang telah menelepon Kakek lewat ponsel itu pada saat Kakek terkena serangan jantung. Petugas keamanan bingung saat Ayah memerintahkan mereka untuk membawa Kenneth ke kantor polisi. Nelson mengikuti mereka. Dia juga sudah membawa bukti rekaman CCTV di mana adikku itu telah beberapa kali melakukan kekerasan kepadaku beberapa bulan belakangan. Dengan semua bukti itu, aku yakin dia tidak akan diizinkan keluar dari tahanan sampai proses pengadilan selesai. Kemudian aku meminta semua laporan keuangan terbaru yang asli, bukan yang palsu untuk aku pelajari. Sekretaris Kenneth menoleh ke arah Ayah untuk meminta persetujuannya. Ayah segera mengangguk setuju dan memberi tahu bahwa mulai dari hari ini aku yang pegang kendali penuh. T
~Benedict~ Dadaku sakit sekali mendengar dia mengatakan pisah. Seketika itu juga aku tidak peduli dengan apa pun yang ada di dunia ini. Aku juga tidak peduli bila aku harus berlutut memohon kepadanya. Aku tidak mau dia pergi dariku. Walaupun dia meminta seluruh hartaku, aku akan memberikan semua kepadanya. Benda itu tidak ada artinya tanpa dia di sisiku. Namun Delima memberi aku kejutan lainnya. Dia sedang hamil. Kenneth dan Eloisa selalu mengejek aku tidak akan pernah menikah apalagi punya anak seperti mereka. Jadi, berita itu adalah keajaiban bagiku. Ketika melihat foto hitam putih mereka, aku tidak tahu di mana mereka berada. Tetapi aku percaya bahwa mereka ada di dalam perut istriku. Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah ciptaan yang dilupakan oleh Tuhan. Dia pasti bercanda pada saat menciptakan aku dengan segala kekuranganku. Ternyata Dia masih mengingat aku dan memberikan aku bukan satu, tetapi dua orang anak sekaligus. Aku tidak muda lagi, tetapi aku berjanji akan bertahan
Pikiranku kacau, dadaku terasa sesak, karena aku tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Aku bahagia, karena penantian panjangku sudah berakhir. Kehamilan ini sudah lama aku harapkan, tetapi keadaannya sedang tidak memungkinkan. Ben tidak mau kami punya anak. Jika alat ini akurat, maka hubunganku dan Ben juga berakhir. Aku tidak berhenti menangis memikirkan hubungan kami harus usai secepat ini. Memikirkan kondisi janin yang aku kandung tidak membuat aku cukup kuat menghentikan air mata yang mengalir jatuh dengan deras di pipiku. Seharusnya ini adalah kabar baik, kabar yang membahagiakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak terlalu memerhatikan apa yang terjadi di makam Kakek. Eloisa entah bicara apa, Ayah dan Ibu yang kemudian datang membahas apa, tidak aku dengarkan. Ben mengajak aku ke mana pun, aku hanya mengikutinya saja. Namun saat tiba di rumah, aku segera kembali ke kamar dan menyendiri. Aku perlu memikirkan hal ini seorang diri. Yang pasti, aku menginginkan bayi in
~Delima~ Beraninya dia mengatakan cinta pada tarikan napas yang sama dia menyebut tidak mau memiliki anak bersamaku. Dengan intensitas kami melakukan hubungan suami istri, apa dia pikir kami bisa mencegah seorang anak lahir? Juga beraninya dia menuduh aku akan berubah pikiran terhadap anakku sendiri seandainya dia mempunyai kekurangan. Aku bukan ayah atau ibunya. Aku tidak akan membuang anakku sendiri seperti yang mereka lakukan. Malam itu, usai bicara dengannya, aku tidak melarang dia tidur bersamaku. Tetapi aku tidak sudi berbaring menghadapnya seperti kebiasaan kami tidur bersama. Aku sangat kesal dan tidak mau melihat wajahnya agar amarahku tidak semakin memuncak. Untuk pertama kalinya, kiriman bunga darinya aku buang ke tempat sampah. Aku tidak butuh bunga atau kartu untuk mewakili dia menyampaikan pesannya. Dia bisa bicara langsung denganku. Elan yang tidak tahu diri itu juga masih berani mengajak aku bicara. Tidak tahan lagi dengan sikapnya, aku memarahinya panjang lebar dan
Mama tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia justru cepat-cepat mengakhiri percakapan kami. Mungkin Delima sedang berada di dekatnya dan Mama tidak mau istriku sampai tahu bahwa Mama melaporkan sakitnya kepadaku. Aku semakin panik, karena tidak tahu sakitnya parah atau tidak. Ini semua salahku. Seharusnya aku mengajak dia bicara baik-baik. Bukan memaksakan kehendakku kepadanya. Dia seorang wanita, wajar saja dia memiliki jiwa keibuan yang mengharapkan memiliki anak sendiri. Apalagi kakak iparnya sedang hamil. Sedikit banyak, dia pasti merindukan kehadiran anak-anak juga. Aku malah tidak peka dan bersikap egois. Untuk meminta maaf kepadanya, aku meneruskan rencanaku. Setidaknya saat dia pulang nanti, dia tahu bahwa aku menyesal sudah menyakiti perasaannya. Aku tidak mau tidur sendirian lagi. Deva dan semua pelayan membantu aku menyiapkan kejutan untuk istriku. Namun saat dia pulang, dia hanya diam saja melihat balon dan bunga yang ada di sekitarku, juga papan bertuliskan maafkan aku yan