"Perjanjian pranikah?" tanya Aluna kebingungan. Dia memang sering mendengar tentang perjanjian pranikah, tapi tidak tahu bagaimana sistemnya. Darren semakin antusias dengan semua ucapan dari Aluna. Pria itu pun menyuruh Aluna untuk duduk. Mereka harus membicarakan masalah ini dengan matang, agar Darren bisa meyakinkan Aluna kalau semuanya akan baik-baik saja.Dengan agak ragu Aluna pun akhirnya duduk. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang. Entah apa yang dipikirkannya, tiba-tiba saja merasa tergerak saat Darren mengatakan tidak perlu bersentuhan walaupun mereka menikah. Ya, ini mungkin terdengar gila, karena bagaimanapun pernikahan tetaplah sebuah hal yang sakral, tidak boleh dipermainkan begitu saja. Namun demikian, kalau bukan Darren, siapa lagi yang akan menolong Aluna? Ini benar-benar membuat gadis itu serba salah. Kalau saja tidak ada utang yang menumpuk, tentu saja gadis itu akan tetap pada pendiriannya, dengan perjanjian pranikah atau tidak. "Begini, sebelum aku ijab kab
"Bisakah beri saya sedikit waktu, Pak?" pinta Aluna, karena baginya semua ini tidaklah mudah. Meskipun setengah hatinya sudah menyetujui semua perjanjian itu, tetapi tetap saja ada sesuatu yang mengganjal, membuat gadis itu akhirnya meminta waktu untuk berpikir jernih. Karena bagaimanapun, ini masalah pernikahan. Sebuah ikatan yang sakral dan tidak boleh dipermainkan begitu saja. Selain itu juga, dia harus memberitahukan kepada ibunya tentang semua ini. Mungkin saja ibunya langsung setuju, tapi yang ditakutkan adalah Aluna tidak bisa menjalani semua hubungan ini bersama Darren, mengingat kalau pria itu juga mempunyai aturan tersendiri dalam keluarganya. Pria itu pernah mengatakan, kalau Aluna harus menjaga harkat dan martabatnya sebagai seorang suami dan juga nama baik keluarga. Ini begitu berat baginya, karena Aluna berasal dari latar belakang keluarga yang biasa saja. Dia dari kalangan menengah, bukan dari orang-orang kaya dan terpandang. Ini akan menjadi beban psikologis untukny
"Aluna?" tanya Darren membuat gadis itu terkesiap. Sebab dari tadi Aluna hanya diam saja."Iya, Pak?" tanya Aluna dengan terbata-bata. "Kenapa kamu diam saja? Aku mengatakan, setelah pulang kerja aku akan menemui orang tuamu." Aluna langsung menggelengkan kepada dengan cepat. "Tidak, tidak. Bapak tidak boleh menemui Ibu saya." "Kenapa?""Saya kan sudah bilang ,beri saya waktu 2 hari. Saya akan berbicara dari hati ke hati dengan Ibu saya. Semuanya serba mendadak, Pak. Nanti Ibu saya pikir, kalau saya itu menjual diri kepada Bapak karena tiba-tiba saja dilamar dan menggelar pernikahan." Aluna berusaha untuk memaparkan apa alasan dia tidak mempertemukan Darren dengan Amalia terlebih dahulu. Karena bagaimanapun dia juga harus menyiapkan hati untuk menerima semua keputusan Amalia. Ya, kemungkinan besar ibunya itu pasti akan setuju, tetapi pasti ada pertanyaan juga yang keluar dari sang Ibu. Mungkin saja Amalia berpikir kalau dirinya itu menjual diri, jadi dia harus meyakinkan dulu Ama
Tempat pukul 5 sore, akhirnya Aruna pun memilih untuk pulang ke rumah. Sebenarnya dia belum membuat jadwal untuk besok bagi bosnya, itu dikarenakan Aluna tidak mau berlama-lama di kantor. Sebab dari kaca ruangan Darren terus-terusan saja memperhatikannya. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh pria itu. Satu hal yang pasti, Aluna benar-benar tidak nyaman dengan tatapan pria itu. Ingin sekali berbicara kasar, tetapi ingat kalau dia itu adalah bawahannya, apalagi sang gadis punya rencana untuk mendapatkan uang demi melunasi utang-utang almarhum sang ayah, dia pun mengurungkan niatnya.Saat dibukakan pintu, Amalia menautkan kedua alis melihat anaknya yang begitu lemah dan lesu. "Kenapa kamu letih seperti itu? Apa pekerjaannya banyak?" tanya Amalia karena biasanya memang Aluna tidak seletih ini jika pulang kerja. Ya, benar. Wajahnya tampak capek, tetapi sekarang berbeda sekali. Seperti ada sebuah beban yang sedang ditanggung oleh gadis itu.Amalia jadi terdiam, tentu saja anaknya mendap
"Tapi, Bu--""Sudahlah, kamu jangan terus berpikiran buruk. Katanya kamu bilang sendiri, Ibu harus berpikiran baik agar semuanya baik. Sekarang, kamu sendiri yang berpikiran buruk. Sulit mencari pria seperti itu, ke mana lagi? Sudah tampan, baik, kaya. Sudah paket lengkap." Aluna terperangah mendengar perkataan ibunya yang memuji Darren. Mungkin karena dia pikir kalau Darren itu baik, mau memberikan uang dan mahar sebesar itu. Padahal itu adalah timbal balik karena Aluna mau menjadi istri bayaran sang pria. "Apa Ibu bilang? Baik? Baik dari mananya, Bu? Setiap hari dia itu kerjanya cuma marah-marah, merintah dan pemaksa. Dari sebelah mananya yang baik?" Aluna mengajukan protes karena semua perkata ibunya itu tidak ada yang benar. Ya, kalau memang tampan itu fakta, tapi untuk sifat beserta sikap Darren jauh dari kata baik. "Ya, ampun. Dia melakukan itu karena seorang bos, karena pemilik perusahaan. Namanya tegas, Aluna, bukan galak. Coba kalau misalkan dia itu lembek, pastinya semu
Pukul 06.30, seorang wanita terlihat turun dari sebuah mobil, pakaiannya benar-benar seperti OG yang bekerja di perusahaan anaknya. Untuk pertama kalinya, dia harus melepas make up dan juga mengikat rambutnya ke atas, sama seperti seorang ibu-ibu yang bekerja sebagai seorang OG. Ini semua dilakukan demi kebaikan Darren. Dia harus menyeleksi dengan ketat siapa calon istri Darren. Kalau misalkan Darren mau mengikuti perjodohan yang dilakukan oleh Danita, mungkin dia tidak akan melakukan hal seperti ini. Tetapi daripada pria itu terus-terusan menghindar dan mengelak dari perjodohan, mungkin lebih baik memang seperti ini. Membiarkan Darren sendiri yang mengambil keputusan tentang siapa calon istrinya dan dia berada di seberang halte, dekat dengan perusahaan Darren. Tampaknya wanita paruh baya itu sulit sekali untuk menyeberang. "Duh, seharusnya aku menyuruh sopir untuk menyeberangkanku terlebih dahulu. Kenapa pula aku malah turun di sini?" gerutu Danita menyesali perbuatannya, tetapi se
"Hai, Aluna!" Gadis itu terka siap saat tiba-tiba saja mendengar suara Amar. Dia semakin terkejut mendapati sang pria sudah ada di sampingnya sembari tersenyum. Di tangannya juga ada sebuah kotak yang membuat Aluna berpikiran macam-macam. "Amar, sejak kapan kamu di sini? tanyanya penasaran. Dia benar-benar kaget dan tidak menyangka. Padahal tadi sudah memastikan kalau di sini tidak ada orang selain dirinya, tetapi ternyata ada pria yang sangat dihindari oleh Aluna."Aku ke sini untuk memberikanmu sarapan. Kamu terlalu pagi datang. Jadi, aku sempatkan tadi di jalan membeli makanan," ucap Amar terlihat sekali lemah lembut dan ramah, tetapi di mata Aluna sikap Amar ini menakutkan dan juga aneh. Dia jadi merasa tidak nyaman dengan pergerakan pria itu. "Nih, ambil saja," ucap Amar.Dengan senyuman ragu-ragu, Aluna pun mengulurkan tangan, menerima hadiah itu. Kalau misalkan dia tidak menerimanya, takutnya Amar berpikir macam-macam dan bisa saja berbuat jahat kepadanya. Karena mungkin
Darren langsung terduduk di kursi kebesarannya, lalu dia membuka isi kotak yang dibawa dari Aluna. Pria itu menautkan kedua alis saat melihat isinya. Ada salad buah yang terlihat fresh. Tetapi anehnya ini kan masih terlalu pagi untuk memakan salad dan sepengetahuan Darren, selama ini Aluna tidak pernah memakan makanan yang ada di dalam kotak ini. Benar-benar aneh. Pria itu pun hendak bertanya langsung kepada Aluna lewat telepon, tetapi tiba-tiba saja ponselnya berdering. Ternyata dari kliennya. Akhirnya pria itu pun menunda sebentar pertanyaannya dan memilih untuk memulai pekerjaan. Sementara itu di tempat lain, Danita sedang berhadapan langsung dengan Ketua OB yang bernama Pak Aman. Dia membriefing Pak Aman dan memberitahukan apa saja yang harus dilakukan oleh sang pria paruh baya itu. "Ingat, ya, Pak? Saya tidak mau satu pun orang di sini yang mengenali saya. Hanya Bapak seorang dan Amarudin, lalu kalau bertanya kenapa saya masuk ke ini, katakan saja kalau Bapak kasihan kepada sa
"Lo tahu ngga? Tadi itu Bu Aluna keluar dari ruangan Pak Darren dengan wajah marah. Terus tak lama kemudian Pak Darren juga keluar, dia malah kebingungan." Tak sengaja Alika mendengar pembicaraan salah satu rekan kerjanya yang tempat duduknya bersebelahan dengan dia. Sontak Alika pun menoleh dengan alis saling bertautan. "Tunggu, tunggu, tunggu! Kalian berdua lagi ngomongin apa?" tanya Alika membuat kedua wanita itu langsung menoleh. "Ini temen lo tuh, Aluna. Katanya udah keluar dari kantor Pak Darren dengan wajah marah. Apa mereka bertengkar, ya?" tanya salah satu di antara mereka kepada Alika, membuat sang gadis kaget. "Salah lihat kali," ucap Alika, karena nggak mau sampai salah bicara atau diam saja. Takut jika rekan-rekan kerjanya berpikiran macam-macam terhadap dua orang itu. "Mana mungkin salah lihat! Orang gue lihat sendiri, kok," timpal salah satunya yang sedang berdiri. "Bu Aluna kan teman lo, apa nggak sebaiknya lo cari tahu? Jangan-jangan mereka sedang bertengkar ata
Darren dan Aluna saling pandang. Pria itu tampaknya benar-benar baru sadar apa yang sudah dikatakannya barusan. Apalagi melihat Aluna yang marah dengan wajah memerah, dia itu juga melihat kalau sang gadis mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Ini bahaya. Jika seorang Aluna bisa marah seperti ini, artinya dia sudah keterlaluan mengatakan hal tadi. "Aluna, dengarkan aku dulu. Tadi itu--" "Nggak, Pak. Cukup! Saya sudah mengerti. Bapak menilai saya serendah itu. Padahal Bapak sendiri yang membuat aturan, tapi Bapak yang melanggarnya. Harusnya Bapak sadar, kalau bukan karena saya mungkin saat ini Bapak masih dikejar-kejar untuk mencari jodoh." "Iya, aku tadi salah. Aku benar-benar minta maaf dan tidak sengaja mengatakan itu." "Tidak sengaja, Pak? Bapak spontan mengatakan itu sambil tertawa. Itu membuat harga diri saya diinjak-injak." "Loh, aku tidak menginjak harga dirimu. Aku benar-benar menghormatimu, bahkan aku khawatir terjadi sesuatu kepadamu. Sampai mencari ke mana-mana."Al
Darren langsung memundurkan tubuhnya, tapi dia masih menatap gadis itu dengan tajam. Entah kenapa reaksi yang diberikan oleh Darren membuat Aluna ketakutan sendiri. Mungkinkah pria itu tahu kalau dirinya tidak ada di pantry saat itu. "Jangan bohong! Aku tadi ke pantry dan tidak ada siapa-siapa." Seketika Aluna hanya bisa terdiam, suaranya tidak keluar sama sekali menandakan kalau dirinya benar-benar sudah terpojok. Gadis itu merutuki diri, tapi juga tidak tahu harus berbuat apa-apa. Sebab dirinya malu jika berhadapan dengan Darren. Saat ini saja kalau Darren tidak memberikan ekspresi marah, mungkin kelebatan saat mereka melakukan adegan ciuman itu akan kembali terulang. "Katakan, Aluna. Kenapa kamu menghindariku? Apa gara-gara aku menciummu?"Tubuh Aluna menegang. Wajahnya saat ini benar-benar memerah. Haruskah Darren mengatakan hal seperti itu di depan gadis yang belum pernah tersentuh oleh pria manapun? Ini memalukan untuk Aluna. Gadis itu sampai menunduk karena malu. Melihat r
Aluna memejamkan mata. Benar kata Alika. Dia tidak mungkin menghindari Darren, sebab satu ruangan dan juga satu rumah. Akhirnya Aluna menghela napas panjang sembari memejamkan mata. Berusaha untuk tenang. Ini menyangkut temannya, tidak mungkin kalau misalkan dia terus-terusan menghindar dari Darren, yang akan kena tetap saja Alika. "Oke, kalau gitu gue harus kembali ke tempat gue." "Nah, bagus seperti itu! Ya, sudahlah. Lagian kalau misalkan lo malu sama suami lo sendiri, diam saja. Lo tinggal berusaha untuk ngelupain kejadian itu.""Ya, nggak bisa kayak gitu dong, Alika.""Ya, terus gue harus gimana? Lo kan nggak bisa tiap hari menghindar. Sudah, pokoknya lo hadapin kenyataan itu. Lagian kan baru satu kali, mungkin ada yang kedua, yang ketiga." "Apa?!" Aluna melotot, kembali terperangah. Membuat Alika tertawa. Setelah itu sang gadis pun memilih untuk pergi dari hadapan temannya. Dia harus menyelesaikan tugas. Kalau misalkan tugasnya diselesaikan oleh orang lain, bisa-bisa akan me
Entah sudah berapa lama Darren mondar-mandir di depan Alika. Sebenarnya ingin mengajukan protes dan keluar dari ruangan ini, tentu saja karena pekerjaannya sudah banyak. Bahkan makan siangnya tadi tidak selesai sebab Darren tiba-tiba saja menyuruhnya ke kantor. Sekarang malah melihat bosnya mondar-mandir tak jelas dengan wajah bingung serta kusut.Darren mengusap kasar rambutnya dan mengerang keras. Alika sampai terduduk tega karena kaget mendengar itu. Sang pria menoleh kepada Alika, lalu berkacak pinggang. Membuat gadis itu meneguk saliva dengan susah payah, karena takut jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan. "Begini saja, kamu pastikan Aluna pergi ke mana." "Apa?! Jadi, maksudnya saya harus mencari Aluna?""Betul!" "Tapi, Pak. Bagaimana dengan kerjaan saya?" "Gampang, aku akan menyuruh orang untuk mengerjakan sisa kerjaanmu." "Tapi, Pak--" "Diam, Alika! Jangan protes apa-apa lagi. Kamu dengar kan perkataanku tempo hari? Kamu harus melakukan apa saja agar memberikan informa
Tak lama kemudian akhirnya Alika pun datang ke kantor Darren. Dia melihat ke sekitar, tak mendapati Aluna. Gadis itu langsung meneguk saliva dengan susah payah, ini pasti gara-gara Aluna yang tiba-tiba saja pergi saat dihampiri oleh bosnya. Dia benar-benar merutuki, kenapa harus dirinya yang terlibat dalam masalah ini? Namun, mau bagaimana lagi? Menolak pun rasanya tak mungkin. Bisa-bisa pria itu akan memecatnya dan mem-blacklist Alika dari semua perusahaan yang ada di kota ini. "Duduk!" seru Darren, membuat Alika dengan rasa takut. Wajahnya tampak ketakutan dengan tubuh yang bergetar."Kamu tahu kenapa dipanggil ke sini?" Alika pura-pura menggelengkan kepala. Walaupun dia tahu, Alika tidak mau sampai salah bicara atau temannya akan dalam masalah lagi. "Baiklah, langsung saja to the point. Ke mana Aluna pergi?" "Toilet," jawab Alika langsung, membuat Darren mengerjapkan mata berkali-kali. Tak percaya. "Toilet?" tanya Darren lagi, yang langsung diangguki oleh gadis itu."Tapi, a
Aluna tiba-tiba saja menegang, keringat dingin bermunculan di telapak tangan dan juga sulit sekali untuk meneguk saliva. Langkah Darren semakin pasti mendekati Aluna. Dia jadi bingung harus melakukan apa, sampai tiba-tiba satu ide terlintas. "Gue mau ke toilet." Aluna tiba-tiba saja berdiri dan pergi dari hadapan Alika, membuat gadis itu syok. Begitu juga dengan Darren yang tiba-tiba saja melihat Aluna pergi dari sana. "Loh, lo mau ke mana?!" seru Alika melihat Aluna begitu cepat berjalan menjauh darinya. Sementara itu Darren juga dengan cepat berjalan mendekat kepada Alika. "Istriku mau ke mana?" tanya Darren yang tiba-tiba saja membuat Alika kaget sembari duduk dengan wajah ketakutan. "Dia mau ke mana?" tanya Darren lagi memastikan, membuat Alika tiba-tiba saja terserang syok. "Kamu kenapa diam saja?! Aku bertanya kepadamu!" seru Darren yang berhasil membuat Alika terkesiap. "Anu ... dia ke toilet," ucap Alika dengan cepat, membuat Darren mengalami syok, lalu tanpa mengataka
"Lo jangan diem aja kayak gini, dong! Gue kan jadi bingung harus ngapain. Sebenarnya apa yang terjadi, sih? Kalau misal lo diam aja, ya udah deh gue pergi," ujar Alika, akhirnya kesel sendiri karena dari tadi Aluna hanya diam saja.Saat gadis itu hendak berdiri, Aluna langsung menarik tangan temannya untuk duduk."Oke, oke. Gue akan cerita," ucap Aluna membuat Alika akhirnya bisa bernapas lega. Aluna memberikan isyarat agar Alika mendekat kepadanya, lalu dengan perasaan campur aduk Aluna membisikkan sesuatu kepada gadis itu.Bola mata Alika membulat dengan mulut terperangah. "Lo beneran habis--""Sssttt!" Aluna langsung berdesis sembari menempelkan jari telunjuk ke bibir."Jangan keras-keras!" seru Aluna berusaha untuk melihat ke sekitar. Untunglah orang-orang yang sedang sibuk mengambil makan siangnya, jadi hanya sebagian yang menoleh lalu kembali ke aktivitas semula. Alika masih tampak syok, tapi dia tetap tenang dan mengikuti semua yang diminta oleh temannya. "Sudah jangan dis
Karyawan itu sudah keluar untuk tanda tangan, tetapi Aluna masih enggan untuk masuk ke ruangan Darren. Gadis itu merutuki diri. Kenapa juga harus satu lingkup ruangan dan hanya disekat tembok kecil yang terbuat dari kayu itu? Sama saja bohong!Dia benar-benar harus bisa bertemu dengan Darren. Sementara saat ini tangan dan tubuhnya terasa dingin. Jantung juga berdetak dengan sangat kencang, karena benaknya tiba-tiba saja teringat dengan kejadian tadi. Gadis itu sampai memukul-mukul kepalanya sendiri."Apa sih yang sudah aku lakukan tadi?! Ngapain juga aku ciuman sama Pak Darren?" gumamnya dengan perasaan yang sangat malu. Sungguh, ini pertama baginya. Walaupun memang Darren adalah suami Aluna, tetapi mereka sudah berjanji untuk tidak saling menyentuh. Ini benar-benar membuat dirinya kikuk sekali.Untungnya saat dia merasa kacau, tiba-tiba saja bel istirahat berbunyi. Dengan cepat Aluna pergi ke kantin. Dia sama sekali tidak masuk ke dalam untuk membereskan beberapa berkas. Sekarang ya