“Bu, Rara nggak pa-pa. Dokter bilang hanya kontraksi palsu dan sekarang sudah nggak sesak lagi.”“Kamu berhenti kerja deh Ra, mungkin karena kamu kecapekan jadi begini.”“Sudah bu, Rara sudah ajukan resign. Tinggal tunggu keputusan HRD kapan boleh mulai off.”Ibu yang diberitahu kalau Rara dalam perawatan langsung menuju rumah sakit, bergantian dengan Kevin yang harus ke kantor. Meskipun awalnya enggan berangkat karena khawatir dengan kondisi Rara.“Kalau begini, ibu malah kepikiran kamu terus. Ibu ikut kamu pindah ke apartemen ya.”“Serius Bu?”“Hm, ini dimakan dulu,” titah ibu sambil meletakan piring berisi buah potong ke atas ranjang lalu menyuapi Rara.Menjelang sore, Rara dikunjungi Slamet dan Kamila. Mendadak kamar itu jadi ramai, karena celoteh Kamila. Ibu hanya tersenyum dan sesekali menggelengkan kepala mendengar ucapan Kamila. Slamet yang baru bertemu lagi dengan Rara, bertanya dan berbincang banyak hal.“Kalian … dekat ya? Apa ada yang aku lewati?” tanya Rara pada Slamet da
“Tidur Ra, aku belum bisa tiduri kamu jadi jangan menggoda terus,” ujar Kevin sudah ikut berbaring di samping Rara.“Siapa yang menggoda, pikiran kamu aja yang aneh,” sahut Rara. “Katanya mau pulang, kasihan Kamila dia butuh support kamu.”“Biarkan saja, lagi pula dia masih muda.”“Bukan begitu, kalau nanti diluar dia malah nekat gimana?”Kevin terdiam, apa yang disampaikan Rara ada benarnya. Namun, kondisi Rara saat ini lebih penting. Meskipun ada ibu mertuanya yang menempati kamar lain, Kevin tidak tega kalau harus meminta wanita itu menjaga Rara lalu dia pulang ke rumah orangtuanya.Sedangkan di tempat berbeda, Kamila menunggu kedatangan Slamet di beranda rumah. Sore tadi dia pulang duluan dan meminta Slamet menyusul. Terlihat pintu gerbang pagar terbuka, Kamila menyambut kedatangan Slamet.“Kamila, sumpah aku gugup banget,” ujar Slamet sambil menatap tempat tinggal Kamila yang sangat besar dan pernah dilihat dalam sinetron atau film.“Ayo masuk, Mami dan Papi ada di dalam. Kelamaa
Slamet bukan pengecut atau tidak bernyali seperti yang Kevin katakan, tapi terlalu berat yang harus dia tempuh. Kedua orangtua Kamila menolak. Dilihat dari segi apapun memang berat hubungan mereka. Dari pada sulit dan akan saling menyakiti, Slamet memilih mundur.Tidak peduli dengan ejekan yang keluar dari mulut Kevin, Slamet terima saja. Termasuk konsekunsi yang harus dia terima untuk tidak menganggap Kamila seperti sebelumnya.Semoga saja aku sanggup, batin Slamet.Pria itu kembali ke ruangannya dan terjadi kehebohan. Informasi kalau Kamila adalah adik Kevin.“Kamu sudah tahu?” tanya rekan Slamet padanya.Slamet hanya mengangguk pelan.“Aku kepikiran, sebelumnya pernah jahat sama Kamila nggak ya.”“Jangan khawatir, dia tidak begitu dan mulai besok akan ditempatkan di divisi lain.”Seharian ini Slamet tidak berusaha konsentrasi dengan pekerjaan agar tidak memikirkan Kamila. Ponselnya sengaja diletakan di dalam laci meja, agar tidak mengganggu. Benar saja, banyak panggilan tidak terja
Kamila berusaha fokus dan mendalami tugasnya di tim marketing. tujuannya magang dan ditempatkan di beberapa bagian agar dia paham semua alur kegiatannya. Ketika nanti waktunya dia memimpin perusahaan seperti Kevin, sudah menguasai semua bagian terpenting di perusahaan. Sesekali mengecek ponselnya, berharap ada balasan atau komunikasi dari Slamet. Namun, harus gigit jari karena tidak ada panggilan atau pun pesan masuk dari Slamet. Kalau di divisi keuangan, tidak ada yang tahu siapa Kamila. Berbeda dengan posisinya di tim marketing, semua tahu kalau dia adalah adik dari Kevin. “Mbak Kamila mau bareng ke kantin?” ajak salah satu rekannya. Kamila baru menyadari sekarang sudah waktunya makan siang, menolak dengan halus. Beralasan sedikit lagi dan akan menyusul ke sana. benar saja, Kamila menyimpan pekerjaannya lalu mengambil beberapa lembar uang dan membawa ponselnya. Sengaja agak lambat, menunggu kantin tidak terlalu ramai seperti di jam awal istirahat. Para senior di tim marketing seda
Meski tanpa alasan Kevin sah-sah saja menghubungi Rara, tapi kali ini berbeda. Ia sangat khawatir karena Papi menghubungi akan menyusul ke kantor karena Mami ingin menemuinya. Bahkan sudah berangkat sejak tadi.Sudah lebih dari dua jam, Mihika tidak terlihat di sini. Menduga kalau wanita itu menuju apartemen, tidak masalah karena ada Rara di sana. Masalahnya Mami belum sepenuhnya menerima Rara. Dihubungi berkali-kali, tidak juga ada jawaban.Entah panggilan ke berapa, baru terjawab. Suara Rara terdengar di ujung sana.“Aku nggak pa-pa. Memang harus kenapa?”“Apa kamu bertemu Mami?”“Ah iya, baru saja Mami pulang,” sahut Rara di ujung sana. dari nada suaranya tidak terdengar tertekan atau dalam mood yang tidak baik.“Benarkah, apa yang Mami bicarakan denganmu?”Terdengar hela nafas Rara.“Ya obrolan biasa, baik sekali. Aku lupa kalau harus mengulang dari awal.”“Rara, aku serius. Jangan sembunyikan apapun yang dikatakan Mami apalagi kalau beliau mengancam atau ….”“Pak Kevin tidak bole
Kamila beranjak duduk mendengar suara yang begitu dia kenal dan beberapa hari ini membuat perasaan dan hidupnya cukup kacau.“Ka-mu, kenapa telepon aku?” tanya Kamila meskipun dalam hati senang dihubungi oleh Slamet.“Kita harus bertemu, ada yang perlu kita bicarakan.”Kamila seakan jual mahal, padahal suara itu begitu dirindukan. Beruntung mereka bicara lewat telepon, karena saat ini wajah Kamila sedang mengulum senyum. Begitulah yang namanya cinta, dimulut boleh saja berkata ketus kenyataannya di hati berbeda.“Bicara apa lagi?”“Tentu saja bicara masalah kita,” sahut Slamet dengan logat jawa medoknya.“Masih peduli dengan urusan kita? Aku pikir kamu sudah sibuk dengan mbak-mbak yang ….”“Jangan mengalihkan pembicaraan, saya sedang bicara masalah kita bukan orang lain,” sahut Slamet menyela ucapan Kamila.“Ya kenyataannya begitu, ada orang lain diantara kita.”“BEsok sore, di tempat biasa,” ucap Slamet lalu mengucap salam mengakhiri pembicaraan.“Halo … Slamet,” pekik Kamila. “Ditut
“Pak Harun? Kenapa bawa-bawa Pak Harun sih?”“Lalu saya harus bawa siapa?” tanya Slamet sambil bersandar dan bersedekap.“Slamet, nggak lucu deh. Kamu sendiri yang bilang kalau kita bertemu untuk bahas hubungan kita. Jadi jangan bawa orang lain, kecuali memang sudah ada orang lain di hati kamu. Mbak-mbak yang kemarin goda kamu itu ‘kan?”Slamet menatap wajah Rara. Wajah yang begitu menarik, terkadang menggemaskan, marah atau datar mirip dengan kakaknya.“Kok diam, jadi benar sudah ada yang lain makanya kamu cuek. Tau gini ngapain juga aku datang,” keluh Kamila dengan wajah merengut.“Dengarkan dulu jangan langsung ngambek.”“Siapa yang ngambek.”Kamila melayangkan pandangan ke arah lain. Entah kenapa dadanya terasa sesak membayangkan sudah ada pengganti dirinya di hati Slamet. Apa mungkin ini yang dinamakan patah hati, tega sekali. Padahal sampai sekarang cinta Kamila pada Slamet masih sama.“Kamila, jujur saya tidak sanggup memperjuangkan hubungan kita karena tidak ingin kamu terluka
Kamila mempersiapkan perlengkapan untuk besok dengan malas. Kalau boleh memilih ia ingin tetap berada di kantor dan esok harinya bisa menikmati libur dengan kegiatan dan rencananya sendiri. Sebelumnya Kamila akan senang dan menyambut gembira ketika keluarganya mengadakan liburan, tapi itu dulu saat dia dan Kevin kecil dan terakhir sebelum Kamila kuliah.Semenjak hubungan dengan Slamet bermasalah, Kamila mulai aktif di grup sahabat SMAnya. Karena banyak waktu sendiri, dimanfaatkan hanya untuk bermedia sosial. Seperti kali ini, setelah selesai mempersiapkan satu buah ransel berisi pakaian dan kebutuhan lain. Gadis itu berbaring sambil fokus menatap layar ponsel.Padahal kegiatan yang dibahas satu grup yang isinya beberapa perempuan manakala mereka pernah satu kelas di bangu SMA, tidak terlalu positif. Bahkan kali ini mereka sedang menuju club malam dan mengajak Kamila bergabung.“Hah, mending tidur deh. Biar besok tetap sehat dan waras menghadapi kehidupan,” gumam Kamila lalu meletakan
“Mas, aku kok ragu ya.”“Ayolah, sesekali tidak masalah tinggalkan anak-anak. Ada Ibu dan Mamih, juga pengasuh mereka. Aku mau ditemani kamu, sekalian kita honeymoon. Kita belum pernah loh, tahu-tahu sudah punya anak dua.” Kevin memeluk Rara yang sempat terhenti mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa.Ada kegiatan di luar kota, kali ini Kevin mengajak Rara. Arka sendiri tidak masalah, begitu pun dengan Mihika. Kiya sedang berlibur di Surabaya, bersama eyang -- ibu Rara. Hanya Abimana dan Mihika tidak keberatan kalau bocah itu dititip bersamanya.Apalagi di kediaman Arka ada kedua anak Slamet dan Kamila, membuat Abimana tidak akan jenuh karena memiliki teman sebayanya.“Jangan bawa banyak pakaian, apalagi untuk malam. Aku lebih suka kamu tidak berpakaian,” bisik Kevin.“Masss.”“Aku tunggu di bawah ya, jangan kelamaan aku sudah lapar.”“Hm.”Saat Rara bergabung di meja makan, Kevin dan Abimana sudah siap di kursinya. Terlihat Kevin sedang menjelaskan kalau besok Rara dan dirinya a
Rara terjaga dari tidurnya. Menggeser pelan tangan Kevin yang memeluk pinggangnya lalu beranjak duduk dan bersandar pada headboard. Masih dengan suasana kamar yang cahayanya temaram, ia mengusap perut yang sudah sangat membola sambil mengatur nafas. Sudah beberapa malam merasakan sakit yang datang dan pergi, sepertinya kontraksi palsu. Namun, kali ini terasa lebih sering. Sedangkan hari perkiraan lahir bayinya masih minggu depan.“Ahhhh.” Rara mengerang pelan. Terdengar suara tangisan Kiya, meskipun ada Nani yang akan sigap sebagai Ibu tentu saja Kiya tidak tega. Beranjak pelan menuju kamar putrinya. Benar saja, Kiya sedang menenangkan putrinya.“Princess bunda kenapa nangis?”“Nda,” panggil Kiya sambil mengulurkan tangannya.Rara tersenyum lalu ikut naik ke ranjang Kiya yang saat ini berumur satu setengah tahun.“Bobo lagi ya, masih malam nih.”“Nda.”“Ssttt.” Rara memeluk Kiya dan menepuk bok0ng bocah itu dengan pelan. “Nani, tolong buatkan susu botol, mungkin dia haus.”Setelah me
Rara mendengarkan curhatan adik iparnya mengenai sang suami yang dituduh selingkuh. Sungguh hal yang jauh dari sikap seorang Slamet. Apalagi pria itu terlihat begitu menyayangi Kamila dan putra mereka. Begitu pun kesempatan untuk macam-macam, sepertinya tidak ada.“Aku yakin dia selingkuh kak.” Kamila menyimpulkan setelah dia menceritakan bagaimana sikap Slamet yang dianggap tidak setia. “Iya ‘kan?”“Hm, gimana ya,” gumam Rara.“Gimana apanya?”“Kamila, gini loh. Ketika suami macam-macam, biasanya istri akan merasakan dan melihat perubahan sikap dari sang suami. Misalnya jarang di rumah atau mulai acuh. Kalau aku lihat, Slamet nggak ada indikasi begitu. Lihat saja tuh, dia malah asyik main dengan Kai dan Kiya.”“Ya bisa aja pas di kantor. Aku curiga mungkin saja perempuan itu teman satu divisinya.”“Kamila, curiga boleh ….”“Kak, aku bukan curiga,” ujar Kamila menyela ucapan Rara.Rara kembali mendengarkan ocehan Kamila dan sesekali mengangguk. Saran darinya untuk memastikan kebenaran
Ada rasa bahagia saat dokter mengatakan kalau Rara sedang hamil dan gejala yang muncul sangat umum untuk awal kehamilan. Tanpa harus mengikuti program kehamilan, ternyata istrinya sudah lebih dulu mengandung. Namun, ada kekhawatiran melihat Rara tergolek lemah karena tidak sadarkan diri.Bahkan saat kehamilan Kiya, Kevin tidak tahu dan tidak mendampingi karena mereka terpisah semenjak ada masalah. Pun saat Kiya lahir, Kevin malah dalam proses pengobatan di Singapura.“Maaf sayang, kali ini aku pastikan akan mendampingi kamu. Apapun yang kamu rasakan kita jalani bersama,” bisik Kevin sambil mengusap kepala istrinya.Akhirnya Rara pun siuman dan terkejut dengan keberadaannya saat ini, bukan di kamarnya.“Mas ….”“Jangan memaksa bangun,” ujar Kevin menahan tubuh Rara agar tetap berbaring.“Aku kenapa Mas?”“Kamu sempat pingsan waktu kita mau pulang. Bukannya aku sudah bilang kalau kamu sakit jangan memaksa untuk ikut denganku.”“Hanya sakit kepala saja Mas. Ayo kita pulang, aku takut Kiy
Ucapan Mami Mihika mengenai dirinya kemungkinan hamil, membuat Rara resah. Kevin menyangkal karena sering memakai pengaman, meskipun kadang lupa. Sebenarnya tidak masalah walaupun ia hamil, toh Kiya sudah hampir satu tahun. Hanya saja rencana Kevin untuk program hamil tentu saja gagal.“Sayang, hei.” Tepukan di bahunya membuat Rara tersadar dari lamunan.“Ya.”“Are you okay?” tanya Kevin dengan mengernyitkan dahi. Rara hanya mengangguk pelan dan menyadari mobil sudah berhenti di … rumah mereka.“Sudah sampai?” tanyanya sambil melepas seatbelt.“Bahkan Kiya sudah duluan turun,” jawab Kevin. “Kamu yakin baik-baik saja?”“Aku baik sayang, hanya saja tadi aku melamun mungkin. Ayo turun!”Menjelang tidur, pikiran Rara masih terkait antara hamil dan tidak hamil. Untuk memastikan dia hanya perlu tespek atau ke dokter. Masalah datang bulan agak sulit menjadi dasar ukuran karena sejak melahirkan Kiya, periode bulanannya tidak teratur. Seperti bulan ini, yang belum datang juga.“Sayang, besok a
Banyak berkah dan kemudian menjadi istri dari Kevin Baskara, yang awalnya bukan tujuan Rara kini ia bersyukur dengan segala yang dirasakan. Seperti saat ini, pulang ke Surabaya menggunakan pesawat dengan pilihan kelas bisnis agar Kiya tetap nyaman. Bahkan ketika tiba di bandara, mobil yang memang disiapkan untuk kebutuhan Ibu sudah menjemput.Rumah peninggalan almarhum bapak tidak berubah hanya diperbaiki kalau ada kerusakan, tapi Kevin membeli kavling di sebelah rumah Ibu dan dibangun untuk ia tinggal ketika berkunjung ke sana. Mobil sudah berhenti di depan pagar, Ibu keluar dengan antusias.“Cucu Uti sudah datang, ayo sini gendong sama uti.”Kiya yang dalam perjalanan dipangku oleh pengasuhnya pun berpindah ke gendongan Ib, bahkan tergelak saat Ibu menciumi pipinya.“Ayo masuk, istirahat dulu. Kamu pasti pusing ‘kan turun dari pesawat,” ujar Ibu pada Rara.Rara menganggukan kepala setelah mencium tangan ibunya, lalu menuju rumah mereka. Pak Budi membawakan koper dan tas milik Rara d
“Halo Mas, aku baru sampai nih. Kita ketemu di kamar Kamila aja ya.”Rara baru saja tiba di rumah sakit dan sempat menghubungi suaminya, janjian untuk menjenguk bayi Kamila dan Slamet. Menggendong Kiya berjalan di sepanjang koridor rumah sakit. supirnya menawarkan mengantar, tapi ditolak oleh Rara.Tidak terlalu memperhatikan sekitar karena hanya fokus menuju kamar rawat Kamila sesuai petunjuk arah, ternyata ada seseorang yang mengekor langkahnya.“Kemana ya?” gumam Rara sedangkan Kiya berceloteh dalam gendongan. “Ah ke sebelah sana.”“Rara.”Langkah Rara terhenti, lalu menoleh ke arah suara.“Kamu … Rara ‘kan?”Seorang wanita berdiri dan berjalan mendekat ke arahnya. Wanita yang pernah hadir dalam hidup Kevin, yang menjadi alasan kenapa harus ada kesepakatan pernikahan dengan Kevin. Vanya, wanita itu adalah Vanya.Tidak berubah, Vanya selalu berpenampilan seksi dan glamour. Begitupun saat ini. Sama halnya dengan Vanya yang memindai penampilan Rara dari kepala sampai kaki.“Iya, aku R
“Hey, baby girl. Ini ayah, kamu cantik seperti bunda.” Kevin seakan enggan lepas dan pisah dengan putrinya. Sejak tadi malam bayi itu bahkan tidak berada di box bayi, tapi tidur di antara kedua orang tuanya.Setelah tadi dimandikan, Kiya masih diajak bicara. Rara yang baru keluar dari wardrobe, melihat putrinya masih berada di atas ranjang bersama sang suami dan terus diciumi juga disentuh pipi dan hidungnya. Hanya bisa menggelengkan kepala dan memaklumi. Kevin mengatakan akan mengganti kealpaannya karena tidak bisa mendampingi Rara melahirkan dengan memberikan yang terbaik untuk istri dan anaknya.“Mas, jangan di ganggu terus. Harusnya dia sudah tidur.”“Dia masih betah denganku. Kapan dia besar dan bisa aku bawa ke kantor atau jalan-jalan ke mall.”“Ck, kapan kamu mandi?”“Nanti dulu Ra, aku masih kangen. Lihat, jariku tidak dilepaskannya.”Jemari Kiya mencengkram ibu jari Kevin dan bibir bayi itu terus mengecap seakan masih lapar dan mencari sumber kehidupannya. Rara menghampiri me
“Mas … Kevin.”Kevin tersenyum dan merentangkan tangannya memberi kesempatan pada Rara untuk datang ke dalam pelukan. Seakan tidak percaya kalau yang ada di hadapannya adalah Kevin, Rara malah meneteskan air mata.“Mas ….”“Kemarilah, apa kamu tidak rindu denganku?”Rara langsung menghambur ke dalam pelukan suaminya, memeluk erat membenamkan wajah di dada pria itu. Tubuhnya berguncang karena tangisan. Bukan hanya Rara yang begitu rindu, Kevin pun sama. Kedua tangannya mendekap erat tubuh sang istri bahkan berkali-kali mencium kepalanya.Sesaat dia menyadari kalau pelukannya sangat erat, tidak seperti sebelumnya yang selalu terhalang oleh perut Rara yang sedang hamil. Kevin mengurai pelukan dan menatap tubuh sang istri. Masih terlihat agak chubby dengan dada yang tampak membusung, tapi perutnya … tidak besar cenderung rata.“Rara, kamu sudah melahirkan?” tanya Kevin lirih.Rara masih dengan tangisnya hanya sanggup menganggukan kepala“Kamu melahirkan tanpa ada aku mendampingi?”Lagi-la