Hai, ini sudah masuk sesi dua ya, di mana ada konflik juga antara Kamila dengan Slamet. Happy reading ....
Meski tanpa alasan Kevin sah-sah saja menghubungi Rara, tapi kali ini berbeda. Ia sangat khawatir karena Papi menghubungi akan menyusul ke kantor karena Mami ingin menemuinya. Bahkan sudah berangkat sejak tadi.Sudah lebih dari dua jam, Mihika tidak terlihat di sini. Menduga kalau wanita itu menuju apartemen, tidak masalah karena ada Rara di sana. Masalahnya Mami belum sepenuhnya menerima Rara. Dihubungi berkali-kali, tidak juga ada jawaban.Entah panggilan ke berapa, baru terjawab. Suara Rara terdengar di ujung sana.“Aku nggak pa-pa. Memang harus kenapa?”“Apa kamu bertemu Mami?”“Ah iya, baru saja Mami pulang,” sahut Rara di ujung sana. dari nada suaranya tidak terdengar tertekan atau dalam mood yang tidak baik.“Benarkah, apa yang Mami bicarakan denganmu?”Terdengar hela nafas Rara.“Ya obrolan biasa, baik sekali. Aku lupa kalau harus mengulang dari awal.”“Rara, aku serius. Jangan sembunyikan apapun yang dikatakan Mami apalagi kalau beliau mengancam atau ….”“Pak Kevin tidak bole
Kamila beranjak duduk mendengar suara yang begitu dia kenal dan beberapa hari ini membuat perasaan dan hidupnya cukup kacau.“Ka-mu, kenapa telepon aku?” tanya Kamila meskipun dalam hati senang dihubungi oleh Slamet.“Kita harus bertemu, ada yang perlu kita bicarakan.”Kamila seakan jual mahal, padahal suara itu begitu dirindukan. Beruntung mereka bicara lewat telepon, karena saat ini wajah Kamila sedang mengulum senyum. Begitulah yang namanya cinta, dimulut boleh saja berkata ketus kenyataannya di hati berbeda.“Bicara apa lagi?”“Tentu saja bicara masalah kita,” sahut Slamet dengan logat jawa medoknya.“Masih peduli dengan urusan kita? Aku pikir kamu sudah sibuk dengan mbak-mbak yang ….”“Jangan mengalihkan pembicaraan, saya sedang bicara masalah kita bukan orang lain,” sahut Slamet menyela ucapan Kamila.“Ya kenyataannya begitu, ada orang lain diantara kita.”“BEsok sore, di tempat biasa,” ucap Slamet lalu mengucap salam mengakhiri pembicaraan.“Halo … Slamet,” pekik Kamila. “Ditut
“Pak Harun? Kenapa bawa-bawa Pak Harun sih?”“Lalu saya harus bawa siapa?” tanya Slamet sambil bersandar dan bersedekap.“Slamet, nggak lucu deh. Kamu sendiri yang bilang kalau kita bertemu untuk bahas hubungan kita. Jadi jangan bawa orang lain, kecuali memang sudah ada orang lain di hati kamu. Mbak-mbak yang kemarin goda kamu itu ‘kan?”Slamet menatap wajah Rara. Wajah yang begitu menarik, terkadang menggemaskan, marah atau datar mirip dengan kakaknya.“Kok diam, jadi benar sudah ada yang lain makanya kamu cuek. Tau gini ngapain juga aku datang,” keluh Kamila dengan wajah merengut.“Dengarkan dulu jangan langsung ngambek.”“Siapa yang ngambek.”Kamila melayangkan pandangan ke arah lain. Entah kenapa dadanya terasa sesak membayangkan sudah ada pengganti dirinya di hati Slamet. Apa mungkin ini yang dinamakan patah hati, tega sekali. Padahal sampai sekarang cinta Kamila pada Slamet masih sama.“Kamila, jujur saya tidak sanggup memperjuangkan hubungan kita karena tidak ingin kamu terluka
Kamila mempersiapkan perlengkapan untuk besok dengan malas. Kalau boleh memilih ia ingin tetap berada di kantor dan esok harinya bisa menikmati libur dengan kegiatan dan rencananya sendiri. Sebelumnya Kamila akan senang dan menyambut gembira ketika keluarganya mengadakan liburan, tapi itu dulu saat dia dan Kevin kecil dan terakhir sebelum Kamila kuliah.Semenjak hubungan dengan Slamet bermasalah, Kamila mulai aktif di grup sahabat SMAnya. Karena banyak waktu sendiri, dimanfaatkan hanya untuk bermedia sosial. Seperti kali ini, setelah selesai mempersiapkan satu buah ransel berisi pakaian dan kebutuhan lain. Gadis itu berbaring sambil fokus menatap layar ponsel.Padahal kegiatan yang dibahas satu grup yang isinya beberapa perempuan manakala mereka pernah satu kelas di bangu SMA, tidak terlalu positif. Bahkan kali ini mereka sedang menuju club malam dan mengajak Kamila bergabung.“Hah, mending tidur deh. Biar besok tetap sehat dan waras menghadapi kehidupan,” gumam Kamila lalu meletakan
Slamet geram sendiri, dikatakan cemburu memang betul dan Harun ini seperti tidak tahu malu dan tidak tahu tempat. Jelas-jelas mereka berada di tengah acara, malah berbisik pada Kamila.“Kamu senang didekati Harun?”“Ya nggak lah, justru aku bawa mobil sendiri karena ogah berangkat bareng dia.”“Kalian di tengah acara, dia malah berbisik denganmu. Pokoknya hati-hati dengannya,” seru Slamet. “Saya ke dalam lagi, kamu nyusul ya … jangan kelamaan di sini.”Beberapa jam berlalu rasanya tubuh Kamila pegal karena harus duduk terus, bahkan kepalanya pusing menyimak rapat karena banyak hal yang belum dikuasai. Akhirnya rapat di break dan dimulai lagi nanti malam. Masih ada waktu dua jam untuk rehat.“Kamila, mau ikut ke pantai?”“Hm, kayaknya aku ke kamar saja. Agak kurang sehat, kepalaku pening.”“Aku duluan ya, bawa kunci juga kok,” ujar rekan satu kamar Kamila.Terlihat Harun sedang berbincang dengan rekannya, sempat melirik ke arah Kamila. Dari pada keburu diajak keluar, Kamila bergegas me
Dering ponsel terdengar mengganggu, membuat Kamila mengerang dan akhirnya terjaga. Mulutnya sempat mengumpat pelan karena masih didera kantuk. Setelah makan hampir tengah malam dan dilarang Slamet untuk langsung tidur, apalagi Harun yang bersikap menakutkan karena mabuk. Kamila dan Slamet sempat berbincang di pinggir pantai menyewa salah satu saung.Pukul tiga pagi, Slamet mengajak Kamila masuk. Selain angin yang semakin dingin, Slamet tidak biasa begadang. Yang mencengangkan Kamila mengatakan kalau tanggung, karena sebentar lagi subuh.“Iya, sabar,” ujar Kamila sambil meraba nakas mencari ponselnya.“Halo,” sapa Kamila masih dengan mata terpejam bahkan tidak tahu siapa yang menghubungi.“Ck, lama sekali. Jangan bilang kamu masih tidur?”Suara Arka, perlahan Kamila terjaga sempurna lalu menguap.“Masih ngantuk Pih bukan masih tidur.”“Jam berapa kamu pulang?”Kamila menggaruk kepalanya, entah jam berapa dia tidak terlalu menyimak susunan acara rapat kerja yang diadakan.“Mungkin sore.
Slamet mendudukan Kamila di atas ranjang, lalu menutup pintu kamar dan menguncinya. Dari aroma yang menguar dari nafas gadis itu membuktikan kalau ia benar mabuk. Slamet bingung harus melakukan apa pada orang mabuk, karena dia sendiri belum pernah sampai begitu.“Kamila, aku harus gimana? Aku antar pulang saja ya,” ujar Slamet sambil berdiri menatap Kamila yang merebahkan diri.Penampilan Kamila sangat menggoda dengan dress pendek tanpa lengan, juga make up dan heels yang dipakai membuatnya terlihat begitu seksi.“Mana Indri, kamu sembunyikan perempuan itu di mana?” Kamila beranjak duduk sambil menunjuk Slamet.“Indri siapa? Saya dari pas datang langsung tidur dan bangun karena kamu ketuk pintu.”“Dasar nggak peka, kalau tadi di club nggak kabur sudah pasti mereka macam-macam sama aku. Kamu nggak ada pedulinya banget sih.”“Kamu ke club?”“Iya, gara-gara kamu. Kalau aku nggak kesel sama perempuan itu, nggak bakal aku ikutan temen-temen yang hidupnya sudah rusak.”Slamet mengusap wajah
“Hm.” Slamet hanya bergumam saja.Kamila menarik selimut dan menutupi tubuhnya berusaha mengingat apa yang terjadi. Kemarin dia bersama teman lalu mendatangi club dan mabuk. Termasuk ulahnya menggoda Slamet yang akhirnya terjadilah adegan dewasa itu.Dengan agak menunduk Kamila melihat banyak jejak cinta di tubuhnya, tentu saja ulah Slamet. Saat dia bergeser meskipun dengan mendesis karena merasa tidak nyaman, terlihat noda di sprei. Noda keperawanannya.Alih-alih sedih atau takut, Kamila lega karena yang melakukannya Slamet. Tidak bisa dibayangkan kalau kemarin dia tidak kabur dari club, mungkin kejadiannya akan berbeda.“Slamet, bangun,” ujar Kamila sambil mengguncang tubuh pria itu. Bahkan Kamila mengulum senyum melihat tubuh Slamet, menurutnya bok0ng pria itu sangat seksi.Astaga Kamila, kenapa pikiranmu mesum sekali, ucap Kamila dalam hati.Terdengar dering ponselnya, Kamila menatap sekeliling mencari tas di mana ponselnya berada. Ternyata tasnya ada di lantai, tidak mungkin ia t
“Mas, aku kok ragu ya.”“Ayolah, sesekali tidak masalah tinggalkan anak-anak. Ada Ibu dan Mamih, juga pengasuh mereka. Aku mau ditemani kamu, sekalian kita honeymoon. Kita belum pernah loh, tahu-tahu sudah punya anak dua.” Kevin memeluk Rara yang sempat terhenti mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa.Ada kegiatan di luar kota, kali ini Kevin mengajak Rara. Arka sendiri tidak masalah, begitu pun dengan Mihika. Kiya sedang berlibur di Surabaya, bersama eyang -- ibu Rara. Hanya Abimana dan Mihika tidak keberatan kalau bocah itu dititip bersamanya.Apalagi di kediaman Arka ada kedua anak Slamet dan Kamila, membuat Abimana tidak akan jenuh karena memiliki teman sebayanya.“Jangan bawa banyak pakaian, apalagi untuk malam. Aku lebih suka kamu tidak berpakaian,” bisik Kevin.“Masss.”“Aku tunggu di bawah ya, jangan kelamaan aku sudah lapar.”“Hm.”Saat Rara bergabung di meja makan, Kevin dan Abimana sudah siap di kursinya. Terlihat Kevin sedang menjelaskan kalau besok Rara dan dirinya a
Rara terjaga dari tidurnya. Menggeser pelan tangan Kevin yang memeluk pinggangnya lalu beranjak duduk dan bersandar pada headboard. Masih dengan suasana kamar yang cahayanya temaram, ia mengusap perut yang sudah sangat membola sambil mengatur nafas. Sudah beberapa malam merasakan sakit yang datang dan pergi, sepertinya kontraksi palsu. Namun, kali ini terasa lebih sering. Sedangkan hari perkiraan lahir bayinya masih minggu depan.“Ahhhh.” Rara mengerang pelan. Terdengar suara tangisan Kiya, meskipun ada Nani yang akan sigap sebagai Ibu tentu saja Kiya tidak tega. Beranjak pelan menuju kamar putrinya. Benar saja, Kiya sedang menenangkan putrinya.“Princess bunda kenapa nangis?”“Nda,” panggil Kiya sambil mengulurkan tangannya.Rara tersenyum lalu ikut naik ke ranjang Kiya yang saat ini berumur satu setengah tahun.“Bobo lagi ya, masih malam nih.”“Nda.”“Ssttt.” Rara memeluk Kiya dan menepuk bok0ng bocah itu dengan pelan. “Nani, tolong buatkan susu botol, mungkin dia haus.”Setelah me
Rara mendengarkan curhatan adik iparnya mengenai sang suami yang dituduh selingkuh. Sungguh hal yang jauh dari sikap seorang Slamet. Apalagi pria itu terlihat begitu menyayangi Kamila dan putra mereka. Begitu pun kesempatan untuk macam-macam, sepertinya tidak ada.“Aku yakin dia selingkuh kak.” Kamila menyimpulkan setelah dia menceritakan bagaimana sikap Slamet yang dianggap tidak setia. “Iya ‘kan?”“Hm, gimana ya,” gumam Rara.“Gimana apanya?”“Kamila, gini loh. Ketika suami macam-macam, biasanya istri akan merasakan dan melihat perubahan sikap dari sang suami. Misalnya jarang di rumah atau mulai acuh. Kalau aku lihat, Slamet nggak ada indikasi begitu. Lihat saja tuh, dia malah asyik main dengan Kai dan Kiya.”“Ya bisa aja pas di kantor. Aku curiga mungkin saja perempuan itu teman satu divisinya.”“Kamila, curiga boleh ….”“Kak, aku bukan curiga,” ujar Kamila menyela ucapan Rara.Rara kembali mendengarkan ocehan Kamila dan sesekali mengangguk. Saran darinya untuk memastikan kebenaran
Ada rasa bahagia saat dokter mengatakan kalau Rara sedang hamil dan gejala yang muncul sangat umum untuk awal kehamilan. Tanpa harus mengikuti program kehamilan, ternyata istrinya sudah lebih dulu mengandung. Namun, ada kekhawatiran melihat Rara tergolek lemah karena tidak sadarkan diri.Bahkan saat kehamilan Kiya, Kevin tidak tahu dan tidak mendampingi karena mereka terpisah semenjak ada masalah. Pun saat Kiya lahir, Kevin malah dalam proses pengobatan di Singapura.“Maaf sayang, kali ini aku pastikan akan mendampingi kamu. Apapun yang kamu rasakan kita jalani bersama,” bisik Kevin sambil mengusap kepala istrinya.Akhirnya Rara pun siuman dan terkejut dengan keberadaannya saat ini, bukan di kamarnya.“Mas ….”“Jangan memaksa bangun,” ujar Kevin menahan tubuh Rara agar tetap berbaring.“Aku kenapa Mas?”“Kamu sempat pingsan waktu kita mau pulang. Bukannya aku sudah bilang kalau kamu sakit jangan memaksa untuk ikut denganku.”“Hanya sakit kepala saja Mas. Ayo kita pulang, aku takut Kiy
Ucapan Mami Mihika mengenai dirinya kemungkinan hamil, membuat Rara resah. Kevin menyangkal karena sering memakai pengaman, meskipun kadang lupa. Sebenarnya tidak masalah walaupun ia hamil, toh Kiya sudah hampir satu tahun. Hanya saja rencana Kevin untuk program hamil tentu saja gagal.“Sayang, hei.” Tepukan di bahunya membuat Rara tersadar dari lamunan.“Ya.”“Are you okay?” tanya Kevin dengan mengernyitkan dahi. Rara hanya mengangguk pelan dan menyadari mobil sudah berhenti di … rumah mereka.“Sudah sampai?” tanyanya sambil melepas seatbelt.“Bahkan Kiya sudah duluan turun,” jawab Kevin. “Kamu yakin baik-baik saja?”“Aku baik sayang, hanya saja tadi aku melamun mungkin. Ayo turun!”Menjelang tidur, pikiran Rara masih terkait antara hamil dan tidak hamil. Untuk memastikan dia hanya perlu tespek atau ke dokter. Masalah datang bulan agak sulit menjadi dasar ukuran karena sejak melahirkan Kiya, periode bulanannya tidak teratur. Seperti bulan ini, yang belum datang juga.“Sayang, besok a
Banyak berkah dan kemudian menjadi istri dari Kevin Baskara, yang awalnya bukan tujuan Rara kini ia bersyukur dengan segala yang dirasakan. Seperti saat ini, pulang ke Surabaya menggunakan pesawat dengan pilihan kelas bisnis agar Kiya tetap nyaman. Bahkan ketika tiba di bandara, mobil yang memang disiapkan untuk kebutuhan Ibu sudah menjemput.Rumah peninggalan almarhum bapak tidak berubah hanya diperbaiki kalau ada kerusakan, tapi Kevin membeli kavling di sebelah rumah Ibu dan dibangun untuk ia tinggal ketika berkunjung ke sana. Mobil sudah berhenti di depan pagar, Ibu keluar dengan antusias.“Cucu Uti sudah datang, ayo sini gendong sama uti.”Kiya yang dalam perjalanan dipangku oleh pengasuhnya pun berpindah ke gendongan Ib, bahkan tergelak saat Ibu menciumi pipinya.“Ayo masuk, istirahat dulu. Kamu pasti pusing ‘kan turun dari pesawat,” ujar Ibu pada Rara.Rara menganggukan kepala setelah mencium tangan ibunya, lalu menuju rumah mereka. Pak Budi membawakan koper dan tas milik Rara d
“Halo Mas, aku baru sampai nih. Kita ketemu di kamar Kamila aja ya.”Rara baru saja tiba di rumah sakit dan sempat menghubungi suaminya, janjian untuk menjenguk bayi Kamila dan Slamet. Menggendong Kiya berjalan di sepanjang koridor rumah sakit. supirnya menawarkan mengantar, tapi ditolak oleh Rara.Tidak terlalu memperhatikan sekitar karena hanya fokus menuju kamar rawat Kamila sesuai petunjuk arah, ternyata ada seseorang yang mengekor langkahnya.“Kemana ya?” gumam Rara sedangkan Kiya berceloteh dalam gendongan. “Ah ke sebelah sana.”“Rara.”Langkah Rara terhenti, lalu menoleh ke arah suara.“Kamu … Rara ‘kan?”Seorang wanita berdiri dan berjalan mendekat ke arahnya. Wanita yang pernah hadir dalam hidup Kevin, yang menjadi alasan kenapa harus ada kesepakatan pernikahan dengan Kevin. Vanya, wanita itu adalah Vanya.Tidak berubah, Vanya selalu berpenampilan seksi dan glamour. Begitupun saat ini. Sama halnya dengan Vanya yang memindai penampilan Rara dari kepala sampai kaki.“Iya, aku R
“Hey, baby girl. Ini ayah, kamu cantik seperti bunda.” Kevin seakan enggan lepas dan pisah dengan putrinya. Sejak tadi malam bayi itu bahkan tidak berada di box bayi, tapi tidur di antara kedua orang tuanya.Setelah tadi dimandikan, Kiya masih diajak bicara. Rara yang baru keluar dari wardrobe, melihat putrinya masih berada di atas ranjang bersama sang suami dan terus diciumi juga disentuh pipi dan hidungnya. Hanya bisa menggelengkan kepala dan memaklumi. Kevin mengatakan akan mengganti kealpaannya karena tidak bisa mendampingi Rara melahirkan dengan memberikan yang terbaik untuk istri dan anaknya.“Mas, jangan di ganggu terus. Harusnya dia sudah tidur.”“Dia masih betah denganku. Kapan dia besar dan bisa aku bawa ke kantor atau jalan-jalan ke mall.”“Ck, kapan kamu mandi?”“Nanti dulu Ra, aku masih kangen. Lihat, jariku tidak dilepaskannya.”Jemari Kiya mencengkram ibu jari Kevin dan bibir bayi itu terus mengecap seakan masih lapar dan mencari sumber kehidupannya. Rara menghampiri me
“Mas … Kevin.”Kevin tersenyum dan merentangkan tangannya memberi kesempatan pada Rara untuk datang ke dalam pelukan. Seakan tidak percaya kalau yang ada di hadapannya adalah Kevin, Rara malah meneteskan air mata.“Mas ….”“Kemarilah, apa kamu tidak rindu denganku?”Rara langsung menghambur ke dalam pelukan suaminya, memeluk erat membenamkan wajah di dada pria itu. Tubuhnya berguncang karena tangisan. Bukan hanya Rara yang begitu rindu, Kevin pun sama. Kedua tangannya mendekap erat tubuh sang istri bahkan berkali-kali mencium kepalanya.Sesaat dia menyadari kalau pelukannya sangat erat, tidak seperti sebelumnya yang selalu terhalang oleh perut Rara yang sedang hamil. Kevin mengurai pelukan dan menatap tubuh sang istri. Masih terlihat agak chubby dengan dada yang tampak membusung, tapi perutnya … tidak besar cenderung rata.“Rara, kamu sudah melahirkan?” tanya Kevin lirih.Rara masih dengan tangisnya hanya sanggup menganggukan kepala“Kamu melahirkan tanpa ada aku mendampingi?”Lagi-la