Jangan lupa jejakkk
Rara menangisi kebodohannya karena semalam seperti tidak sadar dia menikmati apa yang Kevin lakukan. Namun, lebih tepatnya adalah yang mereka lakukan. Masih Rara ingat betul, dia merasakan tidak nyaman dari tubuhnya yang diduga mabuk karena minuman keras.Perjanjian yang telah mereka sepakati pun sudah dilanggar. Rara harus pasrah karena bukan lagi seorang gadis. Rasanya dia tidak punya muka untuk menatap suaminya, mengingat semalam Rara meminta Kevin untuk begrerak lebih cepat atau semakin memperdalam hentakannya.Perlahan Rara pun beranjak duduk setelah mengusap wajahnya yang basah karena air mata. Tangannya menahan selimut agar tidak semakin melorot turun, sedangkan pandanganya mencari pakaian yang semalam dilucuti oleh KEvin.Kevin yang paham dengan maksud Rara, mendekati ranjang dan memberikan bathrobe yang tadi hendak ia pakai.“Pakai ini!” titah Kevin.Rara menatap tangan Kevin lalu perlahan menatap wajah yang sedang menatap balik ke arahnya. Raut wajah Kevin tidak dapat terbac
Rara memandang pintu di mana Kevin sudah menghilang dibaliknya. Entah mengapa rasanya semakin tidak karuan. Semalam dia sudah kehilangan mahkotanya bukan karena meluapkan rasa cinta, tapi karena terpaksa. Sekarang Kevin meninggalkannya karena Vanya. Perempuan yang menjadi alasan pernikahan sementara mereka. Rasa lelah dan perih di bagian bawah tubuhnya terasa tidak seberapa dibandingkan rasa sakit di hatinya. Merasa terhina dan seperti perempuan bayaran yang merelakan tubuhnya karena uang. “Kenapa harus kesal, Ra? Sudah konsekuensinya menikah karena perjanjian,” gumam Rara. Rara tidak tahu kalau Kevin sebenarnya sedang merencanakan mengakhiri hubungannya dengan Vanya, tapi dengan cara yang elegan bahkan mengumpulkan bukti pengkhianatan wanita itu. Yang Rara tahu saat ini Kevin meninggalkannya karena ingin bersama wanita itu. Sampai dengan sore, Kevin belum ada kembali ke kamar. Merasa jenuh dan masih kesal dengan perlakuan Kevin, Rara meninggalkan hotel. Membawa kopernya dan kemba
Harun tersenyum dan menganggukan kepala pada Rara, bersikap hormat seakan baru mengenal Rara. Padahal Rara sendiri ingin mengatakan kalau dia mengenal Harun dan mereka pernah ada hubungan, karena tidak ingin hal ini jadi kendala di kemudian hari. Namun, kebungkaman Harun membuat Rara urung jujur pada Kevin. Untuk apa juga menceritakan masa lalunya, sedangkan Kevin sepertinya tidak peduli dan tidak mau peduli. Kevin merangkul bahu Rara yang duduk di sampingnya, meneruskan perbincangan dengan Harun. Rara merasa Kevin memanfaatkan pernikahan mereka, bersikap seolah pasangan bahagia. “Mulai sekarang fokus untuk memajukan perusahaan, aku percaya kamu mampu bersaing dan menghasilkan banyak ide kreatif." “Saya usahakan semaksimal mungkin, tidak mungkin saya mempermainkan kepercayaan Pak Kevin. Sepertinya Bapak dan istri mau makan siang, sebaiknya saya pamit.” Rara menatap Harun sudah menghilang di balik pintu sebelum bicara pada suaminya. “Kita makan di mana Pak?” “Itu!” Kevin menunjuk
“Pak Kevin.” Rara berusaha mendorong tubuh suaminya tapi sulit, sangat keras dan berat. Kevin menciumi wajah dan turun ke leher, tidak bisa dicegah karena tubuh Rara seakan dikunci.Pria itu menggeram menaikan rok yang dikenakan Rara sampai pinggul dan menurunkan penutup segitiga milik istrinya. Tatapan matanya begitu nyalang menatap lembah di mana dirinya pernah bersarang. Rara sempat berteriak agar Kevin tidak macam-macam.“Ck, kenapa tidak suka aku sentuh hah?” tanya Kevin sudah mensejajarkan kembali tubuhnya. Rara merasa sesuatu sudah sangat mengeras dan sengaja ditempelkan di perutnya oleh Kevin. “Tapi bisa tertawa lepas dengan temanmu, terutama Slamet.”Rara menggelengkan kepala, berusaha menjelaskan kalau yang terjadi tidak seperti yang dipikirkan oleh Kevin. Namun, emosi Kevin sudah di ubun-ubun. Dia menyentuh apa yang perlu disentuh dan melepas gesper dan menurunkan celananya.Tubuh Kevin dan Rara pun akhirnya bersatu, meski dalam dorongan Kevin. Bahkan tubuh keduanya saat in
Kevin bukannya takut dengan ancaman Vanya, hanya saja belum saatnya semua ini terbongkar. Ia ingin membalas Vanya di waktu yang tepat. Setelah memakai jeans dan kaos dilapisi dengan jaket, menatap sekilas di mana Rara sudah terlelap. Ada senyum tersungging di wajahnya menatap wajah Rara yang lucu sedang terbuai mimpi. Mengusap pelan kepala istrinya, hendak memberikan kecupan di kening tapi urung khawatir malah membuat wanita itu terjaga. Tujuan Kevin adalah klub, sesuai dengan informasi dari Vanya yang menunggunya di sana. Biasanya Kevin akan minum untuk menghilangkan penat, tapi kali ini dia harus sadar dan benar-benar sadar. Vanya pasti merencanakan sesuatu. “Hai sayang, aku kangen banget,” sapa Vanya lalu mengalungkan tanganya di leher Kevin. Mereka berada pada VIP room yang dipesan oleh Vanya. Sudah ada beberapa rekan Vanya di sana, tentu saja berpasangan dan ada yang sudah beraksi intim. “Gaes, kenalin ini Kevin. Calon suami gue, penyayang dan tampan gak usah ditanya. Yang p
Siapa yang tidak kecewa ketika ada wanita mengaku mengandung anak dari suaminya. Itulah yang dirasakan Rara sekarang. Awalnya mungkin karena hubungan mereka karena perjanjian, tapi Rara merasakan hatinya tidak nyaman ketika Kevin bersama Vanya. Katakanlah Rara cemburu meskipun tidak yakin, karena cemburu akan hadir ketika ada cinta dan Rara belum memahami apakah antara dirinya dan Kevin ada rasa cinta. sepertinya masih terlalu awal dan kenyataan kalau Vanya mengandung anak Kevin membuat Rara memutuskan untuk mengakhiri rasa yang bahkan belum dimulai.“Kalau kalian ingin bicara sebaiknya di dalam, jangan di tengah pintu,” ujar Rara dan Vanya langsung mendorong tubuh Kevin dan memberi jalan untuk Rara.“Rara, tunggu aku ….”“Kevin, banyak hal yang harus kita bicarakan,” ujar Vanya lalu menutup pintu.Rara yang masih berdiri hanya menghela pelan lalu bergegas menuju lift. Sempat menoleh ke belakang, pintu apartemen Kevin tetap tertutup rapat. Entah apa yang pasangan itu lakukan, bisa sa
Rara menghentakan kakinya karena kesal dengan Kevin. Suaminya itu memang mengesalkan, sudah berulah dengan kedatangan Vanya sekarang memaksa Rara untuk segera datang ke ruangannya. Meskipun dongkol Rara tetap berusaha untuk profesional, karena yang saat ini dihadapi adalah Kevin Baskara sebagai pimpinan di tempatnya bekerja.Sari menganggukan kepalanya dan mengatakan kalau Kevin sudah menunggu. Tentu saja Rara balas lagi dengan senyuman, bahkan sebelum mengetuk pintu Rara menarik nafas dan berdeham untuk sekedar mengusir emosi dan kemarahannya. Bisa saja Kevin menanyakan alasan dirinya marah, tidak mungkin Rara menjawab karena tidak suka kedekataan pria itu dengan Vanya. Apalagi kenyataan mereka akan segera punya … anak.“Permisi Pak,” sapa Rara“Hm, duduk!” Perintah Kevin tanpa menatap Rara karena sedang fokus dengan berkas di hadapannya.Rara hendak duduk di sofa, teringat mereka pernah melakukan hal menyenangkan di sana. Lebih tepatnya Kevin memaksa menyentuhnya. Rara urung mendudu
“Hah.” Rara beranjak duduk setelah terjaga dan menyadari dia bukan berada di kamarnya. Bahkan tubuhnya masih polos di balik selimut yang melorot turun. “Aku tadi … ya ampun Pak Kevin.” Rara mengingat interaksinya dengan Kevin dan berakhir dengan terlelap.Menyadari saat ini sudah siang, bahkan perutnya terasa sangat lapar. Bergegas menuju toilet dan membersihkan diri lalu mengenakan lagi pakaiannya yang tersimpan rapi di atas nakas.“Ish, Pak Kevin bener-bener nyebelin deh. Harusnya aku temani yang magang, ini malah enak-enakan di sini,” gumam Rara sambil mematut dirinya di cermin dan memastikan penampilannya sudah rapi. “Ini … astaga, kenapa bikin jejak sih,” keluh Rara melihat tanda cinta di lehernya.Karena tidak ada hair dryer, Rara berusaha mengeringkan rambutnya dengan handuk dan menggerai rambutnya yang masih lembab. Bahkan mengoles foundation agar jejak yang ditinggalkan Kevin tidak terlalu kentara. Perlahan Rara membuka pintu kamar, khawatir Kevin sedang menerima tamu.“Kelua
“Mas, aku kok ragu ya.”“Ayolah, sesekali tidak masalah tinggalkan anak-anak. Ada Ibu dan Mamih, juga pengasuh mereka. Aku mau ditemani kamu, sekalian kita honeymoon. Kita belum pernah loh, tahu-tahu sudah punya anak dua.” Kevin memeluk Rara yang sempat terhenti mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa.Ada kegiatan di luar kota, kali ini Kevin mengajak Rara. Arka sendiri tidak masalah, begitu pun dengan Mihika. Kiya sedang berlibur di Surabaya, bersama eyang -- ibu Rara. Hanya Abimana dan Mihika tidak keberatan kalau bocah itu dititip bersamanya.Apalagi di kediaman Arka ada kedua anak Slamet dan Kamila, membuat Abimana tidak akan jenuh karena memiliki teman sebayanya.“Jangan bawa banyak pakaian, apalagi untuk malam. Aku lebih suka kamu tidak berpakaian,” bisik Kevin.“Masss.”“Aku tunggu di bawah ya, jangan kelamaan aku sudah lapar.”“Hm.”Saat Rara bergabung di meja makan, Kevin dan Abimana sudah siap di kursinya. Terlihat Kevin sedang menjelaskan kalau besok Rara dan dirinya a
Rara terjaga dari tidurnya. Menggeser pelan tangan Kevin yang memeluk pinggangnya lalu beranjak duduk dan bersandar pada headboard. Masih dengan suasana kamar yang cahayanya temaram, ia mengusap perut yang sudah sangat membola sambil mengatur nafas. Sudah beberapa malam merasakan sakit yang datang dan pergi, sepertinya kontraksi palsu. Namun, kali ini terasa lebih sering. Sedangkan hari perkiraan lahir bayinya masih minggu depan.“Ahhhh.” Rara mengerang pelan. Terdengar suara tangisan Kiya, meskipun ada Nani yang akan sigap sebagai Ibu tentu saja Kiya tidak tega. Beranjak pelan menuju kamar putrinya. Benar saja, Kiya sedang menenangkan putrinya.“Princess bunda kenapa nangis?”“Nda,” panggil Kiya sambil mengulurkan tangannya.Rara tersenyum lalu ikut naik ke ranjang Kiya yang saat ini berumur satu setengah tahun.“Bobo lagi ya, masih malam nih.”“Nda.”“Ssttt.” Rara memeluk Kiya dan menepuk bok0ng bocah itu dengan pelan. “Nani, tolong buatkan susu botol, mungkin dia haus.”Setelah me
Rara mendengarkan curhatan adik iparnya mengenai sang suami yang dituduh selingkuh. Sungguh hal yang jauh dari sikap seorang Slamet. Apalagi pria itu terlihat begitu menyayangi Kamila dan putra mereka. Begitu pun kesempatan untuk macam-macam, sepertinya tidak ada.“Aku yakin dia selingkuh kak.” Kamila menyimpulkan setelah dia menceritakan bagaimana sikap Slamet yang dianggap tidak setia. “Iya ‘kan?”“Hm, gimana ya,” gumam Rara.“Gimana apanya?”“Kamila, gini loh. Ketika suami macam-macam, biasanya istri akan merasakan dan melihat perubahan sikap dari sang suami. Misalnya jarang di rumah atau mulai acuh. Kalau aku lihat, Slamet nggak ada indikasi begitu. Lihat saja tuh, dia malah asyik main dengan Kai dan Kiya.”“Ya bisa aja pas di kantor. Aku curiga mungkin saja perempuan itu teman satu divisinya.”“Kamila, curiga boleh ….”“Kak, aku bukan curiga,” ujar Kamila menyela ucapan Rara.Rara kembali mendengarkan ocehan Kamila dan sesekali mengangguk. Saran darinya untuk memastikan kebenaran
Ada rasa bahagia saat dokter mengatakan kalau Rara sedang hamil dan gejala yang muncul sangat umum untuk awal kehamilan. Tanpa harus mengikuti program kehamilan, ternyata istrinya sudah lebih dulu mengandung. Namun, ada kekhawatiran melihat Rara tergolek lemah karena tidak sadarkan diri.Bahkan saat kehamilan Kiya, Kevin tidak tahu dan tidak mendampingi karena mereka terpisah semenjak ada masalah. Pun saat Kiya lahir, Kevin malah dalam proses pengobatan di Singapura.“Maaf sayang, kali ini aku pastikan akan mendampingi kamu. Apapun yang kamu rasakan kita jalani bersama,” bisik Kevin sambil mengusap kepala istrinya.Akhirnya Rara pun siuman dan terkejut dengan keberadaannya saat ini, bukan di kamarnya.“Mas ….”“Jangan memaksa bangun,” ujar Kevin menahan tubuh Rara agar tetap berbaring.“Aku kenapa Mas?”“Kamu sempat pingsan waktu kita mau pulang. Bukannya aku sudah bilang kalau kamu sakit jangan memaksa untuk ikut denganku.”“Hanya sakit kepala saja Mas. Ayo kita pulang, aku takut Kiy
Ucapan Mami Mihika mengenai dirinya kemungkinan hamil, membuat Rara resah. Kevin menyangkal karena sering memakai pengaman, meskipun kadang lupa. Sebenarnya tidak masalah walaupun ia hamil, toh Kiya sudah hampir satu tahun. Hanya saja rencana Kevin untuk program hamil tentu saja gagal.“Sayang, hei.” Tepukan di bahunya membuat Rara tersadar dari lamunan.“Ya.”“Are you okay?” tanya Kevin dengan mengernyitkan dahi. Rara hanya mengangguk pelan dan menyadari mobil sudah berhenti di … rumah mereka.“Sudah sampai?” tanyanya sambil melepas seatbelt.“Bahkan Kiya sudah duluan turun,” jawab Kevin. “Kamu yakin baik-baik saja?”“Aku baik sayang, hanya saja tadi aku melamun mungkin. Ayo turun!”Menjelang tidur, pikiran Rara masih terkait antara hamil dan tidak hamil. Untuk memastikan dia hanya perlu tespek atau ke dokter. Masalah datang bulan agak sulit menjadi dasar ukuran karena sejak melahirkan Kiya, periode bulanannya tidak teratur. Seperti bulan ini, yang belum datang juga.“Sayang, besok a
Banyak berkah dan kemudian menjadi istri dari Kevin Baskara, yang awalnya bukan tujuan Rara kini ia bersyukur dengan segala yang dirasakan. Seperti saat ini, pulang ke Surabaya menggunakan pesawat dengan pilihan kelas bisnis agar Kiya tetap nyaman. Bahkan ketika tiba di bandara, mobil yang memang disiapkan untuk kebutuhan Ibu sudah menjemput.Rumah peninggalan almarhum bapak tidak berubah hanya diperbaiki kalau ada kerusakan, tapi Kevin membeli kavling di sebelah rumah Ibu dan dibangun untuk ia tinggal ketika berkunjung ke sana. Mobil sudah berhenti di depan pagar, Ibu keluar dengan antusias.“Cucu Uti sudah datang, ayo sini gendong sama uti.”Kiya yang dalam perjalanan dipangku oleh pengasuhnya pun berpindah ke gendongan Ib, bahkan tergelak saat Ibu menciumi pipinya.“Ayo masuk, istirahat dulu. Kamu pasti pusing ‘kan turun dari pesawat,” ujar Ibu pada Rara.Rara menganggukan kepala setelah mencium tangan ibunya, lalu menuju rumah mereka. Pak Budi membawakan koper dan tas milik Rara d
“Halo Mas, aku baru sampai nih. Kita ketemu di kamar Kamila aja ya.”Rara baru saja tiba di rumah sakit dan sempat menghubungi suaminya, janjian untuk menjenguk bayi Kamila dan Slamet. Menggendong Kiya berjalan di sepanjang koridor rumah sakit. supirnya menawarkan mengantar, tapi ditolak oleh Rara.Tidak terlalu memperhatikan sekitar karena hanya fokus menuju kamar rawat Kamila sesuai petunjuk arah, ternyata ada seseorang yang mengekor langkahnya.“Kemana ya?” gumam Rara sedangkan Kiya berceloteh dalam gendongan. “Ah ke sebelah sana.”“Rara.”Langkah Rara terhenti, lalu menoleh ke arah suara.“Kamu … Rara ‘kan?”Seorang wanita berdiri dan berjalan mendekat ke arahnya. Wanita yang pernah hadir dalam hidup Kevin, yang menjadi alasan kenapa harus ada kesepakatan pernikahan dengan Kevin. Vanya, wanita itu adalah Vanya.Tidak berubah, Vanya selalu berpenampilan seksi dan glamour. Begitupun saat ini. Sama halnya dengan Vanya yang memindai penampilan Rara dari kepala sampai kaki.“Iya, aku R
“Hey, baby girl. Ini ayah, kamu cantik seperti bunda.” Kevin seakan enggan lepas dan pisah dengan putrinya. Sejak tadi malam bayi itu bahkan tidak berada di box bayi, tapi tidur di antara kedua orang tuanya.Setelah tadi dimandikan, Kiya masih diajak bicara. Rara yang baru keluar dari wardrobe, melihat putrinya masih berada di atas ranjang bersama sang suami dan terus diciumi juga disentuh pipi dan hidungnya. Hanya bisa menggelengkan kepala dan memaklumi. Kevin mengatakan akan mengganti kealpaannya karena tidak bisa mendampingi Rara melahirkan dengan memberikan yang terbaik untuk istri dan anaknya.“Mas, jangan di ganggu terus. Harusnya dia sudah tidur.”“Dia masih betah denganku. Kapan dia besar dan bisa aku bawa ke kantor atau jalan-jalan ke mall.”“Ck, kapan kamu mandi?”“Nanti dulu Ra, aku masih kangen. Lihat, jariku tidak dilepaskannya.”Jemari Kiya mencengkram ibu jari Kevin dan bibir bayi itu terus mengecap seakan masih lapar dan mencari sumber kehidupannya. Rara menghampiri me
“Mas … Kevin.”Kevin tersenyum dan merentangkan tangannya memberi kesempatan pada Rara untuk datang ke dalam pelukan. Seakan tidak percaya kalau yang ada di hadapannya adalah Kevin, Rara malah meneteskan air mata.“Mas ….”“Kemarilah, apa kamu tidak rindu denganku?”Rara langsung menghambur ke dalam pelukan suaminya, memeluk erat membenamkan wajah di dada pria itu. Tubuhnya berguncang karena tangisan. Bukan hanya Rara yang begitu rindu, Kevin pun sama. Kedua tangannya mendekap erat tubuh sang istri bahkan berkali-kali mencium kepalanya.Sesaat dia menyadari kalau pelukannya sangat erat, tidak seperti sebelumnya yang selalu terhalang oleh perut Rara yang sedang hamil. Kevin mengurai pelukan dan menatap tubuh sang istri. Masih terlihat agak chubby dengan dada yang tampak membusung, tapi perutnya … tidak besar cenderung rata.“Rara, kamu sudah melahirkan?” tanya Kevin lirih.Rara masih dengan tangisnya hanya sanggup menganggukan kepala“Kamu melahirkan tanpa ada aku mendampingi?”Lagi-la