Hari-hari berikutnya berlalu dengan penuh kebahagiaan. Sakti dengan penuh semangat membantu Citra menjalani masa kehamilannya dengan nyaman. Ia rajin mendampingi Citra ke posyandu dan selalu berada di sampingnya ketika Citra membutuhkan dukungan dan kasih sayang.Saat usia kandungan Citra bertambah dan perutnya perlahan mulai membesar, Sakti menjadi semakin antusias. Ia selalu berbicara pada calon bayi mereka dengan penuh cinta dan rasa ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi di dalam perut Citra."Sayang, bayi kita pasti akan menjadi anak yang pintar dan berbakat, seperti aku kan," ujar Sakti seraya mengusap lembut perut Citra. "Kalo dia cowok, dia bakal ganteng kayak aku dan kalo dia perempuan, dia pasti bakal luar biasa cantik kayak kamu."Citra menganggukan kepala. "Tentu, kita akan menjadi orang tua yang luar biasa," jawab Citra dengan bahagia."Aku bakal nemenin kamu terus. Bahkan ketika nanti tiba saatnya untuk melahirkan, aku bakal selalu berada di samping kamu dengan penuh
"Kamu masih berlanjut ngambeknya?" tanya Panji seraya menghampiri Agnes yang berbaring di sisi kiri ranjang dengan posisi memunggunginya. Agnes diam. Tak sekalipun berniat menjawab pertanyaan dari Panji, sehingga dia tetap bergeming di pembaringannya.Dan Panji yang tahu kalau dirinya tak akan mendapatkan jawaban apapun hanya bisa menghela napas berat. Mau bagaimana lagi, Agnes sedang marah padanya dan kemarahan istrinya itu dipicu karena perdebatan di antara mereka yang terjadi 30 menit yang lalu.Padahal hanya perdebatan receh soal permasalahan yang remeh, tapi imbasnya bisa sampai membuat Agnes tak lagi mau bicara padanya dan bahkan tak sudi tidur berhadapan dengannya. Hanya karena Panji melarang Agnes membeli baju dan perlengkapan bayi sebelum usia kehamilan Agnes memasuki 7 bulan, sedangkan Agnes justru bersikeras ingin membeli semua baju dan perlengkapan bayinya itu sekarang juga tanpa sekalipun peduli kalau usia kandungannya bahkan masih sangat muda."Agnes," panggil Panji ka
Sakti mencondongkan wajahnya ke arah leher Citra lalu kemudian tanpa aba-aba lebih dulu dia pun mendaratkan kecupan dalam di sana, membuat Citra seketika berjengit merinding."Andhika," cicit Citra dengan suara tertahan saat kecupan itu justru perlahan berubah jadi hisapan dab lantas Sakti melibatkan lidahnya untuk membelai lembut leher Citra.Gelenyar aneh pun tiba-tiba menjalar pada setiap sel pqda tubuh Citra, menciptakan sensasi menggelitik di dalam perutnya seolah ada ribuan kupu-kupu berterbangan di dalam sana."Kenapa tegang sekali, sayang? Kamu kayak anak gadis yang baru dijamah saja. Padahal kita udah hampir satu tahun menikah, sudah gak ada lagi sekat di antara kita sampe kita sudah saling tahu lekuk tubuh masing-masing. Bukankah harusnya kamu udah sangat terbiasa dengan ini?" sahut Sakti dengan suara seraknya yang terdengar begitu dalam."Ya tapi jangan tiba-tiba ngisep leher kayak gitu. Aku kaget," tegur Citra masih penuh protes pada suaminya itu."Jadi aku juga perlu izin
Beberapa bulan pun tak terasa sudah berlalu. Perut Citra kian terlihat membuncit dan pada kehamilannya kali ini ia harus merasakan bagaimana kakinya bengkak yang membuatnya sedikit kesulitan untuk berjalan ataupun beraktivitas. Bahkan berdiri pun Citra tak kuat lama-lama."Sini kakinya," ujar Sakti seraya menepuk pahanya, sebagai tanda agar Citra meluruskan kaki ke atas pahanya itu.Tanpa kata, Citra pun menuruti perintah Sakti. Dia berpindah tempat duduk jadi ke samping Sakti, lalu kemudian memutar tubuhnya untuk meluruskan kakinya di atas paha suaminya itu."Kakinya masih pengel dan linu?" tanya Sakti penuh perhatian.Citra menganggukan kepalanya pelan. "Iya, masih terus pegel. Duduk pegel, berdiri lebih pegel lagi. Kaki aku juga jadi bengkak gitu ya, sampe rasanya kalo jalan kaki tuh paha aku saling bergesekan."Sakti menganggukan kepalanya mengerti. Lantas ia pun mengambil minyak zaitun di atas meja untuk kemudian mengoleskannya pada kaki Citra, sambil perlahan memberikan pijatan.
Sore itu, Sakti pulang ke rumah dengan senyuman manis yang tak henti-hentinya tersungging di wajahnya dan senyuman itu kian melebar saat dirinya masuk ke dalam rumah untuk menemukan Citra dan Gina yang sudah menunggu di meja makan dengan beragam masakan enak yang sangat menggugah selera."Papa bawa kuenya?" tanya Citra ketika selesai memeluk Sakti.Sakti mengangguk semangat dan perlahan mengambil posisi duduk di meja makan itu, lalu kemudian menaruh kotak mika berisi kue itu ke atas meja."Tentunya satu hal yang sedari tadi Papa ingat pas kerja cuma beli kue tart, karena hari ini adalah ulang tahun pertamanya putri papa." Dengan senang hati, Sakti pun mulai membuka kotak mika pada kue tart yang dibawanya itu lalu perlahan dia pun mulai memasang satu lilin kecil sebagai simbol ulang tahun pertama untuk Ginata.Lampu dapur dimatikan, membuat suasana sedikit remang-remang lalu kemudian lilin pun dinyalakan sehingga cahaya jingganya berpedar sedikit menerangi keremangan ruang makan itu."
Dengan perasaan yang berkecamuk, Citra menaruh foto usg hitam putih itu di atas pusarq Argantara setelah menamai foto itu sebagai 'Adiknya Arga'. Bukan hanya itu, tapi Citra dan Sakti juga membaw buket bunga mawar jingga yang harumnya semerbak untuk kemudian mereka taruh juga di atas pusara."Kamu bakal punya adik, nak. Kali ini mamah berusaha sekuat tenaga menjaga adik. Mamah gak lagi melakukan pekerjaan berat karena mamah gak mau melakukan kebodohan yang sama seperti yang mamah lakukan ke kamu. Selamat ulang tahun anak laki-lakinya mamah... maaf karena mamah bahkan gak bisa doain kamu semoga panjang umur."Sebutir air mata meleleh membasahi pipi Citra, seiring dengan suaranya yang terdengar tercekat. Dan Sakti yang menjadi suami sigap pun segera merangkul bahu istrinya itu dan memberikan usapan-usapan lembut untuk menenangkannya.Tidak, Sakti tidak mengatakan barang satu patah kata pun untuk menyuruh Citra tak menangis. Sebaliknya, sikap bungkamnya itu karena dia ingin memberikan ru
"Gak kerasa ya waktu ternyata berlalu begitu cepat, lihat... tanpa sadar perut kamu sudah sebesar itu," ucap Sakti disela-sela waktu luang mereka menunggu antrian untuk check up ke dokter spesialis kandungan yang memantau kehamilan Citra selama ini.Dengan lembut, Sakti mengusap perut Citra dengan penuh kehati-hatian. Dia merasa takjub sekaligus merasa ngeri sendiri karena baru pertama kalinya melihat orang hamil dalam jarak se-dekat ini. Sebab, pada kehamilan Tatiana, Sakti tentunya tak pernah berani sedekat ini. Ia bahkan tak sekalipun berniat bersikap kurang ajar untuk menyentuh perut Tatiana sekalipun selama hamil tua, Sakti jadi penanggung jawab perempuan itu. "Apa sakit?" tanya Sakti dengan kekhawatiran besar yang tiba-tiba terlukis di wajahnya. "Aku gak pernah tahu kalau hamil artinya perut kamu bakal sekencang ini," lanjutnya risau.Sementara Citra yang mendapat beberapa pertanyaan itu pun hanya menimpalinya dengan tersenyum hangat, lalu kemudian menggelengkan kepalanya."E
"Kamu terlalu pelan-pelan mijatnya, Adhika," protes Citra seraya mengedikkan bahunya untuk sekadar menunjukan pada Sakti kalau pijatan yang dilakukan pria itu tak terasa sama sekali olehnya."Kamu lagi hamil, sayang... aku gak berani ngasih pijatan yang terlalu kencang. Gimana kalo kamu jadi kesakitan karena aku gak tahu cara mijat yang benar? Udah ya, walaupun gak kerasa, kamu cukup diam dan menikmatinya saja," sahut Sakti menimpali dengan sedikit resah karena dirinya benar-benar sedikit risau sendiri ketika harus memijat Citra ketika kehamilannya mulai besar seperti ini.Entahlah, di mata Sakti, kondisi Citra terlihat begitu rentan dan ringkih.Namun, walaupun berkata demikian, pada akhirnya dengan hati-hati Sakti menggerakan tangannya untuk menambah tenaga pada pijatannya. Dia sedikit memberikan penekanan pada area pundak Citra yang saat ini tengah dipijatnya, agar istrinya itu merasa nyaman."Hamil kali ini ternyata jauh lebih nikmat daripada yang aku bayangkan. Gimana ini, Andhi
Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Aroma kopi tercium sangat harum saat Daniel menuangkan air panas yang baru saja matang dari mesin pemanas, tinggal sendirian di apartemen membuat laki-laki itu sedikit kesepian disaat malam. Setelah mengaduk dan memastikan rasa kopinya sudah sesuai dengan keinginannya, barulah Daniel membawa secangkir kopi panas itu bersamanya."Aku pikir sedikit kafein dimalam hari bisa membantu menenangkan pikiran," gumamnya. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon, seperti sudah menjadi rutinitas malam harinya untuk duduk di balkon sambil menikmati udara malam. Apalagi saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak hal, jadi balkon adalah tempat yang pas baginya untuk merilekskan semuanya.Saat menggser pintu penghubung ke balkon, Daniel langsung disambut dengan angin malam yang cukup kencang malam ini. Saat dia mendongak untuk melihat keadaan langit, benar saja malam ini sedikit mendung. Jadi malam ini tidak ada bintang dan bulan yang akan menemaninya. Daniel pun menaruh secangkir kopi panasnya di atas m
Sakti tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Ia harus lembur mengerjakan beberapa dokumen penting yang harus selesai dan mendapatkan persetujuannya. Di jam segini, Citra pasti tengah berada di kamar sedang menunggunya. “Apa semuanya baik-baik saja seharian ini, mbok?” tanya Sakti kepada asisten rumah tangganya. Ia sudah selesai mandi dan makan malam. Kini, ia tengah membuatkan susu cokelat untuk Citra. Ini adalah aktivitas rutin Sakti setiap malam. Baginya, ini salah satu cara untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak. “Iya, pak,” balas wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Sakti. “Apa Citra mengeluh sakit?” Sakti tahu betul kalau istrinya itu pintar menutupi rasa sakitnya karena tidak ingin membuat dirinya khawatir dan kepikiran ketika bekerja. Maka dari itu Sakti menyuruh asisten rumah tangga di sini untuk memberikan semua informasi dan perkembangan mengenai Citra sekecil apa pun untuknya. “Tidak, pak. Hari ini ibu Citra sibuk
Di sela-sela mendengarkan perkembangan toko kuenya lewat penuturan Kinara, Citra tidak sengaja melihat Daniel yang tampak diam saja sejak kedatangan Kinara tadi. Awalnya Citra ingin meminta maaf karena kedatangan Daniel ke sini sedikit terganggu akibat Citra mementingkan pekerjaan daripada menimpali pria itu yang baru saja datang. Namun, niatnya berubah saat menyadari diamnya Daniel justru karena Kinara. Ia pun mengerling jahil. “Ekhmmm ….” Citra pura-pura terbatuk. Di balik buku laporannya, ia mencolek lengan Daniel yang duduk tidak jauh darinya. Citra mengulum senyum saat mendapati Daniel yang terperangah. Wajah pria itu merah dan salah tingkah yang membuat Citra ingin tertawa dan meledek Daniel karena terang-terangan menatap Kinara dalam waktu yang cukup lama.Sayangnya, Citra tidak ingin melakukan itu, sebab ia tidak mau nantinya baik Daniel dan Kinara sama-sama malu karena hal tersebut. “Sakti lagi di kantor ya?” tanya Daniel berusaha untuk mengalihkan keadaan setelah tertang