"Mau ke mana?" tanya Sakti saat merasakan pergerakan Citra yang menghilang dari sisinya.Setelah membuka matanya, Sakti melirik sayu ke arah Citra yang bangkit berdiri dan terlihat sibuk membetulkan tali pita sutera yang dikenakannya."Aku mau Ginata," jawab Citra. "Ayo kamu juga cepet pake baju, kita jangan lama-lama ninggalin Gina sendirian, apalagi dia sedikit demam karena banyak nangis."Sejenak, Sakti melirik ke arah jam dinding yang baru saja menunjukkan pukul 10 malam, tanda kalau kebersamaan mereka ini hanya berlangsung 15 menit saja dari sejak pertama mereka datang ke kamar ini untuk bersenggama. Sakti menatap jam dinding itu dengan memelas, ia baru saja hendak membujuk Citra agar menghabiskan waktu sebentar lagi saja, ketika akhirnya dia pun harus mengurungkan niatnya karena melihat Citra yang hendak melangkah pergi.Di detik itu juga dengan secepat kilat Sakti beringsut memeluk perut Citra dari belakang."Jangan pergi dulu, Citra. Aku masih mau dalam posisi kayak gini dalam
"Harum," puji Sakti setelah menghidu aroma pipi Ginata yang bertabur bedak itu dengan rakus. Tanpa sekalipun peduli soal bisa saja residu bedak itu ikut terhirup olehnya.Aroma bayi yang khas dari bayi yang baru mandi itu membuat Sakti merasa candu. Aroma minyak telon dan bedak bayi tiba-tiba saja jadi perpaduan aroma yang sangat disukai Sakti. Padahal dulu ia hanya suka aroma kayu dari parfum mahal dari brand luxury yang selalu dia beli, tapi setelah punya Ginata dalam hidupnya dia tak keberatan sekalipun seisi rumah jadi dipenuhi aroma minyak telon dan aroma tubuhnya juga jadi ikut beraroma bayi. Sakti tak bisa berhenti menghujani pipi putrinya itu dengan kecupan membabi-buta, saking gemasnya ia pada sang anak.Sementara Ginata yang mendapatkan perlakuan seperti itu dari Ayahnya justru terlihat tak terganggu sama sekali. Alih-alih menangis kesal, Ginata justru dengan sikap menggemaskan menggeliat terkikik geli. Kedua bola matanya yang sebulat permen itu pun terlihat menyipit saking
"Jangan kesini... ini menjijikan-" racau Agnes yang kemudian terhenti karena ia yang tak lagi kuat menahan gejolak mual yang membuatnya muntah berulang kali, sampai menguras seluruh isi perutnya.Namun, Panji yang malam ini menemaninya, tak sekalipun mengindahkan pengusiran dari Agnes. Tanpa merasa jijik sama sekali, dia begitu telaten memijat tengkuk Agnes dan mengusap punggungnya selagi Agnes memuntahkan isi perutnya.Tak sampai di situ, Panji pun menuntun Agnes keluar dari kamar mandi dan membantu perempuan itu bebaring. Dengan telaten, Panji bahkan begitu penuh perhatian mengoleskan minyak kayu putih pada permukaan perut sampai uluh hati, pada punggung dan juga tengkuk Agnes agar Agnes bisa sedikit rileks.Sementara Agnes tak sekalipun bisa mengeluarkan kata-kata untuk melarang tindakang Panji, dia hanya terbaring lemah di atas kasur, wajahnya pucat dan bibirnya menggambarkan rasa mual yang tak tertahankan. Setelah selesai mengoles minyak aroma terapi itu, Panji pun duduk di sebel
Hati Citra berkecamuk dalam gelombang emosi yang tak terkendali. Di tengah kesibukan Sakti dengan urusan pekerjaannya, Citra merasa kalau dirinya diabaikan. Terlebih setelah kepulangannya dari dinas ke luar negeri bersama Agnes selama dua minggu lamanya, Sakti hanya pulang ketika waktu tidur dan pergi ketika semua orang belum bangun.Dengan sikap Sakti yang seperti itu, membuat Citra dihadapkan pada perasaan cemburu yang sulit diatasi. Kehadiran Agnes, semakin memperumit situasi. Meskipun Sakti sering sekali memberikan penjelasan tentang hubungannya dengan Agnes yang sudah berakhir bertahun-tahun lalu dan dia tak ada urusan lagi dengan perempun itu, namun keraguan dan ketidakpastian tetap mengusik hati Citra.Pagi ini Agnes datang ke rumah Citra. "Selamat pagi, Bu Citra. Saya datang dengan niat mau ngambil barang yang tertinggal di dalam koper pak Sakti, Bu. Sebelumnya pak Sakti sudah memberi izin supaya saya bisa datang mengambilnya sendiri, apa saya boleh masuk?" sapa Agnes yang te
"Kamu gak tahu atau pura-pura gak tahu, Andhika? Jelas-jelas tadi pagi kamu sendiri yang ngizinin Agnes dateng ke sini cuma buat ngambil baju seksi yang gak kamu masukin ke dalam koper kamu," tuduhnya tanpa tedeng aling-aling yang langsung membuat Saktu segera menampiknya."Loh, aku gak pernah tahu kalo ada barang kayak gitu di koperku. Agnes yang bantu packing koper aku sebelum kami pulang, jadi aku gak tahu apa ada barang milik Agnes yang terbawa masuk ke dalam koperku atau enggak. Aku ngomong jujur sayang, sungguh...."Sebutir air mata menetes dari mata Citra, diiringi dengan tetes tetes selanjutnya yang membasahi pipinya. Pada momen itu Citra menatap Sakti dengan tatapan pilu."Aku berharap aku bisa percaya, tapi bagaimana ini Andhika... aku terlalu cemburu dan terlanjur mengira kamu selingkuh sampe rasanya ucapan kamu itu cuma kebohongan."Sakti semakin menatap Citra dengan tatapan tak percaya. Dia mengusap wajahnya kasar dan menghembuskan napas berat. Sakti bahkan sampai tak pu
Melodi dari biola mengalun merdu, mengiringi langkah Agnes yang didampingi ayahnya untuk berjalan ke arah Panji yang menunggunya dengan gugup di hadapan calon suaminya yang tengah menunggunya dengan penuh haru. Begitu bertemu, air mata bahagia sekaligus haru tak lagi bisa dibendung oleh keduanya."Kamu tampak sangat cantik dalam balutan gaun pengantin berwarna putih ini, Agnes," puji Panji serak pada Agnes yang sekarang berdiri hadapannya. Sambil tersenyum bahagia, sejenak Panji menyeka air matanya lalu kemudian melayangkan tatapan teduh dan penuh cinta itu pada Agnes yang sudah lebih dulu tersenyum bahagia ke arahnya.Ayah Agnes yang mendengar kalimat manis dari Panji yang resmi jadi menantunya itu pun ikut tersenyum bahagia sembari terkekeh pelan, sebelum kemudian ia pun mengulurkan tangan Agnes agar segera digenggam oleh Panji."Kalau begitu jaga putriku dengan baik. Sekarang tanggung jawabku terhadapnya sudah ku limpahkan semuanya padamu nak Panji. Seperti ucapanmu, Agnes adalah a
Agnes melangkah gontai menuju kamar tidurnya dan merebahkan tubuhnya dengan sangat hati-hati ke atas tempat tidur, lalu tanpa kata, ia pun kemudian meringkuk di atas tempat tidurnya itu dengan posisi seperti janin.Sejenak, Agnes merogoh isi tas selempangnya. Mengeluarkan amplop putih berisi beberapa lembar foto USG yang sengaja dicetak oleh dokter obgyn, sesuai dengan keinginannya."Waktu ternyata cepet banget berlalu ya. Aku baru sadar kalo ternyata kamu udah tumbuh cukup besar di dalam perutku," gumam Agnes.Ia menatap foto USG itu lekat-lekat, sementara tangan kanannya mengusap perut dengan begitu lembut dan penuh penghayatan. Raut wajahnya pun diliputi perasaan yang tak bisa ia gambarkan dengan jelaz. Entah apa yang sebenarnya dirasakan oleh Agnes, ia hanya merasa kalau saat ini hatinya sedang diaduk-aduk tanpa ada habisnya. Sia merasa sedih, senang, takut dan takjub di waktu yang bersamaan."Begini," gumam Agnes lagi. Ia begitu lembut berusaha berdialog dengan segumpal daging yan
Hari minggu itu, Sakti seperti biasa datang menggendong Ginata untuk menemui Citra di toko kuenya. Dia berharap bisa dengan nyaman menikmati pemandangan indah dimana istri tercintanya itu begitu bahagia ketika melayani pelanggan.Semua bayangan itu sudah melekat indah di pikiran Sakti, tapi sayangnya bayangan indah itu harus hancur ketika ia melihat bagaimana tubuh Citra terhuyung saat berjalan menghampirinya. Senyum hangat yang awalnya menghiasi wajah Sakti, seketika berubah panik saat melihat sang istri jatuh tak sadarkan diri gergeletak di lantas."Sayang!" pekiknya tanpa sadar dan pada detik itu pula dia berjingkat dan mengambil langkah lebar untuk segera menghampiri Citra. Dengan kepanikan luar biasa itu, Sakti memeluk Citra. Sedangkan karyawan toko kuenya itu mengambil alih Ginata ke dalam gendongannya agar Sakti bisa leluasa membopong tubuh Citra dan membawanya pergi ke dalam mobil yang terparkit di luar."Saya saja yang jaga ibu dan adik bayi di belakang pak. Bapak nyetir yan
Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Aroma kopi tercium sangat harum saat Daniel menuangkan air panas yang baru saja matang dari mesin pemanas, tinggal sendirian di apartemen membuat laki-laki itu sedikit kesepian disaat malam. Setelah mengaduk dan memastikan rasa kopinya sudah sesuai dengan keinginannya, barulah Daniel membawa secangkir kopi panas itu bersamanya."Aku pikir sedikit kafein dimalam hari bisa membantu menenangkan pikiran," gumamnya. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon, seperti sudah menjadi rutinitas malam harinya untuk duduk di balkon sambil menikmati udara malam. Apalagi saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak hal, jadi balkon adalah tempat yang pas baginya untuk merilekskan semuanya.Saat menggser pintu penghubung ke balkon, Daniel langsung disambut dengan angin malam yang cukup kencang malam ini. Saat dia mendongak untuk melihat keadaan langit, benar saja malam ini sedikit mendung. Jadi malam ini tidak ada bintang dan bulan yang akan menemaninya. Daniel pun menaruh secangkir kopi panasnya di atas m
Sakti tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Ia harus lembur mengerjakan beberapa dokumen penting yang harus selesai dan mendapatkan persetujuannya. Di jam segini, Citra pasti tengah berada di kamar sedang menunggunya. “Apa semuanya baik-baik saja seharian ini, mbok?” tanya Sakti kepada asisten rumah tangganya. Ia sudah selesai mandi dan makan malam. Kini, ia tengah membuatkan susu cokelat untuk Citra. Ini adalah aktivitas rutin Sakti setiap malam. Baginya, ini salah satu cara untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak. “Iya, pak,” balas wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Sakti. “Apa Citra mengeluh sakit?” Sakti tahu betul kalau istrinya itu pintar menutupi rasa sakitnya karena tidak ingin membuat dirinya khawatir dan kepikiran ketika bekerja. Maka dari itu Sakti menyuruh asisten rumah tangga di sini untuk memberikan semua informasi dan perkembangan mengenai Citra sekecil apa pun untuknya. “Tidak, pak. Hari ini ibu Citra sibuk
Di sela-sela mendengarkan perkembangan toko kuenya lewat penuturan Kinara, Citra tidak sengaja melihat Daniel yang tampak diam saja sejak kedatangan Kinara tadi. Awalnya Citra ingin meminta maaf karena kedatangan Daniel ke sini sedikit terganggu akibat Citra mementingkan pekerjaan daripada menimpali pria itu yang baru saja datang. Namun, niatnya berubah saat menyadari diamnya Daniel justru karena Kinara. Ia pun mengerling jahil. “Ekhmmm ….” Citra pura-pura terbatuk. Di balik buku laporannya, ia mencolek lengan Daniel yang duduk tidak jauh darinya. Citra mengulum senyum saat mendapati Daniel yang terperangah. Wajah pria itu merah dan salah tingkah yang membuat Citra ingin tertawa dan meledek Daniel karena terang-terangan menatap Kinara dalam waktu yang cukup lama.Sayangnya, Citra tidak ingin melakukan itu, sebab ia tidak mau nantinya baik Daniel dan Kinara sama-sama malu karena hal tersebut. “Sakti lagi di kantor ya?” tanya Daniel berusaha untuk mengalihkan keadaan setelah tertang