Malam itu, aku duduk di kursi kamar hotel, jantungku berdebar keras. Apakah aku benar-benar akan melakukan ini? Suara-suara kecil dalam pikiranku terus berdebat. Tapi di satu sisi, ada keberanian yang menguat, membisikkan bahwa aku harus melangkah. Nio berdiri di sudut ruangan, menatapku dengan wajah serius. "Semua sudah diatur, Kak. Mobil akan menjemput kita pukul tiga pagi. Aku sudah mengamankan paspor dan tiketnya. Kita harus bergerak cepat, sebelum Ayah dan Ibu sadar."Aku mengangguk pelan, meski rasa bersalah menyusup di hati. "Terima kasih, Nio. Aku tahu ini sulit, tapi aku tidak bisa hanya diam di sini. Mereka harus tahu bahwa aku tidak menyerah begitu saja.""Aku mengerti, Kak," jawabnya. "Tapi kamu juga harus hati-hati. Kalau sampai Ayah tahu, kita berdua akan kena amukan besar."Aku tersenyum tipis, berusaha menenangkan adikku. "Aku janji, ini bukan tindakan nekat. Aku hanya ingin membantu."***Saat pagi mulai menyergap di langit Amerika, mobil jemputan tiba tepat waktu. D
Suasana langsung berubah tegang setelah Devano mengucapkan kalimat itu. Jantungku serasa berhenti berdetak, tubuhku membeku di kursi. Aiden diserang? Pikiran itu bergema di kepalaku"Apa maksudmu, Devano? Siapa yang menyerangnya?" tanyaku. Pandanganku yang gelap membuat suasana terasa sangat mencekam."Aku tidak tahu detailnya. Aku hanya diberitahu bahwa dia diserang di lokasi persembunyian saksi yang sedang kita lindungi. Mereka bilang keadaannya kritis." Suara Devano terdengar begetar."Di mana dia sekarang?" Aku mencoba berdiri, tetapi Nio menahan lenganku dengan lembut. Aku masih tidak bisa melihat apa-apa, tetapi instingku memaksa untuk segera bergerak."Dia dibawa ke rumah sakit terdekat," jawab Devano. "Tapi kita harus berhati-hati. Mungkin ini bagian dari rencana mereka, maka mungkin saja mereka juga mengincar saksi lain, termasuk kamu.""Aku harus ke sana!" seruku, mengabaikan kekhawatiran Devano. "Aku tidak peduli seberapa berbahayanya. Aiden ada di sana, dan aku harus melih
Suasana di sekitarku terasa semakin hening, hanya bisikan samar itu yang terus bergema di telingaku. "Jangan biarkan semuanya sia-sia." Suara itu terdengar seperti datang dari jarak yang jauh, tetapi entah bagaimana, terasa sangat dekat, seperti langsung menyentuh jiwaku. Aku menggenggam tangan Nio lebih erat, mencoba mencari kekuatan dari kehadirannya. Tapi suara itu tetap ada, menghantui pikiranku. "Siapa itu?" bisikku pada diri sendiri, takut jika Nio atau Devano mendengar dan menganggapku tidak waras.“Dea, kamu baik-baik saja?” Nio bertanya, suaranya penuh kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, tidak ingin membuatnya lebih khawatir. Namun, rasa dingin yang tadi kurasakan semakin nyata, membuat bulu kudukku meremang. Aku mencoba mengabaikannya, memfokuskan pikiran pada Aiden yang sedang berjuang di ruang pemulihan.***Beberapa jam berlalu, tetapi rasanya seperti berabad-abad. Setiap detik terasa menyesakkan, penuh dengan ketidakpastian. Devano terus berbicara dengan orang-ora
Kalimat Devano menggantung di udara, membawa atmosfer yang begitu menyesakkan untukku. Tubuhku terasa menegang, sementara tangan Aiden yang lemah masih tergenggam erat di tanganku."Bagaimana mungkin mereka bisa kabur lagi?" tanyaku dengan nada lirih, hampir seperti berbisik, seolah takut jawaban itu akan membawa berita yang lebih buruk.Devano menghela napas panjang. Dia tampak kelelahan menghadapi semua situasi ini. Pada akhirnya pria itu berkata, "Mereka tidak bertindak sendiri. Ada pihak yang sangat kuat membantu mereka keluar, dan aku yakin jaringan ini jauh lebih besar dari yang kita bayangkan.""Kita sedang berbicara tentang konspirasi besar?" Nio yang sebelumnya diam akhirnya angkat bicara. Adik yang masih dalam masa remaja itu mampu menelaah dan menanyakan apa yang terjadi. Aku bisa merasakan adikku sedang critical thinking, dan aku sangat bangga mendengarnya."Lebih dari itu," tegas Devano. "Mereka sudah merencanakan ini sejak awal. Kaburnya kali ini bukan sekadar untuk mela
Setelah 3 hari berlalu, suasana ruangan pertemuan masih tegang, saat Devano akhirnya menghela napas panjang. “Pak Wijaya,” kata Devano dengan suara rendah tetapi tegas, “Berkat relasi Anda, kita akhirnya berhasil mendapatkan lokasi mereka. Informan yang Anda percayai telah mengidentifikasi persembunyian Sony dan Hendro. Mereka berada di sebuah vila terpencil di wilayah selatan. Saat ini pihak berwenang sedang bergerak untuk menangkap mereka.” Ayah terdengar sedikit lega, meski kekhawatiran masih terpancar masih menyelimuti ruangan ini. “Akhirnya,” gumamnya. “Dea, Ayah berjanji tidak akan membiarkan mereka bebas lagi. Kali ini, kita akan menyelesaikan ini dengan hukum.” Aku menatap Ayah, merasakan ketegasan dalam suaranya. Meski tubuhku masih lemah, hatiku terasa lebih ringan mendengar perkembangan ini. Mungkin, akhirnya ada harapan untuk menutup lembaran kelam ini. Beberapa minggu kemudian, aku duduk di sebuah ruang tunggu di gedung pengadilan. Kedua mataku masih ditutup perban,
Setiap orang di ruangan seperti menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pengacara Sony berdiri dengan percaya diri, menyodorkan dokumen tambahan yang membuat hakim terlihat serius saat membacanya. Bisikan-bisikan kecil dari para penonton sidang mulai memenuhi ruangan.“Yang Mulia,” kata pengacara itu, suaranya tegas namun penuh intrik, “Dokumen ini menunjukkan bahwa Sony dan Hendro hanyalah pion dalam permainan ini. Ada individu yang lebih besar, lebih berkuasa, yang berada di balik kegiatan ini. Orang itu telah mengarahkan semua operasi ilegal yang melibatkan perdagangan hewan langka, hingga ancaman pada saksi utama, Saudari Dea.”Aku merasa tangan Ayah menggenggam erat bahuku, seolah ingin memastikan aku tetap tenang. Namun, pikiranku berputar, mencoba mencerna pernyataan itu. Individu yang lebih besar? Siapa lagi?Hakim mengetukkan palunya pelan, meminta ketenangan di ruang sidang. "Apakah Anda memiliki bukti kuat untuk mendukung klaim ini?" tanyanya dengan suara
Aku menatap Ayah dengan raut penuh pertanyaan, tapi aku tahu dia tak akan memberiku jawaban lebih dari itu. "Istirahatlah, Sayang. Kita akan bicara lagi besok pagi," katanya dengan nada yang lebih lembut, sebelum melangkah keluar dari kamar.Kata-katanya terasa menggantung, menyisakan banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Perkembangan baru? Apa itu berarti ada harapan untuk penglihatanku? Tapi bagaimana dengan kasus ini? Apakah benar aku harus pergi sekarang, meninggalkan semua ini di tengah jalan?Aku menghela napas panjang, berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini adalah keputusan terbaik. Namun, tidur tetap menjadi hal yang mustahil malam itu. Suara di ruang tamu hotel, samar-samar terdengar dari balik pintu, menunjukkan diskusi serius antara Ayah dan seseorang. Aku berusaha menutup telinga, tetapi rasa ingin tahu tetap mengalahkan.***Keesokan harinya, suasana sarapan terasa canggung. Ayah dan Ibu tampak saling membisu, sementara Nio, yang biasanya penuh semangat, memilih
Ruangan operasi dipenuhi oleh suasana yang hening, hanya suara monitor detak jantung yang berdentang lembut. Lampu-lampu terang menyinari meja operasi, membuat setiap sudutnya terlihat steril dan berkilau. Aku berbaring dengan tubuh tertutup kain bedah, hanya menyisakan area wajahku yang terlihat. Meski tak bisa melihat apa-apa, aku merasakan udara dingin dari ventilasi ruangan menyentuh kulitku. “Baik, kita mulai sekarang,” suara dokter terdengar tegas tapi tenang. Beliau mencoba memberikan rasa aman di tengah kegelisahanku. “Mrs.Dea, Anda tidak akan merasakan sakit, tapi kami akan tetap memberikan anastesi lokal untuk kenyamanan.” Aku mengangguk pelan, meskipun jantungku berdegup kencang. Tubuhku terasa kaku di bawah tekanan emosional. Rasanya seperti berada di antara harapan besar dan ketakutan yang sulit diprediksi. “Tarik napas perlahan, Nona Dea,” seorang perawat berkata lembut di telingaku, membantu menenangkan. Aku mencoba mengikuti instruksinya, menarik napas dalam-dalam, l
Aku duduk di salah satu kursi, Oma berada di kursi rodanya sebelah kananku dan Mama Rita ada di depan kami. Kedua wanita itu menceritakan masa lampau tentang kenangan mereka. Bagaimana sejarah keluarganya memiliki perusahaan bertaraf internasional, asal muasal Oma bisa menikah dengan Opa, hingga pernikahan Papa dan Mama mertua. Semua terdengar seperti roller coaster. Namun, semua cerita tersebut memiliki happy ending. "Oma senang sekali bisa menghabiskan waktu dengamu, Dea." Tangan yang sudah keriput itu mengenggam tanganku dengan erat. Aku memberikan senyum terbaikku, karena aku pun merasakan hal yang sama dengan Oma. "Dea juga, Oma. Dea senang sekali bisa menghabiskan waktu bersama Oma dan Mama. Apalagi suasananya sangat tenang, jadi Dea ngerasa bisa lebih dekat dengan Oma dan Mama," ujarku dengan tulus. Rasanya sangat terharu merasakan moment yang membahagiakan seperti ini. Hari ini kondisi Oma bisa dikatakan paling baik dari pada sebelumnya. Jadi beliau bisa mengobrol sangat lam
Buat apa aku keluar? Aku sangat takjub dengan pertanyaannya. Memang sudah sepantasnya ia keluar dari kamarku. Aiden sangat tidak tau sopan-santun. Apa aku perlu menjelaskan semuanya agar dia mengerti."Ini kan kamarku," jawabku yang melesat begitu saja."Ini kamar kita."Alisku tertaut rapat, enggan mendengar kalimat itu. "Kita sudah bercerai, Aiden. Jadi sudah sepantasnya kamu menjaga jarak denganku."Terdengar helaan napas yang panjang dari pria itu. Kuharap tak ada perdebatan panjang di antara aku dengannya. "Kita belum bercerai dan tidak akan bercerai. Jadi ayo tidur sekarang." Ia menarikku ke dalam pelukannya."Aiden lepaskan!" rontaku yang hampir saja terjatuh dari ranjang."Hati-hati, Dea!" kejut pria itu. Ia kemudian menghela napas. "Syukurlah belum sampai jatuh," ujarnya dengan tangan yang menahan punggungku. "Aku lepaskan, tapi kamu yang tenang." Ia mengarahkanku tiduran di ranjang. Kemudian selimut ia tarik menutupi tubuhku. Aku bisa mendengar bunyi klik dari nakas sebela
Guiding Block atau blok pemandu ada di rumah ini? Aku sangat terkejut mendapati hal itu. Bagaimana bisa mereka memasang lantai pemandu untuk tunanetra. Bukan bagaimana bisa, tapi kenapa? Padahal selama ini aku tidak pernah ke sini. Sejak kapan Guiding Block atau blok pemandu ini di pasang?"Hati-hati Dea. Sekarang kita sudah di ruang tamu," ujar Aiden. Aku pun bisa merasakan perbedaan tekstur Guiding Block. Sebelumnya terdiri garis panjang, sekarang polkadot kecil. Ku geser tongkatku ke kanan dan ke kiri. Kemudian maju lagi, dan blok pemandu membelok beberapa langkah. Di sana ada block polkadot lagi. "Ruang keluarga," jelas Aiden. "Sebelah kiri adalah taman, kanan lift ke lantai dua dan ruang makan." Saat aku berbelok kanan dan menemukan garis polkadot, Aiden berkata lagi. "Kiri lift, kanan ruang makan."Kupilih untuk ke lift. "Di sebelah kanan, tombolnya." Kuraba dinging tersebut sesuai intruksi Aiden. ketika sudah menekan bel tersebut, terdengar suara. "Pintu terbuka." Kami ber
"Oma!" pekik Aiden mendadak. Ia segera menggeretku kembali mendekati Oma, kemudian berkata, "Sebentar, biar aku panggil dokter dulu. Kamu temani Oma dulu, De." Pria itu segera bergegas, cukup lama aku harus memproses apa yang sedang terjadi. Namun, kepalaku terasa kehantam sesuatu dan aku pun bisa mendengar Oma sedang berdesis seakan memanggilku. Rasa bersalahku langsung membuncah mendapati kondisi yang terjadi saat ini."Dea di sini, Oma. Maaf baru menemui Oma sekarang," ujarku tak berdaya. Aku tidak tau bagaimana ekspresinya. Kuharap ia bisa memaafkanku."Ya tuhan, Bu!" histeris Mama Mertua yang baru saja masuk. "Akhirnya Ibu sadar juga.""Biar kami periksa dulu, Bapak dan Ibu silakan keluar terlebih dahulu," sela seseorang yang kutebak itu adalah dokter. Aku ingin bergerak menjauh, tetapi sulit. Akhirnya Aiden menuntunku dengan hati-hati keluar dari ruang inap Oma."Alhamdulillah Ibu sudah sadar," isak Mama Mertuaku saat Pak Gito baru sampai. "Alhamdulillah. Mungkin ini berkah, ka
6 bulan? Itu berarti satu tahun kan? Kami sudah bercerai satu tahun. Meskipun pengadilan tak menyetujuinya, tetapi kurasa kami bisa dikatakan cerai. Tak ada hubungan apapun antara aku dengan Aiden. Semua sudah berakhir."Aku tidak bisa melihatnya, Yah. Aku tak ingin melihatnya. Dan jangan meminta apalagi memaksaku melakukan sesuatu. Aku sangat lelah." Gerutuanku yang selama ini kusembunyikan melesat begitu saja. Aku bisa merasakan kesedihan Ayahku. "Dea, aku mohon beri aku satu kesempatan terakhir. Aku ingin menebus semua bantuanmu." Jantungku berpacu kencang mendengar suara tersebut. "Tolong, De. Aku benar-benar meminta tolong padamu. Beri aku kesempatan." Aiden mengatakannya dengan serak. Aku bingung harus berbuat apa."Aku mencintaimu, De. Maafkan aku," lanjutnya lirih. Hatiku terasa sakit mendengar permohonannya yang terasa nylekit tersebut. Tanpa berlama-lama lagi, kupilih untuk kembali ke kamar. Nahasnya ketika akan menutup pintu, mendadak Ayah menyela. "Oma jatuh sakit, Sayan
"Di mana ayahku?" tanyaku pada orang yang mendadak mengajakku pulang."Sudah pulang. Pak Wijaya minta aku menjemputmu." Suara bariton itu memekik telingaku yang enggan mendengarnya. Segera kurogoh ponselku di dalam saku. Tongkat yang ebelumnya kugenggam, kini berganti terhimpit lengan. Ponsel yang sudah dimodif sedemikian rupa untuk tuna netra sepertiku, sangat membantu disabilitas sepertiku di dunia yang di kelilingi teknologi canggih ini. Setiap kali kusentuh bagian layar akan keluar suara yang menunjukkan aplikasi dan nama kontak. Karena nomor ayah ada di urutan pertama jadi memudahkanku mengaksesnya. Tak butuh waktu lama, teleponku langsung mendapat jawaban."Hallo, Nak. Ayah yang menyuruh Aiden menjemputmu. Kamu pulanglah dengannya."Belum sempat aku berkata apapun, sambungan telepon pun terputus. Hanya helaan napas yang bisa kulakukan. Aiden menggandeng tanganku menuju mobilnya. Selama di perjalanan dia berusaha menjalin komunikasi denganku, tetapi aku enggan menyahutinya."Ba
Aku terdiam mendengar permintaan Aiden, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Satu kesempatan?" gumamku, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan hati yang bergejolak. “Dea.” Suaranya semakin mendekat, dan aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya saat dia duduk lebih dekat. Tangannya menyentuh lembut jemariku yang masih menggenggam tongkat. Sentuhannya membawa campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Entah kenapa ada kemarahan, kesedihan, dan kerinduan yang tak kuinginkan.“Maafkan aku, Dea,” lanjutnya, nadanya penuh penyesalan. Aku menggeleng pelan, meskipun aku tahu dia tak bisa melihat gerakanku. “Pergi dari sini. Aku tidak mau bertemu denganmu lagi.” Kata-kataku menghantam udara seperti bilah tajam. Aku merasakan genggamannya mengendur sejenak, seolah-olah kata-kataku telah memukulnya tepat di tempat yang paling lemah. Aku langsung berdiri, tangan mantan suamiku sempat menahanku. Namun, kukibaskan sek
Aku merenung sejenak menerka siapa yang berniat menemuiku. Terdengar Ayah membukakan pintu selebar mungkin. "Ayo, Nak."Kulontarkan tongkatku untuk menuntun langkah kakiku. Semenjak tidak bisa melihat, kupaksakan diriku untuk tetap mandiri. Setelah sekian bulan berlalu, akhirnya Mama dan Ayah membiarkan apapun yang kulakukan. Pada awalnya, mereka akan memaksa untuk menuntunku. Syukurnya lambat laun, Ayah dan Mama hanya membiarkanku berjalan sendiri, tetapi aku tau jika mereka mengawasiku dari kejauhan untuk memastikan tidak terjadi masalah serius.Suara ketukan sandal dan tongkat menggema ke penjuru ruangan. Aku masih menerka-nerka siapa yang datang ke rumah, tapi sampai sekarang aku tidak mendengar suara orang lain di ruangan ini. Bahkan ketika aku sudah duduk cukup lama. Hanya genggangaman Ayah yang semakin mengendur dan perlahan menjauh."Ayah," panggilku pelan karena ku dengar beliau berpindah tempat. Perlahan aku bisa merasakan seseorang bernapas di sampingku. Kutolehkan sedikit
"Dia sedang sibuk mengurus perusahaannya. Ternyata sahabat dia sendiri yang menggelapkan uang di cabang perusahaannya, penipuan investor dan banyak lagi. Banyak orang yang terlibat dalam kejahatan itu. Dan sekarang keluarga Gito sedang kalap menyelamatkan semua usaha mereka dan warisan," jelas Ayah yang membuatku sedikit lega. Kata-kata Ayah menggema dalam pikiranku, menyisakan kekosongan yang sulit dijelaskan. Namun, entah kenapa, ada sedikit kelegaan yang mengalir di dadaku. Setidaknya Aiden sedang sibuk dengan dunianya sendiri, mungkin itu alasan mengapa dia tak mencariku atau mencoba menghubungiku."Apa itu Elvaro?" tanyaku yang teringat dengan tingkah aneh pria itu. Nama itu muncul begitu saja di benakku, seperti serpihan teka-teki yang terlupakan. Ditambah Dalbo dan Titik sempat melaporkan beberapa kecurigaan mereka saat aku ada di kantor suamiku. Ah... salah, tapi mantan suami.Ayah mendengkus, seakan jengah dengan informasi yang ia simpan. "Iya. Dia juga bekerja sama dengan We