"Mbak bisa ceritain Weni kenapa selama ini?" tanyaku pelan.
"Kamu pikir saja sendiri. Apa yang kamu lakukan kemarin sampai hari ini, pasti kamu akan menyesal."
Mbak Linda meninggalkanku sendirian di ruang dapur. Apakah benar yang Mbak Linda katakan? Selama ini Weni menderita?
Ah, tidak mungkin. Weni itu di rumah hanya menjaga Vino, juga Rea—anak pertamaku yang sekarang kelas tiga SD.
Mama yang sering melakukan pekerjaan rumah. Aku menggelengkan kepala, beranjak dari duduk. Tidak peduli lagi, Weni tidak pantas mendapatkan belas kasihanku.
***
"Mama kok belum pulang-pulang, Pa? Udah tiga hari, Rea juga tiga hari gak sekolah. Rea gak mau sekolah, kalau Mama belum pulang."
Hampir setiap hari Rea merengek. Weni benar-benar menyebalkan, dia yang menanamkan manjanya Rea ini. Membuat susah saja.
"Rea makan, habis itu berangkat sekolah." Aku hanya mengatakan itu, kembali fokus menatap layar ponsel.
"Mama mana, Pa?"
Pertanyaan itu lagi. Tiga hari setelah Weni pergi, semuanya kacau. Rea sering menangis, Vino ikutan juga. Membuat pusing.
"Mama kamu udah meninggal. Nanti, Papa cari yang baru. Rea makan dulu."
Aku melirik Mama, menghela napas pelan. Tidak nafsu makan lagi aku kalau begini. Rumah kotor, mainan di mana-mana.
Akhirnya, setelah dibujuk, Rea mau makan juga. Ini sudah pukul tujuh pagi, Rea terlambat sekolah.
"Mama minta uang, Ndre. Buat beli keperluan rumah."
Aku mengernyit. Baru juga satu minggu lalu memberi Mama uang. Itu uang gajiku, banyak sekali. Masa sudah habis saja, sih?
"Andre gak megang uang, Ma. Kan, sebagian besar gaji Andre, Mama yang pegang. Sebagian lagi Weni. Itu pun, Weni megangnya sedikit. Mama yang paling banyak."
"Perhitungan banget, sih, Ndre. Ini buat rumah juga, lho. Kalau gak, kamu bayar pembantu aja. Biar ada yang bersih-bersih."
"Bukannya Mama selalu bersih-bersih?" Aku agak aneh dengan perkataan Mama.
Selama ini Mama yang selalu bersih-bersih, lalu kenapa sekarang Mama baru mengeluh?
"Terus, Mama mau ngurusin anak kamu, ngurusin rumah juga gitu? Memangnya Mama pembantu di sini?"
Aku terdiam. Benar juga kata Mama. Dulu, Weni pernah meminta bayar pembantu saja, tapi uangnya sayang. Lebih baik ditabung. Lagi pula, Weni bisa bersih-bersih rumah.
Sekarang? Kasian Mama kalau kerepotan di rumah. Aku mengangguk, menyetujui permintaan Mama.
"Aku berangkat kerja dulu, Ma. Ayo, Rea."
Sebelum berangkat, aku sempat menatap Vino. Mencium keningnya. Ah, aku jadi merindukan Weni.
Baru ditinggal tiga hari saja, semuanya kacau. Kemeja untuk ke kantor kusut semua. Celana apalagi.
Biasanya, Weni yang memakaikan dasi. Sekarang? Bentuknya kacau kalau aku yang memakai sendiri.
Aku sepertinya tidak bisa apa-apa tanpa Weni.
"Mau apa kamu datang kesini?"
Setelah mengantar Rea, aku sempat datang ke rumah Mbak Linda dulu. Hari ini, aku tidak ingin ke kantor. Pikiranku masih penuh soal Weni.
"Sabar, Sayang. Jangan marah-marah terus. Gak baik."
Kak Anton—Suami Mbak Linda yang sedang memakai sepatu menegur Mbakku. Rumah mereka memang tidak besar, tapi penuh dengan tanaman. Sejuk.
Aku menyalimi Kak Anton, kemudian Mbak Linda—yang tampak jutek sekali membalas uluran tanganku.
"Aku ngangkat kue dulu, Mas."
Mbak Linda masuk ke dalam rumah. Aku menghela napas pelan, menyenderkan punggung ke sandaran kursi.
"Gimana rasanya ditinggal istri selamanya, Ndre?"
Mendengar pertanyaan itu, aku langsung menoleh. Menatap Kak Anton.
"Pusing, Kak."
Kak Anton langsung tertawa. Dia menepuk pundakku.
"Kamu tahu, beberapa hari sebelum Weni meninggal, istri kamu sering banget datang kesini. Curhat sama Linda."
"Serius, Kak? Mereka ngomongin apa?"
"Gak tau kalau ngomongin apa. Tapi istri kamu sering banget nangis. Kakak gak tau permasalahannya apa, tapi kamu bisa cerita ke Kakak."
Aku menerawang sejenak. Tidak ada kesalahan yang aku lakukan sepertinya. Tapi kenapa dengan Weni?
Entahlah, Weni memang berubah sekali. Dia bukan Weni yang aku kenal.
"Gak ada kesalahan apa-apa, Kak. Aku rasa, Weni hanya pura-pura untuk dapetin belas kasihannya Mbak Linda. Sampai Mbak Linda nampar aku kemarin."
"Serius kamu bilang begitu?" tanya Kak Anton seolah tidak percaya dengan apa yang aku katakan.
Memang benar. Weni itu membesar-besarkan masalah saja. Jangan-jangan, dia ingin mengambil hati Mbak Linda.
Dasar menyebalkan. Sudah tidak ada saja, dia semakin menyebalkan.
"Tapi, Kakak dengar kemarin, bukan Weni yang punya masalah sama kamu. Tapi Mama."
Ada apa lagi dengan Mama? Kenapa semua orang seolah menyalahkan Mama?
"Mama gak punya masalah sama Weni, Kak. Yang punya masalah itu, si Weni."
"Hati kamu udah mati kayaknya, Ndre."
Kami menoleh ke Mbak Linda yang membawa dua gelas cangkir. Waktu meletakkan minumanku, wajah Mbak Linda judes sekali.
"Kalau nurutin kemauan, Mbak bakalan nampar kamu lagi," kata Mbak Linda ketus.
"Sayang." Kak Anton menarik tangan Mbak Linda, menggelengkan kepala.
"Anak keras kepala. Gimana selama tiga hari terakhir? Rumah kacau? Berantakan semua? Anak-anak kamu gimana? Nangis terus?"
Aku terdiam. Kenapa semua yang Mbak Linda sebutkan terjadi? Padahal, aku tidak menceritakan keadaan rumah ke siapa pun.
Bagaimana caranya Mbak Linda bisa tahu?
"Kamu dengar, ya. Kalau itu semua terjadi, berarti Weni punya peran penting di rumah kamu. Bukan hanya Mama."
Benarkah? Aku menggelengkan kepala. Tidak percaya dengan perkataan Mbak Linda.
"Terserah kamu. Sana, pulang! Kesini malah buat emosi. Gak ada gunanya kamu curhat sama Kak Anton, kamu tadi. Percuma!"
Mbak Linda melemparku dengan tutup cangkir.
Entah kenapa, Mbak Linda malah memihak pada Weni. Ini benar-benar aneh.
Aku masuk ke dalam mobil. Rencananya hari ini, aku mau jalan-jalan saja. Menenangkan pikiran.
Saat sampai di dekat jembatan, aku berhenti. Mataku menyipit, ketika melihat seorang wanita yang aku kenali. Weni?
Benarkah dia Weni? Tapi bukannya Weni sudah meninggal? Dan jelas-jelas, aku menguburkannya sendiri.
Ah, pikirkan itu nanti. Bergegas aku turun dari mobil. Mendekati wanita yang memakai hijab itu. Beberapa detik, aku menangkap tangannya.
Mata kami saling bertemu beberapa detik. Ya, dia istriku. Dia Weni. Aku tidak salah, apalagi berhalusinasi. Weni belum meninggal, dia masih hidup. Ada denyutan nyeri di dadaku. Melihat wajah pucat itu, semakin pucat melihatku.
Ada luka di sana. Ada rahasia yang terpendam. Dia berusaha melepaskan genggaman tanganku.
"LEPAS! LEPASKAN AKU!" Dia memberontak. Berteriak kalap.
Aku tersentak. Mata Weni berkaca-kaca. Dia masih berteriak histeris. Memukul-mukul ke depan dengan tangannya yang bebas.
Namun, ada banyak pertanyaan di kepalaku. Siapa yang aku kuburkan kemarin? Lalu kenapa sekarang Weni seperti ini? Ada apa denganmu, Wen?
***
Jangan lupa like dan komen, yaa. Maaf, ya, agak terlambat. Rencananya pagi habis sahur. Eh, malah ada urusan. Yang belum subscribe, langsung subscribe, yaa.
"Weni? Ini kamu, kan, Sayang? Ini kamu?"Dia tetap mengibaskan tangan. "Tolong, lepasin aku."Terdengar bunyi dentuman di belakang. Aku menoleh, tidak sengaja melepaskan pegangan dari tangan Weni.Ah, mobilku barusan dilempar seseorang. Aku kembali menoleh. Weni sudah lari, percuma mengerjarnya.Kemana dia sekarang? Aku mengusap wajah, menatap lurus ke depan. Ada apa dengan Weni?***Aku masuk ke dalam rumah. Barusan, aku ke bengkel, memperbaiki mobil. Yang ada di pikiranku sekarang adalah Weni. Kalau itu bukan jenazah Weni lalu siapa? Dan kalau Weni masih hidup, kenapa dia menghindar dariku?Di depan ramai sekali. Aku malas keluar, lebih enak di dalam. Bersama Vino."Kamu tahu perhiasan Weni ditaruh dimana, Ndre?"Mendengar itu, aku langsung menoleh ke arah pintu. Mama barusan bertanya, sambil me
"Weni, aku mohon. Pulang, demi Vino."Aku mengabaikan Bang Wira yang sejak tadi membentak, menyuruh pulang. Dia tidak mau aku di sini. Biarlah, aku akan memperjuangkan pernikahan kami.Weni memalingkan wajah. Dia sudah cukup tenang, meskipun masih terlihat terluka. Ah, Weni apa yang terjadi?"Sayang, aku akan berubah demi kamu. Tapi pulang, ya. Jangan kayak gini.""Kenapa aku harus pulang, Mas?"Ah, akhirnya Weni merespon perkataanku. Meskipun pelan sekali, tetapi ini perekembangan yang hebat."Demi Vino, Sayang. Ayo, pulang."Mata Weni kembali berkaca-kaca. Aku harap, dia akan pulang, ketika mendengarku menyebut Vino. Kami memang sejak dulu menantikan anak laki-laki."Aku janji akan lebih perhatian sama kamu. Aku bakalan berubah demi kamu, Wen."Sungguh, aku berharap sekali Weni mau pulang. "Mas janji, kalau Mas gak berubah, kamu b
"Kamu yang gila, Andre!"Eh? Aku menoleh ke belakang. Mataku melebar, ketika melihat Bang Wira berdiri di sana. Ada Mama dan Papa Weni juga.Bang Wira langsung berjalan ke arah kami. Dia langsung menarik tangan Weni pelan, memeluknya.Weni masih terisak, jilbabnya acak-acakan. Aku menatap tanganku yang tadi menamparnya. Ya Allah, kenapa aku menampar istriku sendiri?"Wen, ma—maaf.""Gak ada gunanya!" Bang Wira menghardikku."Berikan bayi Weni."Papa mertuaku ikut maju. Aku mengernyit, kemudian menggelengkan kepala. Ini anakku, masa mau diambil."Anak saya menderita di sini. Sepuluh tahun saya diam saja, tapi tidak kali ini!" Papa berteriak cukup kencang.Aku menelan ludah, Bang Wira juga menatap seperti ingin memangsa. Benar-benar menakutkan."Ma, video tadi."Sebuah video diputar. Aku melotot, itu
"Kokponselnya dijatuhin? Kamu kenapa?" tanya Kak Anto sambil memungut ponselku.Aku mengusap wajah, masih belum percaya dengan perkataan Mama barusan. Surat dari pengadilan agama? Kenapa secepat itu?Apakah sebelum masalah besar ini, Weni mendaftarkan perceraian kami? Aku menggelengkan kepala. Tidak mungkin Weni yang melakukannya.Lalu siapa?"Ndre?""Surat dari pengadilan agama di rumah, Kak. Hancur sudah rumah tanggaku." Aku menjambak rambut. Ingin marah, tapi pada siapa? Tidak mungkin aku marah-marah di kantor.Kak Anton diam sejenak. Terdengar helaan napasnya. "Masih bisa, Ndre. Kamu masih bisa mempertahankan rumah tangga kamu."Ya, tapi itu kecil sekali kemungkinannya. Aku berdiri, memakai jas berwarna hitam."Eh? Kamu mau kemana? Kerjaan belum beres, Ndre. Kalau kena marah sama bos gimana?"Ah, aku tidak peduli dengan pekerjaan sekarang. Pikiranku tertuju pada rumah tangga,
"Mamagak bisa pulang, Sayang."Aku mendongak, menggigit bibir. Tidak bisa melihat mereka. Apakah Rea akan menjadi korban kegagalan pernikahan kami?"Pulang sama Rea, Mama. Pulang, sama Rea." Suara Rea bertambah besar, dia sepertinya akan mengambuk sebentar lagi."Ayo kita pulang, Mama. Ayo, pulang." Rea melepaskan pelukan, dia menggenggam tangan Weni, menariknya cukup kuat."Rea, Sayang. Mama lagi gak bisa pulang sama kita. Mama lagi ada urusan. Nanti, kalau urusan Mama udah selesai, Mama pasti pulang, Sayang." Aku berlutut di hadapan Rea, memegang pundaknya.Anak pertamaku itu kembali terisak. Dia menatap Weni. "Tapi Mama janji pulang, ya. Mama harus pulang."Weni tidak menggeleng, juga tidak mengangguk. Dia memalingkan wajah, tidak mau menatap Rea. Aku menutup mata, masih memeluk Rea erat-erat."Rea, Om udah dapat kupu-kupunya, ayo."Kak Anton yan
"Tergantung, tapi kayaknya gak ada harapan, deh."Aku terdiam mendengar perkataan Mbak Linda. Nadanya terdengar menakut-nakuti. Ah, aku malah tambah takut."Pa, laper."Kami berdua menoleh. Rea berjalan mendekatiku di belakangnya ada Kak Anton."Belum kamu kasih makan? Gimana, sih? Jadi Papa kok gak ada benar-benarnya. Ayo, Sayang. Kita makan di dalam."Mbak Linda menggandeng Rea. Sedangkan Kak Anton duduk di depanku.Aku menyenderkan punggung. Kak Anton dan Mbak Linda memang belum punya anak. Mereka sejak dulu menginginkan seorang anak.Namun, kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja. Tidak sepertiku. Punya dua orang anak, tapi kacau begini."Kakak pernah cek
"Kok bisa, sih, Ma?Aduh, mana kerjaan Andre belum selesai.""Ya, mana Mama tau, sampai sekarang belum pulang. Mama tadi sibuk juga, kamu jangan nyalahin Mama, dong."Aku memijat kening. "Siapa yang nyalahin Mama? Andre gak pernah ada niat buat nyalahin Mama.""Halah, kamu itu nadanya nyalahin Mama tadi. Udah kena racunnya Weni kayaknya kamu."Cukup. Aku mengembuskan napas pelan. Merasa lelah dengan sikap Mama yang sedikit menyebalkan."Mama tanyain ke guru Rea atau ke teman-temannya. Andre selesaiin pekerjaan dulu."Tanpa kalimat penutup, aku mematikan telepon. Jantungku sejak tadi berdegup kencang, aku takut kalau Rea kenapa-napa.Ah, ini salahku juga. Kenapa aku tidak terlalu memperhatikan Rea kemarin.&n
"Ngapain kamu di sini?"Eh? Aku menoleh ke belakang, tersenyum kikuk, ketika melihat Bang Wira. Dia menatapku galak, berkacak pinggang. "Boleh aku ketemu sama Weni, Bang? Lagi pula, Rea ada di dalam. Aku mau ketemu sama anakku."Mendengar perkataanku barusan, Bang Wira tertawa. Dia tampak sekali sedang menyindir. Pertanyaanku tadi sama sekali tidak dijawab. Aku sebenarnya sudah tahu jawabannya, tidak akan pernah bisa bertemu lagi dengan Weni. Hanya saja, apa salahnya mencoba. Iya, 'kan?Bang Wira melirikku sekilas, dia kembali melangkah. "Ada baiknya, Rea sama Weni. Kamu tidak akan bisa mendidik Rea dengan baik. Gak terbayang nasib Rea nanti, kalau tinggal sama kamu dan Mama tersayang kamu itu."Mendengar itu, aku terdiam. Memang benar, aku belum bisa jadi Papa yang baik untuk Rea, tapi aku akan berusaha. Masa semuanya diambil dariku. "Gak bisa gitu, dong, Bang. Aku punya hak untuk Rea. Kalau Weni ambil bayiku, kenapa aku gak boleh ambil Rea? Itu gak adil." "Oh, ya? Lebih baik ka
"Maafkan Andre. Selama ini, Andre menghindar dari Mama. Andre salah, Ma. Maafkan Andre."Dulu, aku benar-benar menyayangi Mama. Menjaga pola makannya, semua aku jaga.Karena ada amanat dari Papa, tapi semenjak Mama memanfaatkan semuanya dariku, aku tidak lagi percaya pada Mama.Ah, apakah sekarang waktunya penyesalan? Atau saatnya memperbaiki semuanya?Aku mencium tangan Mama berkali-kali. Sedangkan Weni mengusap punggungku, berusaha menenangkan."Jangan teriak-teriak, Ndre." Mbak Linda menegurkuAstaga. Aku menutup mulut. Menatap Mama yang tampak payah. Sepertinya, rasa sakit itu terasa sekali."Mimpi apa Mama tadi malam, kamu bisa adadi sini hari ini, Ndre."Kami semua menoleh ke Mama. Wajah Mama terlihat tirus, sangat berbeda dari empat tahun yang lalu.Ini kegagalanku selanjutnya. Setelah Weni dan menegur Mama dulu. Ini juga yang menyakitkan bagiku."Semua karena Mbak Linda, Ma." Pandanganku juga beralih ke Weni. "Dan istri Andre, Weni.""Iya, Ndre. Mama tahu. Mama menyesal sudah
"Mas, ayo." Aku mengangguk, mengambil alih koper yang dibawa Weni. Kemudian mengunci pintu rumah. "Kebiasaan, deh. Aku mau bawa kopernya gak boleh.""Gak boleh, dong. Nanti kamu kecapekan.""Udah kayak pengantin baru aja, nih."Eh? Kami berdua kompak menoleh ke depan. Mbak Linda melipat tangannya di depan dada, tersenyum. "Mbak. Apa kabar?" Weni langsung menyalami Mbak Linda. Kami memang jarang bertemu dengan Mbak Linda dan Kak Anton. Ada banyak alasannya, salah satunya adalah pekerjaan aku dan Kak Anton. Rencananya, aku dan Weni akan liburan sekarang. Rea sudah di dalam mobil. Menunggu kami berangkat saja. "Eh, mana Rea cantik?" tanya Mbak Linda sambil menoleh ke mobil. "Di dalam mobil sama Putra, Mbak. Mana Kak Anton?" tanyaku sambil merangkul pinggang Weni. Putra adalah bayiku dulu. Sekarang, dia sudah empat tahun. Nah, selama empat tahun terakhir, aku memutuskan pindah ke rumah yang lebih luas. Dua tahun aku ditugaskan ke luar kota, mengajak Rea dan Putra. Sekarang, sud
"Sstt...."Aku menoleh ke Kak Anton yang baru saja memberikan kode. Dia menggelengkan kepala. "Kamu mau Rea keluar dari tempat ini dengan selamat, kan?" bisiknya. "Iyalah. Bisa dibawain pemukul aku kalau Rea gak keluar dengan selamat dari tempat ini."Pastinya. Bang Wira tidak akan terima, kalau Rea keluar tidak utuh dari tempat ini. "Maka nya, diam."Kami masih diam di tempat. Bersembunyi. Aku mengikuti perkataan Kak Anton. Benar katanya, aku tidak mungkin membiarkan anakku dalam bahaya. Entah apa yang akan dilakukan oleh Ayna. Kenapa dia sampai menculik Rea?"Kita mulai penyergapan." Kak Anton memberikan penutup mulut, membuatku mengernyit. Untuk apa?"Cepetan ambil." Kak Anton menatapku gemas. "Buat apa, Kak?""Kamu mau ikutan diculik kayak Rea? Lihat itu, banyak orang yang menjaga Rea. Bukan hanya wanita itu."Buru-buru aku mengambil penutup wajah yang diberikan oleh Kak Anton, kemudian memakainya. "Udah siap belum?""Udah.""Ayo, kita serbu sekarang."Aku dan Kak Anton ber
"Hah?! Gila kali, ya. Uang segitu banyak dari mana?" Tidak bisakah orang ini berpikir panjang? Kenapa dia malah mau memelorotiku. "Ini siapa, sih? Kenapa ngancam-ngancam?" tanyaku kesal. "Selain tidak pintar, kamu juga lambat berpikir, ya."Mendengar itu, wajahku memerah. Orang ini, membuatku marah saja. Dasar menyebalkan. "Anak kamu ada di tangan saya. Saya tunggu satu kali dua puluh empat jam. Atau anak ini, tidak akan pernah selamat."Aku mengembuskan napas pelan. Diam beberapa saat. Baiklah, aku akan menghubungi Kak Anton. Bertanya bagaimana baiknya. Baru saja menyalakan ponsel, Kak Anton sudah menghubungi duluan. Aku menggeser tombol berwarna hijau. "Halo, Ndre. Kamu dimana? Udah ketemu belum sama Rea?""Belum, Kak, tapi—""Astaga, kemana anak itu. Kenapa gak ketemu juga?""Ada yang nelepon Andre, Kak. Ada suara Rea juga, tapi dia minta tembusan lima ratus juta."Kak Anton diam sejenak di sana. "Posisi dimana, Ndre? Mbak sama Kakak kesana sekarang.""Masih di depan rumah,
"Yaudah, Mbak matiin teleponnya. Kamu pikirin baik-baik lagi, Ndre. Jangan sampai menyesal."Aku memalingkan wajah, kemudian kembali fokus menyetir. "Kenapa kamu sekarang jadi tidak mau membela Mama, Mas?""Pertanyaan apa itu, Wen?" tanyaku pelan. "Udah keliatan banget, Mas. Kamu berusaha menghindar dari Mama."Mendengar pertanyaan itu, aku tertawa. "Aku cuma gak mau ribut samakamu lagi. Hanya gara-gara Mama.""Tapi gak kayak gitu juga, Mas. Itu namanya kamu durhaka sama Mama. Itu gak baik.""Wen, udahlah. Jangan bersikap baik lagi sama Mama. Kamu udah disakitin, masih aja bela Mama.""Mas, selama itu kewajiban Weni sebagai istri buat ngingatin kamu, apa salahnya? Aku memang mau keadilan, tapi gak gini caranya."Aku menghentikan laju mobil di pinggir jalan, menatap Weni lembut."Mulai sekarang, kamu tenang aja. Aku bakalan selalu ada. Kehidupan kita bakalan tanpa Mama atau orang lain."***"Selamat datang di rumah kita yang baru." Aku membukakan pintu mobil untuk Weni. "Makasih, Ma
"Kamu lebih percaya sama rekaman pembohong itu, Ndre? Kamu gak percaya sama aku?"Mendengar itu, aku tertawa. Siapa yang mau percaya padanya, kalau dia saja pembohong?Ah, aku paling tidak suka dengab orang pembohong. "Kamu mau memilikiku, Ay?!" tanya pelan, tapi tegas."Ndre." Dia memasang wajah memohon. "Gak capek dramanya, Ay? Gak puas kamu mau hancurin rumah tanggaku? Belum puas kamu, hah?!" Wajahku memerah, sejak tadi menahan marah. Weni memegang tanganku. Saat aku menoleh, dia menggelengkan kepala. "Kamu tidak akan mengotori tangan kamu sendiri, kan, Mas?" biskk Weni. Ah, benar juga. Aku tidak akan pernah mengotori tanganku sendiri. Baiklah. Jaga sikap. "Kamu tahu, Ay. Orang yang mengganggu hidupku tidak akan pernah tenang. Walaupun Mama yang mengusuli itu, tapi kamu berperan penting di sini.""Lho, kok cuma aku? Harusnya Mama kamu juga ditangkap. Aku gak mau masuk penjara sendiri, Ndre."Aku mengabaikan perkataan Ayna. Dia harus tahu, kalau aku marah bagaimana. "Sini." A
"Ngapain kamu di sini?" tanyaku sambil menatap Ayna galak. Tanpa rasa bersalah, wanita itu mengangkat bahu. Dia langsung duduk di sebelahku, tidak peduli dengan Weni yang tampak terkejut. Aku menghela napas pelan, kalau bisa, wanita ini pergi dari hadapanku sekarang. "Eh, ini siapa? Pembantu barunya Andre, ya?" "Ayna! Bisa jaga ucapan kamu gak?!" Aku menyergahnya. "Apaan, sih? Andre, kamu jangan buat kesal, ya. Nyebelin banget, deh." Kenapa, sih, dengan Ayna? Padahal, hampir beberapa hari ini dia tidak muncul di hadapanku. Kenapa hari ini dia muncul? Mengganggu acaraku dengan Weni lagi. "Siapa dia, Mas?" tanya Weni, dia berbisik ke aku. "Orang gila. Jangan ditanggapi, Wen. Dia cuma mau cari perhatian." Aku menjawab pertanyaan Weni dengan berbisik juga. Semoga Weni bisa mengerti siapa Ayna sebenarnya. Aku melirik Weni, dia mengangguk-anggukkan kepala. "Mbak sebenarnya siapanya Andre?"Eh? Weni malah bertanya seperti itu. Tidak ada embel-embel Mas-nya lagi. Kenapa dia malah me
"Hah? Serius, Mbak?" tanyaku sedikit terkejut. "Masa Mbak bercanda. Ayo cepetan, putar balik."Aku mengangguk, berputar balik. Sepanjang perjalanan, aku sering sekali melirik Weni yang sibuk dengan bayi kami. Sebenarnya, aku takut kalau Weni tidak enak datang ke rumah sakit bertemu dengan Mama. Sampai di rumah sakit, aku memarkirkan mobil. Mbak Linda langsung turun. Sedangkan Weni masih diam di tempatnya. "Kamu tunggu di mobil aja, ya. Takutnya malah gak mau ketemu sama Mama. Aku gak bakalan maksa kamu, kok."Aku mengusap kepala bayiku. "Adek sama Mama di mobil, ya. Papa keluar sebentar."Baru setelah itu, aku keluar dari mobil. Melangkah masuk ke dalam rumah sakit. "Mas."Eh? Aku menoleh. Menatap Weni. Dia ikut keluar dari mobil. Ada apa?"Aku ikut."Serius? Apakah semuanya akan baik-baik saja, kalau Weni ikut masuk ke dalam? Ah, aku tidak yakin. "Janji, deh. Aku gak bakalan buat aneh-aneh. Aku cuma mau lihat kondisi Mama kamu. Itu aja."Buka itu yang aku takutkan. Aku takut, M
"Cie. Udah kayak pengantin baru."Weni buru-buru melepaskan pegangan kami, ketika suara Mbak Linda terdengar. "Apaan, sih, Mbak." Aku melotot ke Mbak Linda. "Kalau ada masalah, bicarain berdua. Kalian itu udah cocok, jangan sampai Mbak dengar ada masalah lagi."Aku tersenyum, mengusap leher. "Iya, Mbak."Hampir dua jam aku di sini. Membantu memindahkan barang-barang. Lelah juga rasanya. Aku meregangkan tubuh. Sebenarnya, ini masih pukul sembilan malam, tapi sudah pegal-pegal. "Kak Anton jadinya kerja di mana?" tanyaku sambil melirik Kak Anton yang baru saja duduk. Dia sejak tadi sibuk di dalam. "Ya, mulai dari awal lagi. Karyawan. Gak kayak kamu yang udah naik pangkat.""Apaan, sih, Kak. Kalau Kakak mau, aku bisa bantuin masukin Kakak lagi ke kantor.""Serius, Ndre?" tanya Kak Anton. Aku tahu, masih ada harapan di mata Kak Anton. Dia ingin sekali kembali bekerja di perusahaan, tapi tidak bisa juga. "Serius, Kak. Bos gak bakalan marahin. Buat Kakak apa, sih, yang enggak?"Kami d