Ketika orang-orang berpikir bahwa menuntut ilmu adalah suatu kegiatan duduk menatap dan mendengar gagasan sang penyedia ilmu itu, mungkin di sini pula segala persepsi disatukan melalui anggapan-anggapan polos tentang ilmu itu sendiri. Demi menyongsong sebuah kehidupan dan melangkah ke depan menuju zona yang lebih tinggi, terkadang seseorang harus melalui ujian-ujian panjang. Dan di titik itulah masa depan akan menjemputmu. Meskipun semuanya tetap akan melalui perjuangan-perjuangan berat.
Hifa berdiri di muka gedung Rumah Sakit Umum Batui tanpa gairah. Dengan enggan dia menyeret tubuhnya masuk ke gerbang depan yang masih tampak rindang. Setelah semalaman dia bermuram durja karena harus berada di daerah terpencil selama setahun, Hifa akhirnya memutuskan untuk menerima nasibnya.
Dia berhasil menuju ke Rumah Sakit tersebut berbekal peta dari toko kelontong di sebelah kos-kosannya. Walau tempat ini belum terpetakan di aplikasi penunjuk arah manapun, Hifa bisa mencapainya dalam waktu yang relatif singkat.
Misteri tentang bagaimana dia bisa memilih wahana tersebut juga belum terpecahkan oleh akal sehatnya. Akan tetapi tidak ada hal yang tidak beralasan di dunia ini. Mungkin nasib yang akan memberikan alasannya. Satu hal yang pasti, dia sudah terperosok di tempat ini dan sekarang mau tak mau dia harus menjalani masa internship di sini selama setahun ke depan. Hanya setahun. Pikiran itulah yang senantiasa dingiangkannya tiap kali mengingat penempatannya yang random itu.
Dia mengamati sekeliling rumah sakit sambil berupaya membesarkan hatinya. Paling tidak di sini masih ada segelintir kendaraan bermotor yang berlalu lalang di jalan lintasnya, listrik yang hidup setengah hari, dan internet walau koneksinya hanya di awal bulan, serta beberapa fasilitas langka lainnya.
Jalanan pun sebagian besar sudah diaspal. Jarak antara tempat tinggalnya ke rumah sakit sekitar dua kilometer. Tadinya Hifa pikir dua kilometer adalah hal yang kecil, tapi dengan segala lika-liku, tanjakan, dan turunan menuju ke tempat ini, harus diakui itu cukup melelahkan. Apalagi otot betisnya sudah lama berelaksasi.
Bangunan rumah sakit memang sedikit tua, tapi halamannya sangat luas dengan garis pantai menghampar di seberang jalan. Ada dua bangunan utama yang tampaknya terbagi menjadi bagian rawat inap dan poliklinik. Belum terlihat adanya aktivitas orang di poliklinik tersebut. Hanya seorang bapak-bapak yang tengah menyapu di halaman berumput itu. Hifa menyiratkan senyum yang segera dibalas dengan senyum yang lebih lebar lagi.
"Polikliniknya belum buka," kata bapak itu mendapati Hifa celingak-celinguk.
"Oh, jam berapa pak baru buka?" tanya Hifa.
"Sekitar jam delapan," jawab bapak tadi. "Mau cari siapa?"
"Saya dokter magang baru yang akan bertugas di sini pak," jawab Hifa.
"Oh, kalau begitu masuk saja dulu, nak," ujar bapak tadi.
Hifa mengangguk dan berterima kasih sambil berlalu memasuki pintu besar yang langsung mengarahkan ke deretan pintu-pintu. Kursi besi sebagian besar masih kosong walau sudah ada beberapa pasien yang tengah menunggu di loket pendaftaran.
Langkahnya berhenti di pintu ruang administrasi yang berada di ujung lorong. Pintunya masih tertutup, tapi sudah ada tiga orang menunggu di depannya. Ketiganya telah ditemui kemarin pada saat pembekalan. Namun karena disibukkan oleh kegiatan kemarin, Hifa tak sempat ngobrol dan berkenalan dengan mereka. Dokter pembimbing mereka yang hadir juga hanya yang dari puskesmas sehingga Hifa belum sempat bertemu secara langsung dengan dokter pembimbing dari rumah sakit.
"Dokter iship yang baru juga ya?" tanya seorang peserta internship laki-laki berkaca mata.
"Iya," jawab Hifa. "Belum buka ya?"
"Belum, katanya sebentar lagi," timpal peserta yang lain.
Ketiga orang menatapnya seraya menerka dari mana dia berasal. Logatnya mungkin sudah bercampur sana sini efek kelamaan di Medan. Padahal Hifa gadis Jogja tulen. Tapi apa daya, logat Medan memang susah untuk tidak diikuti. Lagipula, Hifa sudah menetap di Medan sejak dari kecil.
"Mbak dari Jakarta ya?" tanya Hifa yang lebih mudah menebak asal mereka. Jaket dengan bordir logo universitas itu langsung dapat terlihat oleh Hifa.
"Iya saya dari Jakarta, Mbaknya dari mana?" tanya perempuan berambut pendek itu ramah.
"Saya asal Jogja, tapi besarnya di Medan," jawab Hifa.
"Wah, saya juga dari Medan,” timpal laki-laki berkacamata yang tadi menyambut Hifa.
“Jauh juga ya dari Medan,” timpal perempuan berambut bob itu.
"Gaklah Mbak, bosan di situ-situ aja," jawab Hifa enteng. Dia cukup tegar dengan tidak mengeluh bahwa konfliknya dengan komputer di warnet sialan itu berujung dengan dirinya yang terjerembab di tempat ini.
"Kalau saya sih memang ada keluarga di sini," jawabnya.
Percakapan mereka terhenti saat seorang dokter senior melintas di depan mereka. Hifa sempat kepoin profil para dokter di RSUD ini sebelumnya. Hanya Hifa tidak menyangka penampakan asli orang di depannya ini lebih menawan dari yang tertera di profil sosial medianya. Kemolekan hakiki yang menyedot perhatian para gadis ini turut membuat Hifa linglung.
Senyum tipis menyelinap di setiap mata yang tertuju ke arah sang empunya paras rupawan tersebut. Hifa pun mendapat jatah sapaan dari sang senior. Dia melangkah memasuki ruang administrasi. Sekilas semua menatap sosok itu terpana.
"Pagi." Suara lembut itu bergetar menjalar ke koklea dan merasuki korteks pendengarannya. Membuat matanya tak lekang menatap sang pemuda. Harus diakui, ini hal pertama yang membuat Hifa sama sekali tidak menyesal menemukan rumah sakit ini sebagai tempatnya mengabdi selama setahun. Setidaknya dia tidak perlu repot-repot mencari pengalihan saat menghadapi pasien bawel. Ketampanan tak terdefinisi ini lebih dari cukup menggantikan kekesalannya terdampar di wahana tak berkoordinat tersebut.
"Ayo, masuk," panggilnya kepada semua peserta internship.
Bergegas semua memasuki ruangan berdinding hijau itu. Tak lama mereka pun duduk, disusul dokter senior.
"Jadi... ada lima dokter iship tahun ini ya?" tanyanya. "Udah berapa orang yang datang?"
"Empat, dokter," jawab salah satu peserta dengan tubuh ceking itu.
"Ah, jangan panggil dokter lagi. Kita kan sejawat sekarang. Panggil saja Gatta." Dokter Gatta berkata dengan santai. “Katanya satu orang itu tambahan untuk mencukupi kuota ya?”
“Iya, kak,” jawab peserta perempuan itu lagi.
Dokter Gatta kembali melanjutkan penjelasannya mengenai rumah sakit yang akan mereka tempati ini. Diam-diam Hifa memperhatikan kulit eksotis yang menyeruak dari rahang yang gersang akan rambut itu. Bisik-bisik dari peserta iship tadi, dr. Gatta ini tipe-tipe buaian hati para wanita. Perawakannya tinggi dengan biseps yang padat. Bahu jenjangnya tampak begitu nyaman untuk dipeluk. Bola matanya hitam terbungkus dalam kornea yang jernih. Walau bukan sesuatu yang istimewa, tatapan berbinar yang ditebarkannya berhasil memicu vertigo bagi si penatap.
Hifa akhirnya bersyukur, setelah sekian lama tidak cuci mata, ternyata di sinilah keberadaannya. Akankah dia menemukan cintanya? Ah... dia mabuk cinta lagi. Hentikan! Apalah yang kupikirkan ini. Benar-benar tak beretika kedokteran, batinnya kembali menyalak.
"Jadi, kita tunggu teman kita ini atau tidak?" tanya dr. Gatta.
"Tunggu aja dok, eh... pak... eh... kak," kata salah seorang dari mereka kikuk.
Pria berlesung pipit itu tergelak. "Oke kita tunggu 15 menit lagi ya. Sambil menunggu, siapa saja yang warga asli?"
Semua mata saling menatap. Tidak ada yang mengangguk. Tampaknya semua orang di sini akan berpisah setelah setahun dari tempat ini.
"Tidak ada ya?" tatap Gatta sedikit kecewa. "Kamu dari mana, dik?"
"Saya dari Medan," jawab Hifa cepat.
"Namanya?"
"Hifa Alzir."
Gatta mengangguk-angguk sambil memberi tanda centang di kertas absennya. Lalu dia menoleh ke peserta yang lain.
"Kamu namanya siapa?" tanya Gatta berlanjut ke internship perempuan berambut bob dan berkulit sawo mateng di samping Hifa.
"Nindi," jawabnya kemayu.
"Yang lain? Dari mana aja?" tanya Gatta ke arah kami. "Kamu dari mana, dik?"
Setelah semua ditanya akhirnya datang orang terakhir yang ditunggu-tunggu. Seorang pemuda berkulit putih langsat itu masuk tanpa permisi. Dahinya lebar dengan tumpukan poni yang saling bersilangan menutupi alis matanya. Laki-laki dengan telinga yang kecil dan bibir yang tipis itu pun melangkah menyeberangi sekumpulan yang ada di ruangan dan mengambil tempat paling sudut.
"Maaf, kamu..," sela Gatta sambil menatap heran.
"Ifan," jawabnya singkat.
Gatta sekali lagi memberi tanda di kertasnya. Kegiatan perkenalan telah berakhir. Dia terlihat tidak berniat menanyai Ifan yang tampak dingin itu dengan lebih banyak pertanyaan.
Namun pandangan para peserta internsip yang lain justru teralihkan ke Ifan. Mereka heran menatap orang tidak tahu diri itu menyelinap masuk tanpa ba bi bu dan duduk tanpa dipersilakan. Semua berpikir mungkin inilah salah satu orang yang akan mereka benci di tempat ini. Atau mungkin… ada juga yang berpikir, pria kaya mana yang memilih tempat internsip di tempat terpencil ini?
Semua asumsi terpampang jelas di setiap ekspresi kelima orang yang ada di ruangan itu, kecuali Hifa. Hifa tak bisa berpikir karena semua energinya habis terkuras untuk menenangkan dirinya. Bahkan untuk mengatupkan mulutnya yang dari tadi ternganga saja dia tak sanggup.
Ifan Rasalas disebut-sebut sebagai putra mahkota pengusaha terkaya di Medan. Ayahnya menguasai seluruh perkebunan sawit yang ada di Sumatera. Konon katanya, jalan-jalan beraspal di pelosok Sumatera dibangun oleh keluarga Rasalas itu. Lupakan tentang uang, karena itu hal terakhir yang akan dia khawatirkan. Dia memiliki kekayaan yang semua orang impikan. Beberapa dosen bahkan sudah merekomendasikan dia untuk masuk berbagai jurusan di universitas lamanya. Dia juga sudah disiapkan kuotanya untuk masuk ke universitas terkenal sesuai dengan jurusan yang dia inginkan. Selain karena dia putra konglomerat, otaknya juga encer seperti susu beruang. Hifa hanya serpihan debu di hadapan sosok pewaris dinasti itu.
Kesempurnaan Ifan yang menakjubkan bertolak dari tabiatnya. Hifa pernah sekelas dengannya waktu dia menempuh pendidikan praklinik. Hifa juga menjadi co-assistant minggu bawahnya. Yang berarti nasib Hifa amat bergantung pada Ifan selama menjadi koas. Itu pula yang menjadi biang penderitaan Hifa selama satu tahun sepuluh bulan tersebut. Ifan kerap mengerjai Hifa dengan jebakan-jebakan mautnya, yang mengakibatkan dia kerap gagal di beberapa stase klinik. Jika bisa dihitung, sebagian besar kesengsaraan Hifa selama pendidikan dokter disebabkan oleh adanya sosok menyebalkan bernama Ifan Rasalas.
Seakan itu semua sudah terjadi ratusan tahun silam, kini peristiwa itu akan kembali terulang. Ifan pasti memiliki motif tersendiri hingga bisa muncul ke tempat ini. Hanya saja, kali ini Ifan terlihat lebih semeraut dari biasanya. Tidak ada yang tahu latar belakang keluarganya selain Hifa.
Mau apa anak ini? Hifa bertanya-tanya dalam hati. Api kebencian berkobar dalam benak Hifa. Tadinya dia berharap dengan terlempar ke wahana internsip yang tak diharapkannya ini, dia bisa tenang menjalankan insternship, bukan malah berhadapan dengan si bocah tajir yang congkak itu.
"Baiklah, ada beberapa hal yang mesti kalian ketahui sebelum memulai kerja di sini," lanjut Gatta memecah lamunan Hifa.
Mereka dibagi beberapa panduan praktik klinis di rumah sakit. Tidak terlalu tebal dan bahkan tanggal cetakannya lebih tua dari umur mereka. Kertasnya sudah menguning. Hifa membaliknya dengan hati-hati. Begitu takut kalau-kalau kertasnya pecah saat tertekuk.
"Walau rumah sakit ini ada di daerah yang terpencil, rumah sakit ini memiliki fasilitas yang setara dengan rumah sakit tipe C. Ini karena rumah sakit pusat di kota sulit terjangkau," terang Gatta kembali melanjutkan penjelasannya.
Hifa hampir putus asa saat mengetahui rumah sakit ini berada sekitar 6 jam dari rumah sakit pusat lainnya. Dia tak ingin membayangkan dirinya harus mengantar pasien yang akan dia rujuk nantinya.
Setelah semua penjelasan diterangkan oleh Gatta, mereka dibagi menjadi beberapa kelompok.
"Ifan dan Hifa kalian pegang ranap dulu ya. Ada Dokter Stella yang akan menjelaskan prosedurnya nanti," kata Gatta seraya mengarahkan mereka ke bangsal rawat inap. Ada 2 lantai rawat inap yang dibagi menjadi rawat inap dewasa, anak, dan ibu hamil.
"Nindi dan Silla pegang poli dulu ya," lanjut Gatta. "Dan Kai nanti bantu saya di UGD ya."
Dan sekejap mereka pun berpencar ke tempat masing-masing.
Hifa diam membisu sambil melangkah ke ruang rawat inap seperti yang ditunjuk oleh papan penunjuk arah. Walau akhirnya dia pusing sendiri dengan arah petunjuknya yang sudah terkikis zaman itu.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Hifa memecah kesunyian. Dia tahu Ifan peserta tambahan yang ditempatkan di sini untuk mencukupi kuota internship, tapi soal mengapa anak konglomerat itu mau di sini masih menjadi tanda tanya.
"Kamu sendiri ngapain?" balas Ifan seraya mendahului Hifa.
"Haha... kamu yakin bisa bertahan hidup di sini?" timpal Hifa seolah menyindir gaya hidup Ifan yang biasanya serba glamor itu.
"Kita liat aja siapa yang duluan mengungsi," jawab Ifan balik menantang.
Hifa melangkah lebih cepat karena geram. Di ujung jalan mereka bertemu dengan dr. Stella yang dibilang Gatta barusan. Wanita paruh baya yang sudah mengabdi di rumah sakit ini selama 8 tahun itu tampak kewalahan dengan laporan perawat yang baru saja keluar dari ruang pasien.
"Dokter, pasien 404 sesak," keluh salah satu dari mereka.
"Iya, saya sudah liat, pasiennya memang sudah harus di HD hari ini, tapi kemarin jalan utama longsor jadi dia belum bisa ke rumah sakit pusat. Coba liat, obat apa aja yang udah dikasih?" tanya dr. Stella yang belum menyadari kehadiran dua orang baru itu di sana.
"Hmm.. selamat pagi dokter, saya Hifa, dokter internship yang baru di sini," kata Hifa mencoba mendekati dr. Stella setelah dia berhenti dan memandang kedatangan mereka.
"Oh, maaf, saya gak lihat. Oh ya, dr. Hifa ya? Dengan siapa?"
"Ifan," jawab Ifan.
"Wah, untunglah kalian dateng cepat. Kita di sini main cepat saja ya. Soalnya ada pasien sesak harus dirujuk. Saya akan menjelaskan apa-apa aja yang perlu kalian lakukan, selanjutnya saya titip kalian sama dr. Gatta ya. Saya mau merujuk pasien," kata dr. Stella tergesa-gesa.
Perawakan dr. Stella yang tidak terlalu tinggi dan tubuhnya yang mungil kontras dengan jas putihnya yang kebesaran. Meski begitu, dia terlihat sangat gesit. Sembari menjelaskan peraturan yang berlaku di bangsal itu, dia menulis resep dan menyelesaikan surat rujukannya.
"Nanti, pasien 301 mau cek lab jam 12.00. Novorapidnya masuk setelah ada hasil lab. Kalau ada apa-apa panggil Gatta saja ya," kata dr. Stella meninggalkan mereka berdua di bangsal yang baru mereka injak selama 15 menit ini.
Ada 3 perawat yang secara bersamaan menatap mereka seolah hewan peliharaan baru yang siap diberdayakan. Hifa tersenyum palsu sambil memperkenalkan diri, "Perkenalkan saya dr. Hifa, ini dr. Ifan, kami dokter iship baru di sini. Mohon bantuannya."
"Dokter asalnya dari mana aja dok?" tanya perawat senior berkacamata yang melirik dari bingkai atas kacamatanya.
"Saya asal dari Jawa," jawab Hifa.
"Oh, dokter yang di sampingnya ini pasti dari Korea ya?" celetuk salah satu dari mereka.
Hifa tersenyum kecut lagi. Dia ingin tidak peduli dengan status atau ras si makhluk menyebalkan di sampingnya. Tapi karena dia penghuni baru di sini, lebih baik balas saja ala kadarnya.
"Oh, iya, kau dari mana Fan?" sundul Hifa sambil berbisik.
"Gak kok. Saya Bugis," jawab Ifan asal.
Semua terperanjat, termasuk Hifa. Dia tahu Gatta tidak serius mengatakannya, tapi sama sekali tidak berniat memperbaikinya. "Sejak kapan kau jadi orang Bugis?" gumam Hifa seraya mengusap pelipisnya. Jelas-jelas dia orang Medan tulen. Tipu muslihat apalagi yang sedang dia kumandangkan.
"Oke, tidak papa, semua orang Indonesia kan ya. Dokter belum ikut orientasi ya? Kalau belum nanti ikutnya hari Senin. Kalau di sini kita dibagi tiga bangsal. Bangsal anak, bangsal dewasa, dan bangsal ibu hamil atau maternitas. Gedung pertama di sebelah kiri bangsal maternitas, gedung dua ada dua lantai bangsal dewasa, gedung tiga bangsal anak. Mudah-mudahan bisa ingat ya dok. Pasien di sini tidak terlalu banyak, tetapi kalau lagi musim penyakit ya bisa penuh juga," jelas perawat senior panjang lebar. Dia bahkan belum memperkenalkan dirinya.
"Bu Gan... Bu Gan... ada anak kejang di ruang 5," pekik satu perawat yang berlarian dari bangsal anak ke ruang perawat tengah.
Sentak dua orang perawat yang ada di samping Bu Gan berlarian ke arah ruang 5. Bangsal anak kelas 2 yang isinya ada 4 ranjang, tetapi hanya ditempati satu pasien saja.
"Dok, mau dikasih diazepamnya?" tanya perawat itu ke arah Hifa.
"Hmm... iya. Berat badannya berapa?" tanya Hifa separuh mendekati anak tadi. Dalam hati sedikit heran mengapa semua pasien gawat selalu muncul di hadapannya. Bahkan dia belum satu jam di sini dan semua masalah seperti bermunculan setiap ada dirinya.
"Tujuh setengah dok," jawab mereka cepat.
"Oke, kasih 5 mg supp ya kak," Hifa sambil berjalan cepat ke arah si anak.
Tubuh mungil anak berumur lima tahun itu masih tampak kaku. Badannya panas membara. Si ibu memeluk anaknya erat-erat takut si anak kembali kejang. Kain basah yang terus menerus dielus ke dahi si anak juga jadi ikut-ikutan panas.
Hifa duduk di samping si anak dan menenangkan si ibu, "Bu, kami kasih obat dulu ya. Ibu tenang dulu, kami pasti berusaha mengobati anaknya."
Si ibu pun melepas anaknya yang masih kaku. Salah satu perawat segera memasukkan obat melalui lubang anus anak tersebut.
"Mbak, kapan pemberian obat demam terakhir?" tanya Hifa.
"Tadi pagi dok," jawab mereka.
"Oke, kasih obat demamnya sekarang ya," pinta Hifa sambil menatap si anak yang kini menangis keras karena kejangnya sudah usai.
"Bu, ini anaknya sudah kami beri obat kejang dan demamnya juga kami kasih obat demam. Tetap kompres ya. Mungkin adiknya akan jadi mengantuk setelah ini. Kalau ada apa-apa panggil perawat ya bu," pesan Hifa.
Ifan berdiri di selasar pintu lalu berbalik kembali ke meja perawat di depan. Hifa berlalu mengikutinya keluar. Ada sedikit rasa bangga yang di hari pertama dia bekerja. Terlebih dia menaklukkan keadaan dengan begitu mulus di depan orang yang paling dia benci itu.
"Kau yakin udah kasih obatnya?" tanya Ifan menyeringai.
Hifa diam sejenak sambil menatap Ifan. Otaknya berpikir keras apakah ada kesalahan yang terlewatkan yang belum dia lakukan. Dia pikir sudah melakukan dengan sangat sempurna. Bahkan jika Ifan hendak menyalahkannya, mungkin hanya karena dia tidak boleh terlalu sempurna di depan pasien itu.
"Ya. Tentu saja," jawab Hifa tegas.
"Oh.. oke... hanya saran, lihat kurva CDC tentang pertumbuhan anak," kata Gatta tersirat.
Otak Hifa kembali berdesing. Kurva CDC selalu dipakai untuk menentukan status pertumbuhan anak waktu mereka melewati stase anak dulu. Apa maksud Gatta dengan kurva CDC? Dia mau menjebaknya apa lagi kali ini? Dulu sewaktu masa pendidikan Gatta sering menjebak dia dengan berbagai kasus. Kali ini dia harus memastikan tidak lagi terjebak dengan tipuannya.
Tunggu dulu...
"Tadi berapa berat anak itu?" tanya Hifa ulang pada perawat yang ada nurse station.
"Hmm... 17,5 kilo dok," jawab perawat sembari melihat status lusuh yang tergeletak di depannya itu.
Oh, tidak! Hifa menepuk jidatnya sendiri. Bagaimana dia bisa tidak menyadari berat badan anak itu begitu ringan saat melihat anak itu secara langsung? Yang artinya dia sudah salah menentukan dosis diazepam anak itu.
Baiklah, itu kesalahan fatal yang berujung tidak begitu buruk. Setidaknya, anak kecil tadi tidak kembali kejang. Mereka berhasil menenangkan ibunya. Anak itu juga tidak demam lagi setelah dia memberikan obat demamnya.
Hifa melewatkan jam jaganya dengan cukup lancar setelah itu. Dokter Gatta muncul dari ujung lorong mengundang mereka makan siang di kantin rumah sakit. Walau tidak begitu banyak pilihan yang mereka makan, makanan yang disajikan tidak begitu buruk.
"Gimana? Sudah ketemu dr. Stella?" tanya Gatta pada Hifa setelah bercakap panjang lebar dengan internship lain tentang pasien patah tulang yang datang ke IGD tadi pagi.
Hifa mengangguk sambil melahap gado-gadonya, makanan favorit yang bisa ditemukan di seluruh penjuru nusantara.
"Maaf ya tadi dr. Stellanya gak sempat temenin terlalu lama," kata Gatta seraya menyerumput teh manisnya.
"Gak papa, kak," kata Hifa. "Tadi sempet ada pasien kejang, tapi sudah aman sekarang."
Ifan menyeringai ke arah Hifa. Hifa mendelik garang.
"Wah, mantep," ujar Gatta. "Untung kalian sigap ya. Kalo besok kalian di IGD, saya bisa tidur siang nih."
Hifa terkekeh hambar. Dia tahu Gatta tidak serius menempatkan dirinya yang nyaris salah kaprah itu di tempat perawatan tanpa bimbingannya.
“Ada dua ibu bersalin di IGD,” ujar dr. Gatta. “Sebaiknya kalian dampingi pasien yang sudah bukaan 4 itu.”Hifa pun berlari ke arah ibu hamil tersebut. Dengan cepat melakukan pemeriksaan singkat. Kemudian mendorongnya masuk ke ruang VK[1]. Ada dua bidan yang bertugas saat itu. Mereka membantu ibu tadi mempersiapkan peralatan partus[2].“Fan, cepat sini,” panggil Hifa kesal.“Kenapa?” tanya Ifan.Hifa memperlihatkan tangan bayi sudah muncul dari vulva. Semua tampak panik. Bidan muda di samping mereka diam tak mampu berkata-kata.Ifan menatap datar. Seolah tidak terjadi apa-apa, dia mengambil sarung tangan obgyn dan segera mengambil tempat di dekat ibu yang tengah bersalin tersebut.“Ibu Rina, ibu tenang dulu. Sekarang ibu jangan mengejan dulu. Tarik napas dalam, kumpulkan napasnya, lalu ketika sudah terasa nyeri sekali baru sama-sama ibu mengejan,” ucap Ifan seperti sudah se
Hari selanjutnya giliran Hifa berjaga di poliklinik. Kebanyakan pasien yang datang adalah untuk mengambil obat, melakukan kontrol rutin, atau hanya untuk konsultasi beberapa penyakit. Karena mereka sudah memiliki surat ijin praktik, mereka turun langsung ke poli. Meja dokter dan tempat tidur pasien sudah tersedia di sana. Semestinya ini tidak akan sedramatis yang sudah mereka lalui di ruang rawat inap atau di IGD kemarin.Hifa membuka lagi buku catatannya, mencoba menghapal beberapa dosis obat dan cara pemakaiannya. Bagaimanapun otaknya tidak seencer Ifan yang bisa langsung mengingat apapun ketika melihat buku kedokteran itu.Mereka berada di ruangan yang berbeda. Koridor rumah sakit sudah dipadati pasien bahkan sebelum poliklinik ini di buka. Sebagian dari mereka adalah lansia yang diantar keluarganya untuk melakukan pemeriksaan. Hanya satu ibu-ibu berusia empat puluhan tahun datang duduk menyendiri di sudut koridor. Dia menunggu antrian.“Halo, Hifa ya?
Pagi ini Hifa berangkat dengan sepeda baru yang dia beli di toko sepeda tak jauh dari rumah sakit. Dia bisa bangun agak siang dengan keberadaan benda ini. Silla dan Kai menyusulnya di belakang. Mereka bersama-sama naik sepeda ke rumah sakit. Sementara Nindi selalu diantar sepupunya ke rumah sakit. Dia tidak tinggal di kos-kosan seperti Silla dan Kai. Hifa masih belum tahu tentang Ifan. Dia selalu datang terlambat ke rumah sakit. Seperti kebiasaannya saat di kampus dulu. Mereka akan kembali berotasi ke bangsal hari ini. Hifa akan mengambil jagaan di bangsal anak dan maternitas, sementara Ifan yang mengambil di bangsal dewasa. Nindi dan dr. Stella akan berjaga malam hari ini. Aktivitas dan kesibukan mereka kian bertambah hari demi hari selama di sini. Bahkan hingga satu jam setelah pertukaranshiftIfan tak kunjung datang. Hal ini membuat Hifa harus berjaga di tiga bangsal sekaligus. Kegusarannya makin menjadi-jadi saat Ifan muncul tanpa mengatakan a
Di hari ketiga, Ifan kembali mengulang keterlambatannya. Namun kali ini Hifa tidak lagi memarahinya atau menegurnya di depan bangsal. Ifan mengamati sekeliling bangsal dan tidak menemukan keberadaan Hifa. Dia hendak melanjutkan kegiatan visit ke pasien di bangsal dewasa tersebut. Kecurigaannya terbesit ketika mendapati Hifa ternyata sudah menyelesaikan nyaris semua tugas visit yang semestinya dilakukan oleh Ifan. Bahkan Hifa sudah mengisi hasil pemeriksaan serta melaporkan kepada dokter penanggung jawab untuk konsultasi yang diperlukan. Ifan duduk mengamati setiap status pasien yang sudah terisi sempurna. Dia tidak perlu lagi melakukan visit harian. Akhirnya Hifa pun muncul dari koridor gedung sebelah. Dia melangkah tanpa melihat penampakan Ifan. Ifan yang melihat dokter perempuan itu segera mengejarnya. “Hifa! Tunggu!” Kali ini, Hifa dengan penuh kemenangan tidak menggubris panggilan Ifan. “Kamu sudah menyelesaikan visit pasien?” tanya
Setelah kasus yang terjadi itu, hubungan Hifa dengan Ifan makin menegang. Berhari-hari mereka nyaris tak berbicara. Hanya sekedar mengamprahkan instruksi atau pemberian terapi kepada pasien. Sisanya hanya dingin. Anehnya, Ifan tidak lagi terlambat seperti kemarin-kemarin. Dia rutin datang pagi untuk menyelesaikan pemeriksaannya. Seusai melakukan kunjungan pasien, Ifan seperti hilang ditelan bumi.Minggu ini mereka kembali berpindah siklus di IGD. Seperti biasa, segala permalahan medis bermuara di tempat itu. Dari pasien yang hanya mau ditensi rutin hingga pasien yang datang dalam keadaan kaku mayat.“Hifa,” panggil Kai yang tengah membereskan barang-barangnya. Mereka akan bertukar jaga lagi. “Kak Gatta cariin kamu di ruang tindakan.”Dengan cepat Hifa bergegas ke tempat tersebut. Seorang gadis kecil duduk tenang memainkan ponselnya dengan Gatta yang tengah menjahit betisnya. Luka robek tadi terlihat tidak lagi mengganggu si anak tersebut.
Minggu ini jadwal Hifa bersama Ifan di poliklinik. Mereka bisa mendapat liburan selama tiga hari setelah selama tiga minggu ini berkeliling bangsal dan IGD. Jadwal di poliklinik cenderung lebih ringan. Mereka hanya perlu melakukan pemeriksaan di poli umum untuk selanjutnya diarahkan ke poli spesialis. Kadang kala spesialis menitip pasien untuk ditangani seperti pada sebelum-sebelumnya.Hifa duduk menghitung berkas status yang dia dan Ifan sudah tangani. Mereka selalu melampaui batas maksimum dokter yang lain. Hifa menggeleng-geleng menggerutu.“Ifan, kamu pake jimat apa sih? Kok pasienmu selalu rame?” tandas Hifa.Ifan mengeluarkan bekal yang dibawanya entah dari mana dan mulai menyantapnya di hadapan Hifa. Dia mengiris potongan tahu yang tersaji di depannya dengan ukuran persegi. Lalu menancapkannya dengan garpu. Walau makanan tadi sudah dingin, bumbu kecap yang ditabur dengan wijen panggang itu terlihat menggiurkan.“Kamu tahu gak kala
Hifa tiba lebih awal dari biasanya. Di meja perawat sudah ada kerumunan perawat bisik-bisik menggosipkan sesuatu. Perawat-perawat ini selalu bisa mendapatkan kabar terbaru di mana pun mereka berada. Hifa ingat dengan istilah, dinding rumah sakit ini pun bisa mendengar bisikan paling halus. Dengan cepat Hifa menghampiri pusat keributan tadi.“Ada apa?” tanya Hifa heran.“Dr. Kai dipukul keluarga pasien.”“Kok bisa?”“Iya, dokter gak denger ya? Katanya karena obat yang dikasih dr. Kai buat pasien itu jadi sesak napas.”Hifa sudah bisa membayangkan kejadian yang telah terjadi. Hal ini pasti membuat Kai terpukul. Hifa belum sempat berbincang dengan Kai sejak beberapa hari ini.“Jadi sekarang pasiennya gimana?” tanya Hifa.“Untung dr. Ifan cepat datang. Kalau gak, mungkin ibu itu udah….” Perawat tadi menarik garis bayangan di depan lehernya dengan ekspresi seram
Jam menunjukkan pukul 11.00. Hifa duduk di atas sepedanya menunggu kedatangan Ifan. Dia baru muncul semenit kemudian. Dan seperti janji Hifa, mereka beriringan menuju rumah makan dekat kantor dinas yang dimaksud. Ifan juga mengayuh sepeda dengan ukuran yang lebih besar.“Aku gak pernah melihatmu bawa sepeda?” tanya Hifa.“Aku baru bawa sepeda hari ini.”“Jadi kamu naik apa ke rumah sakit?”“Jalan kaki.”“Oh ya, memang kamu tinggal di mana?”“Gak jauh.” Ifan menjawab singkat.Hifa mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Mereka masuk ke pintu depan rumah makan yang bisa dikategorikan sebagai restoran itu. Tidak banyak anak muda di tempat ini. Rata-rata pengunjungnya adalah pegawai dari kantor dinas kependudukan di seberangnya. Sebagian lagi hanya orang-orang dari berbagai kalangan pengusaha. Sungguh nuansa yang amat tidak sesuai dengan mereka.Sepertinya hany
Semua sudah berakhir indah pada waktunya. Hifa kembali bertemu dengan Ifan. Terima kasih sudah setia membaca cerita ini hingga akhir. Sebagian cerita merupakan kisah nyata dengan nama pemeran yang disamarkan. Semua cerita merupakan tulisan asli/original penulis. Bila ada kesamaan tempat, waktu, cerita, plot, dan lainnya itu murni karena kebetulan belaka. Kisah ini masih memiliki sejuta langkah, tapi akahkah langkahnya harus berakhir di sini? Akhir kata, saya juga ingin ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu dalam penulisan buku ini. Teman-teman yang mungkin namanya belum bisa kusebutkan, yang telah setia merevisi cerita ini dan dengan sabar mengoreksi tulisan ini. Tetap semangat dan jangan menyerah.
Malam itu Hifa kembali menjalani rutinitas jaganya di salah satu rumah sakit swasta di pinggir Kota Jakarta. Rumah sakit tempatnya bekerja tak jauh dari apartemennya. Bukan rumah sakit yang besar. Hanya rumah sakit tipe C yang berada di kawasan industri dan pabrik. Sehingga rata-rata pasien yang berobat merupakan pekerja di lingkungan rumah sakit juga. “Dok, ada pasien dengan vulnus ictum,” ujar seorang perawat IGD bertubuh mungil tersebut. Hifa yang tengah melewati tidur ayamnya di kursi jaga harus bangkit untuk memeriksa pasien tersebut. Dia melihat ada laki-laki yang tengah tengkurap di atas brangkar dengan telapak kaki yang berlumuran darah. Paku kecil masih tertancap di area tumitnya. Walau dalam, luka tersebut tidak mengeluarkan banyak darah. “Pak, kita bawa ke ruang tindakan ya,” ucap Hifa tanpa banyak bertanya. Dia sudah mendapatkan catatan riwayat pasien itu dari perawat. “Kak, siapin minor set ya. Saya mau informed consent
Langit mendung dengan awan yang kelabu menyelubungi bingkai jendela tak bertirai itu. Hifa memeluk tubuhnya dalam kekalutan. Tubuhnya yang bersimbah darah duduk dalam kegelisahan dan ketakutan. Dia tak kuasa menyingkirkan erangan histeris tadi. Belum ada yang bisa menyampaikan padanya kondisi terkini Ifan. Sahabat karibnya itu masih terbaring tanpa kekuatan di dalam sana. Jika memang ini adalah akhir dari ceritanya dengan Ifan, maka Hifa tidak akan pernah memaafkan dirinya lagi.Orang tua Ifan datang beberapa jam setelah mendapat kabar tentang bentrokan yang terjadi di Pasar Simpang. Hifa masih bergeming di koridor kamar bedah dengan risau.Hifa bisa melihat mama angkat Ifan yang terlihat begitu modis berjalan tanpa melihat keberadaan Hifa. Dia berjalan bersama seorang perempuan muda yang tak kalah cantiknya dengan artis K-pop. Tubuhnya langsing semampai dengan kulit yang bersinar bagai para dewi di kahyangan. Saat lewat di depan Hifa, mamanya sempat melirik heran ke a
“Fan, aku mau ke pasar cari sayur. Stok makanan kita udah menipis.” Hifa membuka lemari es yang isinya tinggal kentang saja.Ifan masih duduk membaca buku kecil di depannya segera mengiyakan permintaan tadi. “Oke, kamu bikin dulu daftarnya. Ntar aku sama Kai aja yang beli.”“Aku aja. Kai kan jaga di KIA hari ini.”Ifan mengangguk. “Oke, lima menit lagi.”Hifa melirik ke bacaan yang tengah dilihat Ifan dengan serius itu. Ifan selalu membawa berbagai jenis buku bersamanya ke manapun. Judulnya pun beraneka ragam.“Baca apaan?”“Trubus,” jawab Ifan asal. Dia segera memasukkan buku tadi ke dalam tasnya sebelum Hifa sempat melihat buku tadi.“Sejak kapan kamu jadi suka tanaman?”“Kamu udah siap? Ayo, katanya mau beli sayur.”Pertanyaan Hifa teralihkan. Dia segera membawa keranjang sayurnya dan naik ke mobil Ifan dengan penuh semanga
Seusai prosesi penguburan, Ifan dan Hifa kembali melanjutkan aktivitasnya di puskesmas. Kenangan menyakitkan yang telah terjadi pada Ifan akan bersama-sama terkubur di tempat ini. Ifan harus memulai hidupnya lagi. Tanpa terasa waktu mereka di pulau ini tinggal tiga minggu lagi.Senja itu, kelima peserta internship tengah duduk berdampingan di bawah pohon cemara yang rindang. Udara hangat berembus menerpa wajah mereka dengan pelan. Pantai putih dengan horizon laut mewarnai pemandangan yang terhampar di depan mereka. Kai duduk dengan tumpukan makanan instan di dekatnya. Kebiasaannya sejak dulu adalah menjadi pemasok makanan instan kapan pun di mana pun.Silla membantunya merebus mi instan yang mereka bawa sendiri dari rumah. Hifa dan Ifan duduk agak menjauh dari ketiga temannya yang lain. Hingga saat ini baik Kai, Silla, ataupun Nindi belum ada yang tahu masalah Ifan.“Fan, setelah ini kamu mau ke mana?” tanya Hifa.“Aku masih har
Seminggu setelah pertemuan terakhir Hifa dengan Ibu Elena berlalu begitu cepat. Hifa berulang kali ingin membujuk Ifan ke tempat tersebut, tapi dia tidak pernah memiliki keberanian untuk melakukannya. Di satu sisi Hifa juga agak takut ke tempat itu lagi. Dua pria yang ditemuinya di persimpangan jalan itu terlihat begitu mengancam. Dia tidak bisa ke sana seorang diri. Tapi siapa yang bisa dia ajak? Sementara Hifa sadar kondisi Ibu Elena pasti lebih parah lagi sekarang. Terlebih Ibu Elena sudah menolak terapi dan tindakan yang dianjurkan dokter.“Fan, kamu yakin gak mau bertemu dengan mamamu?” tanya Hifa saat mereka tengah duduk bersantai di belakang puskesmas.Ifan memejamkan matanya dalam keheningan. Dia seperti tengah menekuri keputusan terbaik yang bisa dia ambil terhadap ibunya itu.“Fa, waktu kamu pertama kenal denganku, menurutmu aku orang yang gimana?”“Hmm… kamu tu usil, keras kepala, sedikit berdarah dingin, da
Sore itu, Hifa mengendap-endap keluar dari puskesmas. Kakinya sudah pulih seutuhnya. Dia bisa melompat seperti kancil tanpa merasakan nyeri lagi. Akhirnya dia tidak perlu menyusahkan Ifan untuk mengantar jemputnya dari rumah ke puskesmas. Lagian dia bisa pulang dengan ojek yang ada di pangkalan lorong. Ifan tidak bisa melarangnya melakukan misi terselubung ini.Dari alamat yang tertera di status pasien, seharusnya tidak jauh dari puskesmas. Hanya jalan sedikit ke arah jalan besar, terus belok sampai di pesisir. Rumahnya berada di antara deretan bangunan yang menghadap langsung ke tepi laut. Hifa melewati pasar rakyat sebelum sampai ke seutas jalan yang mengarah ke rumah Ibu Elena tersebut.Hifa menemukan nomor rumah yang didapatkannya dari salinan kartu identitas Ibu Elena dan mencoba mengetuk pintu rumah tersebut. Tidak ada jawaban. Sampai akhirnya pada ketukan ketiga, Hifa bisa mendengar suara menyahut dari dalam.Pintu kayu terbuka. Seorang perempuan tua mena
Tanpa terasa, dua minggu sudah berlalu sejak bencana tanah longsor itu. Hifa sembuh lebih cepat dari perkiraannya. Bahkan sebelum dia harusnya berjalan, Hifa sudah mondar-mandir ke sana kemari. Nindi terus memperingatinya untuk tidak terlalu memaksakan diri. Hifa berencana untuk segera mulai kembali kerja di minggu ketiga post trauma. Dia tidak mau nanti waktu selesai internship kakinya masih belum bisa berfungsi dengan normal.Hubungan Ifan dan Hifa tidak lagi bisa ditutup-tutupi. Ifan kerap datang membawanya berkeliling ke berbagai tempat untuk menghilangkan kebosanan Hifa. Ifan bahkan membuatkan alat bantu jalan yang dia pesan sendiri dari toko alat kesehatan. Silla dan Nindi yang melihatnya hanya bisa melirik dengan iri.“Berhubung kamu udah gak ada sepeda, aku yang akan antar kamu ke puskesmas setiap hari,” ujar Ifan.“Kami nebeng ya, Fan,” timpal Kai dengan wajah super memelas.“Boleh, tarifnya 10 ribu
Tiga hari setelah bencana besar tersebut berlalu, Hifa pun terbangun dari tidur panjangnya. Matanya mengerlip melawan cahaya terang. Tubuhnya terasa amat berat. Bahkan untuk menggerakkan tangannya, Hifa harus mengerahkan seluruh serabut neuron dan tendonnya.“Hifa?” Suara Nindi yang nyaring memenuhi kepala Hifa. “Kamu udah sadar?”Ada Silla dan juga Kai di belakangnya. Mereka berkumpul mengerumuni Hifa dengan suka cita.“Hifa, akhirnya kamu bangun,” ucap Nindi bingung. Dia ingin memeluk Hifa jika saja tidak ada selang infus yang menempel di tangan Hifa.“Apa yang terjadi?” tanya Hifa dengan suara parau. Dia masih berusaha menyusun ingatannya yang masih runyam akibat kejadian mengerikan itu.“Kamu gak ingat kamu hampir mati karena tanah longsor itu?” Nindi berusaha memicu ingatan Hifa.“Aku… terseret gelombang air. Terus aku duduk di dahan pohon nunggu bantuan datang,&rd