Baru saja tungkai panjang Ares turun dari pesawat, sebuah siluet ekspektasi kehangatan hadir sangat membuncah dalam dada, seiring irama gairah muncul dalam desiran hasrat. Pria tampan itu membayangkan bisa langsung bertemu Cherry.
Kelopak Ares turun sejenak menikmati dalam khayal. Menyalurkan sejuta rindu membawa gadis pujaan hati ke dalam pelukan. Mempererat dekapan dan saling bercumbu lebih dari sekadar serbuk heroin mampu membuat sekujur tubuh mereka meramang, merintih, melayang terbakar sensasi panas sangat memabukkan. Ares membuka mata rasanya tidak sabar ingin segera berjumpa, sampai-sampai pria itu terlalu berhalusinasi serta lupa diri kala ia merasa harus menekan napas yang sulit dikendalikan.
Namun realitanya senyum menawan Ares seketika luntur, sebab mendapati kehadiran seseorang berdiri tak jauh dari hadapan memakai pakaian motif bunga-bunga melambai serta tersenyum padanya. Seseorang yang tidak pernah ia harapkan masuk ke dalam hidupnya, kini
"Lebih baik tenangkan pikiranmu, bukan sok bijak, tapi memang kau butuh melepas pikiran dari hal yang memberatkan hati." Sebuah kalimat dari Luke mencoba memberi pengertian. Prediksi lelaki itu tepat, kemarin saat turun dari mobil Ares. Ia langsung menghubungi Eric menceritakan dari awal karena ia merasa janggal lalu pada sebuah informasi dari Eric yang cukup mengejutkan tentang absennya Cherry. Sedari pagi setibanya di kantor, Ares tampak tidak bersemangat memulai kerja. Ketidakhadiran Cherry semakin memperburuk keadaan. Sudah pasti Ares bertanya pada Eric tentang Cherry. Chef ganteng itu secara gamblang bercerita, Eric terakhir melihat Cherry pada hari yang sama saat Ares dan Luke berangkat ke Jepang. Eric mengaku tidak lagi bertemu Cherry keesokkan hari sampai detik Ares dan Luke kembali. Eric mendengar kabar dari salah seorang karyawan kalau Cherry bertemu seseorang yang mengaku sebagai calon istri bos besar Ares, w
Leon melepas napas lelah ke udara bebas. Pemuda itu menikmati angin malam. Duduk di ruang terbuka cafe pinggir jalan dengan segelas kopi Americano panas yang baru saja mendarat di atas meja. Leon menyadari seberapa kuat pengaruh konversasi antara dirinya dengan sang Ibu beberapa waktu lalu. Gelisah, muak serta marah bukan kombinasi pas untuk terus menetap di hatinya. Kilas bayang Cherry, kakak tersayang menangis lantaran tersakiti, ikut menebar luka di hati pemuda itu. Air mata Cherry bukti nyata bahwa gadis itu menyimpan rasa untuk pria bernama Ares Allan. Malam pesta amal di mana pertama kali mereka bertatap muka, Leon mengira arti tatap Ares pada Cherry menyiratkan cinta tulus bukan sebatas perasaan main-main. Sialannya, pria itu justru memilih bertunangan bahkan menikah dengan Early tanpa bantahan. Apa itu arti cinta dalam hidupnya? Cih, mencampakkan Cherry seperti membuang bungkus permen ke tong sampah. Hati Leon benar-benar tidak bi
Bel alarm rumah mewah milik keluarga Allan berbunyi. Terry mengernyit namun tampak tidak terganggu membiarkan maid membukakan pintu untuk tamu yang datang berkunjung. Ibu dari Ares sedang sibuk membuat kudapan ringan berupa kue kukis cokelat bertabur kacang almond. Manik hitam wanita paruh baya bergulir sekilas ke arah pintu utama rumah yang jauh dari dapur. Satu loyang telah terisi kurang lebih 26 kukis ukuran kecil. Masih ada sisa adonan ia lakukan hal sama pada loyang berikutnya. Terry mendesah, saat kacang almond dalam mangkuk super mini habis, membuka lemari kaca ambil toples berisi persediaan kacang almond menuangkannya ke dalam mangkuk kecil tadi. "Tante aku merindukanmu," Sapaan lembut mengajak Terry angkat kepala dari mangkuk. "Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam!" Terry berseru bahagia merentangkan tangan menyambut hangat kedatangan keponakan tercinta. "Harum sekali pasti lezat," cicit keponakan Terry memuji. "Aku beruntung datang hari ini," imb
Carolina Davis teman-temannya biasa memanggil nama gadis itu Lina. Anak seorang pemilik galeri terbesar di kota Manhattan. Tidak seorang pun yang tahu fakta absolut tentang Lina. Gadis itu selalu menyembunyikan identitas diri dibantu sang Ibu dan Tante Terry. Empat tahun sudah gadis itu hidup sendiri tanpa ada seorang ibu menemani. Yah, apartemen ini milik mendiang ibunya yang telah meninggal dunia karena penyakit kanker. Sedari kecil Lina sudah mengenal Ares bahkan sebutan kakak Lina sematkan, Ares tidak merasa keberatan ia justru senang saat Lina memanggil dirinya kakak. Menurut Lina gaya bicara ketus Ares itu sangat lucu, karena disaat yang bersamaan terdengar seperti mengulang sebuah protes. Sang Ibu dan Tante Terry masih terikat hubungan keluarga. Selagi ibu Lina masih ada Terry selalu memberikan kasih sayang tanpa membedakan dengan Ares putra kandungnya. Jadi saat ia mendengar Ares akan bertunangan dengan Early Thomas. Tentu Lina terkejut, membelalakkan
Aktivitas rutin gadis sombong itu telah kembali selepas ia mengambil cuti panjang. Early baru saja selesaikan tiga sesi foto dengan tema berbeda. Tangannya melepas syal serta baju tebal dari merk ternama, untuk musim salju yang diperkirakan akan datang dua bulan ke depan. Telinga Early tak lepas dari suara bising para kru, nyaris membuatnya meradang. Hatinya sedang tak terkendali, bisa saja secara tiba-tiba ia berteriak meledak-ledak melampiaskan dongkol dari acara pertemuan semalam, tapi bukankah itu sama saja mencoreng reputasi miliknya sendiri. Tentu Early jagonya dalam hal menahan amarah picik dalam diri. Early kerap kali berdecih manakala dirinya dikuasai lelah, lantaran gadis itu memiliki keyakinan bisa hidup tanpa menjadi model sekali pun. Oh dasar sombong, tentu saja hal itu benar kekayaan mendiang sang Ayah ditambah aset perusahaan sangat bisa memberikan kehidupan mewah baginya. Alih-alih tidak ingin disebut sebagai anak manja, Early muda mener
Aku menunggumu. Kalimat penenang sekaligus menorehkan luka. Papa tampan masih berada dalam mobil dirundung gejolak muak merantai diri, sampai pria itu kesulitan bernapas. Kelopak mata papa tampan terbuka setelah meresapi, mengingat dalam-dalam wajah serta ukiran senyum yang Cherry sematkan terakhir kali padanya untuk sebongkah rindu, selama dirinya jauh dari sisi gadis pujaan. Seharusnya Ares bisa lebih mudah melihat, menjumpai wajah manis pujaan saat mereka melakukan video call. Bersenda gurau saling melempar kiss dari jauh atau—yah, semacam apa yang biasa dilakukan sepasang kekasih kala mereka sedang melakukan hubungan jarak jauh. Komunikasi, 'kan? Sial! Lantas semua menjadi sulit saat Ares harus kehilangan jejak sama sekali. Tanpa kabar-tanpa petunjuk, barang sedikit pun. Desah frustrasi papa tampan kian sesak menyatu di udara yang mungkin saja telah bosan mendengar keluh serta umpat dari pria itu. Dua bulan ... lebih te
"OMONG KOSONG APA INI!" Lantang menggelegak kuat. Ares murka tak terima pemberitaan hebat mengenai dirinya segera menikah dengan seorang model cantik mencuat jadi buah bibir di tengah kecamuk hati tak kunjung reda. Ares risi—oh, tentu saja, kabar burung kali ini terselubung sebuah drama kacangan dari manusia tak bertanggung jawab. Cih. Lantas serta-merta dirinya terjamah api setelah membaca kalimat berjajar huruf kapital memuakkan dalam majalah tersebut. Ares langsung datang ke kediaman orang tuanya segera menuntut penjelasan. Marah, murka, jengkel serta dongkol seolah mendarah daging semenjak ia tak bisa lagi mengambil keputusan sendiri. Perilaku otoriter sang Ayah kian menekan gerak serta napasnya. Menurut Ares, sifat sang ayah bukanlah seperti James kepala keluarga penuh kehangatan dan bijak dalam menyelesaikan masalah. Justru terlihat seperti Hitler sang Ketua Nazi. Kejam dan tak terbantahkan. Obsidian pekat Ares semakin mengge
Terhitung ribuan kali, papa tampan buka tutup layar ponsel dengan alis terjungkit tinggi. Bukan sifat Ares sama sekali, harus tergganggu dengan hal berbau nomor tidak dikenal masuk menghubungi, tapi kali ini ia sangat didesak rasa penasaran hebat. Jangan salahkan Ares jika harus memberi tanda kutip pada nomor asing tersebut. Mm—yah tentu saja harus, dikarenakan dirinya sedang dilanda kegelisahan serupa mencari-cari nomor ponsel gadis pujaan hati yang kini tengah bermain petak umpet dengannya. Persisnya dua hari lalu, nomor asing tersebut tiba-tiba muncul dilayar ponsel Ares dengan satu panggilan tak terjawab. "Cherry?" Gumamnya terus fokus menatap ponsel mengabaikan kertas-kertas di atas meja serta email yang masuk ke dalam laptop. Hari beranjak siang dan Ares masih enggan menyentuh tugas harian. "Ares," pintu ruang kerja terbuka kasar lebar-lebar. Luke menarik napas payah serta mengatur suara dari ker
Lantas kala kebahagiaan mengalir deras mampu menampilkan senyum dalam arti sesungguhnya. Cherry tidak lagi merasa sendiri ataupun kesepian jika ia berada di tengah keluarga. Cherry bisa merasakan cinta serta kasih sayang tulus dari kedua mertua, Lina juga lainnya. Seiring waktu bergulir kegiatan Cherry semakin bertambah, selain menjadi ibu rumah tangga, Cherry disibukkan sebuah bisnis kosmetik dengan Brand 'Queen Cherry' dan telah tersebar di beberapa negara. Sedikit cerita, dua Minggu setelah menikah Cherry meminta izin pada Ares untuk pergi ke Miami dengan alasan ia masih memiliki kontrak kerja sama dengan beberapa produk iklan serta ada satu dari perusahaan ternama. Cherry tahu konsekuensi yang ia dapat pasti akan sangat merugikan, juga harus membayar ganti rugi. Terlebih sepengetahuan Cherry anak magang ataupun model yang telah menandatangani kontrak tidak boleh menikah sampai batas waktu yang ditent
Suara tawa renyah Prime mengudara lantas menjerit kuat saat manik anak laki-laki itu melihat mommy Cherry berdiri di ujung tangga. "Mommy, I miss you," kata bocah laki-laki itu berjalan setengah berlari dikuti Rira dari belakang yang tampak ketakutan kalau Prime akan terjatuh. "Oh, ya Tuhan, hati-hati!" Kekehan kecil Cherry terdengar berselisih dengan rasa khawatir saat ia menyambut suara serta tingkah lucu Prime, membawa anak laki-laki itu ke dalam dekapan. "Me too, handsome," Cherry menoel hidung kecil Prime dan bocah itu tertawa riang. Ares tersenyum menawan, mencium gemas pipi Prime sebelum mengeluarkan protes. "Sama Daddy tidak rindu, ya?" Lucunya Prime menggeleng lantas menjawab dengan suara belepotan ala-ala anak seusianya. "I'm not miss you," Ares menutup wajah berpura-pura menangis sedih. Prime yang kala itu dalam gendongan Cherry mencoba meraih jari besar Ares bermaksud menjauh tangan besar itu dari
Kalian pasti mengenal kata euforia, bukan?! Salah satu aksen wujud nyata sebuah kegembiraan tak terbatas, bersemangat, bergairah dan ... ah, tentu saja sangat intens. Kali ini euforia datang secara mendadak kelewat serius sampai si Pemilik ikatan dibuat canggung serta linglung. Kebahagiaan dari komitmen lembaran baru singgah menyapa Ares Allan yang berhasil memberi gelar gadis pujaan bernama Qyana Thomas sebagai istri sah miliknya, memberi warna juga bentuk lain memaknai kisah mereka di atas kanvas bernama takdir yang mengharukan. Detik menjelang kebahagiaan lidah Ares nyaris terkilir melecut kata penolakan. Sungguh papa tampan merasa bersyukur mampu mengendalikan diri. Beralih pada Cherry, gadis bernama asli Qyana Thomas sempat salah tingkah mendapati detik demi detik dalam hidupnya digulung ombak kebahagiaan kental. Cherry hampir tidak percaya, mendapat hadiah terbaik di hari yang tidak pernah ia duga. Yah, kedua insan di sana masih semp
Terry tampak gelisah. Kaki wanita paruh baya itu tidak henti menyapu marmer pada jejak yang sama. Menggigit kuku jari telunjuk polos tanpa pewarna, sesekali Terry menoleh berharap seseorang yang ia nantikan muncul dari balik pintu utama. "Apa benar, ya?" monolog Terry, membuang napas halus. "Percaya atau tidak ya?!" Wanita paruh baya di sana terlihat bimbang mengenai ucapan sang suami. Terry sempat memasang wajah sangar kala James tiba-tiba membangunkan dirinya untuk terjaga sesaat dan menunggu pria itu kembali ke rumah. Tentu saja bukan hal mudah untuk James langsung keluar rumah begitu saja mengingat langit di luar masih tampak sangat gelap, yang lebih utama, besok adalah hari penting untuk putra mereka. "Bagus, kau ingin lepas tangan atas nasib putramu sekarang." Kalimat ketus istri tersayang langsung hinggap ke telinga tepat setelah kelopak Terry terbuka, serta-merta menyidik sinis penampilan rapi James dari atas sampai bawah
5 jam sebelum pernikahan .... Cherry belum mau beranjak dari sofa dekat jendela kamar. Gadis itu sedang berusaha melepas kisah asmara yang dalam hitungan jam ke depan menjadi kenangan. Cherry tersenyum memandangi bulan indah bersinar terang di atas sana. "Ayah," Cherry memanggil lemah. "Beri aku waktu melupakan kisah indah ... hatiku sedang sesak." Menunduk sesaat menyimak ribuan lampu-lampu menyala di luar sana lalu padam satu per satu. Tidak ada air mata tumpah menganak sungai, namun sesekali arah pandang gadis manis itu tampak buram segera mungkin mengerjab, ia melapangkan hati ... kuat. "Ayah ... bagaimana kabar ibuku?" alih-alih mengutarakan rasa tidak nyaman dalam hati, Cherry justru bertanya tentang ibu kandungnya. "Aku tahu, kalian pasti sudah bertemu dan bahagia di sana. Tenang saja aku tidak percaya cerita Ibu Merlin tentang ibu kandungku Merlina." Menggeleng lucu seolah kedua orang tuanya ada di hadapan sedang
Tanpa harus menggali lebih jauh Ares tetap tahu apa yang ada di dalam lubuk hatinya. Apa yang membuat dirinya jatuh dan sakit berkepanjangan. Tidak ingin larut dalam kesedihan, pria itu menambah waktu sibuk guna melepas beban pikiran tertinggal dari segala persoalan yang tak kunjung ada jalan keluarnya. Dilema berkepanjangan ini sangat menguras pikiran juga menusuk menyiksa batin si Pria tampan, serta merta lupa memberi asupan terpenting saat tubuhnya lelah. Yah, Ares memilih cara menyakiti diri sendiri memaksakan kehendak pada tubuhnya harus tetap terjaga kala lelah menyerang. Pernah suatu malam Ares diajak berpikir keras. Duduk di ruang tamu kamar hotel ditemani Luke juga satu botol Martini, papa tampan kerap bertanya, siapa yang harus disalahkan atas dilema berkepanjangan ini?! Saat itu Luke memberi jawaban cukup bijak membantu hatinya yang terluka terlapisi rasa tenang. Ayah, Ibu, Early, Tante Merlin atau sifat naif dari gadis manis yang mas
Dua Minggu pasca kejadian memuakkan Ares tidak memberi perintah apa pun pada Eric. Papa tampan lebih memilih bertindak berhati-hati. Mengikuti segala keputusan atau lebih tepatnya perintah sang Ayah tanpa harus kembali bersuara. Ares selalu datang jika sang Ayah hanya mengirim sebuah pesan sekali pun, lantas mengabulkan segala perintah dari James yang membuatnya terlihat seperti orang bodoh karena tidak bisa membangkang. Berbalik tiga ratus enam puluh derajat dengan keinginan hati. Ares memendam pedih di hatinya, tetap beraktivitas memasang wajah tenang setiap waktunya. Tidak ada yang tahu jika setiap malam papa tampan bahkan sulit untuk memejamkan mata. Ia harus bertahan, tetap mencari jalan keluar tanpa dicurigai. "Ya Tuhan, coba lihat putriku ini sangat cantik." Puji Merlin melihat putrinya memakai gaun pengantin indah. Si Pemilik butik tersenyum lembut, "Benar, kau sangat cantik." Mereka tertawa riang dan Early harus berpura-pura men
Ares memutar bola mata malas lalu menutup pintu mobil kasar. Melangkah masuk area gedung yang sama sekali tidak ada dalam daftar jadwal kegiatan pria itu. Kalau bukan karena sang Ibu dirinya tidak akan sudi melakukan hal sia-sia seperti ini. Pintu lift terbuka, langkah Ares semakin berat kala manik pekat milik papa tampan menangkap pintu kamar rawat beberapa centi meter dari jaraknya. "Anda melupakan sesuatu, Tuan Ares." Tepat empat langkah sebelum mereka sampai depan pintu kamar rawat Luke menyapa ramah. Sekretaris Ares mengulurkan tangan memberi sesuatu yang terlihat mengerikan di mata Ares. Manik hitam Ares menyimak wajah Luke yang kini tengah menahan senyum laknat lalu bergulir pada tangan pria itu. "Hei, bedebah." Luke menatap wajah Ares. "Ya, bajingan," balas Luke kalem. Dagu Ares bergerak satu kali menunjuk benda di tangan Luke. "Kenapa beli hal busuk mengerikan seperti itu?" "Aku tidak tahu jenis-jenis b
Leon menarik napas lega, baru saja pemuda itu hendak membuka minuman kaleng, maniknya menangkap gerakan tangan Early. Leon mendekati ke sisi ranjang. "Ah, putri tidur sudah bangun rupanya, jangan paksakan tubuhmu untuk bergerak." Leon menekan tombol pemanggil suster penjaga. Tidak lama suster penjaga datang. "Tolong panggilkan dokter, dia sudah siuman." Suster bergegas memanggil dokter. "Biar aku periksa," sapa seorang dokter pada pemuda Thomas. Leon memberi ruang pada dokter. Suster mencatat data baru dari pasien. "Syukurlah, masa kritis pasien telah lewat. Biarkan ia beristirahat lebih banyak dan beri air putih secukupnya, aku akan datang dua jam lagi untuk pemeriksaan lebih lanjut." "Ya, terima kasih." Melihat dokter serta suster telah keluar pintu. Leon menghampiri Early. "Leon," panggilan Early lemah nyaris seperti sebuah bisikan. "Ya," Leon me