Laisa telah menemukan target yang ia cari. Yuta, pemuda berusia 21 tahun, tinggi 180 senti, dengan tubuh kurus. Di luar dugaan, tidak sulit menemukan pemuda itu. Ketika beraksi di dunia maya, Yuta menggunakan komputer di sebuah warnet 24 jam.
Laisa telah bertanya pada pemilik warnet dan Yuta memang sering datang bahkan menginap saat malam. Harusnya target yang Laisa cari memang Yuta, tapi pemuda itu terlihat biasa. Sama sekali tidak ada yang spesial. Yuta tidak memiliki banyak teman dan lebih sering terlihat sendiri. Kesibukannya hanya kuliah dan bekerja paruh waktu.Awalnya Laisa ingin bertindak, segera menyelesaikan misinya dan pulang. Tapi tiba-tiba saja ia teringat pesan Mika. Tidak boleh ceroboh, tidak boleh terburu-buru. Laisa kemudian menahan diri. Memilih untuk mengawasi pemuda itu. Barang kali ada sesuatu yang bisa ia dapat.“Cola onegai![1],” kata Laisa sembari menyerahkan uang receh terakhirnya.Begitu Laisa turun dari pesawat, ia segera lepas landas menuju rumah sakit tempat Mika di rawat. Laisa berlari dengan panik. Menabrak orang lewat, nyaris terbentur brankar, dan hampir jatuh tersandung kaki sendiri. Begitu sampai di kamar rawat, sepupu yang tengah ia khawatirkan setengah mati sedang tertawa. Ada Kyra dan Razan yang menemani. Mendapati Mika sama sekali tidak menyesal membuat dirinya sendiri terluka, membuat Laisa semakin sebal. "Laisa, kamu sudah pulang," sapa Razan. Laisa tidak membalas. Ekspresinya yang tidak ramah membuat keadaan mendadak hening. Mereka tahu Laisa marah. "Bukannya kamu menyuruhku agar berhati-hati? Bukannya kamu menyuruhku agar jangan ceroboh? Lalu bagaimana denganmu? Kenapa saat aku berhati-hati justru kamu yang bersikap ceroboh?!" "Laisa ..." "Jangan memotong!" Laisa beralih pada Razan yang menginterupsi. Seketika itu juga Razan kembali merapatkan bibirnya. "Iya,
"Masuk!" Laisa muncul dari balik pintu dan berbicara dengan satu kata kemudian menghilang. Kyra dan Razan yang menunggu di kursi lorong saling bertukar pandangan, kemudian tersenyum. Keduanya beranjak masuk. Laisa duduk dengan malas di kursi samping ranjang. Ia mengupas buah tapi bukan untuk Mika melainkan untuk dirinya makan sendiri. Begitu Razan dan Kyra masuk, jangankan melirik, Laisa berpura-pura tidak tahu. Ia memasang wajah datar dan tetap fokus pada apel yang ia kupas. "Tanganmu masih nyeri?" tanya Kyra. Ia duduk di tepi ranjang sebelah kanan. “Sudah lebih baik.” Laisa melirik dari sudut matanya. Memperhatikan setiap hal yang Kyra lakukan. "Apel ini saya belikan untuk Mika karena dia sakit. Tapi sekarang kenapa justru Laisa yang makan?" Razan mencoba menggoda Laisa. Berusaha mengembalikan suasana hati Laisa yang belum membaik. "Cerewet! Memangnya Mika bisa menghabiskan semuanya sek
Saat masih berkumpul di ruang rawat Mika, Razan mendapat panggilan dari tempatnya bekerja. Padahal jam istirahatnya belum selesai tapi ia kembali dengan terburu-buru. Tampaknya sebuah kasus telah terjadi. Tidak lama setelah Razan pergi, ibu Mika datang. Sebelumnya Kyra yang menggantikan orang tua Mika untuk menjaganya. Ibu kelihatan letih dan kurang tidur. Awalnya ibu Mika menolak tapi setelah dibujuk dan ditemani suaminya, akhirnya ibu Mika setuju untuk pulang dan beristirahat. Setelah cukup tidur dan menenangkan diri, ibu Mika terlihat lebih baik. Wajahnya lebih cerah dan penampilannya lebih segar. Kyra pamit undur diri lebih dulu. Laisa juga memilih pamit karena selalu merasa canggung saat bersama ibu Mika. Mereka berjanji akan datang lagi. Menasihati Mika untuk tidak banyak bergerak agar lukanya lebih cepat kering. "Iya, aku tahu." Mika memasang ekspresi malas bak anak kecil yang dongkol mendengar ocehan orang dewasa. K
Razan pulang ke rumah lebih larut dari hari-hari biasanya. Rapat yang membahas kasus menjadi lebih panjang dan ada banyak hal yang harus diselidiki. Tugas semakin menumpuk dan tekanan menjadi semakin berat. Razan merasa lelah. Ia butuh istirahat panjang, butuh banyak tidur. Razan masuk ke kamarnya yang gelap. Ketika ia menyalakan lampu, betapa Razan terkejut dengan apa yang ia lihat. Razan bahkan sampai melompat dan menjerit. "Malam!" Laisa melambaikan tangannya, memasang wajah tanpa dosa. Bukan hanya Laisa, Kyra dan Mika juga datang. Ketiganya tersenyum jahil. Merasa puas telah berhasil memberi kejutan. "Kalian mau apa?" Razan berubah defensif. Spontan ia memeluk tubuhnya. "Jangan mikir macam-macam!" Laisa menggunakan telunjuknya untuk mendorong kepala Razan. "Dasar mesum!" "Mesum?!" ulang Razan tidak habis pikir. "Kenapa jadi saya yang disebut mesum? Kalian sendiri yang masuk ke kamar saya. Wanita, malam-malam masuk ke ka
"Jadi di sini tempatnya." Laisa berbicara sendiri. Laisa sedang berdiri di depan sebuah bangunan setengah jadi yang terbengkalai. Ia mengamati bangunan berlantai tiga itu lekat. Memperhatikan bentuk dan keadaan sekitarnya yang dipenuhi rumput liar dan tak terurus. Setelah puas mengamati, Laisa mendekati bangunan. Ada satu tempat dalam bangunan yang memang telah menjadi tujuan kedatangannya. Bangunan terbengkalai setengah jadi yang Laisa datangi terletak di pinggiran kota. Tempatnya tidak begitu tersembunyi. Sekitar 200 meter dari jalan besar. Tempat yang menjadi TKP kasus Rania-Nova. Sampai saat ini Rania masih belum sadar sementara ada hal yang terus mengganggu pikiran Laisa. Karena orang yang bersangkutan tidak bisa ditanyai, Laisa memilih pergi ke TKP untuk memeriksanya sendiri. Garis polisi yang menyegel Tempat Kejadian Perkara masih terpasang rapi. TKP kasus Roy Purnama juga ada di lantai dua, lantai yang sama namun di
Saat tim penyidik sibuk menganalisa kasus yang terjadi antara Rania-Nova, tiga orang pria berpakaian rapi dengan mengatas namakan Badan Inteligen datang ke markas. Ketiganya menemui Ketua tim dan berbicara cukup lama dalam ruangannya. "Sudah setengah jam mereka di dalam. Kira-kira apa yang dibicarakan?" Razan bergumam seorang diri. "Razan!" Oliver, seorang rekan yang duduk di sebelah mejanya menggeser tempat duduknya agar lebih dekat. "Menurutmu apa ini ada hubungannya dengan kasus yang sedang kita selidiki? Menurutmu apa mereka akan mengambil alih kasus?" Razan menatap lawan bicaranya, berpikir sejenak, kemudian menggeleng. "Bagaimana kalau mereka benar-benar mengambil alih kasus kita?" kata Oliver lagi. "Tidak mungkin!" Raymond, rekan yang lain, yang duduk di depan Razan menimpali. "Dengar-dengar Badan Inteligen sedang menyelidiki kasus besar. Mana mungkin ada waktu untuk ikut campur kasus kita." "Dengar-denga
Karena kasus Rania-Nova jatuh ke tangan Badan Inteligen, Mika dan yang lainnya memilih menyelidiki kasus sendiri. Mereka akan fokus pada Nova. Tidak ada alasan khusus memilih fokus pada Nova dibanding Rania, mereka hanya mengandalkan insting. Mereka merasa menyelidiki Nova akan menghasilkan sesuatu yang lebih. Tugas dibagi agar lebih cepat mendapatkan hasil. Razan tetap pada timnya untuk menyelidiki kasus sesuai instruksi Ketua tim. Laisa menyelidiki apa yang Nova lakukan sebelum wanita itu menghilang. Sementara Kyra menyelidiki masa lalu Nova. "Kenapa aku memeriksa identitas sementara kamu memeriksa apa yang Nova lakukan sebelum ini?" Kyra memprotes pembagian tugas yang tidak sesuai dengan keinginannya. "Karena aku yang membagikan tugas, jadi semua terserah padaku," jawab Laisa dengan tampang menyebalkan. Kyra melotot sebal. Mika dan Razan yang sejak awal hanya menjadi penonton dan pendengar sejati, saling bertukar pandang
Tempat yang pertama kali Laisa datangi untuk mencari jejak-jejak Nova sebelum wanita itu menghilang adalah tempatnya bekerja. Tapi berdasarkan keterangan rekan kerjanya, kantor mereka telah libur sejak sepekan yang lalu. Para rekan kerja sudah tidak pernah bertemu dengan Nova lagi. Bahkan sejak saat itu sudah tidak bisa dihubungi."Enggak bisa dihubungi?" ulang Laisa.Yang ditanya mengangguk. "Biasanya memang sering seperti itu," tambahnya menjelaskan. "Selain di tempat kerja, Mbak Nova biasanya susah dihubungi. Kalaupun kita ke rumahnya, orangnya belum tentu ada. Jadi kami enggak heran lagi."Laisa mengangguk mengerti. Meski Laisa hanya menanggapi seadanya, tapi otaknya bekerja dengan keras. Harusnya ada petunjuk yang bisa ia simpulkan dari setiap keterangan yang didengar."Kalau begitu saya pamit dulu.” Laisa pamit undur diri. “Kalau kalian memiliki informasi baru atau mengingat hal-hal yang berhubungan dengan Nova, kalian bisa menghub
Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari dua jam, sampailah Mika dan Laisa di sebuah rumah sakit yang terletak di pinggir kota. Kyra dirawat di sana. Dua hari yang lalu Kyra ditemukan di pesisir pantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sudut bibirnya pecah dan memar di mana-mana. Nelayan yang menemukannya kemudian membawanya ke rumah sakit."Halo!" Laisa menyalami seorang pria yang telah menunggunya di lobi rumah sakit."Halo, saya orang yang menghubungi Anda." Pria itu balas menyalami Laisa. Juga bersalaman dengan Mika. "Orang yang akan kita temui ada di ruang rawat lantai tiga," tambahnya menjelaskan."Apa dia benar orang yang kita cari?" Mika meminta kepastian.Kyra menghilang selama lebih dari tiga bulan. Selama itu, Mika beberapa kali mendapat petunjuk. Petunjuk palsu yang berakhir pada kekecewaan. Kali ini, meski harapan sama tingginya seperti yang lalu-lalu, ia tetap tidak ingin merasa lebih kecewa."Bisa saya pastikan dia be
“Mika tidak perlu tahu dari mana Ayah bisa mendapatkan dokumen itu. Mika hanya perlu tahu bahwa yang tertulis di sana adalah benar,” tegas Ayah. Sembari menatap anaknya dengan tatapan ingin dimengerti, Ayah melanjutkan, "Setelah ini Mika tidak perlu khawatir. Segalanya akan segera selesai."Mika menatap ayahnya dengan tatapan menyelidik. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan dan lebih banyak lagi yang tidak ia mengerti. Tapi, apa Ayah akan memberi jawaban?"Bagaimana dengan Kyra? Bagaimana dengan keselamatannya?" Setidaknya Mika harus mengetahui sesuatu yang juga penting.Ayah terdiam sesaat. Setelah semua yang terjadi, tidak ada yang bisa menjamin apa yang selanjutnya akan terjadi. Mereka tidak tahu bagaimana kemampuan musuh yang saat ini dihadapi. Mereka tidak bisa menghitung peluang bahwa Kyra akan baik-baik saja."Tanpa memedulikan keselamatannya Ayah membuat keputusan sendiri?" Mika terlihat kecewa."Itu pekerjaannya!" Ayah berkata p
Saat ini Kyra menghilang, Zay juga ikut menghilang. Sementara Mika yang masih diliputi ketidaktahuan nyaris frustrasi. Mika sama sekali tidak habis pikir apa yang sebenarnya ada di benak Kyra. Awalnya Mika pikir setelah mengunjungi Zay, ia setidaknya akan mendapatkan sedikit titik terang. Namun ia terlambat selangkah. Zay telah pergi. Pada akhirnya tidak ada yang Mika dapatkan. Mika sedang merenungkan semua yang telah ia alami hingga detik ini. Ada firasat buruk yang menjalari kepalanya setiap kali memikirkan Kyra. Sudah banyak orang dikorbankan dalam permainan. Kini yang ada di pikiran Mika hanya menyelamatkan Kyra dan mengakhiri semua. Ketika masih sibuk dengan pikiran-pikirannya, Mika mendengar suara dari balkon. Suara-suara yang mencurigakan namun sama sekali tidak membuat Mika panik. Ia duduk dengan tenang sembari menunggu. "Akhirnya datang juga." Mika menunjukkan ekspresi kebosanan.
"Sekarang bagaimana?" Laisa bertanya kepada Mika ketika mereka telah berada di halte. "Ke tempat Kyra tinggal," jawab Mika singkat. "Mika masih mengkhawatirkan anak itu?" Bagi Laisa, selain Kyra masih ada banyak hal yang patut dikhawatirkan. Salah satunya adalah kesehatan Mika sendiri. Mika tidak menanggapi. Ia telah membuat keputusan dan apa pun yang Laisa katakan tidak akan bisa mengubahnya. "Bukankah harusnya Mika pulang dulu agar Ibu enggak khawatir." Meski Mika tidak meminta, Laisa tetap memberi alternatif pilihan. Mika menggeleng tegas. "Kalau sudah pulang enggak akan mudah untuk ke luar lagi."Benar, Laisa membatin. Ibu Mika pasti tidak akan dengan mudah memberi izin bagi putri kesayangannya ke luar dan berkeliaran di jalan. Ditambah lagi apa yang akhir-akhir ini baru menimpa Mika.Laisa menghela napas. Sebenarnya Laisa tahu ia tidak akan bisa mengubah apa yang telah Mika putuskan, tapi setidaknya ia telah me
"Apa dia?" Laisa menunjukkan foto seseorang di layar ponselnya. Ia ingin wanita yang berbicara dengannya mengidentifikasi wajah yang ia tunjukkan. Wanita yang berbicara dengan Laisa memperhatikan lekat foto yang ditunjukkan. Keningnya berkerut dalam saat mencoba mengingat. "Saya enggak lihat jelas wajahnya tapi dari ciri-ciri persis orang ini." "Siapa?" Mika yang penasaran, mengintip ponsel Laisa dan hasilnya cukup mengejutkan. "Kenapa? Kenapa Kyra?"Mika sungguh tidak menyangka Laisa akan menunjukkan foto Kyra. Tidak alasan Kyra dicurigai. Juga, tidak ada alasan bagi Laisa menemui Zay tengah malam. Kecuali ..."Kyra mempunyai petunjuk yang enggak kita ketahui?" Laisa berbicara seolah tahu apa yang sedang Mika pikirkan.Mika tidak menyahut ataupun membalas. Ia tidak tahu jawabannya. Tidak tahu apa yang tengah Kyra pikirkan. Juga tidak tahu apa yang wanita itu rencanakan. Ia hanya percaya bahwa Kyra tidak akan mengkhianatinya.Apa yang ingin ditanyakan telah ditanyakan dan apa yang p
"Mika yakin mau keluar dari rumah sakit?" tanya Laisa untuk ke sekian kalinya. Mika juga mengangguk untuk ke sekian kalinya. Laisa membantu berkemas tapi ia terus bertanya tentang ini dan itu. Laisa tidak bisa tidak khawatir. Terlebih, karena pembicaraan semalam sama sekali tidak menyenangkan. Setelah pembicaraan semalam, Mika lebih banyak diam. Ada kemarahan, perasaan kecewa, dan sorot mata penuh kekhawatiran. Laisa tahu persis rasanya. Bahkan sampai detik ini, ia tidak ingin percaya. Dadanya masih terasa sesak. "Bagaimana dengan Ibu Mika? Bagaimana dengan kesehatan Mika?" Laisa tidak berhenti bertanya. "Sudah seperti ini, aku tidak bisa hanya berbaring di rumah sakit." Mika bicara tanpa menatap lawan bicaranya. Ia menghentikan aktivitasnya. Laisa ikut berhenti. Kemudian menghela napas. "Aku akan menghubungi orang tuaku. Jangan khawatir!" tambah Mika. "Kalau begitu aku akan mengurus administrasinya." Laisa menawarkan bantuan dan berlari ke luar ruangan. Begitu Laisa pergi,
Kegelapan semakin pekat dan malam semakin larut. Bulan berselimut awan, sedang bersembunyi dengan nyaman. Bintang tidak menyapa, tersipu oleh gemerlap kesibukan kota yang tiada henti.Laisa berusaha memejamkan matanya namun tanpa hasil. Mencoba membenamkan wajah di atas bantal pun sia-sia. Meringkuk di balik kemul juga gagal. Padahal ia merasa lelah, merasa butuh istirahat.Laisa berharap setelah bangun keesokan harinya, semuanya akan baik-baik saja. Ia berharap kemarahannya telah berkurang. Berharap rasa sakit hatinya terobati. Berharap kesedihannya hilang. Berharap kemelut dalam kepalanya lenyap.Hela napas panjang terdengar di tengah kesunyian kamar. Laisa merasa malam ini seolah tanpa akhir. Merasa genrenya berubah melankolis. Ia tidak suka. Benci pada dirinya sendiri yang seperti ini."Ah, kepalaku sakit!" keluh Laisa.Merasa tumpat oleh keheningan sekeliling yang seakan menghisapnya, Laisa memutuskan beranjak. Ia tidak boleh seperti ini terus-menerus.Laisa mengambil jaket kulit
Kyra masih menunggu. Ketika pintu dibuka dengan kasar dan seseorang melangkah ke luar, Kyra sedikit terkejut.Orang yang ke luar lebih dulu adalah Laisa. Raut wajahnya terlihat semakin tidak baik dan emosinya yang berantakan tampak begitu jelas. Ia tampak tidak baik-baik saja dan tidak mencoba berpura-pura baik-baik saja.Hasil pembicaraan bisa ditebak tidak berakhir dengan baik. Meski seperti itu, Kyra tetap penasaran. Ia mengintip ke dalam ruangan sebelum pintu akhirnya tertutup. Tampak jelas wajah putus asa Razan dan pipi kirinya yang memar kemerahan. Bayaran atas pengkhianatannya.Laisa pergi tanpa mengatakan apa pun. Kyra membuntut juga tanpa bertanya apa pun. Apa pun yang keduanya bicarakan, yang terpenting adalah bagaimana Laisa tidak goyah. Dan semua itu sudah terlihat jelas dari hasil pembicaraan yang tidak berakhir dengan baik.Laisa adalah tipe yang emosional. Bagaimana kondisi emosi dalam dirinya, telah tercermin dari tindakannya. Bahkan sebelum ia mengatakan apa pun. Tind
Razan bersikeras minta diberi waktu untuk bicara berdua dengan Laisa. Kyra sebenarnya merasa keberatan. Ia pikir, ia memiliki hak untuk mengetahui kebenaran yang Razan sembunyikan. Orang yang terlibat sejak awal adalah dirinya. Dibanding Laisa maupun Razan, Kyra memiliki alasan paling kuat untuk mengetahui segala yang bersangkutan dengan kasus.Namun, melihat dari sisi lain, apa yang terjadi antara Laisa dan Razan juga melibatkan masalah pribadi keduanya. Karena masalah umum dan pribadi tercampur aduk, dengan berat hati Kyra memberi ruang untuk keduanya bicara berdua.Kyra meninggalkan ruang karaoke dan berdiri menunggu di luar. Ia harus senantiasa siaga, agar jika sesuatu terjadi, ia bisa cepat mengambil tindakan.Membiarkan Laisa dan Razan berbicara berdua, Kyra hanya bisa meninggalkan kepercayaannya. Ia yakin Laisa tidak akan mudah terperdaya pada apa yang mungkin Razan akan tawarkan."Semoga saja." Kyra menghela napas dan berkata lirih. Tampaknya ia tidak yakin seratus persen pada