Laisa sedang merenung di kantor detektif miliknya yang temaram. Lampu ruangan tidak dinyalakan bukan karena tidak sanggup membayar listrik. Laisa sengaja. Karena hanya dengan berada di tempat temaram dan sepi, ia bisa fokus berkonsentrasi.
Ada hal yang mengganggunya. Memindahkan 6 orang dalam waktu singkat sangat tidak efektif, bahkan meski pelaku beraksi lebih dari satu orang. Laisa sedang memikirkan kemungkinan pelaku menukar dengan kendaraan yang sama. Cara itu lebih praktis. Hanya perlu mengganti pelat dan memindahkan si sopir.Laisa duduk bersandar pada punggung kursi dengan kakinya terangkat lurus ke atas meja. Hanya ada ia sendiri dalam ruangan sehingga tidak ada yang akan menceramahinya tentang tata krama dan bagaimana seorang wanita harusnya bersikap.“Dapat!” Laisa berseru. “Wah, aku enggak menyangka kalau ternyata otakku bisa segenius ini,” tambahnya memuji diri sendiri karena ternyata dugaannya benar.Ketika Laisa dan Razan tersungkur di tanah setelah gagal menyerang Pak Omar, pria itu memanfaatkan kesempatan untuk kabur. Masih tidak juga rela kalah, Laisa dan Razan mengajar. Mereka mengeluarkan langkah tercepat. Melewati jalan kecil, menghindari orang, dan nyaris tertabrak motor. Mereka tiba di jalan besar. Masih terus berlari, melewati trotoar dan pedagang kaki lima. Saat akhirnya jarak semakin tipis, Pak Omar memasuki lingkungan Museum Nasional dan di saat yang bersamaan, rombongan turis sebanyak dua bus berhambur ke luar. Tidak ingin melewatkan kesempatan, ia ikut membaur di antara para turis. Kemeja kotak-kotak yang dipakai untuk lapisan luar kausnya di lepas dan di jatuhkan ke tanah begitu saja. Pak Omar bahkan mengambil topi salah seorang turis yang lengah. Laisa dan Razan kesulitan menemukan targetnya. Mereka memilah berdasarkan bentuk tubuh dan jenis kelamin. Kemudian memastikan dengan melihat wajah orang yang dicurigai. Tapi mencari b
Saat Jovita terbunuh, rasanya seperti mimpi, sulit dipercaya. Dan saat Isamu juga terbunuh, mimpi buruk yang menjelma nyata. Rasanya seperti sebuah teror. Kematian begitu dekat, begitu nyata. Mengikuti dengan rapat, tepat di belakang punggung. Kejadian yang menimpa Jovita sungguh tidak terbayangkan. Seolah hal itu belum cukup, mereka kembali di kejutkan dengan hal serupa. Mungkin yang kali ini sebuah peringatan. Bahwa segalanya belum berakhir. Bahwa mereka tidak akan dibiarkan tenang. Tidak, bahkan untuk sesaat. “Dalam waktu dua hari, dua orang terbunuh tepat di depanmu. Sebenarnya apa yang kamu lakukan?” Adien berkata ngeri. Adien secara terang-terangan menjauhi Tami. Seperti Tami dapat menularkan nasib buruk pada siapa pun atau lebih parah lagi, pembawa kematian. Berada di satu tempat yang sama saja sudah membuat tidak nyaman, apa lagi harus berada tepat di depannya seperti saat ini. Tami menatap nyalang ke arah Adi
Malam semakin larut. Kegelapan yang berasal dari luar semakin melebarkan sayapnya yang kelam. Bulan enggan muncul meski hanya sesaat untuk menyapa. Terus bersembunyi dengan nyaman di balik awan kelabu. Mika sedang mengurung diri dalam kamarnya yang gulita. Sebelumnya ia bisa merasa tenang saat berada di tempat gelap. Ia bisa berpikir dengan tenang. Jika sudah seperti itu Mika merasa dirinya mirip Laisa Khalila, sepupunya yang pemberontak itu. Secara sadar, Laisa banyak memberi pengaruh untuk hidup Mika. Kemampuan memasak, mengurus TKP, sampai sedikit ilmu bela diri yang Mika pelajari, semua berasal dari Laisa. Laisa adalah wanita yang suka pamer. Ia selalu membanggakan kelebihan dan segala hal baru yang telah ia pelajari. Setelah berhenti mempelajari sesuatu Laisa akan menunjukkan apa saja yang telah ia kuasai kemudian menurunkan beberapa pada Mika. Laisa berkata kalau ilmu yang ia turunkan adalah bayaran dari surat kelulusan yang Mika buat untukn
Pukul setengah enam pagi, vila di pulau itu masih tenang. Masih sama sekali belum ada aktivitas yang terlihat. Beberapa menit kemudian, seseorang membuka pintu kamarnya dengan hati-hati. Kemudian melangkah menuruni tangga. Langkahnya perlahan dan tanpa suara. Ada kantong plastik hitam yang ia bawa. Tujuannya adalah pintu belakang. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku. Jepit rambut hitam yang telah dibengkokkan menyerupai kunci. Dengan sedikit usaha dan kesabaran, pintu akhirnya terbuka. Sebelum beranjak keluar, ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan segalanya aman dan hanya ada dirinya sendiri di sana. Hawa dingin yang segera menyergap begitu pekat. Ia mengusap-usap kedua lengannya untuk sedikit memberi rasa hangat. Suasana tenang, lenggang, dan sejuk. Tempat ini sebenarnya sempurna untuk berlibur. Tanpa kesibukan kota, polusi, dan asap kendaraan bermesin. Menikmati pemandangan yang permai dan air laut yang jernih. Sungguh sempurna jika saja situasinya
"Jadi, siapa yang mau menjelaskan apa yang sedang terjadi?" Mika bertanya pada Adien dan Tami. Begitu pintu dibuka, Adien merapat pada Mika dan Rania. Ia terlihat begitu ketakutan. Tami yang berdiri pada jarak lima langkah dari mereka merasa telah menjadi seorang antagonis yang menyedihkan. Antagonis yang bahkan tidak tahu telah melakukan kejahatan apa. "Aku ..." "Tami mengagetkanku. Dia muncul diam-diam dari belakang. Bukankah itu aneh?! Itu jelas-jelas aneh!" Adien menunjuk ke arah Tami namun menyembunyikan tubuhnya di belakang Mika. Di situasi seperti ini, siapa yang berbicara lebih dulu maka dialah yang memegang kendali. Sementara orang yang berbicara setelahnya, hanya akan dianggap mencari-cari alasan, melakukan pembenaran. Mika menatap Tami meminta penjelasan. Tami mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka kalau Mika akan mempercayai perkataan Adien mentah-mentah. Tami juga menatap ke arah Rania. Meski wan
Saat masalah telah selesai, semua kembali ke kamar masing-masing. Sebenarnya situasi saat ini benar-benar tidak menguntungkan. Dengan setiap orang sibuk saling menghindar dan berpikir dengan cara masing-masing mereka akan cenderung lebih pasif. Tapi tidak ada pilihan lain. Tidak ada yang yakin siapa yang benar-benar teman dan siapa yang sebenarnya musuh. Membagikan informasi secara membabi buta tidak akan menguntungkan. Saat tidak ada lagi suara yang terdengar dari lorong lantai dua, Mika meninggalkan kamarnya. Ada hal yang membuatnya penasaran dan semakin dipikirkan, semakin Mika tidak tenang. Tempat yang menjadi tujuan Mika adalah kamar paling ujung sebelah kanan. Pintu kamar masih tertutup seperti sebelumnya, tapi ketika Mika masuk seseorang telah berada di sana lebih dulu. "Lama sekali. Aku sudah menunggumu dari tadi." Rania Meisy. Wanita itu bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada. Ekspresinya terlihat mulai bosa
"Mika, Mika! Mika, buka pintunya!!" Tami menggedor-gedor di depan kamar Mika. Ia bersikap seperti orang kerasukan. Saat Mika muncul, ia terkejut karena melihat wanita itu keluar dari kamar paling ujung bersama Rania dan bukan berada di kamarnya. "Kenapa ...” Tami menunjuk Mika dan Rania bergantian. “Ah, lupakan!" Dari mana pun Mika keluar atau masuk itu hak Mika, Tami tahu ia tidak boleh ikut campur. "Lihat, apa yang kutemukan!" katanya beralih pada hal yang lebih penting. Mika, Rania, dan Adien yang juga keluar dari kamarnya mendekat untuk melihat dengan jelas benda yang ada di tangan Tami. "Kamera?" Mika seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Kamera? Kamera CCTV?!" seru Rania "Bagaimana mungkin ada kamera?" Adien menyahut. "Aku menemukan benda ini di kamarku," jelas Tami. Kamar Tami berada di ruangan pertama sebelah kanan. Ia mengajak semua orang ke kamarnya da
Mika tidak setuju karena secara tiba-tiba Rania membagikan informasi bahwa ia telah berhasil mengirim pesan keluar. Karena sekali lagi, Mika masih belum yakin siapa yang benar-benar teman dan siapa lawan. Membagi informasi secara membabi buta tidak akan menguntungkan. "Karena itu, orang yang paling enggak setuju kita bisa secepatnya keluar dari tempat ini pasti pelakunya." Rania berkata yakin. "Tapi aku tidak setuju caramu membuat keputusan tanpa bertanya dulu padaku." Mika tetap tidak puas. "Iya, iya, maaf. Enggak akan kuulangi lagi," janji Rania. Setelah selesai membahas situasi secara empat mata, Mika dan Rania kembali bergabung bersama yang lainnya. Di luar dugaan, ekspresi Tami dan Adien justru tidak terlihat tenang atau merasa senang. Tidak sama sekali. Mika dan Rania bertukar pandangan. "Pokoknya kalian jangan khawatir. Kita pasti bisa keluar dari tempat ini." Rania menekankan sekali lagi keyakinannya. "A
Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari dua jam, sampailah Mika dan Laisa di sebuah rumah sakit yang terletak di pinggir kota. Kyra dirawat di sana. Dua hari yang lalu Kyra ditemukan di pesisir pantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sudut bibirnya pecah dan memar di mana-mana. Nelayan yang menemukannya kemudian membawanya ke rumah sakit."Halo!" Laisa menyalami seorang pria yang telah menunggunya di lobi rumah sakit."Halo, saya orang yang menghubungi Anda." Pria itu balas menyalami Laisa. Juga bersalaman dengan Mika. "Orang yang akan kita temui ada di ruang rawat lantai tiga," tambahnya menjelaskan."Apa dia benar orang yang kita cari?" Mika meminta kepastian.Kyra menghilang selama lebih dari tiga bulan. Selama itu, Mika beberapa kali mendapat petunjuk. Petunjuk palsu yang berakhir pada kekecewaan. Kali ini, meski harapan sama tingginya seperti yang lalu-lalu, ia tetap tidak ingin merasa lebih kecewa."Bisa saya pastikan dia be
“Mika tidak perlu tahu dari mana Ayah bisa mendapatkan dokumen itu. Mika hanya perlu tahu bahwa yang tertulis di sana adalah benar,” tegas Ayah. Sembari menatap anaknya dengan tatapan ingin dimengerti, Ayah melanjutkan, "Setelah ini Mika tidak perlu khawatir. Segalanya akan segera selesai."Mika menatap ayahnya dengan tatapan menyelidik. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan dan lebih banyak lagi yang tidak ia mengerti. Tapi, apa Ayah akan memberi jawaban?"Bagaimana dengan Kyra? Bagaimana dengan keselamatannya?" Setidaknya Mika harus mengetahui sesuatu yang juga penting.Ayah terdiam sesaat. Setelah semua yang terjadi, tidak ada yang bisa menjamin apa yang selanjutnya akan terjadi. Mereka tidak tahu bagaimana kemampuan musuh yang saat ini dihadapi. Mereka tidak bisa menghitung peluang bahwa Kyra akan baik-baik saja."Tanpa memedulikan keselamatannya Ayah membuat keputusan sendiri?" Mika terlihat kecewa."Itu pekerjaannya!" Ayah berkata p
Saat ini Kyra menghilang, Zay juga ikut menghilang. Sementara Mika yang masih diliputi ketidaktahuan nyaris frustrasi. Mika sama sekali tidak habis pikir apa yang sebenarnya ada di benak Kyra. Awalnya Mika pikir setelah mengunjungi Zay, ia setidaknya akan mendapatkan sedikit titik terang. Namun ia terlambat selangkah. Zay telah pergi. Pada akhirnya tidak ada yang Mika dapatkan. Mika sedang merenungkan semua yang telah ia alami hingga detik ini. Ada firasat buruk yang menjalari kepalanya setiap kali memikirkan Kyra. Sudah banyak orang dikorbankan dalam permainan. Kini yang ada di pikiran Mika hanya menyelamatkan Kyra dan mengakhiri semua. Ketika masih sibuk dengan pikiran-pikirannya, Mika mendengar suara dari balkon. Suara-suara yang mencurigakan namun sama sekali tidak membuat Mika panik. Ia duduk dengan tenang sembari menunggu. "Akhirnya datang juga." Mika menunjukkan ekspresi kebosanan.
"Sekarang bagaimana?" Laisa bertanya kepada Mika ketika mereka telah berada di halte. "Ke tempat Kyra tinggal," jawab Mika singkat. "Mika masih mengkhawatirkan anak itu?" Bagi Laisa, selain Kyra masih ada banyak hal yang patut dikhawatirkan. Salah satunya adalah kesehatan Mika sendiri. Mika tidak menanggapi. Ia telah membuat keputusan dan apa pun yang Laisa katakan tidak akan bisa mengubahnya. "Bukankah harusnya Mika pulang dulu agar Ibu enggak khawatir." Meski Mika tidak meminta, Laisa tetap memberi alternatif pilihan. Mika menggeleng tegas. "Kalau sudah pulang enggak akan mudah untuk ke luar lagi."Benar, Laisa membatin. Ibu Mika pasti tidak akan dengan mudah memberi izin bagi putri kesayangannya ke luar dan berkeliaran di jalan. Ditambah lagi apa yang akhir-akhir ini baru menimpa Mika.Laisa menghela napas. Sebenarnya Laisa tahu ia tidak akan bisa mengubah apa yang telah Mika putuskan, tapi setidaknya ia telah me
"Apa dia?" Laisa menunjukkan foto seseorang di layar ponselnya. Ia ingin wanita yang berbicara dengannya mengidentifikasi wajah yang ia tunjukkan. Wanita yang berbicara dengan Laisa memperhatikan lekat foto yang ditunjukkan. Keningnya berkerut dalam saat mencoba mengingat. "Saya enggak lihat jelas wajahnya tapi dari ciri-ciri persis orang ini." "Siapa?" Mika yang penasaran, mengintip ponsel Laisa dan hasilnya cukup mengejutkan. "Kenapa? Kenapa Kyra?"Mika sungguh tidak menyangka Laisa akan menunjukkan foto Kyra. Tidak alasan Kyra dicurigai. Juga, tidak ada alasan bagi Laisa menemui Zay tengah malam. Kecuali ..."Kyra mempunyai petunjuk yang enggak kita ketahui?" Laisa berbicara seolah tahu apa yang sedang Mika pikirkan.Mika tidak menyahut ataupun membalas. Ia tidak tahu jawabannya. Tidak tahu apa yang tengah Kyra pikirkan. Juga tidak tahu apa yang wanita itu rencanakan. Ia hanya percaya bahwa Kyra tidak akan mengkhianatinya.Apa yang ingin ditanyakan telah ditanyakan dan apa yang p
"Mika yakin mau keluar dari rumah sakit?" tanya Laisa untuk ke sekian kalinya. Mika juga mengangguk untuk ke sekian kalinya. Laisa membantu berkemas tapi ia terus bertanya tentang ini dan itu. Laisa tidak bisa tidak khawatir. Terlebih, karena pembicaraan semalam sama sekali tidak menyenangkan. Setelah pembicaraan semalam, Mika lebih banyak diam. Ada kemarahan, perasaan kecewa, dan sorot mata penuh kekhawatiran. Laisa tahu persis rasanya. Bahkan sampai detik ini, ia tidak ingin percaya. Dadanya masih terasa sesak. "Bagaimana dengan Ibu Mika? Bagaimana dengan kesehatan Mika?" Laisa tidak berhenti bertanya. "Sudah seperti ini, aku tidak bisa hanya berbaring di rumah sakit." Mika bicara tanpa menatap lawan bicaranya. Ia menghentikan aktivitasnya. Laisa ikut berhenti. Kemudian menghela napas. "Aku akan menghubungi orang tuaku. Jangan khawatir!" tambah Mika. "Kalau begitu aku akan mengurus administrasinya." Laisa menawarkan bantuan dan berlari ke luar ruangan. Begitu Laisa pergi,
Kegelapan semakin pekat dan malam semakin larut. Bulan berselimut awan, sedang bersembunyi dengan nyaman. Bintang tidak menyapa, tersipu oleh gemerlap kesibukan kota yang tiada henti.Laisa berusaha memejamkan matanya namun tanpa hasil. Mencoba membenamkan wajah di atas bantal pun sia-sia. Meringkuk di balik kemul juga gagal. Padahal ia merasa lelah, merasa butuh istirahat.Laisa berharap setelah bangun keesokan harinya, semuanya akan baik-baik saja. Ia berharap kemarahannya telah berkurang. Berharap rasa sakit hatinya terobati. Berharap kesedihannya hilang. Berharap kemelut dalam kepalanya lenyap.Hela napas panjang terdengar di tengah kesunyian kamar. Laisa merasa malam ini seolah tanpa akhir. Merasa genrenya berubah melankolis. Ia tidak suka. Benci pada dirinya sendiri yang seperti ini."Ah, kepalaku sakit!" keluh Laisa.Merasa tumpat oleh keheningan sekeliling yang seakan menghisapnya, Laisa memutuskan beranjak. Ia tidak boleh seperti ini terus-menerus.Laisa mengambil jaket kulit
Kyra masih menunggu. Ketika pintu dibuka dengan kasar dan seseorang melangkah ke luar, Kyra sedikit terkejut.Orang yang ke luar lebih dulu adalah Laisa. Raut wajahnya terlihat semakin tidak baik dan emosinya yang berantakan tampak begitu jelas. Ia tampak tidak baik-baik saja dan tidak mencoba berpura-pura baik-baik saja.Hasil pembicaraan bisa ditebak tidak berakhir dengan baik. Meski seperti itu, Kyra tetap penasaran. Ia mengintip ke dalam ruangan sebelum pintu akhirnya tertutup. Tampak jelas wajah putus asa Razan dan pipi kirinya yang memar kemerahan. Bayaran atas pengkhianatannya.Laisa pergi tanpa mengatakan apa pun. Kyra membuntut juga tanpa bertanya apa pun. Apa pun yang keduanya bicarakan, yang terpenting adalah bagaimana Laisa tidak goyah. Dan semua itu sudah terlihat jelas dari hasil pembicaraan yang tidak berakhir dengan baik.Laisa adalah tipe yang emosional. Bagaimana kondisi emosi dalam dirinya, telah tercermin dari tindakannya. Bahkan sebelum ia mengatakan apa pun. Tind
Razan bersikeras minta diberi waktu untuk bicara berdua dengan Laisa. Kyra sebenarnya merasa keberatan. Ia pikir, ia memiliki hak untuk mengetahui kebenaran yang Razan sembunyikan. Orang yang terlibat sejak awal adalah dirinya. Dibanding Laisa maupun Razan, Kyra memiliki alasan paling kuat untuk mengetahui segala yang bersangkutan dengan kasus.Namun, melihat dari sisi lain, apa yang terjadi antara Laisa dan Razan juga melibatkan masalah pribadi keduanya. Karena masalah umum dan pribadi tercampur aduk, dengan berat hati Kyra memberi ruang untuk keduanya bicara berdua.Kyra meninggalkan ruang karaoke dan berdiri menunggu di luar. Ia harus senantiasa siaga, agar jika sesuatu terjadi, ia bisa cepat mengambil tindakan.Membiarkan Laisa dan Razan berbicara berdua, Kyra hanya bisa meninggalkan kepercayaannya. Ia yakin Laisa tidak akan mudah terperdaya pada apa yang mungkin Razan akan tawarkan."Semoga saja." Kyra menghela napas dan berkata lirih. Tampaknya ia tidak yakin seratus persen pada