"Mika, Mika! Mika, buka pintunya!!"
Tami menggedor-gedor di depan kamar Mika. Ia bersikap seperti orang kerasukan. Saat Mika muncul, ia terkejut karena melihat wanita itu keluar dari kamar paling ujung bersama Rania dan bukan berada di kamarnya."Kenapa ...” Tami menunjuk Mika dan Rania bergantian. “Ah, lupakan!" Dari mana pun Mika keluar atau masuk itu hak Mika, Tami tahu ia tidak boleh ikut campur. "Lihat, apa yang kutemukan!" katanya beralih pada hal yang lebih penting.Mika, Rania, dan Adien yang juga keluar dari kamarnya mendekat untuk melihat dengan jelas benda yang ada di tangan Tami."Kamera?" Mika seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Kamera? Kamera CCTV?!" seru Rania"Bagaimana mungkin ada kamera?" Adien menyahut."Aku menemukan benda ini di kamarku," jelas Tami. Kamar Tami berada di ruangan pertama sebelah kanan. Ia mengajak semua orang ke kamarnya daMika tidak setuju karena secara tiba-tiba Rania membagikan informasi bahwa ia telah berhasil mengirim pesan keluar. Karena sekali lagi, Mika masih belum yakin siapa yang benar-benar teman dan siapa lawan. Membagi informasi secara membabi buta tidak akan menguntungkan. "Karena itu, orang yang paling enggak setuju kita bisa secepatnya keluar dari tempat ini pasti pelakunya." Rania berkata yakin. "Tapi aku tidak setuju caramu membuat keputusan tanpa bertanya dulu padaku." Mika tetap tidak puas. "Iya, iya, maaf. Enggak akan kuulangi lagi," janji Rania. Setelah selesai membahas situasi secara empat mata, Mika dan Rania kembali bergabung bersama yang lainnya. Di luar dugaan, ekspresi Tami dan Adien justru tidak terlihat tenang atau merasa senang. Tidak sama sekali. Mika dan Rania bertukar pandangan. "Pokoknya kalian jangan khawatir. Kita pasti bisa keluar dari tempat ini." Rania menekankan sekali lagi keyakinannya. "A
"Iya, aku yang membunuh Isamu." Tami mengakui perbuatannya. “Tapi aku sama sekali enggak bermaksud. Aku enggak sengaja,” katanya menambahkan. "Itu mengerikan." Adien berbisik pada Mika. Rania mendelik pada Adien. Ia tidak ingin wanita itu merusak momen dan membuat Tami berubah pikiran. "Enggak sengaja?" ulang Rania kembali fokus pada Tami. "Isamu terus menuduhku membunuh Jovita. Padahal sudah kubilang berulang kali kalau bukan aku. Kalau aku enggak tahu apa-apa." Ingatan Tami kembali ke saat ia berbicara dengan Isamu. ... Malam itu Isamu mengetuk pintu kamarnya. Hari sudah terlalu larut dan mata Tami bahkan sudah setengah terpejam. Dengan malas Tami beranjak dari ranjang. "Siapa?" Tami merapat di pintu dan bertanya. Setelah kasus yang menimpa Jovita, ia belajar untuk bersikap waspada. Semua orang pun melakukan hal yang sama. "Saya, Isamu." Suara dari balik pintu menyahut.
"Jadi, kalian berebut pisau dan Isamu tertusuk secara enggak sengaja?" Adien berkomentar. "Rasanya seperti dalam drama." "Kalau kamu enggak percaya, ayo kita lakukan reka ulang!" tantang Tami. Adien menggeleng dengan cepat. Tidak mungkin ia sebodoh itu setuju dan membahayakan dirinya sendiri. "Ada banyak hal yang patut dipertanyakan dalam ceritamu.” Mika ikut berkomentar. Cerita Tami tidak semuanya utuh. Mungkin benar semua sesuai dengan situasinya. Tapi masih ada bagian yang tidak dijelaskan dengan lengkap. Bukan karena terlewatkan secara tidak sengaja melainkan memang dihindari dan tidak ingin orang lain tahu. Tami menggeleng. "Aku sudah menceritakan semuanya. Sekarang kamu harus memenuhi janjimu untuk membantuku," tagih Tami. Ia berdiri di depan Rania. "Pertama, kamu ha-" "Kamu mau mengelak?!" Tami memotong kalimat Rania yang belum selesai. "Aku sudah membuang harga diriku dengan memoh
"Tami, apa yang kamu lakukan?!" Semua orang terkejut dengan hal gila yang tiba-tiba Tami lakukan. Tidak ada yang menyangka. Tami benar-benar nekat. Akal sehatnya telah hilang. "Kalian yang memaksaku! Kalian yang menyudutkanku!" Tami mengacungkan pisau yang ia bawa, sementara lengannya yang lain menahan tubuh Adien. "Tami, jangan seperti ini. Kamu membuatku takut. Jauhkan pisaunya, kita bisa sama-sama terluka." Air di sudut mata Adien mulai menetes. Ia tidak berani sembarang bergerak, tidak ingin membuat Tami marah. Adien takut pisau yang tidak memiliki mata menggores kulitnya atau secara tidak sengaja Tami menyayatnya. Ia sungguh takut terluka, lebih tidak ingin mati muda. Mika dan Rania saling bertukar pandangan, mulai mengatur siasat. Mereka harus ekstra berhati-hati dan melakukan semuanya dengan tenang. Tidak hanya satu nyawa yang dipertaruhkan, tapi keselamatan semua orang. "Jangan mencoba melakukan ap
Semua orang tertidur dengan lelap dan tahu-tahu saat bangun, matahari telah bersinar terik. Rasanya sejak tiba di pulau, ini pertama kalinya mereka bisa tertidur pulas. Benar-benar pulas, tanpa mimpi, tanpa kegelisahan. Tertidur begitu saja sampai hari baru menyapa. Rania tertidur di sofa ruang depan. Ia kebagian tugas menjaga Tami lebih dulu. Harusnya ada pertukaran jaga, tapi sampai lebih 12 jam berlalu, sama sekali tidak ada yang turun untuk membangunkannya. Ketika Rania bangun, lehernya terasa sakit. Ia menggunakan sandaran tangan pada sofa yang agak tinggi sebagai bantal. Padahal rencananya ia hanya memejamkan mata sebentar, tidak tahunya jatuh tertidur dan sama sekali tidak kembali terjaga. "Sudah bangun?" Suara Mika terdengar dari arah dapur. Rania menurunkan kakinya dan melihat ada dua potong Sandwich dan segelas susu putih. Begitu melihat ada makanan di depannya, wajah Rania cerah seketika. Semalam ia tidak sempat makan karena
“Roy Purnama sudah kembali.” “Serius?!” Laisa berseru terlalu keras hanya untuk didengar oleh Razan yang duduk di kursi kemudi. Keduanya sedang berada di dalam mobil. Berencana menyelidiki masalah yang berhubungan dengan menghilangnya Mika dan 5 orang penerima undangan yang lain bersama-sama. Razan mengangguk. "Sebenarnya Roy Purnama sudah ditemukan sejak dua hari lalu. Keluarga sengaja menyembunyikan keberadaannya karena khawatir. Polisi kemudian curiga dengan tingkah keluarga yang sembunyi-sembunyi meninggalkan rumah," tambah Razan menjelaskan. "Oh." Laisa tidak banyak memberi tanggapan. Ia lebih sering diam dan mendengarkan. "Loh, ini bukan arah ke tempat Roy Purnama tinggal. Kita mau ke mana?" Razan mengambil jalur yang berbeda saat mobil melewati simpang empat. Arah tempat Roy Purnama tinggal harusnya lurus, tapi Razan justru menyalakan lampu sein dan belok kanan. "Keadaan Roy Purnama tidak seperti yang kita bayangkan. Saat nanti
Laisa dan Razan sungguh terkejut mengetahui asisten Roy Purnama adalah Rania Meisy, salah satu dari keenam penerima undangan yang hilang. Laisa memikirkan ulang semuanya dan tetap ada yang terasa tidak benar. "Apa Rania punya masalah dengan Jovita?" Laisa bertanya memastikan. "Dengan siapa?" Si sopir tidak yakin dengan yang ia dengar. "Jovita. Jovita Fabella." "Oh, yang viral karena videonya itu?" Laisa dan Razan mengangguk bersamaan. "Untuk masalah pribadi Mbak Rania saya kurang paham." Si sopir merasa menyesal tidak bisa membantu. "Bagaimana kalau saya antar ke kantor? Orang-orang di sana lebih mengenal Mbak Rania." "Walaupun Pak Roy Purnama terkena musibah, kantor masih tetap jalan?" tanya Razan terkejut. "Hanya untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum rampung." "Oh." Razan mengangguk. Roy Purnama dan timnya terkenal profesional dan kompeten. Tidak heran mereka tidak terpen
Rania membawa selimut dan menyelimutkannya pada tubuh Mika yang duduk di lantai sembari memeluk lutut. Ia masih berada di depan pintu kamar Jovita sejak beberapa jam lalu, sama sekali belum bergeser sejumput pun. “Hoek!” Adien segera berlari masuk. Suara keran air terdengar mengalir deras dari toilet kamarnya. Ini sudah kedua kalinya sejak insiden yang menimpa Tami. Adien diserang panik dan perasaan cemas yang berlebih hingga ia merasa mual setiap kali teringat pada kejadian yang sudah-sudah. Rania turun untuk membuat minuman hangat. Tubuh Tami yang berada di anak tangga terbawah masih tetap di sana. Rania hanya menutupi tubuhnya dengan selimut yang diambil dari kamar. Sebelumnya mereka yang setuju datang berjumlah 6 orang. Kini yang tersisa hanya 3 orang. Sebelumnya mereka setuju datang agar dapat bersenang-senang, tapi segalanya kemudian menjadi buruk dan bertambah buruk. Sebelumnya mereka setuju datang dengan harap
Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari dua jam, sampailah Mika dan Laisa di sebuah rumah sakit yang terletak di pinggir kota. Kyra dirawat di sana. Dua hari yang lalu Kyra ditemukan di pesisir pantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sudut bibirnya pecah dan memar di mana-mana. Nelayan yang menemukannya kemudian membawanya ke rumah sakit."Halo!" Laisa menyalami seorang pria yang telah menunggunya di lobi rumah sakit."Halo, saya orang yang menghubungi Anda." Pria itu balas menyalami Laisa. Juga bersalaman dengan Mika. "Orang yang akan kita temui ada di ruang rawat lantai tiga," tambahnya menjelaskan."Apa dia benar orang yang kita cari?" Mika meminta kepastian.Kyra menghilang selama lebih dari tiga bulan. Selama itu, Mika beberapa kali mendapat petunjuk. Petunjuk palsu yang berakhir pada kekecewaan. Kali ini, meski harapan sama tingginya seperti yang lalu-lalu, ia tetap tidak ingin merasa lebih kecewa."Bisa saya pastikan dia be
“Mika tidak perlu tahu dari mana Ayah bisa mendapatkan dokumen itu. Mika hanya perlu tahu bahwa yang tertulis di sana adalah benar,” tegas Ayah. Sembari menatap anaknya dengan tatapan ingin dimengerti, Ayah melanjutkan, "Setelah ini Mika tidak perlu khawatir. Segalanya akan segera selesai."Mika menatap ayahnya dengan tatapan menyelidik. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan dan lebih banyak lagi yang tidak ia mengerti. Tapi, apa Ayah akan memberi jawaban?"Bagaimana dengan Kyra? Bagaimana dengan keselamatannya?" Setidaknya Mika harus mengetahui sesuatu yang juga penting.Ayah terdiam sesaat. Setelah semua yang terjadi, tidak ada yang bisa menjamin apa yang selanjutnya akan terjadi. Mereka tidak tahu bagaimana kemampuan musuh yang saat ini dihadapi. Mereka tidak bisa menghitung peluang bahwa Kyra akan baik-baik saja."Tanpa memedulikan keselamatannya Ayah membuat keputusan sendiri?" Mika terlihat kecewa."Itu pekerjaannya!" Ayah berkata p
Saat ini Kyra menghilang, Zay juga ikut menghilang. Sementara Mika yang masih diliputi ketidaktahuan nyaris frustrasi. Mika sama sekali tidak habis pikir apa yang sebenarnya ada di benak Kyra. Awalnya Mika pikir setelah mengunjungi Zay, ia setidaknya akan mendapatkan sedikit titik terang. Namun ia terlambat selangkah. Zay telah pergi. Pada akhirnya tidak ada yang Mika dapatkan. Mika sedang merenungkan semua yang telah ia alami hingga detik ini. Ada firasat buruk yang menjalari kepalanya setiap kali memikirkan Kyra. Sudah banyak orang dikorbankan dalam permainan. Kini yang ada di pikiran Mika hanya menyelamatkan Kyra dan mengakhiri semua. Ketika masih sibuk dengan pikiran-pikirannya, Mika mendengar suara dari balkon. Suara-suara yang mencurigakan namun sama sekali tidak membuat Mika panik. Ia duduk dengan tenang sembari menunggu. "Akhirnya datang juga." Mika menunjukkan ekspresi kebosanan.
"Sekarang bagaimana?" Laisa bertanya kepada Mika ketika mereka telah berada di halte. "Ke tempat Kyra tinggal," jawab Mika singkat. "Mika masih mengkhawatirkan anak itu?" Bagi Laisa, selain Kyra masih ada banyak hal yang patut dikhawatirkan. Salah satunya adalah kesehatan Mika sendiri. Mika tidak menanggapi. Ia telah membuat keputusan dan apa pun yang Laisa katakan tidak akan bisa mengubahnya. "Bukankah harusnya Mika pulang dulu agar Ibu enggak khawatir." Meski Mika tidak meminta, Laisa tetap memberi alternatif pilihan. Mika menggeleng tegas. "Kalau sudah pulang enggak akan mudah untuk ke luar lagi."Benar, Laisa membatin. Ibu Mika pasti tidak akan dengan mudah memberi izin bagi putri kesayangannya ke luar dan berkeliaran di jalan. Ditambah lagi apa yang akhir-akhir ini baru menimpa Mika.Laisa menghela napas. Sebenarnya Laisa tahu ia tidak akan bisa mengubah apa yang telah Mika putuskan, tapi setidaknya ia telah me
"Apa dia?" Laisa menunjukkan foto seseorang di layar ponselnya. Ia ingin wanita yang berbicara dengannya mengidentifikasi wajah yang ia tunjukkan. Wanita yang berbicara dengan Laisa memperhatikan lekat foto yang ditunjukkan. Keningnya berkerut dalam saat mencoba mengingat. "Saya enggak lihat jelas wajahnya tapi dari ciri-ciri persis orang ini." "Siapa?" Mika yang penasaran, mengintip ponsel Laisa dan hasilnya cukup mengejutkan. "Kenapa? Kenapa Kyra?"Mika sungguh tidak menyangka Laisa akan menunjukkan foto Kyra. Tidak alasan Kyra dicurigai. Juga, tidak ada alasan bagi Laisa menemui Zay tengah malam. Kecuali ..."Kyra mempunyai petunjuk yang enggak kita ketahui?" Laisa berbicara seolah tahu apa yang sedang Mika pikirkan.Mika tidak menyahut ataupun membalas. Ia tidak tahu jawabannya. Tidak tahu apa yang tengah Kyra pikirkan. Juga tidak tahu apa yang wanita itu rencanakan. Ia hanya percaya bahwa Kyra tidak akan mengkhianatinya.Apa yang ingin ditanyakan telah ditanyakan dan apa yang p
"Mika yakin mau keluar dari rumah sakit?" tanya Laisa untuk ke sekian kalinya. Mika juga mengangguk untuk ke sekian kalinya. Laisa membantu berkemas tapi ia terus bertanya tentang ini dan itu. Laisa tidak bisa tidak khawatir. Terlebih, karena pembicaraan semalam sama sekali tidak menyenangkan. Setelah pembicaraan semalam, Mika lebih banyak diam. Ada kemarahan, perasaan kecewa, dan sorot mata penuh kekhawatiran. Laisa tahu persis rasanya. Bahkan sampai detik ini, ia tidak ingin percaya. Dadanya masih terasa sesak. "Bagaimana dengan Ibu Mika? Bagaimana dengan kesehatan Mika?" Laisa tidak berhenti bertanya. "Sudah seperti ini, aku tidak bisa hanya berbaring di rumah sakit." Mika bicara tanpa menatap lawan bicaranya. Ia menghentikan aktivitasnya. Laisa ikut berhenti. Kemudian menghela napas. "Aku akan menghubungi orang tuaku. Jangan khawatir!" tambah Mika. "Kalau begitu aku akan mengurus administrasinya." Laisa menawarkan bantuan dan berlari ke luar ruangan. Begitu Laisa pergi,
Kegelapan semakin pekat dan malam semakin larut. Bulan berselimut awan, sedang bersembunyi dengan nyaman. Bintang tidak menyapa, tersipu oleh gemerlap kesibukan kota yang tiada henti.Laisa berusaha memejamkan matanya namun tanpa hasil. Mencoba membenamkan wajah di atas bantal pun sia-sia. Meringkuk di balik kemul juga gagal. Padahal ia merasa lelah, merasa butuh istirahat.Laisa berharap setelah bangun keesokan harinya, semuanya akan baik-baik saja. Ia berharap kemarahannya telah berkurang. Berharap rasa sakit hatinya terobati. Berharap kesedihannya hilang. Berharap kemelut dalam kepalanya lenyap.Hela napas panjang terdengar di tengah kesunyian kamar. Laisa merasa malam ini seolah tanpa akhir. Merasa genrenya berubah melankolis. Ia tidak suka. Benci pada dirinya sendiri yang seperti ini."Ah, kepalaku sakit!" keluh Laisa.Merasa tumpat oleh keheningan sekeliling yang seakan menghisapnya, Laisa memutuskan beranjak. Ia tidak boleh seperti ini terus-menerus.Laisa mengambil jaket kulit
Kyra masih menunggu. Ketika pintu dibuka dengan kasar dan seseorang melangkah ke luar, Kyra sedikit terkejut.Orang yang ke luar lebih dulu adalah Laisa. Raut wajahnya terlihat semakin tidak baik dan emosinya yang berantakan tampak begitu jelas. Ia tampak tidak baik-baik saja dan tidak mencoba berpura-pura baik-baik saja.Hasil pembicaraan bisa ditebak tidak berakhir dengan baik. Meski seperti itu, Kyra tetap penasaran. Ia mengintip ke dalam ruangan sebelum pintu akhirnya tertutup. Tampak jelas wajah putus asa Razan dan pipi kirinya yang memar kemerahan. Bayaran atas pengkhianatannya.Laisa pergi tanpa mengatakan apa pun. Kyra membuntut juga tanpa bertanya apa pun. Apa pun yang keduanya bicarakan, yang terpenting adalah bagaimana Laisa tidak goyah. Dan semua itu sudah terlihat jelas dari hasil pembicaraan yang tidak berakhir dengan baik.Laisa adalah tipe yang emosional. Bagaimana kondisi emosi dalam dirinya, telah tercermin dari tindakannya. Bahkan sebelum ia mengatakan apa pun. Tind
Razan bersikeras minta diberi waktu untuk bicara berdua dengan Laisa. Kyra sebenarnya merasa keberatan. Ia pikir, ia memiliki hak untuk mengetahui kebenaran yang Razan sembunyikan. Orang yang terlibat sejak awal adalah dirinya. Dibanding Laisa maupun Razan, Kyra memiliki alasan paling kuat untuk mengetahui segala yang bersangkutan dengan kasus.Namun, melihat dari sisi lain, apa yang terjadi antara Laisa dan Razan juga melibatkan masalah pribadi keduanya. Karena masalah umum dan pribadi tercampur aduk, dengan berat hati Kyra memberi ruang untuk keduanya bicara berdua.Kyra meninggalkan ruang karaoke dan berdiri menunggu di luar. Ia harus senantiasa siaga, agar jika sesuatu terjadi, ia bisa cepat mengambil tindakan.Membiarkan Laisa dan Razan berbicara berdua, Kyra hanya bisa meninggalkan kepercayaannya. Ia yakin Laisa tidak akan mudah terperdaya pada apa yang mungkin Razan akan tawarkan."Semoga saja." Kyra menghela napas dan berkata lirih. Tampaknya ia tidak yakin seratus persen pada