"Aduh, sial sekali! Kenapa juga Bu Rukmini malah tidak ada di rumah!" gerutu Amira.
Dia terus mondar-mandir di ruang tamu, bahkan berkali-kali hampir menabrak meja. Rencana untuk membicarakan usaha membebaskan Surtini hari itu gagal. Saat mereka ke rumah Rukmini, tidak ada siapa pun di sana. Begitu pula, ketika ditelepon, tidak ada yang menjawab.
Setelah menunggu hampir 1 jam, mereka memutuskan pulang. Reina tertidur karena kelelahan. Sementara Aris pergi menemui pengacara untuk mencari celah membebaskan Surtini. Akhirnya, Amira hanya tinggal berdua dengan Rehan di ruang tamu.
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Ya tenang dulu, Ma. Papa, kan, lagi ketemu pengacara buat nyari jalan keluar," sahut Rehan.
"Tapi, waktu kita tidak banyak! Kita harus menyelamatkan Surti!" seru Amira dengan mata berapi-api.
Rehan mengerutkan kening. Meskipun pemuda itu juga cemas dengan nasib Surtini, sikap ibunya tetap terasa aneh.
Surtini tidak kurang sa
Surtini terjebak dalam dilema. Melawan seseorang tanpa basis beladiri seperti Andre sebenarnya adalah hal mudah. Dia bisa melumpuhkan pemuda itu hanya dengan dua atau tiga kali tendangan. Namun, tentu saja konsekuensinya akan sangat berat, bisa-bisa Surtini dijebloskan ke penjara atau malah langsung dihilangkan dari muka bumi."Apa yang harus kulakukan?" gumam Surtini lirih.Andre menjilat bibir sambil mendekat. Dia mencengkeram tangan Surtini. Wajah bagai serigala kelaparan itu hampir tak berjarak.Surtini mencoba meronta. Andre malah semakin beringas. Seragam pelayan sampai-sampai robek di bagian lengan.Brak!Pintu dibuka dari luar dengan kasar. Surtini seperti menemukan oase di tengah padang pasir saat melihat Eka datang. Harapan untuk selamat dari setan berwujud manusia bukanlah mustahil. Dia yakin sang nona akan menolong.Benar saja, dengan wajah tanpa dosa, Eka menendang bokong Andre dengan kuat. Adik tirinya it
Dua tahun berlalu tanpa terasa. Surtini masih menjadi pelayan di Keluarga Hartono. Meskipun Amira dan Reina terus membujuk untuk berhenti, dia tetap berkeras ingin bekerja di sana karena sudah terlanjur menyayangi Eka. AKhirnya, Rehan dan Reina menjadi sering berkunjung ke Keluarga Hartono dengan alasan menemui Eka. Jihan dan Clarissa sampai panas dibuatnya. Hari itu, Surtini tidak mengenakan seragam pelayan seperti biasa, tetapi kemeja kasual dan celana jeans. Dia memang akan menemani Eka keluar. Sang nona hendak berbelanja di butik langganan. Dulu, Eka tidak diizinkan keluar rumah karena dikhawatirkan menjadi santapan wartawan. Akhirnya, dia pun dikurung dalam sangkar emas kediaman Keluarga Hartono. Eka bahkan tidak bisa bersekolah normal dan harus menjalani home schooling. Namun, seiring berjalannya waktu orang-orang mulai melupakan isu. Tepatnya, ada aib baru tersebar, sehingga mengalihkan perhatian khalayak. Video syur artis terkenal mengh
Eka mendekap Surtini dengan erat. Tangannya mencengkeram kuat payung yang sudah penyok. Hanya benda itu satu-satunya senjata yang tersisa, meskipun dia tahu tak akan berguna untuk melawan lima preman berbadan kekar."Menyerahlah, Manis. Lebih baik bersenang-senang dengan kami."Seringaian di bibir para preman meremangkan bulu kuduk. Mereka melangkah pelan, seperti dengan sengaja menciptakan ketegangan, seolah-olah singa hendak menerkam rusa. Eka menelan ludah berkali-kali. Suara napasnya sendiri bahkan terasa seperti genderang kematian.Brak!Salah seorang preman tersungkur. Dia menggeram marah, lalu dengan cepat berdiri. Keempat preman lainnya mengalihkan pandangan dengan gusar, mencoba mencari tahu siapa yang tengah menganggu mereka."Heh, Tuan Muda tampan ini rupanya hendak terlihat keren di depan gadis-gadis, benar-benar bodoh!" ejek ketua preman saat menemukan Rehan berdiri tak jauh dari mereka.Tawa meremehkan menggema. Mereka
Aroma karbol menusuk hidung, membuat Surtini mengernyitkan kening. Dia membuka mata perlahan, lalu mengerjap beberapa kali. Wajah cantik Eka menyambutnya. Sang nona menatap sendu."Nona ... kenapa Nona sedih? Ada yang menganggu, Nona?""Syukurlah, Surti ... kamu sadar."Jemari halus mengusap rambut Surtini. Senyuman lembut terukir di bibir Eka, terasa hangat bagi sang pelayan kesayangan. Surtini menyentuh sudut mata nonanya yang terlihat sedikit basah sambil menyengir lebar."Surti enggak papa, Non. Kalau sedih begitu, nanti kecantikan Nona berkurang."Eka terkekeh. Dia menyentil ujung hidung Surtini, lalu mencubit pipi gadis pelayan itu dengan gemas. Rehan yang menyaksikan dari sofa mendelik tajam, tetapi gengsi untuk menunjukkan rasa tak suka secara langsung."Meskipun kecantikanku berkurang 50 persen, laki-laki akan tetap bertekuk lutut, kecuali orang yang di sana," celetuk Eka.Dia menunjuk ke arah Sofa. Surtini mengalihkan pandan
"Jadi, Tante Jihan menganggap saya bodoh?" Suara bariton yang khas memecah keheningan. Rehan keluar dari kamar mandi. Rambut yang sedikit basah menambah kharismanya. Dia terus melangkah dengan elegan, hingga berdiri di depan Jihan dengan tatapan mengintimidasi. "Tante menganggap saya bodoh?" ulangnya dengan penekanan di kata "bodoh". "N-Nak Re-han ...." Jihan tergagap. Sorot mata yang tadinya buas berubah menjadi keibuan. Senyuman sinis berganti senyuman lembut nan hangat. Eka susah payah menahan tawa melihatnya. "Tante tidak mungkinlah menganggap kamu bodoh." "Tapi, yang saya dengar tadi berbeda. Tante bilang meminta kamar VIP untuk Surtini itu bodoh. Saya yang meminta kamar VIP, bukankah menurut Tante saya bodoh?" Jihan tampak menelan ludah. Wajahnya memucat. Sementara Rehan tampak tidak memberi ampun. Dia terus menatap tajam meminta penjelasan. Surtini terlihat khawatir. Gadis itu tampak serba salah karena menjadi to
Surtini bersenandung riang sembari menyirami bunga-bunga lili di rumah kaca. Senyuman tak lepas dari bibirnya. Dia terkekeh saat seekor kupu-kupu hinggap di ujung hidungnya."Hei, si kuning yang imut, terbanglah dari hidungku."Si kupu-kupu enggan beranjak, tampak masih betah di hidung Surtini. Gadis itu pun menggoyangkan kepala. Barulah kupu-kupu berpindah tepat.Surtini kembali menyiram bunga. Senandungnya berganti lagu, tadi lagu daerah kini lagu populer kekinian. Dia begitu asyik hingga tak menyadari Eka telah berdiri di belakangnya."Surti," panggil Eka seraya menepuk bahu pelayannya itu.Surtini terlonjak. Dia refleks berbalik sambil memegang selang penyiram tanaman. Tak ayal Eka kena semprot dan basah kuyup."Ah, maafkan saya, Nona! Apa Nona baik-baik saja? Nona tidak terluka, 'kan?" jerit Surtini panik.Dia melepaskan selang penyiram tanaman, lalu bergegas mengambil handuk yang terlipat rapi di loker rumah kaca. Surtini
"Surti ...." Panggilan lembut membuat Surtini tersentak.Dia langsung mengedarkan pandangan. Senyuman manis pemuda yang selalu muncul di mimpi menyambutnya. Surtini refleks melompat ke belakang, lalu memasang kuda-kuda. Matanya melotot, mencoba mengintimidasi si pemuda."Sebenarnya, kamu siapa? Kenapa kamu selalu muncul di mimpiku? Jangan-jangan kamu demit, ya? Genderuwo pohon asem yang mau ngambil aku jadi istri!" cerocos Surtini hampir tanpa jeda.Akibatnya, dia tersengal-sengal. Sementara pemuda tampan itu tidak terlihat takut sama sekali, malah tergelak sampai ke luar air matanya. Surtini menjadi semakin dongkol."Beneran demit, 'kan? Awas kamu! Aku enggak takut!""Ya ampun, Surti. Ini aku, Eka."Surtini ternganga. Matanya membulat lebar persis pemeran hantu di film horor. Dia menggeleng kuat berkali-kali."Tidak! Tid
"Terima kasih–" Surtini terbelalak "B-Bu Mirna? Maafkan saya malah di sini saat jam kerja! Saya sudah lalai! Maafkan saya, Bu!"Surtini membungkukkan badan berkali-kali. Mirna hanya membisu. Suasana menjadi semakin tegang. Keringat dingin membasahi punggung Surtini.Setelah 10 menit, membuat bawahannya jantungan, Mirna menghela napas berat. Dia memberi isyarat agar Surtini tetap duduk seperti sebelumnya. Gadis itu menurut sembari melirik takut-takut.Mirna ikut duduk di samping Surtini. Dia bahkan ikut mencelupkan kaki ke danau. Namun, mereka kembali terjebak hening. Mirna seperti ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Surtini hanya bisa menunggu dengan sabar sembari memilin-milin ujung seragamnya."Aku sudah dengar dari Non Eka. Akhirnya, kamu tau yang sebenarnya," gumam Mirna memecahkan keheningan.Surtini menunduk dalam. Tangannya semakin sibuk memilin-milin ujung seragam. Dia hampir saja melompat ke danau ketika Mirna menepuk bahunya lagi
Untuk Apa lagi kamu ke sini? Hah? Pergi! Pergi!" usir Hastuti dengan mata melotot.Dia begitu emosi. Suaminya sampai kewalahan menyabarkan. Awalnya, mereka hendak mengunjungi Rukmini. Kebetulan, tiba bersamaan dengan kedatangan Eka. Jadilah, Hastuti mengamuk.Keributan itu terdengar sampai ke dalam rumah. Rukmini dan Surtini ke luar rumah dengan tergopoh-gopoh. Melihat gadis yang dicintainya, Eka sempat-sempatnya mengerling nakal. Hastuti langsung berdiri menghalangi.Rukmini menghela napas berat. "Saya mohon pergilah, Nak Eka. Sudah cukup kamu menyakiti putri saya. Tolong jangan ke sini lagi," pintanya.Eka malah mengenggam tangan Rukmini. "Tapi, Ibu ... saya tidak berniat menyakitinya. Saya justru ingin membahagiakannya."Hastuti merangsek maju, melepaskan paksa genggaman tangan Eka. "Dasar gila! Kau pikir kami bodoh! Pulang sana! Pulang!" bentaknya dengan dada turun naik.Dia mendorong Eka dengan kasar. Sebenarnya, dorongan itu tidak terlalu kuat. Namun, Eka memang banyak akalnya d
Hanya dalam 6 bulan, Mahardika berhasil mengakuisisi perusahaan utama milik Hartono Group. Seperti perkiraan Eka, ayahnya memang tidak kompeten. Gilang mudah sekali memberikan tanda tangannya, sehingga aset juga bisa diambil alih dengan cepat. Hari ini, Bambang datang ke perusahaan. Namun, tindakannya sudah sangat terlambat. Dia hanya bisa murka kepada sang putra dan menggeram galak ke arah Mahardika yang tersenyum licik. Sementara Eka tentu saja ikut berakting marah."Kenapa Om Dika tega melakukan ini? Padahal, aku percaya Om benar-benar membantu kami!" serunya."Kau itu murid jenius, Eka. Kenapa masalah sepele begini saja malah tertipu?" ejeknya, tentu juga berpura-pura. Mereka justru sudah merencanakan kehancuran Bambang Hartono sejak awal.Brak!Bambang tiba-tiba menggebrak meja. "Puas kau, Mahardika! Ternyata kau sama busuknya dengan ayahmu!" umpatnya.Mahardika tertawa lepas. "Saya sedikit koreksi ucapan Anda, Pak Bambang. Ayah dari Mahardika sama sekali tidak busuk. Tapi, kala
"Jadi, solusi apa yang kau tawarkan, Eka?""Menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang mumpuni dan mendapat simpati publik. Kita juga bisa menjaminkan beberapa aset," sahut Eka sembari menunjukkan beberapa dokumen.Gilang mengambil dokumen. Dia mengernyitkan kening saat membaca nama perusahaan yang tertulis di kertas. Keraguan menyusup di hati. Perusahaan Keluarga Pratama memang tidak akan menimbulkan masalah. Gilang hanya khawatir Bambang tidak akan menyetujui kerja sama dengan pihak Prasetya. Namun, Eka juga benar. Kedua perusahaan tersebut besar, keuangan stabil, dan mendapat simpati publik karena bersih dari kecurangan dan sering melakukan kegiatan amal. Gilang memijat-mijat keningnya yang mendadak berdenyut."Eka, kakekmu mungkin tidak akan setuju untuk Mahardika Group. Kamu tahu, kan, pendirinya bekas orang kepercayaan Om Danu.""Iya, Pak Gilang. Saya tahu benar perselisihan tak habis-habisnya antara Pak Bambang Hartono dan Pak Langit Prasetya. Tapi, bukankah generasi suda
Aula Hotel Blue Sky mulai ramai. Para tamu dari kelas atas saling berbincang. Bisnis atau barang mewah yang menjadi bahan obrolan. Eka tersenyum. Proyek yang telah menyita waktunya sebulan terakhir sukses besar dan pesta hari ini adalah untuk merayakannya.Namun, rasa bangga Eka dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Dia tak sengaja melihat sosok familiar di antara para tamu. Gadis yang selama ini dirindu itu tak seharusnya berada di sana. Ya, Surtini tampak sedang sibuk menata kue-kue di meja.Eka memanggil salah seorang staf bagian makanan. "Setahu saya, gadis itu bukan bagian dapur, kenapa ada di sana?" tanyanya sambil menunjuk Surtini."Ah, itu karena Bu Sylvia, Pak. Beliau menambahkan menu kue dari toko kue favoritnya. Gadis itu dari toko kue tersebut," jelas staf."Oh begitu, terima kasih penjelasannya. Kamu bisa kembali bekerja."Staf bagian makanan itu membungkukkan badan, lalu pamit pergi. Eka seketika mendecakkan lidah. Mau seenak apa pun kue di toko Rukmini, mustahil seora
Usaha toko kue Rukmini berkembang semakin pesat. Dia bahkan sudah membuka dua cabang. Hastuti sampai mengundurkan diri dari pekerjaannya demi mengelola cabang pertama. Sementara cabang satunya lagi dipegang oleh Surtini. Sudah 3 minggu berlalu sejak hari pembukaan cabang kedua toko kue Rukmini. Pelanggan semakin bertambah setiap harinya. Bahkan, mereka juga sudah menerima pesanan besar beberapa kali. Akibatnya, Surtini menjadi sangat sibuk. Namun, anehnya, dia sering melihat ke jalan raya, sedikit berharap Eka akan tiba-tiba datang. "Ada apa, Mbak Sur?" tegur salah seorang karyawan saat Surtini lagi-lagi tanpa sadar menatap sendu kaca jendela yang menghadap ke jalan raya."Eh, iya, Dek? Apa?""Aku liat dari tadi Mbak Surti liat ke luar terus, kirain ada apaan?"Surtini menyengir lebar. "Aku cuma berharap seseorang datang, tapi kayaknya enggak bakal datang deh."Karyawan itu mengangguk-angguk meskipun masih penasaran. Dia tak mungkin mengorek-ngorek informasi atasan sembarangan. Akhi
Hastuti terlempar menghantam dinding. Surtini menjerit kaget. Tenaga laki-laki dan perempuan secara normal jelas memiliki perbedaan signifikan. Beno tentu bisa dengan mudah membanting putrinya."Mbak Tuti!"Surtini menghambur ke arah Hastuti, mencoba melakukan pertolongan pertama. Namun, baru berhasil menghentikan pendarahan di kening sang kakak, tubuhnya sudah ditarik dengan kasar. Beno mencengkeram kuat lengan Surtini dan menyeretnya paksa."Tunjukan di mana uang yang disimpan Rukmini! Atau kamu akan kujual!" desis Beno tajam di telinga Surtini.Brak!Pintu dibuka paksa dari luar. Lima petugas berseragam merangsek masuk. Beno mengumpat, lalu mencengkeram lengan Surtini dengan lebih kuat. Kuku-kukunya yang panjang dan kehitaman menggores luka di kulit gadis itu."Saudara Beno, menyerahlah! Anda sudah terkepung!" seru salah seorang polisi.Bukannya takut, Beno malah terbahak-bahak. Para polisi mengarahkan moncong senjata, memberikan ancaman. Namun, hal tersebut tidak juga menyurutkan
"Aku sangat berterima kasih atas perhatian Mas Rehan, tapi perasaan tidak bisa dipaksakan. Maaf, Mas, aku tidak bisa menerima perasaanmu," tutur Surtini dengan perasaan tak enak hati. Dia tak menyangka perkataan Amira beberapa waktu lalu terbukti kebenarannya. Ternyata, Rehan memang memendam rasa bahkan sejak mereka masih remaja. Menolak cinta pemuda baik tentu menyisakan rasa bersalah dan kecanggungan yang sungguh mencekik. Namun, Surtini juga tidak akan pernah coba-coba dengan perasaan orang lain. Dia tidak mau menerima Rehan dengan masih menyimpan Eka di hati. Hal seperti itu sangat kejam dan tidak adil. Pemuda dengan kualitas sekelas Rehan tak seharusnya menjadi pelarian.Sorot mata Rehan jelas memancarkan kekecewaan, tetapi pemuda itu berusaha tersenyum tegar. "Baiklah, Mas mengerti.”Meskipun menjawab seperti itu, harapan Rehan belum pupus. Dia berpikir Surtini hanya masih terluka. Jika suatu saat gadis itu sudah move on, pasti akan membuka hatinya lagi untuk cinta yang baru.
Waktu berlalu dengan cepat. Sylvia telah benar-benar masuk ke tim proyek terbaru. Perlahan, dia menjalin keakraban dengan Eka. Taktik yang digunakannya adalah tampil sebagai wanita cerdas dan kreatif. Sylvia berusaha menunjukkan dirinya sudah berubah, tidak akan ada lagi anak manja sombong.Sayangnya, semua itu palsu. Ide-ide brilian yang sering diajukan dan mendapat pujian dari Eka tidak orisinil. Secara rutin, Sylvia berkomunikasi dengan asisten kakeknya yang juga dikenal sebagai jenius.Seperti hari ini, Sylvia kembali datang ke kantor Eka. Dia membawa beberapa dokumen. Surtini sempat melirik sinis, tetapi cepat berpura-pura mengerjakan laporan ketika Eka memberi peringatan lewat isyarat mata."Kalo begini bagaimana, Ka?" tanya Sylvia saat sudah duduk di hadapan Eka. Dia menunjukkan lembar kedua dari dokumen yang dibawanya.Eka membaca isi dokumen. Mata elangnya menelaah setiap baris kalimat. Beberapa kali, dia mengelus dagu. Sylvia mencuri kesempatan untuk memandangi wajah tampan i
Ruang wakil direktur Hartono Group terasa mencekam. Dua pria berhadapan dengan topik pembicaraan yang pelik. Eka mengetuk meja dengan ujung pulpennya beberapa kali. Sementara lelaki paruh baya di depannya terus menjelaskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan pihak perusahaan mereka, sehingga permasalahan semakin membesar dan dapat menyebabkan proyek harus ditunda atau bahkan dihentikan.“Surti, mana laporan yang kuminta kemarin!” titah Eka dengan wajah dingin.Surtini segera mencarikan laporan yang diminta dan segera menyerahkannya. Eka membuka lembaran dokumen. Mata elangnya tiba-tiba mendelik. Dia mendecakkan lidah."Ini sudah yang ketiga kalinya, Surti! Kenapa mengerjakan ini saja kamu tidak bisa!" bentak Eka sembari menghempaskan dokumen di meja.Sudah seminggu berlalu sejak masalah menimpa proyek yang tengah ditangani Eka. Dia mudah menjadi emosional dan jauh lebih sensitif dibandingkan biasanya. Hampir tak ada karyawan yang lolos dari amukannya. Hari-hari yang lalu, Surtini selal