Dari bakda Subuh tadi, Tanisha sudah sibuk dengan peralatan dapur. Ia memasak banyak makanan untuk Aqlan. Hal itu sebagai permintaan maafnya atas kejadian semalam.
Keringat bercucuran di dahi perempuan itu. Kakinya sudah lelah untuk tetap berdiri. Namun, makanan yang belum selesai dimasak membuatnya terpaksa menguatkan diri.Tak berselang lama, terdengar suara Aqlan mengucap salam. Laki-laki itu memasuki rumah dan mendapati Tanisha yang tengah sibuk memasak. Ia melepas pecinya lalu duduk di kursi sambil memandangi istrinya.Ada perasaan heran di hati Aqlan. Mengapa istrinya masak begitu banyak? Hampir seisi meja makan penuh dengan makanan.Kegiatan memasak pun selesai. Tanisha meletakkan sisa makanan yang baru selesai dimasak ke atas meja makan. Perempuan itu mengarahkan pandangannya pada Aqlan sekilas. Kemudian kembali fokus dengan kegiatannya."Kamu kenapa masak sebanyak ini? Ada acara apa?"Tanisha menghela napas pelan lalu meletakkan tangannya di pinggang. Kepalanya ia miringkan dengan tatapan tajam dilayangkan pada Aqlan.Namun, lagi-lagi sikap Tanisha itu justru terlihat menggemaskan di mata Aqlan."Emang nggak boleh? Bukannya bilang makasih. Masak segini, tuh, capek tau," sahutnya seraya mengusap keringat di pelipisnya.Aqlan berdiri di depan Tanisha. Ia menyunggingkan senyumnya seraya melingkarkan lengannya di pinggang sang istri."Itu kamu tau. Abang nggak mau kamu kecapekan. Lagian kita, 'kan, cuma tinggal berdua. Masa kamu masak sebanyak ini? Nanti malah mubazir jadinya," ujarnya. Tangannya mengambil sapu tangan dari dalam saku lalu ia gunakan untuk mengelap keringat istrinya.Mata Tanisha terkunci ke wajah Aqlan. Kali ini ia tak marah. Rasa bersalahnya masih melekat di hati. Ingin mengucap kata "maaf", tapi ia terlalu takut atau mungkin ... malu.Satu tangan Tanisha menghentikan pergerakan tangan Aqlan yang tengah mengelap keringat di wajahnya. Perempuan itu menundukkan kepalanya, tak berani menatap wajah suaminya itu. Ia terdiam sekian lama hingga membuat Aqlan bingung."Maaf," lirih Tanisha kemudian. Lagi-lagi setetes air matanya turun.Dahi Aqlan mengernyit. Diangkatnya dagu sang istri agar menatapnya. Namun, tangannya langsung disingkirkan dari dagunya."Maaf buat apa, hm? Emang kamu bikin salah apa?" tanya Aqlan lembut. Ia tahu, menghadapi perempuan seperti Tanisha haruslah dengan lemah lembut.Tanisha mendongak. Ia menatap Aqlan tak percaya. Bagaimana bisa laki-laki itu bertanya seperti itu padahal sudah jelas-jelas ia menyakitinya semalam."Kamu kenapa nanya gitu?"Dahi Aqlan kembali mengernyit. Sapu tangannya ia letakkan di atas meja lalu menyangga tubuhnya dengan berpegangan ke meja."Kenapa? Ya karena Abang nggak tau kamu salah apa. Lagian kamu kenapa tiba-tiba minta maaf kayak gini, hm?"Tanisha kembali menunduk menyembunyikan air matanya dari Aqlan. Masih berputar dalam ingatannya saat ia memarahi suaminya sendiri semalam. Tak terlintas sedikit pun di benaknya, bagaimana jika Allah marah dan tak meridainya karena ia tak bersikap takzim pada Aqlan, suaminya."M-maafin a-aku ... Aku sa-salah, Bang ...." Kini Tanisha menangis terisak. Hal itu tentu saja membuat Aqlan panik dan cemas.Laki-laki berkoko cokelat itu menarik Tanisha ke dalam pelukannya. Ia usap dengan lembut punggung istrinya itu. Sementara itu, tangis Tanisha semakin pecah."Hei, jangan nangis, Sayang. Kamu nggak salah apa-apa, kok. Kamu, 'kan, istri yang baik, hm? Udah, 'ya?"Tanisha mengangkat kepalanya menatap wajah teduh Aqlan. Dapat laki-laki itu lihat air mata dan wajah memerah istrinya. Aqlan begitu prihatin melihatnya."Baik kamu bilang? Semalem aku marahin kamu, terus larang kamu buat tidur sama aku ...." Tanisha kembali menunduk, "Aku takut, Bang Aqlan."Aqlan terdiam sejenak. Memang tadi malam ia sempat kesal pada Tanisha. Namun, itu tidak berlangsung lama. Sebelum tidur Aqlan menyempatkan diri untuk membaca zikir agar hatinya kembali tenang.Laki-laki itu kembali mengangkat wajah istrinya. Jari jempolnya ia gunakan untuk menghapus jejak-jejak air di pipi perempuan yang sangat ia cintai. Melihat Tanisha menangis membuat Aqlan merasa sudah gagal menjadi seorang suami."Abang," panggil Tanisha pelan."Hm?""Aku kesel sama kamu, aku nggak suka sama kamu, tapi aku juga takut. Kalo Allah marah dan nggak rida sama aku gimana?"Hati Aqlan merasa tersentuh. Ia sangat terharu dan tak menyangka. Sekalipun istrinya itu tak menyukainya, bahkan berharap rumah tangga dengannya runtuh, tetapi Tanisha tetap mengharapkan rida darinya. Perempuan itu masih menghargainya sebagai seorang suami. Walaupun terkadang Tanisha khilaf. Namun, hal itu manusiawi, bukan?"Sayang, kamu nggak perlu takut. Insya Allah rida Abang akan selalu menyertaimu. Abang nggak setega itu. Mentang-mentang Abang ini seorang suami, Abang bakal biarin kamu kena murka Allah? Nggak mungkin. Abang juga masih banyak dosa dan kesalahan. Belaga sekali rasanya kalau Abang seperti itu."Aqlan menuntun Tanisha untuk duduk di kursi. Ia kemudian menuangkan air ke dalam gelas lalu menyodorkannya pada Tanisha."Sekarang mending kita sarapan, yuk! Abang nggak sabar pengen nyicipin makanan kamu. Pasti enak-enak," ujar Aqlan antusias dan tersenyum senang. Tentu saja ia lakukan itu agar istrinya tak bersedih lagi.***Siangnya Tanisha terlihat sedang bersiap untuk pergi. Aqlan yang baru saja pulang mengajar heran melihat penampilan Tanisha yang begitu rapi."Mau ke mana, Sha?" tanya laki - laki itu sambil melepas jaketnya."Pergi," jawab Tanisha singkat. Perempuan itu sibuk memutar-mutar tubuhnya di depan cermin.Aqlan tersenyum tipis. Baru saja tadi pagi hubungannya dengan Tanisha mulai akrab, tetapi sekarang perempuan itu kembali dingin dan cuek padanya."Pergi ke mana?"Tanisha menghela napas kesal. Ia membalikkan tubuhnya menghadap Aqlan. Kedua tangannya ia lipat di depan dada."Intinya aku mau pergi. Nggak usah larang-larang. Lagian bukan mau selingkuh juga."Aqlan kembali tersenyum. Tersenyum pasrah. Ia pun mengangguk sebagai kode bahwa ia mengizinkan istrinya untuk pergi."Ya udah. Tapi pulangnya Abang jemput, 'ya? Jemput di mana?""Jalan layang."***Suara gemercik air sungai terasa begitu menggelegar di telinga. Suaranya terleburkan oleh suara mesin kendaraan yang berlalu lalang di jalan.Langit kian menghitam. Namun, hal itu tak membuat keheningan di antara dua anak manusia yang berdiri di pinggir jalan dengan jarak 2 meter menghilang. Keduanya sudah saling terdiam selama hampir lima belas menit.Keduanya terlalu gugup untuk memulai percakapan."Apa kabar?" tanya si laki - laki."Alhamdulillah, a-aku b-baik, Andra," jawab si perempuan dengan gugup.Tanisha dan Kalandra. Merekalah 2 orang itu.Kalndra memegang pagar jembatan kuat-kuat. Begitu juga Tanisha. Ia tak tahu harus bertanya apa lagi. Ia hanya ingin bertemu perempuan itu saja. Tak ada yang lain."Gue masih nggak nyangka lo nikah sama Aqlan, Cha," celetuk Kalandra dengan mata memandang ke aliran air di bawahnya.Tanisha menatap laki-laki di sebelahnya sekilas, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke aliran sungai."Semua bisa saja terjadi setelah geng unfaedah kamu itu bubar."Kalandra tertawa ringan mendengar ungkapan perempuan itu. Ia berpikir, Tanisha masih sama seperti dulu. Julid."Seenggaknya lo pernah jadi ibu negara di perkumpulan itu," ungkap Kalandra diakhiri kekehan ringan. Ia merasa ingin tertawa mengingat masa-masa saat sekolah dulu. Saat masih remaja. Remaja labil yang bisanya hanya membuang-buang waktu.Namun, tidak dengan Tanisha. Perempuan itu justru tak mengeluarkan ekspresi apapun mengenai topik pembicaraan ini."Kamu kenapa bisa satu pondok sama Bang Aqlan?"Pertanyaan Tanisha membuat Kalandra menghentikan tawanya. Ia pun memilih fokus dengan jawaban yang akan ia berikan pada orang yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya itu."Panjang ceritanya, tapi biar gue persingkat. Jadi, semenjak gue dan temen-temen seangkatan gue lulus, dan geng Garparez bubar, gue disuruh orang tua buat mondok. Awalnya gue nggak mau. Tapi, di suatu malam gue merenung. Gue ini udah banyak bikin dosa, amal baik gue masih dikit banget. Masa iya gue mau nambah-nambah dosa? Ya udah, setelah beberapa hari mikir, akhirnya gue turutin apa kata orang tua gue. Dan di Al - Muhajirin-lah gue ketemu Aqlan yang ternyata gus di pondok itu. Liat gue yang begitu berantakan, jauh banget dari agama bikin Aqlan mau tuntun gue buat kembali ke Allah. Gue sampe dijadiin murid khusus Abi-nya. Alhamdulillah, sekarang gue ngerasa lebih baik dan lebih tenang dari sebelumnya.""Oh gitu."Kalandra kembali tertawa mendapat respon singkat dari Tanisha. Padahal ia sudah bercerita begitu panjang. Sekali lagi, ia merasa melihat Tanisha yang sama seperti di masa lalu."Lo ... nggak mau nanyain dia?" tanya Kalandra hingga membuat Tanisha mendongak menatapnya."Dia siapa yang kamu maksud?""Yakin nggak inget? Masa, sih, lo lupa sama dia? Dia yang pernah jadi seseorang paling—""Nggak usah dilanjut. Aku trauma sama orang itu. Bahkan mengingatnya aja aku nggak mau.""Hahaha, iya maaf. Tapi kalo lo mau nyari dia—""Nggak akan. Udah, 'kan? Aku mau pulang.""Oh, ya udah. Gue anterin, 'ya?""Nggak usah. Bang Aqlan udah nungguin di parkiran." Tanisha mengecek ponselnya lalu berjalan cepat meninggalkan Kalandra di tempat itu.Kalandra menatap kepergian Tanisha seraya tersenyum tipis. Ia masih tak menyangka, sesorang yang dahulu terkenal bad girl, kini justru telah hijrah dan menjadi muslimah yang baik.***Sepanjang perjalanan, Aqlan dan Tanisha saling diam. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak ada yang berani memulai percakapan walau hanya sekadar untuk memecah keheningan.Tanisha tengah memikirkan pembicaraannya tadi dengan Kalandra. Sementara Aqlan, ia sibuk bertanya - tanya dalam benaknya, saat ia tak sengaja melihat istrinya itu mengobrol dengan sahabatnya sendiri. Pasalnya, cara mereka saling berbicara terlihat seperti sudah sangat mengenal dan akrab.Tanisha memainkan kain gamisnya. Ia benar-benar tak senang kala kembali mengingat kehidupannya di masa lalu dengan seseorang. Ia benar-benar kesal, mengapa ia harus kembali bertemu Kalandra?"Acha ....""Iya?"Aqlan terlihat ragu untuk menanyakan hal tadi kepada perempuan itu. Stir mobil ia ketuk - ketukkan dengan jari. Ia juga mengulum bibirnya pertanda gugup."Nanti aja, deh. Pas di rumah," jawabnya yang seketika mendapat tatapan sinis dari istrinya.Sesampainya di rumah, mereka kembali sibuk dengan urusannya masing
Sedari tadi, Aqlan terus termenung sambil duduk bersila di teras rumah orang tuanya. Matanya menatap lurus ke depan. Walau kelihatannya seperti sedang menatap gerombolan santri yang tengah bermain-main di lapangan, sebenernya matanya itu sedang menatap kosong.Pikirannya tak henti-henti mengilas balik kejadian beberapa waktu lalu, saat ia memergoki istrinya tengah berbicara banyak dengan Kalandra. Ia sangat ingin tahu banyak apa yang sebenarnya mereka berdua bicarakan waktu itu."Aqlan!" panggil Kalandra tiba-tiba hingga membuat Aqlan tersentak.Perasaan laki-laki itu agak tak suka melihat kedatangan Kalandra padanya. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain sejenak. Lalu, ia mengucap istighfar beberapa kali. Aqlan sadar, ia tidak boleh mengira yang tidak-tidak pada sahabatnya itu sebelum mengetahui yang sebenarnya."Kenapa? Kok, ngelamun aja? Lagi ada masalah, kah, sama ... istri lo?" tanya Kalandra dengan nada agak ragu di kalimat akhirnya.Aqlan berusaha menampilkan senyumnya pada Kala
"Jadi, kita udah ... pacaran?" tanya Tanisha dengan jari kelingking yang masih bertaut dengan jari kelingking Rezvan."Iya," balas laki-laki itu tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah gadis yang baru dipacarinya itu.Tanisha tersenyum simpul. Ada getaran aneh saat dekat dengan laki-laki yang sudah berstatus sebagai pacarnya itu. Di saat ia baru memasuki dunia putih abu-abu, ia pun pertama kalinya mempunyai seseorang yang dipanggil "pacar".Gadis berseragam acak-acakan itu melepas tautan jarinya dengan Rezvan. Ia kemudian beralih memandang lurus ke depan dengan senyumnya yang tak luntur-luntur. Jantungnya pun sedari tadi berdetak tak karuan.Rezvan memandang sang pacar dari arah samping. Senyumnya pun tak meluntur saat menelisik ukiran indah Tuhan di wajah perempuan itu.Bukan hal yang mudah bagi Rezvan untuk mendapatkan Tanisha. Perempuan yang bisa dibilang baru mengenal yang namanya cinta itu cukup sulit untuk diluluhkan. Wajar saja, saat SMP dulu, Tanisha hanya menghabiskan waktu
Tak terasa, hubungan Rezvan dan Tanisha sudah berlangsung selama 4 bulan. Selama itu juga sifat posesif Rezvan selalu membuat gadis itu seolah tak bisa bernapas dengan bebas.Kekangan yang diberikan laki-laki itu terlalu berlebihan. Pergaulannya mulai dibatasi bahkan dengan teman-teman perempuannya. Waktu dengan keluarga pun semakin terkikis karena Tanisha harus selalu mengikuti apa yang diinginkan Rezvan.Tak jarang, Tanisha seringkali mendapat perlakuan keras dari laki-laki itu jika ia berani membantah atau menolak. Entah itu berupa fisik maupun batin. Fisiknya yang tersiksa, dan batinnya yang begitu tertekan. Sayang sekali, Tanisha tak pernah berani untuk mengadu pada siapa pun dengan alasan takut dan cinta.Apakah cinta harus sebuta ini bagi Tanisha? Mengapa cinta pertama gadis itu harus semenyakitkan ini?"Ikut gue!" Dengan paksa Rezvan menarik lengan Tanisha agar ikut dengannya. Ringisan pelan sesekali terdengar dari mulut gadis itu."Van, santai, dong! Ini sakit tau!"Tepat saa
"Ini beneran pacar gue? Cantik."Suara Rezvan yang tiba-tiba menyapa telinga Tanisha membuat gadis itu sontak menoleh ke arah suara tersebut. Bukannya tersipu, gadis itu justru melayangkan tatapan tak suka pada laki-laki itu.Rezvan menatap Tanisha dari atas sampai bawah. Benar-benar berbeda. Tak ada kesan bad girl atau tomboy. Tanisha terlihat anggun dan menawan dengan penampilan feminimnya itu."Apa lo liat-liat?!" sentak gadis itu. Rasa kesalnya masih belum juga pergi.Kalandra yang selalu berada di dekat Rezvan dapat melihat mata Tanisha yang berkaca-kaca seolah menahan tangis. Namun, ia tahu gadis itu tak akan mungkin berani menitikkan air matanya dengan alasan tak ingin dicap lemah. Padahal menangis bukan berarti seseorang itu lemah."Ayo, berangkat!" ajak Rezvan sambil memegang pergelangan tangan Tanisha.Gadis itu langsung menghempaskan tangan Rezvan. "Mau ke mana, sih? Kasih tau dulu!" pintanya dengan nada kesal.Laki-laki itu berdecak kesal. Lalu, tanpa aba-aba dan tanpa mem
Kalandra menatap wajah Aqlan yang terlihat menahan amarah, tetapi masih bisa bersikap tenang. Ia dapat merasakan, betapa marahnya seorang suami yang mengetahui bahwa istrinya pernah menjalin sebuah hubungan yang melebihi batas wajar. Bahkan, ia sendiri agak menyesal telah menceritakan bagian yang cukup tabu itu. "Lan, maafin gue," ucap Kalandra tak enak hati. Aqlan tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Ia mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. Helaan napas perlahan mengembus dari mulutnya seolah tengah melepas segala beban yang ada di kepalanya. "Gak, kok. Lo gak salah, dan memang gak ada yang salah. Yang lo ceritain hanya masa lalu Tanisha, gak usah diungkit lagi. Tanisha yang sekarang tak sama dengan Tanisha yang dulu. Gue yakin," tuturnya dengan senyum yang tak luntur. Aqlan mengarahkan pandangannya lurus ke depan menatap para santri yang tengah berlalu lalang. Namun, pikirannya justru mengembara ke perjalanan rumah tangganya dengan Tanisha. Yang ia lihat, rintangan
"Gimana? Apa semuanya udah siap? Gue mau cek lokasi 2 abis ini.""Semua sudah siap, Pak. 1 jam lagi mau dimulai.""Good. Semoga lancar dan project ini bisa sukses."Laki-laki itu memasangkan kaca mata hitam lalu segera meluncur ke lokasi 2 untuk memantau proses shooting di sana. Sudah menjadi kebiasaannya bolak-balik dari lokasi satu ke lokasi lainnya untuk memantau kelancaran produksi film yang berasal dari ide-idenya itu. Mobil SUV hitam yang dinaikinya pun segera keluar dari lahan parkir. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Lagu-lagu pop ia putar dari radionya. Sesekali laki-laki itu menyapa warga sekitar yang ia lewati dengan seulas senyum. Di atas dashboard mobilnya, terdapat sebuah buku novel. Novel itu telah ia beli setahun lalu, tepat saat ia sukses menjalankan project film pertamanya saat masih berada di luar kota. Ia membeli novel itu karena pada waktu itu, novel yang dimilikinya kini sempat mem-booming. Dengan satu tangan yang mengendalikan stir, satu tanganny
Ahad pagi, Tanisha sibuk merapikan rak buku yang terletak di sudut kamar. Ia baru saja membeli beberapa buku mengenai kepenulisan untuknya belajar agar tulisannya lebih baik. Ia pun memisahkan beberapa buku yang ia lahirkan sendiri di rak bagian paling atas. Tanisha tersenyum senang saat menatap buku-buku novel yang ia tulis sendiri itu. Ia juga terharu dan tak menyangka, salah satu novelnya berjudul "Toxic Relationship", bisa meledak saat terbit satu tahun lalu. Tangannya bergerak untuk meletakkan buku-buku itu kecuali satu novel yang judulnya disebut di atas tadi. Ia melangkahkan kaki menuju meja belajar lalu duduk di atas kursi. Perlahan tangannya membuka lembar demi lembar buku novel itu. Matanya bergerak pertanda ia sedang membaca kata demi kata di novel itu. Pikirannya tiba-tiba melayang ke pengalaman hidupnya di masa SMA. Tanisha sadar, kisah yang ia tulis di novel itu sebenarnya adalah kisahnya. Mengisahkan tentang cinta pertamanya yang tak indah, justru begitu menyakitka
Beberapa bulan kemudian semenjak kejadian Tanisha keguguran, semua kembali berjalan dengan normal. Hubungannya dengan Rezvan kembali membaik. Tak ada lagi saling diam mendiami satu sama lain. Semua benar-benar kembali ke keadaan di mana mereka baru memulai yang namanya bahtera rumah tangga. Persoalan Theano, laki-laki itu sudah ditangkap dan dipenjara atas kasus yang ia lakukan. Meneror, menyerang, dan membuat kandungan Tanisha keguguran. Meski begitu, tak ada rasa dendam atau benci di hati Tanisha dan Rezvan. Mereka senang karena telah mendapat keadilan. Namun, mereka juga tetap memaafkan perbuatan Theano. Hari-hari berjalan dengan penuh kebahagiaan dan canda tawa. Tak ada kekhawatiran akan keturunan yang belum juga diamanahkan. Tanisha dan Rezvan menjalani semuanya dengan penuh kesabaran. Diiringi doa dan ikhtiar, mereka tak berhenti berharap agar Tuhan kembali mempercayakan seorang anak pada mereka. "Sayang, aku berangkat dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik di rumah," ucap Rezvan
Afzar tampak keheranan saat mendapati Tanisha yang sudah kembali dari taman, tetapi dengan wajah yang tampak murung. Perempuan itu melewatinya begitu saja. Bahkan tak membalas sapaannya saat ia menyapa. Afzar yang semula duduk di luar ruangan inap pun lekas mengekori Tanisha hingga ke dalam. Ia masih menatap dalam diam memandangi sang adik yang duduk di atas ranjang sambil tertunduk lesu. "Cha, tadi Rezvan dateng ngejenguk. Udah ketemu belum?" tanyanya sambil menarik kursi mendekati ranjang. Tanisha mengangguk mengiyakan. "Ketemu. Tadi di taman." "Terus, sekarang dia di mana? Kok, gak bareng kamu?" tanya Afzar lagi seraya celingak-celinguk mencari keberadaan suami adiknya. "Aku belum mau ketemu sama dia dulu, Bang. Dan tolong, jangan bicarain dia juga di depan aku." Setelah mengatakan itu, perempuan dengan piyama warna biru tosca itu meluruskan kedua kakinya, lalu ditutupi dengan kain selimut yang tebal. Afzar memandangi wajah adiknya tersebut lekat-lekat. Dapat ia lihat jejak k
BRUK!Untuk ke sekian kalinya Rezvan melempar tubuh Theano ke lantai hingga tersungkur. Memar dan darah menyebar di beberapa bagian anggota tubuh laki-laki itu. Keadaannya sangat memprihatinkan, seolah sedang berada di antara hidup dan mati. Laki-laki dengan wajah penuh amarah itu berjalan mendekati Theano yang masih berusaha untuk bangkit dengan sisa tenaga yang ada. Dinding di belakangnya ia gunakan untuk menopang tubuhnya yang serasa sudah begitu remuk. Rezvan, dengan napasnya yang memburu, dengan kasar menarik kerah baju Theano hingga laki-laki yang sudah sangat lemah itu berdiri lunglai. Tatapan yang ia layangkan begitu tajam setajam mata elang. Tatapan itu seolah mengartikan berapa marahnya atas apa yang dilakukan oleh lawannya tersebut. "Dengerin gue, Theano. Kalo lo masih berani nyentuh istri gue dikit aja, gue gak akan pernah biarin lo hidup lagi. Sekarang lo beruntung masih gue kasih kesempatan buat hidup. Inget, perbuatan lo gak akan semudah itu gue maafin," tegas Rezvan
Semua anggota Garparez langsung menuju lokasi saat mendapat kabar bahwa Tanisha terluka akibat didorong oleh Theano hingga terjatuh. Wajah-wajah panik yang tertutup helm memenuhi jalanan. Kendaraan yang mereka kendalikan pun dilajukan begitu cepat. Sementara itu, Rezvan yang ditemani Kalandra bergegas mengambil langkah cepat dengan mengantarkan Tanisha ke rumah sakit. Raut wajah Rezvan tampak sangat khawatir. Keselamatan istri dan calon anaknya benar-benar membuatnya tak dapat duduk tenang barang sekejap saja. Bahkan, ketika Tanisha sudah dimasukkan ke ruang IGD, Rezvan masih saja tak henti-hentinya bersikap sangat panik. Ia tak mau menunggu sambil duduk. Terus saja dirinya mondar-mandir di depan pintu sambil menyatukan kedua tangan, berharap tak ada kabar menyakitkan nantinya. Kalandra yang paham apa yang tengah dirasakan oleh calon ayah itu tak mampu berbuat apa pun. Sejujurnya ia juga merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Tanisha. Betapa menyesalnya karena sebagai seorang l
Suara pintu yang diketuk beradu dengan suara bel hingga terdengar seluruh penjuru rumah. Tanisha yang saat itu sedang bekerja di depan laptopnya lantas bergegas turun ke bawah menuju pintu utama. Suara bel yang dipencet beberapa kali membuat Tanisha makin mempercepat langkahnya. Suara yang sangat keras itu seolah membuat gendang telinganya hampir pecah. Diiringi perasaan kesal ia pun lekas membuka pintu dan matanya pun menangkap sosok lelaki yang tak ia kenal. "Mau ketemu siapa, ya?" tanya Tanisha dengan wajah masam. Penampilan laki-laki yang seperti anak geng motor itu membuatnya seakan kembali diingatkan pada kebohongan suaminya. "Kamu. Tanisha Azzahra Khalisah," jawab laki-laki itu disertai senyuman yang tak dapat perempuan itu tebak senyuman apakah itu. "Aku? Kamu siapa? Ada urusan apa kamu sama aku?" Nada bicara Tanisha terdengar agak ketus. Matanya terus mengamati penampilan laki-laki di hadapannya dari atas sampai bawah. "Saya cuma mau menyampaikan satu hal dari atasan sam
Keesokan paginya, Rezvan sudah siap dengan setelan pakaiannya. Namun, yang ia pakai bukan baju untuk bekerja seperti biasanya. Kali ini ia mengenakan kaos berwarna biru tua yang dibalut dengan jaket berbahan levi's. Dilihat dari penampilannya, sudah dapat ditebak kalau ia hendak pergi ke markas Garparez. Tanissha yang menyadari hal tersebut lantas menggerutu terus-menerus. Lidahnya tak berhenti mengumpati suaminya bahkan di saat ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Kecewa yang belum juga mereda pun membuatnya tak sudi menanyakan apa pun pada laki-laki itu. Rezvan menatap istrinya dari kejauhan—tepatnya di balik pintu dapur. Ada rasa khawatir bercampur cemas saat melihat istrinya yang kini masih terlihat sibuk itu. Bayang-bayang Theano yang mungkin saja akan mendatangi Tanisha kapan pun dia mau. Apalagi membayangkan sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada perempuan itu rasanya ia tak sanggup. Rezvan tahu Tanisha masih marah padanya. Memang bukan hal yang mudah untuk mengemb
Pagi kembali menyapa. Mentari pun ikut menyambut dengan masuk ke celah-celah jendela dan memberikan kehangatan bagi setiap penghuni rumahnya. Aroma-aroma masakan dari setiap rumah menguar dari balik jendela dapur hingga mengundang rasa lapar yang telah tertahan semalaman. Akan tetapi, kehangatan itu tak dapat dirasakan oleh pasangan suami istri yang baru pulang dini hari tadi. Tak ada percakapan ringan yang menyertai kegiatan mereka di awal hari. Tak ada pelukan mesra yang biasanya selalu datang memberikan senyum manis yang menawan hati. Hanya ada keheningan tanpa ada keributan yang biasanya ada setiap hari. Di antara Tanisha maupun Rezvan, tak ada yang berani menyapa lebih dahulu. Masing-masing dari mereka fokus dengan urusannya tanpa memedulikan hubungan mereka yang terancam renggang. Kejadian semalam seolah mengubah 180 derajat kebiasaan mereka sehari-hari. Walaupun dengan rasa terpaksa, Tanisha menyiapkan sarapan pagi begitu cepat. Tak ada nyala kompor yang mengeluarkan api, d
Di malam yang gelap gulita itu Tanisha keluar dari area rumah sakit menuju taman tempat para pasien jalan-jalan untuk menenangkan diri. Di sana perempuan itu bersimpuh di atas rumput dengan kepala mendongak menatap langit. Sesakit inikah dibohongi? Kecewa yang mendalam seolah tak ada lagi celah untuk dapat memercayai sesuatu yang sudah disadari bahwa itu adalah kebohongan. Tanisha tahu, banyak kebaikan yang telah dilakukan Rezvan untuknya. Namun, entah mengapa satu kebohongan itu telah meruntuhkan seluruh kepercayaan yang pernah ia berikan pada laki-laki itu. Entah mungkin karena faktor kehamilan atau apa pun itu, yang jelas kini ia benar-benar kecewa. Dengan langkah yang terseok-seok Rezvan datang menyusul istrinya. Wajahnya tampak khawatir. Matanya bergerak luar mencari keberadaan Tanisha. Saat matanya menangkap sosok yang dicarinya, ia pun langsung berlari dan memeluk perempuan itu. "Acha! Lo ngapain di sini? Ayo, duduk di kursi. Kita bicarain ini baik-baik, ya?" Rezvan memegan
Semua orang di lapangan tersebut terkejut dengan teriakan Rezvan. Mereka yang semula sedang bertarung memperebutkan kemenangan lantas menghentikan pertarungan mereka dan berlari menghampiri suara teriakan itu. Lawan mereka, yaitu anak buah Theano tertawa penuh kemenangan saat menyadari ketua dari lawan mereka sudah hampir tumbang. Wajah-wajah penuh kekhawatiran tampak jelas mengelilingi Rezvan yang terkulai lemas dengan Kalandra di sebelahnya. Laki-laki itu segera menyuruh seseorang untuk memanggil ambulan agar sahabatnya dapat segera ditangani. Tanpa akhir yang diharapkan, pertarungan ini selesai dengan kekecewaan. Perdamaian yang menjadi tujuan kini hirap tak berbekas. Theano dan antek-anteknya tertawa lepas melihat kekalahan dari rivalnya, Rezvan. Lagi, tentang Tanisha yang sudah mengetahui yang sebenarnya, entah apa yang akan terjadi dengan hak itu. Tak lama setelah dipanggil, ambulan pun datang dan segera mengeluarkan tandu untuk membantu mengangkat Rezvan masuk ke dalam mobil