Setiba di rumah sakit, Zayyad langsung membawa Alina ke bangsal tempat Erina di rawat. Disana sudah ada Irsyad yang menjaga wanita tua itu. Ketika Zayyad membuka pintu, ia melihat kakeknya yang tengah menatap neneknya Alina dengan ekspresi yang tak terkatakan. Mata tuanya terlihat kuyu dan tubuhnya terlihat mengurus, padahal beberapa waktu lalu kakeknya masih terlihat cukup bugar dengan badan yang terbilang berisi.
Alina yang melihat Irsyad, merasakan hal yang sama seperti dipikirkan Zayyad. Irsyad menatap neneknya dengan sorot mata yang berbeda. Tapi ia cukup sulit mengartikan apa itu.
"Kalian sudah datang!" Irsyad tersadar dari lamunannya, melihat ke pintu, sudah berdiri Zayyad dan Alina yang baru saja datang.
Zayyad dan Alina melangkah masuk kedalam. Irsyad terus bangun, mempersilakan Alina duduk. Zayyad mengambil posisi berdiri di dekat ranjang.
"Kau baik-baik saja?" Irsyad bertanya pada Alina. Ia tidak mengira Zayyad sungguh menemukan wanita ini
Bibir Alina menegang. Beberapa saat, matanya tidak berkedip, membatu dan mengulang pertanyaan itu dalam hatinya, 'mulai mencintai Zayyad?' Otaknya bekerja cepat, membuat kesimpulan dan mulutnya terbuka dengan tegas berkata, "Tidak!"Hal seperti itu tidak akan pernah terjadi dalam hidupnya."Jadi sejauh ini, Alin belum bisa menerima Zayyad?" Erina terlihat kecewa. Meskipun selama ini ia sadar, kebersamaan Alina dengan Zayyad hanyalah tipu muslihat mereka didepannya, tapi ia masih memiliki setitik harapan kalau itu benar adanya.Alina tertegun. Melihat mata tua neneknya yang terlihat sedih, mengepalkan tangannya, ia tau salah. Ia merasa situasinya sangat rumit. Ia yang begitu membenci pria, terjebak dalam situasi dimana harus mencintai jenis itu, dapatkah ia melakukannya?Sejauh ini ia menganggap Zayyad pengecualian dan berhubungan baik dengannya, menurutnya itu sudah melebihi ekspektasinya. Tidak bisakah nenek melihat perjuangannya itu? "Nek..kau mengerti
⚠️ Sensitive content ⚠️ *Bab ini berisi adegan sensitif yang menyimpang, harap bijak dalam membaca dan melewatkannya jika tidak nyaman* Alina sudah berada di taman yang berada di samping rumah sakit. Ia berjalan seorang diri, sekitar sunyi dan tak ada siapapun. Matanya menatap ke bawah, terakhir ia tidak dapat menahannya lagi. Kaca bening yang sudah dipertahankan begitu lama pun pecah, derai air mata meluncur dikedua belah pipinya, "Kenapa? Hiks..kenapa nenek tidak pernah bisa mengerti diriku?" Ia menangis sesenggukan, tubuhnya berguncang dan dadanya terasa sesak. Mendatangi sebuah pohon besar, Alina memukul benda keras dan bertekstur kasar itu berkali-kali untuk meluapkan segala emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Ia tidak berhenti memukul, mengepalkan tangannya, ia memberi tinjunya yang lebih kuat dari sebelumnya. Ia tidak berhenti melakukannya sampai melihat jari-jemarinya terluka, beberapa bagian kulitnya terkelupas dan berdarah. Alina berhenti memukul. Perlahan tubuhnya me
Beberapa menit berlalu, Alina masih mendekap Zayyad erat. Angin di sekitar taman berhembus, bersamaan dengan itu terdengar dengkuran halus, Zayyad menautkan sepasang alisnya melihat kebawah. Menemukan Alina yang sudah tertidur begitu pulas dengan kepala bersandar di dadanya. Zayyad tersenyum kecil. Ia dengan lembut meleraikan Alina dari memeluknya dan menggendongnya.Zayyad tanpa sengaja melihat kedua kaki telanjang Alina yang diperban, sudah kotor oleh tanah dan bercampur sedikit noda darah. Lukanya masih basah, tapi wanita ini masih bersikeras berlari di atas tanah bebatuan dengan kaki telanjang, "Kenapa ceroboh sekali!"Zayyad kembali ke rumah sakit. Ia mendatangi ruang praktek yang kebetulan dokter yang berjaga di sana adalah seorang pria. Ia membaringkan Alina di atas brankar dan menoleh ke arah pria yang berkacamata tebal didepannya, "Dok, luka di kaki istri saya sepertinya terbuka. Ada noda darah diperban nya""Baik, coba saya lihat" Dokter pria itu melih
Zayyad menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum puas. Tidak berpindah dari posisinya, ia semakin mencondongkan wajahnya ke depan, nyaris hampir menyentuh keindahan didepannya. Mata Alina terus membulat lebar, merasa sangat terkejut. Ia ingin membuka mulutnya mengatakan sesuatu, tapi kedekatan itu cukup membuatnya gugup nyaris kehilangan kata untuk berbicara. Tidak ada cara lain, Alina mencoba untuk tetap tenang dan menundukkan pandangannya kebawah. Dalam hati, entah berapa kali ia sudah mengumpati pria itu. Alina dapat merasakan pergerakan wajah Zayyad yang nyaris hampir mengenai wajahnya, itu perlahan turun kebawah. Tepat ketika mulut pria itu nyaris mencapai daun telinganya, Alina dengan geli mengangkat bahunya dan menurunkan kepalanya menghindar. 'Zayyad, awas saja jika kau berani melakukan yang tidak-tidak!' "Aku suka sikap mu yang patuh seperti ini" Zayyad membuka mulutnya, berbisik halus tepat di telinga Alina. Alina menegang,
Alina dan Zayyad serempak menoleh pada asal suara, menemukan seorang gadis kecil dengan rambut terkepang dua, memegang boneka beruang ditangannya, dan mata bulatnya yang besar menatap bersemangat kearah Alina yang duduk di atas trolli. "Ingin seperti kakak yang mana?" Tanya seorang wanita yang sepertinya adalah ibu dari gadis kecil itu. Wanita itu terlihat muda dan cukup cantik. Rambut hitamnya yang lurus tergerai rapi sepinggang dan ia mengenakan gaun bermotif bunga-bunga selutut. "Seperti kakak itu!" Gadis kecil itu dengan bersemangat menarik gaun ibunya, sedang tangannya menunjuk kearah Alina, "Aku juga ingin duduk di atas trolli" Katanya, suara anak-anakan nya terdengar cukup menggemaskan. Ibu gadis kecil itu menoleh kearah Alina, menganggukkan kepalanya tersenyum sopan. Alina sungguh tidak tau ingin menyembunyikan wajahnya kemana. Ia juga menganggukkan kepalanya, tersenyum canggung, membalas keramahan wanita itu. "Tidak bisa sayang, troli kita su
"Sayang.. aku meminta mu menggendong ku bukan membopong ku" Gerutu Alina, terdengar manja. Tangannya memukul ringan punggung Zayyad, siapapun yang melihat, sekilas dapat menangkap betapa harmonisnya hubungan pasangan itu.Zayyad berdiri tegap. Memutar tubuhnya menghadap Alina, tangannya segera mengangkat tubuh wanita itu dari trolli. Alina mengalungkan tangannya dileher Zayyad, ketika pria itu mulai menggendongnya. Mengangkat wajahnya, ia pergi mencium pipi Zayyad lembut, "Terimakasih"Zayyad tercengang. Otaknya berpikir keras, apa maksud Alina melakukan semua ini? Alina diam-diam melirik kearah Cavell, yang sejak tadi hanya diam menatap mereka tanpa bersuara. Sikapnya yang acuh tak acuh dan aura gelapnya yang dingin, membuat Alina sukar membaca pria itu."Kau ayahnya Atifa, ambil troli ini untuk putri mu. Katanya ia ingin duduk di atas troli" Tukas Alina, nada dan gaya berbicaranya, jelas sekali tidak sopan.Zayyad dan Chana tidak bodoh untuk menangkap k
Tepat pukul sembilan pagi, Zayyad terbangun dari tidurnya. Ia menemukan dirinya yang jatuh tertidur di atas pangkuan seorang wanita yang saat ini sedang terlelap dengan posisi duduk bersandar di kepala sofa. Mengulurkan tangannya ke atas, Zayyad berusaha mencapai wajah tirus itu dan mengusapnya lembut dengan jari telunjuknya.Ketika tidur, wajah Alina tampak begitu damai. Alisnya tidak mengernyit, dahinya pun tidak berkerut dan wajah cantiknya yang terbuai mimpi itu, cukup memanjakan mata. Tidak ada sisa air liur di sudut bibirnya, kulitnya pun tidak berminyak. Zayyad merasa tidak ingin melepaskan pandangannya dari keindahan itu...Alina mengerutkan keningnya, merasa ada seseorang yang menggelitik halus belahan pipinya. Membuka matanya yang terasa berat, ia menemukan dirinya yang duduk di atas sofa di ruang tamu. Melihat ke depan, televisi masih menyala dengan suara pelan. 'Aku ketiduran semalam!' Mengambil remote, ia mematikan televisi.Tapi masih ada yang meng
Ketika langkah Zayyad tepat mencapai pintu, tiba-tiba saja ia mengingat sesuatu, "Sudah sepagi ini, kenapa paman Ferdi tidak datang?" Pria paruh baya itu selalu mengabarinya lebih dulu jika berhalangan hadir dan memiliki hari libur di setiap akhir pekan."Sepertinya ada yang salah.." Gumamnya, ragu. Zayyad pun kembali ke ruang tamu, melihat Alina yang tampak tertawa kecil melihat acara komedi yang ditayangkan di salah satu saluran televisi. Tangan satunya memegang roti bakar yang baru saja dibuatnya. Terlihat baru digigit sepotong.Zayyad berjalan kearah sofa dan duduk di sampingnya. Alina terkejut, menoleh kearah Zayyad bertanya tanpa merasa bersalah sama sekali, "Kenapa kembali?"Zayyad memasang wajah tanpa ekspresi, menatap Alina serius.Alina tidak terlalu memperhatikannya, karena matanya fokus menatap televisi, "Bwahahahaa..dasar konyol! Keju slice mana bisa diparut? " Tawanya kelakar, menanggapi salah satu aksi lelucon di acara komedi itu.Za
Setelah makan siang, Zayyad mau tak mau harus bergegas ke perusahaan karena urusan mendesak. Alina yang tiduran santai di kamar, masih merasa penasaran sebenarnya apakah ada yang spesial dengan hari itu.Baru saja Alina membuka ponselnya dan sebuah notifikasi muncul. Tidak lain itu adalah pengingat anniversary pernikahannya dengan Zayyad yang ke enam."Ah, jadi hari ini anniversary pernikahan kami yang ke enam" Tanpa sadar mata Alina berkaca-kaca. Masih teringat dulu tekadnya yang akan segera bercerai dengan Zayyad setelah semuanya usai. Tapi tak mengira jalan takdir begitu indah, membuat hatinya luluh dan memutuskan untuk mempertahankan ikatan sucinya dengan Zayyad."Kira-kira aku beri kejutan apa ya?"Tepat di malam harinya. Alina mendapat telfon dari Maya. Seperti tebakannya, si kembar sedang nangis-nangis menolak pulang dan merengek minta menginap di rumah Maya. Kebetulan besok adalah akhir pekan, mereka tidak ke sekolah, akhirnya Alina memberi izin, "Janji gak buat repot aunty Ma
Alina duduk santai di atas sofa setelah menyelesaikan pekerjaan rumah. Ferdi yang hanya fokus mengurusi hal-hal di luar vila, sudah menyelesaikan pekerjaannya dan pulang lebih awal. Sebelum itu Ferdi pamit pada Alina dan tentunya Alina tidak lagi judes seperti dulu. Perubahan sikap Alina itu membuat Ferdi sangat bersyukur.Alina melipat kedua kakinya di atas sofa dan memegang semangkuk buah strawberry di tangan. Menyalakan televisi, Alina menonton acara gosip pagi yang membosankan sambil mengemil strawberry segar kedalam mulutnya.Begitulah keseharian yang Alina jalani jika seorang diri di rumah. Zayyad pergi ke perusahaan dan anak-anak ke sekolah. Hanya Alina seorang yang berdiam diri di rumah. Tentunya hal itu tidak lagi membosankan, karena Alina sudah cukup terbiasa menjalani hari-hari panjangnya sebagai ibu rumah tangga."Sayang, aku pulang"Alina terkejut. Mendapati seseorang berbisik halus di telinganya dan kedua tangan besar yang memijat lembut pundaknya. Dengan strawberry di a
Dear, My loyal readers..❤️ Sebelumnya saya ingin berterima kasih sekali untuk kalian semua yang sudah mengikuti kisah cinta sederhana Alina dan Zayyad yang tentu saja fiktif, tapi saya berharap kisah ini dapat menjadi sedikit menginspiratif. Novel yang terdiri dari dua ratusan chapter lebih ini, pernah membuat saya beberapa kali ragu dan pesimis dalam menyelesaikannya. Saya merasa cerita ini berubah menjadi membosankan dan alurnya terasa tidak lagi menarik. Terkadang saya berpikir, "Siapa yang akan membaca karangan membosankan ini?" Tapi melihat vote-an dan membaca beberapa komentar kalian yang saya temui di beberapa akhir chapter, rasanya saya seperti baru saja menemukan oasis di padang pasir. Seketika semangat saya bangkit dan saya berpikir— saya harus segera menamatkan kisah ini dan jangan sampai membuat para pembaca setia saya kecewa. Jujur, dukungan dan komentar positif kalian, sangat berperan besar dalam proses saya menamatkan cerita yang penuh
Kini Alina hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Tidak pernah terduga, semua itu bermula dari perjodohan yang diatur neneknya. Alina yang bertekad kuat untuk tidak menikah, akhirnya terikat dalam ikatan sakral pernikahan dengan seorang pria asing. Alina yang berpikir untuk bercerai setelah semuanya usai, tapi takdir malah membuatnya terjerat dengan Zayyad.Segalanya berawal dari paket bulan madu dan hotel. Disinilah tragedi bermula atau lebih tepatnya sekarang Alina berpikir— puncak dari rezeki tak ternilai harganya lahir di dunia ini. Yang tak lain 'si kembar'. Kado terindah dalam hidup Alina. Yang membuat Alina tak ragu untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan Zayyad, ayahnya si kembar.Lima tahun berlalu sudah. Vila Zayyad tidak lagi hening dengan keberadaan dua buah hati mereka. Zayyad yang sudah lama tak bekerja, memutuskan untuk kembali ke perusahaan demi menjadi sosok panutan ayah yang baik untuk putra putri mereka. Sedang Alina memutuskan untuk m
Sekitar dua hari Alina terbaring di rumah sakit, Alina yang sudah tak tahan lagi membujuk Zayyad untuk segera membawanya pulang. Jikapun harus beristirahat, ia ingin merehatkan tubuhnya di rumah. Zayyad mengkonfirmasi ke dokter, apakah Alina dan anak mereka sudah bisa dibawa pulang. Setelah memperoleh izin dari dokter, mereka pun bersiap-siap untuk pulang. Maya turut membantu membereskan barang-barang. Di mobil, Alina duduk menggendong bayi perempuannya dan dan bayi laki-lakinya digendong Maya yang duduk di belakang. "Apa menurut mu kita perlu menyewa jasa babysitter?" Alina menoleh kearah Zayyad yang fokus mengemudi. Ini adalah pertama kalinya bagi Alina. Tapi tidak taunya sudah dapat dua saja. Alina takut akan linglung kebingungan merawat si kembar seorang diri nanti. "Tidak perlu. Kita kan sama-sama gak bekerja. Jadi menurutku, kita berdua saja sudah cukup" "Kamu yakin?" "Em" "Janji ya nanti mau ikut repot sama aku?" "Janji"
Di sinilah aku terbaring sekarang. Di atas ranjang rumah sakit, di mana aku berjuang keras melahirkan makhluk kecil yang sudah ku kandung sembilan bulan lamanya. Rasanya seluruh saraf dalam tubuhku seperti akan putus, tenaga ku seakan habis. Perasaan itu begitu baru bagiku dan terasa cukup nyata. Berada antara hidup dan mati demi memperjuangkan makhluk hidup baru. Detik itu aku terpikir, apakah seperti ini yang ibu rasakan dulu ketika melahirkan ku? Aku meremas kain seprai ranjang rumah sakit, mengigit bibir bawah ku dan kembali mengejan. Hingga entah kapan seorang pria datang menyingkap tirai dan bergegas masuk. Sesaat aku melirik siapa yang datang. Itu tak lain adalah sosok tubuh dari pemilik mata coklat bening yang paling menawan yang pernah ku temui— Zayyad. Seketika bola mata hitam ku bergetar pedih. Aku tak mengerti kenapa, serasa dunia ku berhenti berputar hingga beberapa detik. Aku melihatnya datang padaku. Meraih tangan ku dan menggenggamnya
"Nenek, engga lama lagi cicit mu akan segera lahir" Alina tersenyum dan berbicara seorang diri. Alina mengelus perut besarnya dan wajahnya terus menoleh ke samping. Seakan-akan ada neneknya yang duduk tepat disebelah nya.Pemandangan dari ruang tamu itu, diam-diam di intip oleh Maya dan Zayyad. Maya menghela nafas berat dan menoleh pada Zayyad, "Kau lihat sendiri kan!" Maya bersuara pelan tapi tak mengurangi emosi marah dan kesal yang terukir jelas di raut wajahnya, "Sebulan sudah berlalu lagi dan Alina masih saja begitu. Zayyad, apa kau akan terus membiarkannya seperti ini?"Zayyad diam, memilih untuk tidak berkata apa-apa. Bukan hanya Maya yang mengkhawatirkan keadaan psikis Alina tapi dirinya pun juga. Hanya ia memutuskan untuk yakin, percaya dan sabar menanti. Kalau Alina akan segera menjadi Alina yang dulu— istrinya yang arogan, keras kepala dan tangguh."Kalau bukan karena aku menghargai keputusanmu sebagai suami dari Alina. Aku pasti akan memb
Delapan bulan akhirnya berlalu sudah. Aura ibu hamil dari seorang Alina kian sempurna. Emosinya pun tampak jauh lebih stabil dari trimester pertama dan kedua. Perut Alina membesar dan itu cukup besar nyaris membuat Maya curiga kalau dugaannya itu benar. Bayi yang dikandung sahabatnya itu adalah kembar.Banyak baju yang Alina tidak muat memakainya dan nyaris sobek. Alhasil Zayyad membeli banyak baju khusus untuk ibu hamil buat Alina yang masih tinggal di rumah almarhum neneknya itu.Zayyad mengira kondisi Alina akan segera membaik, tapi ternyata sebaliknya. Istrinya itu mulai berhalusinasi kalau Erina masih hidup dan masih bersama dengan mereka di rumah kecil itu."Kamu udah siap buat buburnya?" Alina datang ke meja makan dan melihat Zayyad yang baru saja menghidangkan semangkuk bubur hangat."Sudah" Zayyad tersenyum. Ada setitik kesedihan jauh di dasar mata coklat bening itu."Kalau begitu aku bawa ke kamar nenek ya" Alina mengambil mangkuk bubur d
Tiga hari setelah kabar duka itu. Para kerabat dari pihak Irsyad dan rekan Erina berdatangan ke vila Zayyad setiap malamnya untuk membaca Yasin. Termasuk dengan Maya dan keluarganya yang sudah hadir sejak hari pemakaman. Mereka menginap di vila Zayyad membantu Zayyad mengurus segala keperluan.Zayyad benar-benar lemah tak bertenaga dengan keadaan ini. Sepasang matanya terlihat kuyu dan tubuhnya mengurus. Ia sedih dengan kepergian Erina yang begitu mendadak. Salah seorang wanita di samping Alina yang baru-baru ini menjadi pengecualian dari rasa takutnya.Zayyad pun tak berdaya menghadapi dua orang yang di sayangi nya yang jelas begitu drop dengan kenyataan pahit ini. Kakeknya terus jatuh bangun tak sadarkan diri dan Alina yang sampai hari ini menolak kenyataan kalau Erina sudah meninggal.Tepat di hari pemakaman, kakeknya tersungkur jatuh mencium tanah dan Alina mengurung diri seharian di kamar neneknya dengan sepiring nasi goreng yang sudah basi. Nasi goreng yan