Sehari setelah kejadian itu, Kalista benar-benar melakukan persyaratan yang diajukan Alina. Akhirnya berita panas tentang Bara yang tak berkompeten dan menganggap perusahaan hanyalah bank penghasil uang untuk ia bersenang-senang pun tersebar hingga di seluruh penjuru kota besar. Berita itu pun mulai merisaukan para invetaris dan pemegang saham.
Rapat besar pun di gelar. Akhirnya dewan komisaris pun memutuskan untuk menurunkan Bara dari posisi direktur utama, menjadi kepala di divisi perencanaan. Itu jelas seperti pukulan berkali-kali lipat begitu berat bagi Bara.
Bara yang berusaha keras untuk menggapai posisi CEO sampai mengerahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk menjatuhkan Zayyad. Menemukan malah dirinya yang kembali jatuh berlipat-lipat kali lebih rendah dari posisinya sebelumnya.
"Arghh..." Jerit Bara histeris. Ia dengan marah menyapu semua benda yang ada di meja kerjanya, hingga berjatuhan di atas lantai.
Mengepalkan tangannya, ia menghantam
Alina perlahan bangun dari duduknya. Jika ia tidak bergerak sekarang, maka neneknya akan menasehatinya panjang lebar seperti biasanya. Alina terlalu malas menerima tekanan itu, karena saat ini ia hanya ingin bersantai. Jadi dengan terpaksa ia berjalan pelan mendatangi Zayyad. "Sayang...kau pulang awal hari ini?" Alina menarik kedua sudut bibirnya selebar mungkin, memaksa seulas senyum. Zayyad tidak bodoh untuk menyadari kalau itu hanyalah tipu muslihat Alina untuk menyenangkan hati neneknya. Tapi ia akan memanfaatkan situasi ini untuk lebih memastikan. Apakah benar kini Alina menjadi satu-satunya pengecualian? "Iya, aku pulang awal hari ini" Zayyad mengangkat tangannya dan memegang kedua belah pipi Alina lembut. Secarik senyuman terbit di wajah tampannya dan mata coklatnya menatap Alina hangat. Alina yang menerima perlakuan itu, membulatkan matanya terkejut. Ia dengan cepat mengangkat tangannya untuk menyingkirkan tangan Zayyad. Tapi Zayyad yang menya
Alina baru saja akan naik ke tempat tidur, tapi melihat Zayyad yang berjalan kearahnya. Alina pun menghentikan niatnya dan mematung di tempat. Alina melihat Zayyad malam ini mengenakan jubah tidur longgar bewarna biru gelap, itu membungkus tubuh kekarnya dengan begitu menawan. Memperjelas bentuk dada bidangnya dan membangun aura pria tampan yang begitu menggoda. Begitu saja, pipi Alina memerah. 'Ah, apa yang kupikirkan!' Diam-diam Alina mengutuk pikiran kotornya. Zayyad sudah berdiri tepat di depan Alina. Melihat tubuh kurus wanita itu yang tampak begitu kecil dalam balutan piyama putih polos dengan pita kecil di kerahnya. Tiba-tiba melihat kedua pipi Alina yang memerah, Zayyad dengan cemas bertanya. "Alina, apa kau demam?" Zayyad mengambil beberapa langkah maju ke depan, berniat untuk menyentuh kening halus wanita itu. Alina yang melihat Zayyad mengulurkan tangannya ke depan, dengan panik menghindar. "Diam di sana!" Katanya, gugup. Za
Pertanyaan itu membuat Alina terdiam. Apakah ia malu? Jelas tidak. Hanya saja ia tidak ingin membiarkan pria itu mengambil kesempatan darinya. Menarik nafasnya, Alina menghelanya perlahan. Lalu ia dengan tenang menjawab pertanyaan Zayyad. "Tidak!" "Lalu kenapa kau tidak mau berbagi ranjang dengan ku?" Tanya Zayyad lagi. "Karena aku tidak mau membiarkan mu mengambil kesempatan dari ku" Kata Alina, lugas dan berterus terang. Zayyad membatu beberapa detik. Mengambil kesempatan? Setelah memutar otaknya dengan keras dan mengaitkannya dengan beberapa perkataan Alina sebelumnya, perlahan ia mulai mengerti. "Alina..kau berpikir terlalu jauh!" Alina memperhatikan wajah Zayyad dan berpikir. 'Mungkinkah aku berpikir terlalu jauh?' Menyadari kekonyolan yang telah ia lakukan, Alina tidak tau harus bersikap seperti apa. "Ap-apanya ber-berpikir terlalu jauh" Menggigit bibir bawahnya, Alina berkata dengan gugup, berusaha mengelak dari apa yang dikatakan Zayya
"Ini untuk kesejahteraan kedua belah pihak" Jelas Alina. Zayyad yang sudah memakai penutup mata, sama sekali tidak bisa melihat apapun lagi. Segalanya hitam dan gelap. Ketika mendengar Alina mengatakan 'kesejahteraan kedua belah pihak', ia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya itu. Tapi tiba-tiba saja Zayyad merasakan telapak tangan kecil yang agak kasar, meraih kedua pergelangan tangannya. "Alina...kau ingin melakukan apa?" Zayyad yang tak dapat melihat apa yang dilakukan Alina padanya, mengerutkan keningnya penuh tanya. Alina tidak menjawab, diam-diam ia tersenyum kecil melihat sikap Zayyad yang sangat penurut seperti biasa. Alina yang sudah memegang kedua tangan Zayyad, perlahan mulai mengikatnya dengan dasi. Zayyad yang akhirnya menyadari apa yang dilakukan Alina, sontak terkejut. "Alina.. kenapa kau mengikat tangan ku?" Zayyad dengan cemas melawan. Ia tidak ingin tangannya diikat dengan dasi. Itu adalah mimpi buruk yang tak ingin dialaminya la
"Tahan..satu, dua, tiga, empat..." Alina meluruskan punggungnya, berdiri tegap dengan satu buku tebal di atas kepala. Wajahnya yang masam, rasanya seperti ingin menggigit seseorang. Dalam dua jam ini, ia sudah sangat frustasi mengikuti semua arahan madam Ranti. Seorang pelatih yang di siapkan Zayyad untuk mengajarinya berdansa. "Rentangkan tangan!" Suara lantang madam Ranti, memecah ruang tamu besar yang sunyi. Wanita paruh baya itu sungguh mengingatkan Alina dengan guru matematika killer nya semasa sekolah dulu. Tubuhnya sangat proporsional, tinggi dan langsing. Rambut hitamnya tersanggul rapi, raut wajahnya tirus seperti telur dan kerutan penuaannya tersamarkan cukup baik dengan polesan bedak tipis. "Madam.. sepertinya kita tidak perlu melakukan semua latihan dasar ini. Langsung saja—" "Cepat lakukan!" Puk! Tongkat kayu kecil jatuh memukul bokong Alina. "Aduh!" Alina mengiris nyeri dan merasa sangat kesal. Dulu ia mendapatkan
"Turunkan aku!" Zayyad tidak menurunkan Alina. Berjalan kearah ranjang, ia membaringkan wanita itu di sana dan membuatnya bersandar di kepala ranjang. Alina melipat kedua tangannya, mendengus kesal. Kalau bukan karena neneknya, di bawah tadi ia pasti sudah menggigit pria ini tanpa ampun. Zayyad yang melihat wajah masam Alina, ia langsung tau ada sesuatu hal yang tidak menyenangkan terjadi. Duduk di pinggir ranjang, ia dengan lembut bertanya, "Alina...ada apa? Kenapa muram begitu? Alina melirik kearah Zayyad, memelototinya tajam. "Menurut mu?" Zayyad menarik nafas, menghelanya perlahan. Melihat Alina yang cemberut, rasanya tak jauh berbeda dengan anak kecil yang merajuk karena tidak dibelikan mainan. Tanpa sadar, ia tertawa kecil. "Apa yang kau tertawa kan?" Alina sudah sangat menderita seharian ini, tapi pria di depannya ini masih bisa tertawa. Alina merasa gatal untuk mencakar wajah tampan itu. Zayyad menutup rapat bibirnya, berhenti
Sesampai di pertengahan jalan besar yang padat, kesibukan kota di malam hari menggoda Alina untuk menurunkan kaca mobil dan melirik keluar. Memperhatikan mobil-mobil yang berlalu-lalang dan beberapa motor yang hanya hitungan jari. Sungguh kota Y ini di penuhi oleh orang-orang besar. Kota besar dengan kehidupan yang monoton. Alina dapat memperhatikan beberapa mobil di luar sana yang hampir rata-rata dikendarai para pekerja yang baru saja pulang dari lembur. Di samping monoton, kehidupan di kota ini juga terlihat melelahkan. Tepat di ketika lampu merah menyala, Zayyad menghentikan mobilnya. Detik itu Alina teringat, ia belum memberi tahu Zayyad kemana mereka akan pergi. "Zayyad" "Em" Zayyad menoleh kearah Alina. "Aku melihat beberapa ulasan cafe ternama yang ada di kota Y. Aku menemukan satu cafe yang cukup menarik, namanya 'star night', kita..pergi ke sana saja, boleh ya?" Tanya Alina, mengedip-ngedipkan matanya memohon. Itu pertama kalinya Alina memoh
Alina menatap beberapa saat pada menu yang terhidang di meja bulat putih itu. Sepiring kue berbentuk hati, bewarna merah dengan lapisan coklat, dan bertabur bubuk kopi halus diatasnya. Di samping itu ada semangkuk ice cream besar, dengan tiga varian rasa, vanila, coklat dan moccha. Dan terakhir satu gelas besar cappucino hangat dengan sentuhan seni bergambar 'hati' di atasnya.Semua hanya ada satu piring, satu mangkuk, dan satu gelas— apakah ini yang dinamakan paket pasangan?"Ada apa?" Zayyad yang melihat Alina hanya diam menatap menu di atas meja, bertanya. "Kau tidak suka dengan sajiannya?"Alina menggeleng, matanya termenung menatap ke hidangan itu. Bagaimana mungkin ia tidak menyukainya? Semua dari mereka begitu lezat dan menggiurkan. Terlebih lagi kue yang berbentuk hati itu, aroma bubuk kopinya berkali-kali sudah menggoda penciumannya. Hanya saja yang membuatnya bimbang..."Lalu kenapa hanya menatapnya saja? Tidak di makan?" Tanya Zayyad lagi
Setelah makan siang, Zayyad mau tak mau harus bergegas ke perusahaan karena urusan mendesak. Alina yang tiduran santai di kamar, masih merasa penasaran sebenarnya apakah ada yang spesial dengan hari itu.Baru saja Alina membuka ponselnya dan sebuah notifikasi muncul. Tidak lain itu adalah pengingat anniversary pernikahannya dengan Zayyad yang ke enam."Ah, jadi hari ini anniversary pernikahan kami yang ke enam" Tanpa sadar mata Alina berkaca-kaca. Masih teringat dulu tekadnya yang akan segera bercerai dengan Zayyad setelah semuanya usai. Tapi tak mengira jalan takdir begitu indah, membuat hatinya luluh dan memutuskan untuk mempertahankan ikatan sucinya dengan Zayyad."Kira-kira aku beri kejutan apa ya?"Tepat di malam harinya. Alina mendapat telfon dari Maya. Seperti tebakannya, si kembar sedang nangis-nangis menolak pulang dan merengek minta menginap di rumah Maya. Kebetulan besok adalah akhir pekan, mereka tidak ke sekolah, akhirnya Alina memberi izin, "Janji gak buat repot aunty Ma
Alina duduk santai di atas sofa setelah menyelesaikan pekerjaan rumah. Ferdi yang hanya fokus mengurusi hal-hal di luar vila, sudah menyelesaikan pekerjaannya dan pulang lebih awal. Sebelum itu Ferdi pamit pada Alina dan tentunya Alina tidak lagi judes seperti dulu. Perubahan sikap Alina itu membuat Ferdi sangat bersyukur.Alina melipat kedua kakinya di atas sofa dan memegang semangkuk buah strawberry di tangan. Menyalakan televisi, Alina menonton acara gosip pagi yang membosankan sambil mengemil strawberry segar kedalam mulutnya.Begitulah keseharian yang Alina jalani jika seorang diri di rumah. Zayyad pergi ke perusahaan dan anak-anak ke sekolah. Hanya Alina seorang yang berdiam diri di rumah. Tentunya hal itu tidak lagi membosankan, karena Alina sudah cukup terbiasa menjalani hari-hari panjangnya sebagai ibu rumah tangga."Sayang, aku pulang"Alina terkejut. Mendapati seseorang berbisik halus di telinganya dan kedua tangan besar yang memijat lembut pundaknya. Dengan strawberry di a
Dear, My loyal readers..❤️ Sebelumnya saya ingin berterima kasih sekali untuk kalian semua yang sudah mengikuti kisah cinta sederhana Alina dan Zayyad yang tentu saja fiktif, tapi saya berharap kisah ini dapat menjadi sedikit menginspiratif. Novel yang terdiri dari dua ratusan chapter lebih ini, pernah membuat saya beberapa kali ragu dan pesimis dalam menyelesaikannya. Saya merasa cerita ini berubah menjadi membosankan dan alurnya terasa tidak lagi menarik. Terkadang saya berpikir, "Siapa yang akan membaca karangan membosankan ini?" Tapi melihat vote-an dan membaca beberapa komentar kalian yang saya temui di beberapa akhir chapter, rasanya saya seperti baru saja menemukan oasis di padang pasir. Seketika semangat saya bangkit dan saya berpikir— saya harus segera menamatkan kisah ini dan jangan sampai membuat para pembaca setia saya kecewa. Jujur, dukungan dan komentar positif kalian, sangat berperan besar dalam proses saya menamatkan cerita yang penuh
Kini Alina hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Tidak pernah terduga, semua itu bermula dari perjodohan yang diatur neneknya. Alina yang bertekad kuat untuk tidak menikah, akhirnya terikat dalam ikatan sakral pernikahan dengan seorang pria asing. Alina yang berpikir untuk bercerai setelah semuanya usai, tapi takdir malah membuatnya terjerat dengan Zayyad.Segalanya berawal dari paket bulan madu dan hotel. Disinilah tragedi bermula atau lebih tepatnya sekarang Alina berpikir— puncak dari rezeki tak ternilai harganya lahir di dunia ini. Yang tak lain 'si kembar'. Kado terindah dalam hidup Alina. Yang membuat Alina tak ragu untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan Zayyad, ayahnya si kembar.Lima tahun berlalu sudah. Vila Zayyad tidak lagi hening dengan keberadaan dua buah hati mereka. Zayyad yang sudah lama tak bekerja, memutuskan untuk kembali ke perusahaan demi menjadi sosok panutan ayah yang baik untuk putra putri mereka. Sedang Alina memutuskan untuk m
Sekitar dua hari Alina terbaring di rumah sakit, Alina yang sudah tak tahan lagi membujuk Zayyad untuk segera membawanya pulang. Jikapun harus beristirahat, ia ingin merehatkan tubuhnya di rumah. Zayyad mengkonfirmasi ke dokter, apakah Alina dan anak mereka sudah bisa dibawa pulang. Setelah memperoleh izin dari dokter, mereka pun bersiap-siap untuk pulang. Maya turut membantu membereskan barang-barang. Di mobil, Alina duduk menggendong bayi perempuannya dan dan bayi laki-lakinya digendong Maya yang duduk di belakang. "Apa menurut mu kita perlu menyewa jasa babysitter?" Alina menoleh kearah Zayyad yang fokus mengemudi. Ini adalah pertama kalinya bagi Alina. Tapi tidak taunya sudah dapat dua saja. Alina takut akan linglung kebingungan merawat si kembar seorang diri nanti. "Tidak perlu. Kita kan sama-sama gak bekerja. Jadi menurutku, kita berdua saja sudah cukup" "Kamu yakin?" "Em" "Janji ya nanti mau ikut repot sama aku?" "Janji"
Di sinilah aku terbaring sekarang. Di atas ranjang rumah sakit, di mana aku berjuang keras melahirkan makhluk kecil yang sudah ku kandung sembilan bulan lamanya. Rasanya seluruh saraf dalam tubuhku seperti akan putus, tenaga ku seakan habis. Perasaan itu begitu baru bagiku dan terasa cukup nyata. Berada antara hidup dan mati demi memperjuangkan makhluk hidup baru. Detik itu aku terpikir, apakah seperti ini yang ibu rasakan dulu ketika melahirkan ku? Aku meremas kain seprai ranjang rumah sakit, mengigit bibir bawah ku dan kembali mengejan. Hingga entah kapan seorang pria datang menyingkap tirai dan bergegas masuk. Sesaat aku melirik siapa yang datang. Itu tak lain adalah sosok tubuh dari pemilik mata coklat bening yang paling menawan yang pernah ku temui— Zayyad. Seketika bola mata hitam ku bergetar pedih. Aku tak mengerti kenapa, serasa dunia ku berhenti berputar hingga beberapa detik. Aku melihatnya datang padaku. Meraih tangan ku dan menggenggamnya
"Nenek, engga lama lagi cicit mu akan segera lahir" Alina tersenyum dan berbicara seorang diri. Alina mengelus perut besarnya dan wajahnya terus menoleh ke samping. Seakan-akan ada neneknya yang duduk tepat disebelah nya.Pemandangan dari ruang tamu itu, diam-diam di intip oleh Maya dan Zayyad. Maya menghela nafas berat dan menoleh pada Zayyad, "Kau lihat sendiri kan!" Maya bersuara pelan tapi tak mengurangi emosi marah dan kesal yang terukir jelas di raut wajahnya, "Sebulan sudah berlalu lagi dan Alina masih saja begitu. Zayyad, apa kau akan terus membiarkannya seperti ini?"Zayyad diam, memilih untuk tidak berkata apa-apa. Bukan hanya Maya yang mengkhawatirkan keadaan psikis Alina tapi dirinya pun juga. Hanya ia memutuskan untuk yakin, percaya dan sabar menanti. Kalau Alina akan segera menjadi Alina yang dulu— istrinya yang arogan, keras kepala dan tangguh."Kalau bukan karena aku menghargai keputusanmu sebagai suami dari Alina. Aku pasti akan memb
Delapan bulan akhirnya berlalu sudah. Aura ibu hamil dari seorang Alina kian sempurna. Emosinya pun tampak jauh lebih stabil dari trimester pertama dan kedua. Perut Alina membesar dan itu cukup besar nyaris membuat Maya curiga kalau dugaannya itu benar. Bayi yang dikandung sahabatnya itu adalah kembar.Banyak baju yang Alina tidak muat memakainya dan nyaris sobek. Alhasil Zayyad membeli banyak baju khusus untuk ibu hamil buat Alina yang masih tinggal di rumah almarhum neneknya itu.Zayyad mengira kondisi Alina akan segera membaik, tapi ternyata sebaliknya. Istrinya itu mulai berhalusinasi kalau Erina masih hidup dan masih bersama dengan mereka di rumah kecil itu."Kamu udah siap buat buburnya?" Alina datang ke meja makan dan melihat Zayyad yang baru saja menghidangkan semangkuk bubur hangat."Sudah" Zayyad tersenyum. Ada setitik kesedihan jauh di dasar mata coklat bening itu."Kalau begitu aku bawa ke kamar nenek ya" Alina mengambil mangkuk bubur d
Tiga hari setelah kabar duka itu. Para kerabat dari pihak Irsyad dan rekan Erina berdatangan ke vila Zayyad setiap malamnya untuk membaca Yasin. Termasuk dengan Maya dan keluarganya yang sudah hadir sejak hari pemakaman. Mereka menginap di vila Zayyad membantu Zayyad mengurus segala keperluan.Zayyad benar-benar lemah tak bertenaga dengan keadaan ini. Sepasang matanya terlihat kuyu dan tubuhnya mengurus. Ia sedih dengan kepergian Erina yang begitu mendadak. Salah seorang wanita di samping Alina yang baru-baru ini menjadi pengecualian dari rasa takutnya.Zayyad pun tak berdaya menghadapi dua orang yang di sayangi nya yang jelas begitu drop dengan kenyataan pahit ini. Kakeknya terus jatuh bangun tak sadarkan diri dan Alina yang sampai hari ini menolak kenyataan kalau Erina sudah meninggal.Tepat di hari pemakaman, kakeknya tersungkur jatuh mencium tanah dan Alina mengurung diri seharian di kamar neneknya dengan sepiring nasi goreng yang sudah basi. Nasi goreng yan