Bab 81: Menghidupkan Bayang-Bayang
**
Live!
Live ! Live !
Siaran langsung!
Lampu-lampu masih belum dinyalakan. Panggung, tribun, dan seluruh ruangan studio menghitam dengan kegelapan. Ribuan penonton yang memadati ruang studio di gedung ini menunggu sebuah momen.
Pun demikian dengan ketiga juri Audisi Bintang Indonesia yang duduk di depan panggung. Juga demikian dengan personil grup band pengiring yang ada di balik layar.
Pula demikian dengan kru televisi yang ke-semuanya siaga di depan kamera, tombol-tombol di ruang kontrol, monitor-monitor dan kabel-kabel.
Jutaan televisi yang menyala di hampir seluruh Indonesia masih menampilkan iklan sebuah makanan dari olahan daging, disusul kemudian dengan iklan minuman energi.
Di penghujung iklan yang terakhir itu, seseorang yang berada di dalam studio mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Tangan kirinya mendekatkan speaker radio yang menyatu dengan hea
Bab 82: Tata**“Emm, anu,” suara Johan terdengar mengambang. “Saya memaksudkan ini sebagai tribute kepada.., almarhum Gesang yang belum lama berpulang. Juga, karena.., saya ingin mengenang.”“Mengenang? Mengenang apa?”“Mengenang pertemuan.”“Pertemuan dengan siapa? Dengan seseorang yang istimewa ya?”Johan tersenyum, bersamaan dengan itu ia berbisik dalam hati.“Dengan Muhammad,,”********“Fatih!”“The..!!”“Poooooooohh!!”BYAAAAARR!!!Pintu di depanku terbuka. Bunga api menyembur. Lampu-lampu sorot menembak laksana batang-batang cahaya.Musik instrumental keroncong Bengawan Solo pun menghentak seirama langkah kakiku yang pertama. Gaungnya membahana di telingaku dan gemanya menggelora di jiwaku.Aku melangkah dalam iringan sorak
Bab 83: Cengkerama Cinta**Tata, wanita yang anggun bagi siapa pun lelaki yang punya mata, yang cantik bestari dalam semua definisi, yang kulitnya putih sedikit langsat tanpa sebercak pun noktah cacat.Yang hidungnya bangir tanpa satu pun pemahat bisa mengukir, yang bola matanya kebiruan bersinar seri di mana ia mendapatkan itu dari kakek ibunya yang berdarah Turki.., dan, lalu, semua pesona itu tak sedikit pun mampu membuat Ifat goyah dan tergoda??Tata sampai merasa takjub sendiri ketika dia membuat sebuah permisalan;Berdirilah dia di tengah alun-alun kota sambil membuka busana supaya seluruh dunia melihatnya. Namun, jika ada lelaki yang menundukkan kepala dan mengalihkan pandangan matanya, maka dia itu Ifat-lah orangnya!Dia bukan laki-laki oportunis! Apa pun itu, dia punya prinsip hidup yang magis!Di dalam kekhilafannya Tata bahkan sudah menyerahkan seluruh apa pun yang ia punya pada lelaki yang postur tubuhnya tidak bisa dikat
Bab 84: Konichi**“Konyol kamu, ih! Bagaimana Kakak bisa tahu, kamu saja bicaranya ngumpet di dalam kamar. Seandainya bicara di samping Kakak sini juga tidak bakalan Kakak nguping.”Ika menggelengkan kepalanya beberapa kali. Bersamaan dengan tangannya menekan dada ia menghembuskan nafas dengan bentuk bibir yang membulat seakan baru saja selesai lari sprint 100 meter.“Jadi begini, aku mulai dari awal saja ya. Mudah-mudahan Kakak tidak kena serangan jantung. Siap?”“Sudah, cepat cerita ah!”“Jihan.., naksir Bang Ifat!”Riska mendadak terperangah, mulutnya terbuka setengah.“Dia tergila-gila setengah mati pada Bang Ifat, Kak!”Riska tetap terperangah, matanya berkedip-kedip dengan pandangan kosong.“Tapi, Jihan ditolak oleh Bang Ifat. Nah, terus, Bang Ifat masih memberi peluang pada Jihan, dengan cara mengajukan syarat yang har
Bab 85: Lemari Dua Pintu**“Please welcome..,”“Konichi..,”“Takegawaaaaa..!!!”Sumo, sebatas yang aku tahu, adalah olahraga tradisional Jepang yang berkaitan dengan ritual keagamaan. Inti dari pertandingan sumo ini adalah mendorong lawan untuk keluar dari garis lingkaran, atau menjatuhkan si lawan ke lantai yang umumnya terbuat dari pasir.Hal itu bisa dengan cara membanting, mendorong dan atau menampar.Hahh?? Menampar, atau memukul??Aku baru tahu itu! Dan, dan, Konichi Takegawa itu pernah beberapa kali memenangi pertandingan dengan cara menampar itu. KO! Knock Out!Si lawan jatuh dan tak bisa bangun! Edan, cepat sekali gerakan tangannya. Waktu menontonnya, aku sampai beberapa kali me-rewind tayangan video untuk melihat momen itu.Teringat itu aku langsung jantungan. Konichi Takegawa yang tinggi besar, gemuk dan buntal itu, mempunyai gerakan tangan yang nya
Bab 86: Hadiah Dari Malaikat**Keesokan paginya..,Aku bangun pukul tujuh. Sedikit menyelesaikan urusan di kamar mandi, kemudian aku berjalan menuju ruang fitness untuk melakukan jogging. Aku memakai celana training selutut dan kaos tak berlengan berwarna hitam. Tidak lupa, aku juga memakai sepatu khusus lari untuk meminimalisir resiko cedera.Reynold, Bondan, Wisnu dan dua orang tim pendukungku pasti bangun siang. Tadi malam mereka mabuk di aula gedung arena bersama geng dan konco-konconya.Mereka merayakan kemenanganku atas Konichi, juga kemenangan taruhan mereka atas lawan yang entah siapa-siapa saja, baik lokal maupun manca negara.Ada pun Josep, kulihat tadi malam ia bersama Robert Tidar dalam satu mobil, menuju rumah utama Big Boss yang juga merupakan kantor pusat, yang sampai sekarang pun aku tidak tahu di mana tepatnya. Hadi Wijaya, alias Big Boss itu, meraih untung besar dalam kapasitasnya sebagai
Bab 87: Cindy**Sekuat tenaga dan sekuat pikiranku, aku berusaha menghibur Idah. Aku mengajaknya bermain di taman belakang rumah Menteng.Aku mendorongkan ayunan untuknya. Aku juga mengajari dia merangkai karet gelang, sambung menyambung tak terputus hingga panjangnya mencapai sekitar lima meter.Ujung yang satu aku tambat pada sebuah pohon dan ujung lainnya aku pegang. Aku memutar-mutar tali karet, dan mengajak Idah bermain lompat tali, memutar dan melompat bergantian.Dia tertawa, dan aku bahagia. Setidaknya untuk saat ini saja, dia bisa menikmati masa kecilnya, dan setidaknya untuk saat ini saja aku bisa menikmati kenangan masa kecilku bersama Ainun.Lelah bermain lompat tali, kami masuk ke dalam dan menonton film kartun di televisi. Sambil mengudap kuaci, kami bertukar cerita tentang itu dan ini.Sebagian ceritaku pada Idah adalah bohong, tentu saja. Sebaliknya, semua cerita Idah padaku adalah benar dan jujur adanya.Terma
Bab 88: Menara Berkubah Cinta**Lima menit, kurang lebih, untuk waktu yang sangat sebentar itu. Hanya seratus meter, untuk jarak yang tidak jauh itu. Jihan merasakan sesuatu yang membuatnya merasa sangat nyaman.Ia merasa dilindungi dan terlindungi, merasa diayomi dan terayomi. Apa lagi? Dihormati dan terhormati!Jihan merasa mendapat perlakuan terlayak dan sebenar-benarnya sebagai perempuan, serupa putri kerajaan ketika Ifat membimbingnya berjalan sepanjang pelataran mall SKA dan terus mengawal dan menjaganya dari kemungkinan bahaya dari sekitarnya.Jihan merasakan ketentraman dari tangan Ifat yang menempel di pundaknya sembari terus berpindah posisi kanan dan kiri, seakan-akan Ifat sedang membangun tameng untuk semua anak panah yang sedang membidiknya.Bahkan, ketika Jihan sudah duduk di dalam taksi, Ifat masih berdiri beberapa saat untuk memastikan tidak ada marabahaya, apa pun itu yang mengejarnya.Benar, Ifat memberikan da
Bab 89: Utang Moral**Di sepanjang permainanku bersama Idah tadi siang, aku juga mencari-cari peluang, atau celah untuk bisa membawa Idah kabur. Tidak bisa hari ini, mungkin besok, atau lusa. Demikian pikirku.Tapi aku tidak menemukan celah itu. Penjagaan di rumah Menteng jauh lebih ketat dari yang aku bayangkan sebelumnya.Berbeda dengan rumah Pluit yang setiap hari hanya dijaga seorang sekuriti—Bondan, Wisnu, dan Reynold tidak masuk hitungan.Rumah Menteng dijaga khusus oleh empat anak buah Big Boss, yang dalam sehari-hari mereka berpenampilan seperti tukang kebun, tukang taman, atau sopir, kecuali siapa pun dia yang berpangkat Danru—komandan regu, semacam itu.Dalam perjalanan pulang ke Pluit, aku terus melamun. Aku mereka-reka ulang apa yang aku lakukan sepanjang hari tadi di rumah Menteng.Bondan yang mengemudi hanya berdiam diri di belakang lingkar setir. Aku pun tak ingin ngobrol dengannya. Sepanjang kisahku dari B
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.