Ada yang janggal, Riana menyadari ada sesuatu yang hilang. Dia melirik sekitar, tidak ada Randu di sana. Ke mana anak itu? Batinnya. "Apa maksudnya ini? Kenapa kamera ini bisa ada di tangan orang lain." Gean berujar, mengalihkan perhatian istrinya."Seseorang mencurinya." "Bagaimana bisa?" Riana menggeleng, namun ada sesuatu yang masih mengganjal. Dia meraba tempat tidurnya, mencari benda kecil yang jatuh saat membuka bungkusan paket tersebut.Tidak ada, hard-disk nya hilang. Riana juga tidak menemukan Randu. Sejenak wanita itu berpikir, jika isi kameranya kosong, maka seseorang menghapusnya, atau bisa jadi orang itu menyalinnya sebelum menghapus semua.Tapi, kenapa? Apa yang diinginkan orang itu? Lalu, apa isi hard-disknya? Kenapa tiba-tiba... tunggu!Riana membelalak, dia bangkit dari duduknya. Gegas wanita itu pergi ke kamar sang putra, tidak menemukan yang dicari di sana. Riana mengelilingi rumah. Gean tidak mengerti hanya mengikuti sang istri yang kelimpungan mencari sesuatu.
Sehari sebelumnya. "Ini rumahnya?" Pemuda itu menengadah, memperhatikan bangunan dua lantai dengan cat putih gading dari jarak 2 meter. Dengan pagar tinggi yang menjadi salah satu sumber keamanan.Dia tersenyum, permen karet yang sedari tadi dikunyahnya dia buang begitu saja. Sebelum melompat untuk memanjat pagar, dia lebih dulu memperhatikan sekitar. Memastikan tidak ada cctv ataupun satpam yang sedang berjaga. Setelah dirasa aman, dia memanjar pagar setinggi satu dua meter. Mendarat sempurna dengan satu kaki bertumpu di tanah.Dia mengayunkan langkah dengan tenang. Memutar-mutar sebuah kawat di tangan. Bersiul riang. Riana tidak mungkin menerapkan sistem keamana ketat di rumahnya, karena itu akan membuat suaminya curiga. Ada satu cctv yang terpasang di halaman rumah. Dengan menghindari titik yang tertangkap cctv, dia memutarnya ke arah tembok. Sehingga yang terlihat hanyalah tembok putih. Tanpa ragu, dia membuka pintu menggunakan kawat. Jika tidak bisa, dia akan membobol jende
Pemuda itu mendengkus keras-keras. Martin sialan! Batinnya kesal. Lantas pemuda itu beranjak dari sana, membuka laci meja Martin dan menemukan foto seseorang. Matanya menyipit, sesaat mengingat siapa orang di foto ini. Rupanya, dia adalah teman dekat Randu. Pemuda berambut ikal, bernama Dika. Yang selalu berada di sisi Randu bak ajudan setia. Dia kembali mendengkus, malas beranjak. Padahal tugasnya mudah, hanya membawa Dika untuk menjadikannya sebagai umpan. Jika temannya dalam bahaya, bisa dipastikan Randu akan datang. Pemuda itu akan melakukan banyak cara untuk menyelamatkan temannya.Lagipula, segala informasi yang berkaitan dengan Randu sudah ada dan menyatu dalam satu berkas. Termasuk informasi mengenai orang-orang terdekatnya. Lengkap beserta data diri. Jadi, dia tidak perlu repot-repot mengorek informasi tentang pemuda berambut ikal itu.Dia hanya perlu beranjak dari sana, dan menjalankan tugas seperti yang diperintahkan. Membawa Dika tanpa menimbulkan curiga. Sesaat ken
Beberapa jam sebelum meloloskan diri "Nah, anak-anak bagaimana jika kalian mulai menjalani ujian kedua?" Pria itu tersenyum. Dan, orang-orang yang mengelilingi mereka mulai bersiap dalam posisi bertarung. Randu menyuruh Dika mundur, ketika seseorang maju dan melayangkan pisau padanya. Randu berkelit, dia juga menghindar dari tendangan seseorang yang hampir mengenai rahangnya. Pemuda itu balas menyerang mengayunkan belati yang digenggam, namun tidak ada satu pun serangannya yang mengenai lawan. Seseorang kembali mengayunkan pisau, hampir menusuk perut Randu. Pemuda itu sigap menahan, menendang pria yang menyerangnya. Dia kewalahan. Dika mencoba membantu, namun usahanya sia-sia. Pemuda itu malah jatuh terduduk dan menyerah.Kali ini, Randu lebih banyak menghindar seraya menghalau serangan yang hendak mengenai temannya. Sebisa mungkin Randu melindungi Dika, meski dia harus merelakan tubuh dan wajahnya terkena pukulan. Kedua pemuda itu tersudut, mereka dipukuli dengan brutal. Tan
Pagi-pagi buta, Riana sudah berjongkok di depan gerbang rumahnya. Dia menggunakan kacamata pembesar, satu tangannya memegang senter kecil. Wanita itu menyisir gerbang dari atas hingga bawah, dari ujung satu ke ujung lain. Tidak ada tanda-tanda kerusakan pada gerbang rumahnya. Kala itu, waktu baru menunjukkan pukul 4 pagi, ayam-ayam belum berkokok, dan para manusia yang super sibuk di lingkungan rumahnya, masih memejamkan mata, berada di alam mimpi. Riana perlu sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk, siapa yang dengan lancang telah mengambil kameranya. Kamera itu memang bukan kamera mahal, tapi isinya, bisa menghancurkan hidup dan keluarganya. Dia kembali menyisir dari sudut hingga sudut. Tapi, tidak menemukan apa pun. Cahaya dari senter mulai menyisir jalan, sudut-sudut tembok, dan beralih pada taman. Jika orang itu mengetahui letak cctv, maka yang diincar adalah titik buta. Dan, taman buatan Riana ini tidak tertangkap cctv. Seharusnya, ada jejak kaki di sana. Atau setidaknya, a
Pukul 01.15, Riana kembali menyelinap ke luar. Wanita itu memastikan sang suami tertidur pulas, dan tidak akan terbangun untuk mencarinya sebelum menyambar semua perlengkapannya.Berjalan-jalan mengendap-endap agar tidak menimbulkan suara, wanita itu memasukkan kantung plastik berisi keset ke dalam tas. Riana bahkan tidak sadar bahwa putranya sudah kembali ke rumah. Fokus utamanya adalah menangkap si pencuri. Entah ini ada kaitannya dengan Lost atau tidak, dia harus tetap menemukan bedebah itu. Riana memacu motornya dengan kecepatan penuh, jalanan lengang memudahkannya untuk lebih cepat sampai tanpa harus menyalip sana-sini. Dia mencoba menghubungi Paul, selama beberapa detik wanita itu menunggu, hingga suara parau Paul terdengar di sebrang sana. "Ya, Nona?" "Aku butuh bantuan." "Apa yang bisa kubantu?" Riana diam sejenak, "Aku akan sampai dalam lima menit." Dia memutus telponnya. Riana semakin mempercepat lajunya. Lima menit kemudian dia sampai di tempat persembunyian orang-
Gean terkejut melihat putranya sudah duduk manis di kursi meja makan dengan seragam lengkap. Tas sekolahnya dia sampirkan pada punggung kursi, duduk dengan tenang seraya menggulir layar ponsel. "Kapan kamu pulang?" Sapa Gean begitu menjatuhkan bokongnya pada kursi. Randu menoleh sekilas, lalu fokus kembali pada ponselnya, "Tadi malam." Gean hanya mengangguk, lalu hening.... Sampai Riana menyajikan berbagai macam masakan di atas meja, keluarga kecil itu tetap tidak ada yang membuka suara. Mereka makan dalam diam, padahal isi kepala mereka begitu riuh menyuarakan banyak hal. Riana menatap keduanya dengan pandangan tak terbaca. Keheningan itu membuatnya merasa tidak nyaman. Riana menyodorkan segelas susu pada putranya, yang hanya dilirik sekilas oleh pemuda itu. Beberapa menit kemudian, dia menyimpan alat makannya, tanpa menyentuh susu yang sudah dibuatkan. Ekspresi wajahnya datar, dia mengambil tas ransel, dan beranjak dari sana tanpa sepatah kata, tanpa salam, tanpa pamit. Ked
Semenjak kedatangan siswa baru, Randu semakin diam, moodnya semakin hancur. Dia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari sakunya, menuliskan kejadian hari ini. Tentang siswa baru yang tiba-tiba mendekatinya. Selesai menulis, Randu kembali membuka catatan sebelumnya. Tentang serangkaian kejadian yang membuat hidupnya jungkir balik dalam sekejap. Pemuda itu berharap, dengan membuat catatan seperti ini dia akan menemukan kebenaran tanpa harus bergabung dengan mereka. Seorang teman Randu memasuki kelas, satu tangannya membawa sebuah mangkuk berisi bakso, tangan satunya dia gunakan untuk melahap bakso itu seraya mendekat pada Randu. Duduk di atas meja seraya melahap makanannya, matanya memicing melihat sebaris kata dari catatan milik Randu. "Lost?" Sebutnya rendah. Randu menoleh, pemuda itu sigap menutup bukunya begitu melihat Aska memandangi catatannya dengan pandangan tajam. "Apa hubunganmu dengan Lost?" Aska menyimpan mangkuk bakso, beralih menatap Randu dengan sorot amarah.
Gean menatap bingkisan yang lagi-lagi dikirim tanpa nama si pengirim. Beberapa saat lalu seseorang membunyikan bel rumah. Lalu, meninggalkan sebuah kotak berukuran kecil yang dibungkus dengan kertas coklat di depan pintu. Gean merobeknya kasar, hingga isinya berhamburan. Ada beberapa foto di dalamnya. Sama persis dengan kejadian tempo lalu saat seseorang mengirim bingkisan yang sama, juga berisi foto-foto blur di ruang kerjanya.Awalnya Gean ingin membuang semua foto itu tanpa perlu repot melihatnya. Namun, kemudian pria itu membelalak, ketika matanya menangkap sosok yang begitu ia kenal dalam foto tersebut. Sosok jangkung yang tengah disekap dengan kedua tangan terikat ke belakang, juga todongan senjata di belakang kepala, adalah Randu, putranya. Gean membalik foto tersebut, mencari petunjuk. Terdapat tulisan tangan yang Gean yakini adalah sebuah alamat. Tanpa pikir panjang, gegas pria itu menyambar jaket serta kunci mobil. Belum juga Gean meraih knop pintu, getaran ponsel menghe
Dengan langkah terseok-seok, juga kondisi tubuh yang tidak benar-benar baik. Riana memaksa kakinya melangkah mencari Randu. Mendobrak setiap pintu yang ia temui. Jika tidak beruntung, Riana akan bertemu musuh, kembali bertarung alih-alih kabur, kembali terluka, kembali bangkit untuk mencari sang putra. Tidak ia pedulikan sekujur tubuhnya yang terluka, rasa nyeri yang menjalar, juga pakaiannya yang compang-camping. Pikiran Riana hanya tertuju pada satu hal, memastikan Randu keluar dari tempat ini dengan aman dan selamat. Riana kembali menemukan sebuah ruangan. Kali ini tidak dia dobrak, sesaat wanita itu berpikir, kemungkinan ini adalah ruangan terakhir di gedung ini. Jika Riana tidak menemukan mereka, maka dia harus pergi ke gedung lain. Wanita itu menarik napas panjang, kemungkinannya 50:50, jika benar ini ruangan tempat Paul dan Randu sembunyi, maka dia selamat. Tapi, jika ruangan ini berisi orang-orang Lost.... Habislah Riana! Kemudian wanita itu mengetuk pintu."Paul! Kau d
Beku, Riana hanya berdiri mematung di depan pintu, dengan senjata api yang mengacung tepat di hadapan kepala Randu. Pemuda itu baru saja membuka mata, menatap sang Ibu dengan pandangan sendu. Martin bertepuk tangan gembira seolah tujuannya sudah tercapai. Pria yang pernah menjadi rekannya itu tersenyum begitu lebar. "Aku tidak tahu bahwa ikatan batin kalian sekuat ini!" Pekiknya senang, "yang membuatku sangat senang kau tahu, Riana? Adalah, bahwa kau datang sendiri ke sini dengan senang hati tanpa aku perlu repot-repot menyusun rencana untuk memancingmu datang." Jelas Martin menyeringai. Riana hanya menatap pria itu datar tanpa minat. "Apa kau tahu apa yang membuatmu menjadi pengecut, Martin? Kenyataan bahwa kau selalu melibatkan orang-orang terdekatku hanya untuk memancingku." Balas Riana datar. Senyum Martin pudar, seiring dengan Riana yang melangkah maju semakin dekat. Wanita itu tetap mengacungkan senjatanya, namun kali ini dia arahkan pada Martin. “Maju selangkah lagi, kulub
Angin dingin berhembus, menerbangkan jaket yang Randu kenakan tanpa dikancing itu, motornya kencang membelah jalanan. Malam yang semakin larut, hanya tinggal beberapa kendaraan saja. Pikiran Randu bercabang, banyak sekali pertanyaan yang bersarang. Setelah Martin datang untuk kedua kalinya, dan mengatakan fakta lain yang lebih mengejutkan, Randu tidak bisa berpikir jernih sekarang. Sebelum Martin benar-benar pergi, Randu mengejar pria itu. Menarik tangannya hingga dia berbalik menghadap Randu. "Kau tidak mungkin ayah kandungku!" Sentak Randu. Martin memiringkan kepala, "Aku harus dapat kepercayaanmu? Fakta bahwa kau putraku itu sudah cukup." "BERHENTI!!" Randu berteriak. "Berhenti mempermainkan hidupku. Apa yang kau mau? Sebenarnya apa tujuanmu?!" Martin hanya tersenyum. "Kembalilah pada Ayahmu, putraku." Randu tidak bisa berhenti memikirkan itu. Dalam hati dia memaki orang yang mengaku sebagai Ayah kandungnya. Kenapa harus Martin? Kenapa? Laki-laki itu bajingan, dia buka
“Bagaimana kau tahu tempat ini?” tanya Riana terkejut. Bagaimana Riana tidak terkejut. Sekalipun Riana tidak pernah mengatakan perihal tempat ini kepada siapa pun kecuali rekan-rekannya yang ikut bersamanya. Markas yang Riana dirikan, berada di tempat terpencil sekaligus tersembunyi. Sengaja ia memilih tempat ini, karena lebih memungkinkan bersembunyi. Selain tempat, keamanan juga Riana terapkan cukup ketat. Lalu, tiba-tiba Claire datang, tanpa pemberitahuan, setelah bertahun-tahun lamanya.Sebagai tamu, kenapa Claire tidak datang ke rumahnya? Kenapa dia tahu tempat ini? Apa tujuannya?Prasangka-prasangka buruk kembali berkelebatan di benak Riana. "Bagaimana kau bisa masuk? Aku tidak pernah memberitahumu tentang ini. Darimana kau tahu?" Riana bertanya betubi-tubi."Maaf, Riana. Aku lancang datang ke tempat persembunyianmu. Tapi, aku tahu tempat ini setelah mengikuti putraku."“Apa?!” Riana membelalak.“Saat itu, aku datang ke rumahmu. Ingin menyapa, melihat putraku. Tapi, aku tid
Segurat ingatan masa lalu menyeruak dipikiran Riana. Mungkin pula itu sebab Martin mendendam padanya.Padahal saat dulu, Riana sering kali mengajak keluar dari tempat itu bersamanya, melepas belenggu yang mengikat. Menjalani kehidupan biasa. Layaknya orang-orang.Sayangnya, Martin selalu menolak mentah-mentah. Berdalih bahwa tempat itu sudah seperti rumah baginya. Tidak ada tempat bagi orang-orang sepeti mereka di luar sana.Setelah berhasil melepaskan diri, kini Riana harus kembali ditarik ke dalam belenggu menyesakkan, yang membuat hidupnya selama ini tidak bebas. Padahal, perjuangan Riana agar bisa lepas tidaklah main-main.Masa lalu itu menghancurkan segalanya. Mungkin Riana harus rela melepaskan Gean. Mungkin pula pria itu tidak sudi untuk melihatnya lagi.Riana menekuk kakinya, menunduk menenggelamkan wajah dikedua lipatan tangan. Menangis terisak dalam diam.Jika mencintai ternyata sesulit dan sesakit ini. Riana ingin memutar waktu, kembali pada masa itu. Memilih menetap di san
Riana merapikan barang miliknya yang tersimpan rapi di camp khusus anggota. Memasukkanya dalam sebuah kardus besar. Wanita itu bersungguh-sungguh atas ucapannya. Keluar dari tempat ini adalah salah satu tujuan Riana sejak dulu. Bukan, bukan hanya karena Gean. Gean hanya salah satu alasan terbesar Riana untuk pergi dari tempat ini. Riana mencintai Gean, sangat mencintainya. Selama beberapa tahun mereka menjalin hubungan, Riana tidak pernah mengungkap identitas aslinya pada sang kekasih. Ia tidak ingin kekasihnya itu mengetahuinya sekarang. Bagaimanapun, Riana tidak siap jika ia harus kehilangan Gean. Selain itu, alasan penting Riana adalah, karena ia sudah muak dengan semuanya. Organisasi ini begitu mengekang, membelenggu hidupnya. Ia terikat oleh perintah misi yang mengharuskannya merenggut sesuatu yag berharga dari orang lain. Senyum, tawa, teman, keluarga, harta, bahkan nyawa mereka. Membuat Riana selalu dirundung perasaan bersalah, yang kian hari semakin menggunung. Menyesakk
Jakarta, 28 tahun yang lalu. Tiga mobil van berhenti di depan sebuah gedung megah. Prajurit berseragam khusus yang memiliki lambang bunga aster kecil di dada kirinya keluar secara bertahap.Mereka bersenjata lengkap. Beberapa berjaga di luar, mengambil posisi siap menyerang. Beberapa lagi masuk menyerbu dengan cara masuk mengendap-endap. Ini misi pertama mereka yang dilakukan secara berkelompok.Mereka segera berpercar setelah berhasil masuk, mencari target. Riana dan Martin adalah anggota pengepung dalam. Keduanya pun segera memisahkan diri setelah yang lain berpencar. Mereka menuju ruang bawah tanah. Sebelumnya mereka diberi peta gedung yang memiliki banyak ruang ini. Salah satu target bisa saja berada di ruang bawah tanah, yang sengaja mereka bangun untuk bertransaksi dengan para penjual pasar hitam. Ya, gedung megah ini adalah tempat transaksi bagi para penjual dan pembeli pasar hitam. Banyak dari mereka adalah orang berpengaruh, sebagian lagi hanya terjebak dan sulit keluar
Baru saja mobil mereka memasuki pekarangan rumah, pandangan mata Riana langsung tertuju pada sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari sana. Wanita itu segera melompat turun, sadar bahwa suaminya sudah kembali dari luar kota. Tapi, ini belum genap sehari, kenapa Gean sudah kembali? Gegas Riana memasuki rumah, namun langkahnya terhenti di ambang pintu. Gean tidak sendirian, melainkan ada tiga orang lainnya di sana. Riana tertegun dengan kehadiran Martin di rumahnya. Laki-laki itu duduk pertumpang kaki, bersandar pada sofa. Wajahnya begitu cerah dengan senyum yang mengembang sempurna. Rona bahagia begitu terpancar, menunjukkan kepuasaan di sana. "Sedang apa kau di sini?" Riana bertanya dengan geraman tertahan, kedua tangannya mengepal erat. "Menunjukkan kebenaran," jawabnya santai. Riana melirik Gean yang masih fokus pada sebuah kamera, wanita itu membelalak. Riana berlari mendekat, dia duduk bersimpuh di samping kaki sang suami. "Mas." Riana memanggil Gean yang masih bergeming,