"Jangan sebut itu brengsek! Kau juga pengkhianat!" Martin berdiri mendekat pada Riana. Jarak mereka terlampau dekat, hingga Martin bisa merasakan napas memburu wanita di depannya. Kemudian dia mengangkat sebelah tangan, sebagai tanda agar kedua pria yang sejak tadi mengungkung Riana, melepaskannya.Dilepaskanlah Riana dengan begitu kasar, dan kedua pria itu berlalu pergi entah ke mana. Sedang Martin memandangi wajah Riana dari dekat. Menatap tepat pada manik yang membara ditelan amarah. Pria itu tersenyum, menepuk pundak Riana. "Jangan sentuh aku sialan!" Cecar Riana seraya menepis kasar tangan Martin. "Tidak ada yang berubah darimu," Martin menjauhkan tubuhnya, "kau masih secantik dulu." PlakkkkSatu tamparan keras mendarat di pipi Martin, meninggalkan jejak kemerahan yang nampak kontras dengan kulit pucat pria itu."Aku tahu kau membenciku, tapi bisakah kau meninggalkanku dan hidup di jalan masing-masing? Aku sudah meninggalkan tempat ini bertahun-tahun yang lalu!" Martin tam
Randu' side Semuanya dimulai ketika hari itu, dua sosok pria yang menghadang jalanku dan juga ibu. Mereka menyapa seolah telah mengenal ibuku sejak lama. Setelahnya, aku melihat wajah ibuku begitu murka, hingga menampar salah satu dari mereka. Tapi hari itu, aku pun mengetahui sebuah fakta, bahwa aku bukan putra kandung kedua orang tuaku. Syok, aku menghindari ayah ibuku setelah mengetahui itu. Tapi, berbagai kejadian aneh pun di mulai. Mulanya aku menemukan ibuku yang pergi diam-diam ditengah malam. Kupikir ibuku memiliki pria simpanan. Atau seperti yang biasa disebut selingkuhan. Namun, rupanya aku keliru. Ibuku memasuki sebuah bangunan di tengah hutan, bangunan tua yang tidak berpintu. Yang rupanya pintu itu disembunyikan agar bangunan tersebut tidak terlihat.Di dalam gedung, banyak hal yang kulihat. Terlebih senjata-senjata yang tak banyak kuketahui berjajar begitu rapih. Serta ibuku yang begitu dihormati ketika beliau datang ke sini. Setelahnya, aku mendap
Seorang pria jangkung menyerahkan selembar dokumen berisi data diri lengkap pada Martin. Data diri Randu sesungguhnya yang hanya mereka tahu. Martin menerimanya, "Kau sudah mengirimkan hadiah spesialnya?""Sudah, pak.""Bagus. Kita tinggal menunggu mangsa menangkap umpan""Tapi, pak-""Kenapa?""Sebelumnya Randu menerima sebuah buket bunga dari seseorang. Bunga mawar biru, lambang organisasi."Pria itu menyerahkan beberapa foto hasil membuntuti Randu. Kening Martin mengkerut. "Randu punya pacar?" Martin tidak menangkap maksud si pria. Bisa jadi seseorang dari mereka rupanya ikut menginginkan putra dari petinggi Lost dulu. "Sejauh ini, Randu tidak pernah dekat dengan wanita mana pun." Jawabnya lugas. Martin terdiam sejenak, "Mungkinkah pengagum rahasia?" lantas pria itu bergumam. Si pria menahan napas, mengatupkan bibirnya sedikit kesal, kenapa Martin mendadak menjadi tidak peka?"Pak, maksud saya. Mungkinkah seseorang di organisasi ini juga menginginkan Randu? Mengingat tidak ada
Memang benar, bahwa pergi untuk melawan penjahat tidak boleh sendirian. Karena bahaya akan selalu mengintai. Dan dengan senantiasa menghampiri ketika lengah.Begitu dengan Randu, pria itu tergugu ketika bangun dia mendapati dirinya di posisi yang sama dengan Dika. Dia salah, karena memasuki kandang serigala tanpa rencana apa pun. Jangankan rencana, mempersiapkan diri untuk berbagai hal saja tidak. Selain itu, Randu sadar bahwa dirinya tidak berada di tempat yang sama. Dia mengamati sekitar, di atas kepalanya ada 3 tali yang tergantung. Ruangan dengan dinding yang lembab dan berjamur, bau amis menyengat, serta senjata seperti cambuk, tali, pisau, mau pun belati bergantung disetiap sudut ruang. Randu bergidik ngeri, apa mungkin ini tempat penyiksaan? Pemuda itu menyenggol Dika yang masih belum sadar. "Dika!" panggilnya pelan. Dika tidak merespon, ada segaris luka di dahinya, memanjang, hampir menyentuh mata. Randu benar, Dika dipukuli oleh orang-orang itu. "Dika!" Panggilnya la
Ada yang janggal, Riana menyadari ada sesuatu yang hilang. Dia melirik sekitar, tidak ada Randu di sana. Ke mana anak itu? Batinnya. "Apa maksudnya ini? Kenapa kamera ini bisa ada di tangan orang lain." Gean berujar, mengalihkan perhatian istrinya."Seseorang mencurinya." "Bagaimana bisa?" Riana menggeleng, namun ada sesuatu yang masih mengganjal. Dia meraba tempat tidurnya, mencari benda kecil yang jatuh saat membuka bungkusan paket tersebut.Tidak ada, hard-disk nya hilang. Riana juga tidak menemukan Randu. Sejenak wanita itu berpikir, jika isi kameranya kosong, maka seseorang menghapusnya, atau bisa jadi orang itu menyalinnya sebelum menghapus semua.Tapi, kenapa? Apa yang diinginkan orang itu? Lalu, apa isi hard-disknya? Kenapa tiba-tiba... tunggu!Riana membelalak, dia bangkit dari duduknya. Gegas wanita itu pergi ke kamar sang putra, tidak menemukan yang dicari di sana. Riana mengelilingi rumah. Gean tidak mengerti hanya mengikuti sang istri yang kelimpungan mencari sesuatu.
Sehari sebelumnya. "Ini rumahnya?" Pemuda itu menengadah, memperhatikan bangunan dua lantai dengan cat putih gading dari jarak 2 meter. Dengan pagar tinggi yang menjadi salah satu sumber keamanan.Dia tersenyum, permen karet yang sedari tadi dikunyahnya dia buang begitu saja. Sebelum melompat untuk memanjat pagar, dia lebih dulu memperhatikan sekitar. Memastikan tidak ada cctv ataupun satpam yang sedang berjaga. Setelah dirasa aman, dia memanjar pagar setinggi satu dua meter. Mendarat sempurna dengan satu kaki bertumpu di tanah.Dia mengayunkan langkah dengan tenang. Memutar-mutar sebuah kawat di tangan. Bersiul riang. Riana tidak mungkin menerapkan sistem keamana ketat di rumahnya, karena itu akan membuat suaminya curiga. Ada satu cctv yang terpasang di halaman rumah. Dengan menghindari titik yang tertangkap cctv, dia memutarnya ke arah tembok. Sehingga yang terlihat hanyalah tembok putih. Tanpa ragu, dia membuka pintu menggunakan kawat. Jika tidak bisa, dia akan membobol jende
Pemuda itu mendengkus keras-keras. Martin sialan! Batinnya kesal. Lantas pemuda itu beranjak dari sana, membuka laci meja Martin dan menemukan foto seseorang. Matanya menyipit, sesaat mengingat siapa orang di foto ini. Rupanya, dia adalah teman dekat Randu. Pemuda berambut ikal, bernama Dika. Yang selalu berada di sisi Randu bak ajudan setia. Dia kembali mendengkus, malas beranjak. Padahal tugasnya mudah, hanya membawa Dika untuk menjadikannya sebagai umpan. Jika temannya dalam bahaya, bisa dipastikan Randu akan datang. Pemuda itu akan melakukan banyak cara untuk menyelamatkan temannya.Lagipula, segala informasi yang berkaitan dengan Randu sudah ada dan menyatu dalam satu berkas. Termasuk informasi mengenai orang-orang terdekatnya. Lengkap beserta data diri. Jadi, dia tidak perlu repot-repot mengorek informasi tentang pemuda berambut ikal itu.Dia hanya perlu beranjak dari sana, dan menjalankan tugas seperti yang diperintahkan. Membawa Dika tanpa menimbulkan curiga. Sesaat ken
Beberapa jam sebelum meloloskan diri "Nah, anak-anak bagaimana jika kalian mulai menjalani ujian kedua?" Pria itu tersenyum. Dan, orang-orang yang mengelilingi mereka mulai bersiap dalam posisi bertarung. Randu menyuruh Dika mundur, ketika seseorang maju dan melayangkan pisau padanya. Randu berkelit, dia juga menghindar dari tendangan seseorang yang hampir mengenai rahangnya. Pemuda itu balas menyerang mengayunkan belati yang digenggam, namun tidak ada satu pun serangannya yang mengenai lawan. Seseorang kembali mengayunkan pisau, hampir menusuk perut Randu. Pemuda itu sigap menahan, menendang pria yang menyerangnya. Dia kewalahan. Dika mencoba membantu, namun usahanya sia-sia. Pemuda itu malah jatuh terduduk dan menyerah.Kali ini, Randu lebih banyak menghindar seraya menghalau serangan yang hendak mengenai temannya. Sebisa mungkin Randu melindungi Dika, meski dia harus merelakan tubuh dan wajahnya terkena pukulan. Kedua pemuda itu tersudut, mereka dipukuli dengan brutal. Tan
Gean menatap bingkisan yang lagi-lagi dikirim tanpa nama si pengirim. Beberapa saat lalu seseorang membunyikan bel rumah. Lalu, meninggalkan sebuah kotak berukuran kecil yang dibungkus dengan kertas coklat di depan pintu. Gean merobeknya kasar, hingga isinya berhamburan. Ada beberapa foto di dalamnya. Sama persis dengan kejadian tempo lalu saat seseorang mengirim bingkisan yang sama, juga berisi foto-foto blur di ruang kerjanya.Awalnya Gean ingin membuang semua foto itu tanpa perlu repot melihatnya. Namun, kemudian pria itu membelalak, ketika matanya menangkap sosok yang begitu ia kenal dalam foto tersebut. Sosok jangkung yang tengah disekap dengan kedua tangan terikat ke belakang, juga todongan senjata di belakang kepala, adalah Randu, putranya. Gean membalik foto tersebut, mencari petunjuk. Terdapat tulisan tangan yang Gean yakini adalah sebuah alamat. Tanpa pikir panjang, gegas pria itu menyambar jaket serta kunci mobil. Belum juga Gean meraih knop pintu, getaran ponsel menghe
Dengan langkah terseok-seok, juga kondisi tubuh yang tidak benar-benar baik. Riana memaksa kakinya melangkah mencari Randu. Mendobrak setiap pintu yang ia temui. Jika tidak beruntung, Riana akan bertemu musuh, kembali bertarung alih-alih kabur, kembali terluka, kembali bangkit untuk mencari sang putra. Tidak ia pedulikan sekujur tubuhnya yang terluka, rasa nyeri yang menjalar, juga pakaiannya yang compang-camping. Pikiran Riana hanya tertuju pada satu hal, memastikan Randu keluar dari tempat ini dengan aman dan selamat. Riana kembali menemukan sebuah ruangan. Kali ini tidak dia dobrak, sesaat wanita itu berpikir, kemungkinan ini adalah ruangan terakhir di gedung ini. Jika Riana tidak menemukan mereka, maka dia harus pergi ke gedung lain. Wanita itu menarik napas panjang, kemungkinannya 50:50, jika benar ini ruangan tempat Paul dan Randu sembunyi, maka dia selamat. Tapi, jika ruangan ini berisi orang-orang Lost.... Habislah Riana! Kemudian wanita itu mengetuk pintu."Paul! Kau d
Beku, Riana hanya berdiri mematung di depan pintu, dengan senjata api yang mengacung tepat di hadapan kepala Randu. Pemuda itu baru saja membuka mata, menatap sang Ibu dengan pandangan sendu. Martin bertepuk tangan gembira seolah tujuannya sudah tercapai. Pria yang pernah menjadi rekannya itu tersenyum begitu lebar. "Aku tidak tahu bahwa ikatan batin kalian sekuat ini!" Pekiknya senang, "yang membuatku sangat senang kau tahu, Riana? Adalah, bahwa kau datang sendiri ke sini dengan senang hati tanpa aku perlu repot-repot menyusun rencana untuk memancingmu datang." Jelas Martin menyeringai. Riana hanya menatap pria itu datar tanpa minat. "Apa kau tahu apa yang membuatmu menjadi pengecut, Martin? Kenyataan bahwa kau selalu melibatkan orang-orang terdekatku hanya untuk memancingku." Balas Riana datar. Senyum Martin pudar, seiring dengan Riana yang melangkah maju semakin dekat. Wanita itu tetap mengacungkan senjatanya, namun kali ini dia arahkan pada Martin. “Maju selangkah lagi, kulub
Angin dingin berhembus, menerbangkan jaket yang Randu kenakan tanpa dikancing itu, motornya kencang membelah jalanan. Malam yang semakin larut, hanya tinggal beberapa kendaraan saja. Pikiran Randu bercabang, banyak sekali pertanyaan yang bersarang. Setelah Martin datang untuk kedua kalinya, dan mengatakan fakta lain yang lebih mengejutkan, Randu tidak bisa berpikir jernih sekarang. Sebelum Martin benar-benar pergi, Randu mengejar pria itu. Menarik tangannya hingga dia berbalik menghadap Randu. "Kau tidak mungkin ayah kandungku!" Sentak Randu. Martin memiringkan kepala, "Aku harus dapat kepercayaanmu? Fakta bahwa kau putraku itu sudah cukup." "BERHENTI!!" Randu berteriak. "Berhenti mempermainkan hidupku. Apa yang kau mau? Sebenarnya apa tujuanmu?!" Martin hanya tersenyum. "Kembalilah pada Ayahmu, putraku." Randu tidak bisa berhenti memikirkan itu. Dalam hati dia memaki orang yang mengaku sebagai Ayah kandungnya. Kenapa harus Martin? Kenapa? Laki-laki itu bajingan, dia buka
“Bagaimana kau tahu tempat ini?” tanya Riana terkejut. Bagaimana Riana tidak terkejut. Sekalipun Riana tidak pernah mengatakan perihal tempat ini kepada siapa pun kecuali rekan-rekannya yang ikut bersamanya. Markas yang Riana dirikan, berada di tempat terpencil sekaligus tersembunyi. Sengaja ia memilih tempat ini, karena lebih memungkinkan bersembunyi. Selain tempat, keamanan juga Riana terapkan cukup ketat. Lalu, tiba-tiba Claire datang, tanpa pemberitahuan, setelah bertahun-tahun lamanya.Sebagai tamu, kenapa Claire tidak datang ke rumahnya? Kenapa dia tahu tempat ini? Apa tujuannya?Prasangka-prasangka buruk kembali berkelebatan di benak Riana. "Bagaimana kau bisa masuk? Aku tidak pernah memberitahumu tentang ini. Darimana kau tahu?" Riana bertanya betubi-tubi."Maaf, Riana. Aku lancang datang ke tempat persembunyianmu. Tapi, aku tahu tempat ini setelah mengikuti putraku."“Apa?!” Riana membelalak.“Saat itu, aku datang ke rumahmu. Ingin menyapa, melihat putraku. Tapi, aku tid
Segurat ingatan masa lalu menyeruak dipikiran Riana. Mungkin pula itu sebab Martin mendendam padanya.Padahal saat dulu, Riana sering kali mengajak keluar dari tempat itu bersamanya, melepas belenggu yang mengikat. Menjalani kehidupan biasa. Layaknya orang-orang.Sayangnya, Martin selalu menolak mentah-mentah. Berdalih bahwa tempat itu sudah seperti rumah baginya. Tidak ada tempat bagi orang-orang sepeti mereka di luar sana.Setelah berhasil melepaskan diri, kini Riana harus kembali ditarik ke dalam belenggu menyesakkan, yang membuat hidupnya selama ini tidak bebas. Padahal, perjuangan Riana agar bisa lepas tidaklah main-main.Masa lalu itu menghancurkan segalanya. Mungkin Riana harus rela melepaskan Gean. Mungkin pula pria itu tidak sudi untuk melihatnya lagi.Riana menekuk kakinya, menunduk menenggelamkan wajah dikedua lipatan tangan. Menangis terisak dalam diam.Jika mencintai ternyata sesulit dan sesakit ini. Riana ingin memutar waktu, kembali pada masa itu. Memilih menetap di san
Riana merapikan barang miliknya yang tersimpan rapi di camp khusus anggota. Memasukkanya dalam sebuah kardus besar. Wanita itu bersungguh-sungguh atas ucapannya. Keluar dari tempat ini adalah salah satu tujuan Riana sejak dulu. Bukan, bukan hanya karena Gean. Gean hanya salah satu alasan terbesar Riana untuk pergi dari tempat ini. Riana mencintai Gean, sangat mencintainya. Selama beberapa tahun mereka menjalin hubungan, Riana tidak pernah mengungkap identitas aslinya pada sang kekasih. Ia tidak ingin kekasihnya itu mengetahuinya sekarang. Bagaimanapun, Riana tidak siap jika ia harus kehilangan Gean. Selain itu, alasan penting Riana adalah, karena ia sudah muak dengan semuanya. Organisasi ini begitu mengekang, membelenggu hidupnya. Ia terikat oleh perintah misi yang mengharuskannya merenggut sesuatu yag berharga dari orang lain. Senyum, tawa, teman, keluarga, harta, bahkan nyawa mereka. Membuat Riana selalu dirundung perasaan bersalah, yang kian hari semakin menggunung. Menyesakk
Jakarta, 28 tahun yang lalu. Tiga mobil van berhenti di depan sebuah gedung megah. Prajurit berseragam khusus yang memiliki lambang bunga aster kecil di dada kirinya keluar secara bertahap.Mereka bersenjata lengkap. Beberapa berjaga di luar, mengambil posisi siap menyerang. Beberapa lagi masuk menyerbu dengan cara masuk mengendap-endap. Ini misi pertama mereka yang dilakukan secara berkelompok.Mereka segera berpercar setelah berhasil masuk, mencari target. Riana dan Martin adalah anggota pengepung dalam. Keduanya pun segera memisahkan diri setelah yang lain berpencar. Mereka menuju ruang bawah tanah. Sebelumnya mereka diberi peta gedung yang memiliki banyak ruang ini. Salah satu target bisa saja berada di ruang bawah tanah, yang sengaja mereka bangun untuk bertransaksi dengan para penjual pasar hitam. Ya, gedung megah ini adalah tempat transaksi bagi para penjual dan pembeli pasar hitam. Banyak dari mereka adalah orang berpengaruh, sebagian lagi hanya terjebak dan sulit keluar
Baru saja mobil mereka memasuki pekarangan rumah, pandangan mata Riana langsung tertuju pada sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari sana. Wanita itu segera melompat turun, sadar bahwa suaminya sudah kembali dari luar kota. Tapi, ini belum genap sehari, kenapa Gean sudah kembali? Gegas Riana memasuki rumah, namun langkahnya terhenti di ambang pintu. Gean tidak sendirian, melainkan ada tiga orang lainnya di sana. Riana tertegun dengan kehadiran Martin di rumahnya. Laki-laki itu duduk pertumpang kaki, bersandar pada sofa. Wajahnya begitu cerah dengan senyum yang mengembang sempurna. Rona bahagia begitu terpancar, menunjukkan kepuasaan di sana. "Sedang apa kau di sini?" Riana bertanya dengan geraman tertahan, kedua tangannya mengepal erat. "Menunjukkan kebenaran," jawabnya santai. Riana melirik Gean yang masih fokus pada sebuah kamera, wanita itu membelalak. Riana berlari mendekat, dia duduk bersimpuh di samping kaki sang suami. "Mas." Riana memanggil Gean yang masih bergeming,