Vienna mengangguk tanpa ragu. “Aku ingin menjalin hubungan baik dengan mertuaku dan memberi salam dengan lebih baik. Aku bisa menjadi menantu yang berbakti,” ucap Vienna kemudian. Gloria menampilkan wajah dengan jelas bahwa dia tidak suka diikuti oleh Vienna. Perilaku menguntit seperti itu sangat menakutkan di mata Gloria. Sementara Terry tampak tertarik dengan ucapan Vienna. “Berbakti seperti apa?” tanya Terry sambil mengambil segelas air mineral kemasan yang sudah siap sedia di dekat meja tamu dan menyuguhkannya pada Vienna. Vienna tersenyum, setidaknya satu dari mereka bersedia mendengarkannya dan bersikap lebih ramah. Dia menyelipkan rambut ke belakang telinga dan menegakkan punggung. “Jika Mama dan Papa butuh sesuatu, aku bisa memberikannya. Kalian tahu … orang tuaku juga punya perusahaan besar,” jawab Vienna percaya diri. Terry yang tadinya tampak tertarik, kini menarik diri dengan bersandar pada sofa. Dia sudah tahu bagaimana latar belakang kedua orang tua Vienna mendap
Sydney mendaratkan tubuhnya di kursi belakang mobil, diikuti oleh Morgan yang duduk di sebelahnya. Sementara si kembar ada di mobil yang lain. Kedua mobil berjalan beriringan menuju mansion Ravenfell, dengan mobil yang ditumpangi Morgan berada paling depan. Dalam perjalanan, Sydney mengirim pesan untuk Gloria, “Tante, aku tidak bisa mengantar Tante dan Om ke bandara besok. Morgan ada urusan, jadi kami harus pulang lebih cepat ke Ravenfell. Hati-hati di jalan, Tante.” Morgan sedikit memiringkan tubuhnya ke arah Sydney dan menyipitkan mata saat ikut membaca pesan tersebut. Setelah Sydney menurunkan tangannya yang memegang ponsel, Morgan segera menyandarkan kepala wanita itu ke bahunya. Sydney tidak protes, bahu Morgan adalah tempat favoritnya yang baru. Namun belum lama Sydney bersandar, wanita itu kembali menegakkan punggung karena ada pesan balasan dari Gloria. [Tidak apa-apa, Sydney. Senang bertemu denganmu. Kami sedang dalam perjalanan menuju kantor Monarch Legal Group untuk r
“Ulangi, lebih jelas!” perintah Morgan pada seseorang di telepon, rahangnya mengeras. Sementara itu, telepon dari Vienna diakhiri. Sydney masih membeku dan bergetar. Wanita itu menoleh perlahan pada Morgan dan menarik pelan lengan kemeja pria itu. Morgan menoleh dan mematikan panggilan. “Rumah sakit! Kumohon!” ucap Sydney, tangannya bergerak tidak beraturan, tetapi Morgan mengerti apa maksud wanita itu. Tanpa bertanya apa pun, Morgan mengangguk. Seakan kabar buruk yang baru Sydney ketahui juga sampai ke telinga Morgan. “Antar aku dan Sydney ke rumah sakit.” Morgan berkata pada sopir. Ronald yang duduk di sebelah sopir menoleh ke belakang. “Bagaimana dengan Tuan Jade dan Nona Jane?” tanya pengawal itu. Morgan mendesah dan memijat pelan pelipisnya. Dia tidak tahu apakah stok ASI di mansion akan cukup untuk anak-anaknya, tetapi si kembar tidak mungkin mengikuti ibu susu mereka ke rumah sakit dan terlihat oleh publik. Dan Morgan juga tidak mungkin melarang Sydney kali ini. “Biar
Morgan akhirnya memanggil dokter dan memintanya memeriksa Sydney. “Nona Sydney syok, Tuan. Kejadian kecelakaan mantan mertuanya pasti sangat mengguncang psikisnya,” jelas dokter sambil melepas stetoskopnya. “Apa hubungan mereka sangat baik?” Dokter yang kali ini adalah dokter senior. Jadi dia tahu bahwa perlakuan terhadap Morgan harus dispesialkan dan semua pertanyaan pria itu tidak boleh dijawab seadanya. Morgan mengernyitkan dahi, tetapi kemudian dia mengangguk. “Belakangan ini, Sydney sangat menyukai mantan mertuanya. Bahkan Sydney sampai memberitahu mereka tentang rahasia kami,” jawab Morgan, tatapannya tidak lepas dari Sydney walaupun dia sedang bicara dengan sang dokter. Yang Morgan maksud adalah si kembar, tetapi dokter tersebut menangkapnya lain. Dokter itu berpikir bahwa yang Morgan bicarakan adalah hubungan rahasia semacam skandal perselingkuhan atau one night stand. “Dia juga bicara dalam tidurnya. Apa itu mungkin?” tanya Morgan beberapa saat kemudian. “Karena Nona S
Morgan pergi ke luar rumah sakit dan bersandar pada dinding yang menghadap jalan raya. Dia mengeluarkan sebatang rokok dari saku jas, kemudian menyalakannya. Saat kepalanya masih berputar memikirkan Sydney, Ronald datang. “Tuan memanggil saya. Ada apa, Tuan?” tanya Ronald setelah membungkukkaan badan. “Ada rekaman suara telepon dari Vienna di ponsel ini. Salin dan simpan di tempat yang lebih aman, kirimkan juga ke surelku,” jawab Morgan sambil menyerahkan ponsel Sydney. Morgan yakin suatu saat rekaman itu akan berguna. Dia tidak ingin Sydney langsung melaporkan hal ini pada pihak berwajib. Vienna juga akan bisa bebas dengan cepat jika persiapan mereka kurang matang seperti kasus Ghina. Lebih baik terus mengumpulkan kartu AS lawan sambil menunggu waktu yang tepat untuk memainkan itu. Tanpa banyak bertanya, Ronald menerima ponsel itu. “Baik, Tuan.” “Dapatkan juga identifikasi kerusakan mobil yang ditumpangi Gloria dan Terry saat kecelakaan. Kita bisa melacak apakah itu kecelakaan
Morgan baru saja tiba di dalam pesawat. Dia dan Sydney berangkat terpisah pagi ini. Pria itu menatap tajam Chester dan Sydney bergantian. Dia juga mengecek nomor tempat duduk mereka dan mencocokkannya dengan tiket yang pria itu pegang. Sementara Chester menatap pria asing di depannya dengan heran. Ronald yang juga ikut dalam penerbangan dan ada di belakang Morgan segera menunjuk kursi di seberang Sydney sebelah kiri. “Kursi Tuan di sebelah sini,” ujar Ronald tidak berani menatap Morgan. Morgan mengernyitkan dahi dan menyipitkan mata pada Ronald. “Mengapa kursiku di sini?!” tanya Morgan dingin. “Tiket dibeli secara mendadak, dan dua tempat duduk yang kosong seperti ini, Tuan. Saya akan duduk di kelas ekonomi,” jawab Ronald, akhirnya memberanikan diri menatap Morgan. Morgan mendesah frustasi lalu kembali menghadap Sydney dan Chester dengan tatapan tidak terima. “Ada apa?” Chester akhirnya bertanya, tidak tahan dengan sikap aneh pria itu. Alih-alih menjawab Chester, Mo
“Apa maksudmu?!” tanya Lucas sambil mengepalkan tangan dan menatap tajam Sydney. Alih-alih menjawab, Sydney menekan layar ponselnya kemudian memutar ulang rekaman telepon dari Vienna. Dia mengarahkan bagian pengeras suara pada ponselnya ke arah Lucas supaya pria itu bisa mendengarnya. “Sudah terima hadiah dariku, Sydney? Aku harap kau menyukainya. Mereka mati karena kamu!” Suara Vienna terdengar menusuk. Awalnya Lucas membulatkan mata dan raut wajah kesedihan terlihat jelas, tetapi kemudian wajahnya memerah. Tatapan pria itu semakin tajam, tertuju langsung ke manik Sydney. BRAK! Tiba-tiba Lucas merebut dan membanting ponsel Sydney hingga hancur ke lantai. Wanita itu memejamkan mata terkejut dan mundur beberapa langkah untuk menghindari pecahan. “Kamu keterlaluan, Sydney! Sampai kapan kamu berhenti memfitnah Vienna?!” Lucas berteriak sambil mengguncang bahu Sydney dengan kasar. Sydney spontan membuka mata dan mengernyit heran. Daripada iba melihat wajah Lucas yang babak belur,
‘Jalang murahan! Janda tidak bermartabat!’ umpat Lucas dalam hati ketika panas di hatinya sudah sampai ke ubun-ubun. Lucas tidak habis pikir dengan apa yang Morgan lihat pada mantan istrinya. Pria berkuasa itu bisa mendapat yang lebih dari Sydney, bahkan gadis perawan. Rasanya Lucas ingin sekali pergi, tetapi dia tahu Morgan tidak akan membiarkannya. Nyawa dan perusahaannya bergantung pada pria dengan tubuh bertato itu. ‘Apa mereka sudah tidur bersama?!’ batin Lucas bertanya-tanya. Lucas membuang wajah, terlalu jijik memikirkan bahwa Sydney rela mengangkang demi menjual diri pada Morgan. Setelah bercerai dengannya, ternyata Sydney tidak lebih dari seorang pelacur. Morgan menatap Lucas dan menyeringai tajam. “Pergilah!” usir Morgan, melihat gelagat Lucas yang terlihat sangat ingin meninjunya. Namun tentu saja Lucas tidak akan melakukan itu. Lawannya adalah Morgan, pria paling ditakuti di negara ini. Sekali lagi, Lucas membungkuk. Lalu dia segera melangkah pergi sebelum Morgan b
“Kalian mendiskriminasiku,” protes Timothy, satu-satunya orang di antara mereka yang tidak bisa berbahasa isyarat.Timothy mencondongkan tubuh dan berbisik, “Apa yang kalian bicarakan? Sudah 10 menit kalian terus berinteraksi memakai bahasa isyarat. Aku merasa seperti patung.”Sydney tersenyum sambil menoleh. Dia mengetik sesuatu di ponselnya.“Maaf, Tim. Chester sedang membahas tentang kehadiran Vienna sebagai saksi, dan—tentu saja—tentang rasa jengkelnya pada Lucas.”Rasanya, Timothy masih seperti adik kecilnya yang dulu. Hanya sekarang pria itu lebih tinggi darinya.Timothy mengangkat kedua alis. Kemudian dia mengangguk-angguk pelan.Sementara Chester mengedikkan bahu dan melihat ke depan sambil menyilangkan tangan di depan dada.“Aku berniat meninju Lucas,” tukas Chester tanpa menoleh. “Kau akan melakukan apa padanya, Tim?”Timothy terkekeh. “Melihatmu. Aku tidak jago bela diri, Kak.”Chester sempat
“Apa kau benar-benar harus pergi sekarang?” tanya Sydney sambil menggerakan tangan. Hari di mana Morgan harus pergi cukup lama akhirnya tiba. Pria itu menghentikan langkahnya di depan pintu mansion. Angin pagi yang berembus pelan mengibaskan helaian rambutnya, sementara mata Sydney sudah berkaca-kaca. Sudah beberapa lama Sydney bersama Morgan, dia baru merasa kehilangan setelah pria itu berniat dinas panjang. Morgan menoleh dan melangkah mendekat. Dia mendekatkan wajahnya dan menatap mata Sydney dari jarak dekat. Pria itu mengangkat tangan dan mengusap pelan air mata yang mulai turun di pipi kekasihnya. “Dengar aku baik-baik,” bisik Morgan lembut. “Kau baru boleh pergi keluar sendiri setelah pengadilan resmi menjatuhkan hukuman untuk Bella, Vienna, dan Lucas. Mengerti?” Sydney mengangguk, cepat-cepat menghapus air mata yang tersisa dengan punggung tangan. Wanita itu tampak marah pada dirinya sendiri karena terlalu lemah. Morgan mendekatkan bibirnya ke telinga Sydney. “Aku jug
Lucas melangkah keluar dari mansion Morgan dengan langkah berat dan bahunya jatuh. Dia mengepalkan tangan erat-erat, seperti hendak meninju siapa pun yang berani menghiburnya saat itu.Udara pagi yang dingin menusuk tulang, tetapi amarah di dalam diri Lucas lebih membakar dari apa pun.Setelah Lucas menghilang di balik pintu utama, Ken berdeham.“Jika ini semua untuk membalas dendam Sydney,” ucap Ken membuka obrolan sambil menyilangkan kaki dan melirik Morgan, “mengapa kau memberi mereka jalan untuk kabur?”Morgan menyesap kopinya perlahan. Asap tipis mengepul dari permukaan cairan pekat itu.“Akan lebih menyenangkan jika mereka kalah karena rasa putus asanya setelah terluka cukup parah,” jawab Morgan sambil menaruh cangkir di atas meja. “Aku ingin melihat mereka kejang-kejang sebelum mati.”Ken tertawa kecil. Bukan tawa lepas, melainkan semacam menahan geli yang menggelitik perutnya.Dia seperti sedang menyaksikan sebua
“Kau melakukan itu untukku?” tanya Sydney seraya menaikkan kedua alis dan membentuk bahasa isyarat dengan kedua tangannya. Sydney merasa tenggorokanya kering, dan matanya belum beranjak dari milik Morgan—berusaha mencari jawaban lain, jika memang ada. Morgan mengangguk pelan. “Untuk siapa lagi?” tanya Morgan datar. “Dia mengganggumu dan hampir melukaimu. Aku tidak akan bisa memaafkannya. Lalu aku hanya memberinya kesempatan untuk bertemu dengan Bella. Kedua wanita itu berkomplotan.” Sydney menyipitkan mata, tubuhnya seketika kaku. “Berkomplotan?” tanya Sydney mengulang ucapan Morgan sambil menggerakan tangan perlahan. “Apa maksudmu mereka bekerja sama dalam kasus pemerkosaan itu?” “Ya,” jawab Morgan tanpa ragu. “Bella butuh pelampiasan. Olive butuh pelindung. Mereka memanfaatkan satu sama lain seperti memperdagangkan bencana. Apa kau marah padaku?” Seketika, dunia dalam kepala Sy
"Saya butuh waktu untuk berpikir beberapa menit." Suara Lucas akhirnya pecah di antara deru napas beratnya.Tangan Lucas yang masih menggenggam kemudi, kini mulai gemetar. Di luar sana, malam begitu hening. Namun di dadanya, badai bergemuruh tanpa henti.Terdengar tawa Morgan dari seberang telepon, nyaring dan penuh ejekan.“Mengapa jadi kau yang perlu waktu untuk berpikir?” tanya Morgan penuh sarkas. “Kau yang membutuhkanku, Lucas. Jika tidak mau, silakan pergi dan jangan mengotori pemandangan dimansion-ku.”Lucas menutup mata sejenak. Dia mengangkat tangan dan menyugar rambutnya ke belakang, menahan agar kepalanya tidak meledak karena frustrasi.Seluruh tubuh Lucas terasa seperti terbakar oleh amarah dan kekalahan sekaligus.Selama ini, Lucas pikir proyek pengawalan eksklusif itu adalah peluang besar. Kerja sama dengan Morgan akan membuat nama Zahlee Entertainment dan Monarch Legal Group naik kelas.‘Sejak awal Tuan Morgan memang hanya ingin menjebakku dan Vienna,’ ucap Lucas dalam
Setelah berita beralih ke topik lain, Sydney melangkah cepat menuju ruang kerja Morgan. Dia meninggalkan Layla yang masih terpaku di sana.Namun, ada dua anak buah yang berjaga di depan ruang kerjanya. Saat melihat Sydney mendekat, keduanya membungkuk hormat.“Maaf, Nona. Tuan Morgan sedang mengadakan rapat daring dengan Menteri Perdagangan,” ujar salah satunya memberi tahu.Sydney menautkan alisnya, padahal ada banyak hal yang ingin di tanyakan.Wanita itu mengetik cepat di layar ponsel, lalu memperlihatkannya pada mereka berdua.“Beri tahu Morgan jika aku menunggu di kamarku.”“Akan kami sampaikan, Nona.” Salah satu dari mereka mengangguk.Sydney tidak berkata apa-apa lagi. Dia mencengkram ponsel dengan erat saat berjalan menjauh dengan langkah yang semakin cepat.Sesampainya di kamar, Sydney langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang. Rambut panjangnya menjuntai ke sisi wajah, menutupi ekspresi muram yang mulai mengendap di sana.Sydney menarik napas panjang, lalu membuka portal ber
"Apa yang baru saja kulakukan ...." desah Bella lirih dan suaranya bergetar. Begitu pula dengan tangannya yang gemetar. Pistol yang masih mengepul itu jatuh dari genggamannya dan menghantam lantai dengan dentingan logam yang keras. Pandangan Bella mengabur dan napasnya tercekat. Di hadapannya, tubuh Olive terbujur kaku di lantai kafe. Darah mengalir dari dada wanita itu, membentuk genangan yang perlahan meluas. Yang membuat Bella ketakutan, mata Olive masih terbuka dan menatapnya penuh amarah. Sunyi mendadak mengurung ruangan. “P-Pembunuh! Dia membunuhnya!” teriak seseorang di sudut ruangan. Teriakan itu membangunkan semua orang dari keterpakuan mereka. Beberapa pengunjung memekik, sebagian lainnya merunduk ketakutan. Bella menoleh cepat dengan wajah yang memucat. Bola matanya bergerak liar, seperti rusa yang terjebak dalam jerat. Wanita itu berbalik. Dengan sorot mata penuh amarah, Bella menatap tajam kedua pengawalnya yang berdiri di belakangnya tanpa melakukan apa-apa. “B
“Pergilah!” geram Bella dengan wajah memerah. “Kau sudah cukup beruntung masih selamat dari amukan Morgan. Jangan mencari masalah denganku!”Alih-alih mundur atau gentar, Olive justru menanggapi dengan tawa lebar, keras, dan penuh ejekan.Suaranya menggema di dalam kafe, membuat beberapa pasang mata yang semula hanya mengintip mulai terang-terangan menoleh.“Jangan seperti itu pada teman lamamu, Veronica,” ujar Olive berpura-pura sedih sambil memegang dadanya.Bella mengernyitkan dahi. Olive tidak biasanya memanggil Bella dengan nama panggung.“Veronica Pillpel kecil yang menggemaskan dan polos,” lanjut Olive sambil menyenderkan tubuh ke sandaran kursi, matanya bersinar penuh kemenangan.“Kau ingat? Kita sudah berteman sejak aku menemukan bakat luar biasamu di usia 17 tahun. Ya ampun, betapa cepat waktu berlalu.” Olive mengibaskan rambutnya ke belakang.Genggaman Bella pada gelas es kop
Bella menyandarkan punggungnya di kursi belakang mobil. Dia menatap layar ponsel tanpa benar-benar membaca apa pun. Wanita itu hanya menggulir layar ponsel ke atas dan ke bawah.Nina, sang manajer, baru saja membuka pintu mobil.“Kau mau beristirahat di mana?” tanya Nina sembari melirik ke arah kursi penumpang.“Bawa aku ke kafe,” desah Bella tanpa menoleh. “Aku butuh es kopi.”Tanpa bertanya lagi, Nina masuk ke kursi kemudi dan langsung menyalakan mesin. Mobil melaju perlahan menjauh dari lokasi syuting.Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan Pop Cafe, sebuah tempat kecil yang sering mereka datangi untuk kabur sejenak dari hiruk-pikuk dunia selebriti.“Kau ingin pesan apa? Yang biasa?” tanya Nina sambil menoleh ke belakang, bersiap keluar.Bella menghela napas panjang, kemudian melihat sekeliling. Keramaian kafe itu seperti magnet baginya kali ini.“Aku akan ikut kau turun,” jawab Bella sambil merapikan rambut dan memeriksa riasannya di spion tengah.Nina menaikkan k