halo halo Kak ada yang nungguin gak yaaaaaa? maaf kemaleman T.T
Hening. Itu yang terasa sejak pagi setelah Yasmin mendengar percakapan antara Barra dan Samantha.Tidak ada lagi sapaan ramah, ketika dia bertemu dengan Barra. Melainkan hanya sisa-sisa formalitas yang dia pertahankan. Setiap kali berada di tempat yang sama, Yasmin hanya fokus pada Boy dan Cleo. Dia menggendong dan menyusui Boy dengan penuh kasih sayang, mengusap punggungnya perlahan. Sedangkan Cleo sedang berjemur bersama babysitter. Tidak ada satu pun interaksi yang dia berikan untuk Barra. Jika dulu dia masih akan sekilas bertukar pandang, kini tidak lagi.Barra memperhatikan perubahan itu. Awalnya, pria itu mengira Yasmin hanya lelah atau sedang tidak mood. Namun, makin hari, sikap dingin itu tambah menjadi.Tidak ada lagi suara lembutnya yang tertangkap indera pendengaran Barra. Yasmin hanya menyelesaikan tugasnya, lalu pergi.“Yasmin,” panggil Barra ketika pria itu tiba di teras. Yasmin yang sedang menunduk menatap Boy, kini mengangkat pandangan. “Ya?” sahutnya.“Kamu sibuk?
Yasmin sungguh tidak bisa berkata apa pun, selain menatap Barra dengan bingung. Hingga akhirnya pria itu melepaskan pergelangan tangannya. Akan tetapi, tatapan pria itu tidak berpaling dari Yasmin, dia juga berkata dengan tegas, "Buatkan aku nasi goreng." Alis Yasmin seketika menekuk dan dia menajamkan pendengaran. "Apa?" "Aku lapar," jawab Barra mulai memelankan intonasi, "buatkan nasi goreng." Yasmin mendesah, menimbang sejenak. Dia tahu, ini bukan karena Barra ingin lebih lama bersamanya, tetapi murni karena perut pria itu kosong. Dengan enggan, dia melangkah menuju dapur. Saat memasak, Yasmin merasakan tatapan Barra di punggungnya. Entah mengapa pria itu justru mengikutinya ke dapur. Ada sesuatu yang berbeda. Yasmin hanya tahu, ekspresi Barra tetap dingin, tetapi sorot matanya menunjukkan sisi yang lain. Ketika nasi goreng matang, Yasmin menyajikannya di meja. "Sudah selesai, Pak. Makanlah." Setelahnya, Yasmin masih berdiri di memperhatikan pria itu makan dengan tenang. "A
Tangan Yasmin terkepal kuat di sisi tubuhnya. Ucapan Cindy bagai palu yang menghantam relung hatinya. Dia menelan air liur untuk menahan rasa sakit dalam dada. "Bukankah Bu Cindy sudah tahu siapa saya?" Yasmin berkata tanpa ekspresi, matanya menatap Cindy, berusaha tenang. Cindy mengangkat dagu dengan percaya diri. "Maksudmu?" Yasmin menggeleng pelan, lalu berkata santai dan penuh arti, "Kalau Cleo terus menangis seperti ini, dia bisa sakit lagi. Dan kalau itu terjadi, Pak Barra pasti menyalahkan—" “Cukup!” sela Cindy terlihat agak goyah, pandangan wanita itu beralih pada Cleo yang menangis lebih keras, tubuh kecilnya menggeliat gelisah. Yasmin melanjutkan dengan suara lembut, “Umm … coba Bu Cindy lihat ke atas.” Sekilas, Cindy tampak tegang. Dia mendongak, seakan baru sadar bahwa gerak-geriknya bisa dipantau kapan saja. CCTV tergantung di sana. Yasmin menahan senyum tipisnya. Dengan tenang, dia mengulurkan tangan. "Lebih baik serahkan padaku sebelum Pak Barra yang turun
Saat ini di halaman rumah, Airin menatap tajam pada seorang wanita yang tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang rapi."Mam, bagaimana kalau Bu Sarah sampai—""Ssst, berisik kamu, Cindy! Sekarang pastikan Barra nggak keluar rumah!" titah Airin dengan suara berbisik. Tangannya sedikit gemetar.Saat Sarah sudah mendekat, Airin langsung membawanya menjauhi teras rumah. Cengkeramannya erat di pergelangan tangan Sarah, cukup kuat untuk membuat wanita itu mengerutkan dahi."Mau apa kamu ke sini, hah? Jangan nekat, Sarah!" desis Airin, matanya berkilat seperti siap membakar lawannya hidup-hidup.Sarah tertawa pelan, meskipun cengkeraman Airin menyakitkan. "Lho, Jeng Airin, kesepakatan, ya, tetap kesepakatan. Jeng ‘kan janji bayar satu miliar, tapi baru 300 juta, setelah aku berikan apa yang Jeng minta. Sekarang sudah tiga bulan lebih, tapi belum lunas," ucap Sarah sambil mengkus kasar, ekspresinya licik, menikmati dominasi sesaat.Airin makin menekan tangan Sarah, membuat wanita
Barra tidak mengedip. Pandangannya tetap tertuju pada seseorang, kini berdiri di ujung tangga dengan balutan pakaian yang begitu berbeda dari biasanya.Blus sederhana putih dengan motif floral yang dikenakan wanita itu jatuh dengan anggun, mengikuti lekuk tubuhnya tanpa berlebihan. Surai panjangnya ditata lebih rapi, beberapa helai jatuh lembut di sisi wajahnya.Wajah yang biasanya tampak lelah kini terlihat lebih segar, meskipun masih ada sisa kecemasan pada sorot matanya.Untuk sesaat, Barra merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Namun, dia mengenyahkan perasaan itu."Kenapa berdiri di sana, Yasmin?" Suara Barra terdengar datar. "Kita tidak punya banyak waktu."Yasmin yang sedari tadi melamun, kini tersadar. Dia menghela napas pelan, lalu melangkah mendekat."Sarapan dulu," ujar Barra mengalihkan pandangan dan tangan pria itu mengambil cangkir kopi.Yasmin menggeleng. "Saya tidak lapar."Barra mendongak, matanya mengamati wanita itu beberapa detik, lalu berujar, "Jangan pingsan di
Barra menatap Yasmin yang masih terbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, bibirnya kering, dan tangannya tampak lemah. Di sampingnya, Dokter Samantha menghela napas pelan, menyandarkan punggung pada kursi sambil melirik ke arahnya."Dia pasti mengalami trauma besar," lirih Samantha, "bertemu dengan mantan suami dan keluarganya lagi pasti bikin luka lamanya kembali terbuka."Barra melirik Yasmin. Dia tidak bisa membayangkan apa yang sudah wanita itu lalui.Tadi Yasmin benar-benar pinsan setelah dicecar banyak pertanyaan oleh wartawan. Wanita itu ambruk dalam pelukan Barra."Apa kamu tahu? Setelah bayi yang dilahirkannya meninggal, dia bahkan ingin menyusul anak itu," lanjut Samantha dengan suara lebih pelan. "Aku menemukannya di tengah jalan, hampir menabraknya, jahitan caesar terbuka, darahnya banyak, dan dia hanya pakai daster robek. Coba kamu bayangkan!"Samantha geleng-geleng dan menatap nanar pada Yasmin. Lalu tangan terulur membelai puncak kepala wanita
Yasmin bisa merasakan embusan napas hangat Barra menerpa pipinya yang kini memanas. Bahkan tubuh mereka benar-benar hanya terpaut beberapa senti saja.Spontan, kedua tangan Yasmin terangkat, mendorong dada pria itu supaya tidak makin dekat. Namun, sentuhan telapak tangannya pada otot dada keras Barra justru membuat dia tambah gugup."P—pak ...," ucap Yasmin pelan, suaranya bergetar.Mata wanita itu melirik ke samping, mencari apa pun yang bisa digunakan sebagai pelindung jika pria di hadapannya benar-benar mendekat lebih jauh.Akan tetapi, bukannya melakukan sesuatu yang mengancam, Barra justru menjauh. Ekspresi pria itu masih sama—dingin dan sulit ditebak. Dengan gerakan cepat, dia meraih jas hitamnya yang tadi tersampir di sandaran kursi belakang Yasmin, lalu menyerahkannya pada wanita itu."Pakai ini. Bajumu terlalu tipis dan ketat!" ucap Barra tegas.Yasmin terdiam sesaat. Hanya suara detak jantungnya sendiri yang terdengar begitu jelas di telinga. Perlahan, dia meraih jas itu. Nam
“Dasar Airin. Masa cuma kirim 100 juta?!” geram Sarah, yang saat ini duduk di tepi ranjang dengan wajah kusut. Jemari wanita itu mencengkeram ponsel erat-erat, layarnya menampilkan mutasi rekening. Sarah berdecak lantas menghubungi seseorang yang dirasa perlu menurutnya. Pada dering kedua kedua panggilan suara tersambung. "Airin, kirim aku uang lagi! Aku butuh uang sekarang!" Suara Sarah terdengar tajam, penuh tekanan. Di seberang sana, Airin menghela napas, suaranya terdengar lelah. "Aku sudah kirim 100 juta, Jeng. Bulan depan aku kirim lagi." Sarah mendesis, satu tangannya terkepal dan matanya melirik ke arah pintu, takut kalau-kalau Bram masuk. "Kirim sekarang atau aku datang ke rumah menantumu dan membongkar kejahatanmu!" bentak Sarah, matanya dipenuhi kilat amarah. "Dengar Sarah, kalau kamu melakukannya, kupastikan kamu menyesal!" desis Airin. Wajah Sarah memerah. Dia menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang mendidih. "Jeng Airin salah mengancamku. Aku tidak t
Yasmin tertegun mendengar ucapan itu. Matanya berkaca-kaca. Kata-kata Barra barusan merasuk dalam dadanya yang tengah sesak. Perasaannya kalut, layaknya dinding yang perlahan runtuh setelah selama ini dia tegakkan dengan susah payah. Bibir mungilnya terbuka sedikit, hendak mengucapkan sesuatu. Namun, tidak ada satu pun kata keluar. Yasmin memilih diam. Dia tahu, jika bertanya lebih tentang maksud ucapan Barra, mungkin akan membuka ruang bagi luka baru. Tanpa banyak kata, Barra menyerahkan sapu tangan sutra. Yasmin ingin meraihnya, tetapi tubuh wanita itu membeku saat tangan Barra lebih dulu menyeka air matanya dengan lembut. Sentuhan itu membuat pipinya merona, seolah darah yang tadi enggan mengalir, tiba-tiba memenuhi permukaan kulitnya. Ini terasa hangat. Bahkan terlalu panas hingga detak jantungnya jadi tidak karuan. "Umm … M—Mas?" gumam Yasmin dengan sangat pelan. Barra tidak menjawab. Pria itu hanya menatapnya dalam, lalu menangkup kedua pipi Yasmin dengan kedua tangannya. S
"Bagaimana bisa?!" bentak Barra tepat di depan pintu ruang rawat Yasmin yang tertutup rapat, tak menyisakan celah sedikit pun.Bahtiar dan tim lainnya menghela napas panjang. Mereka tidak menyangka, kepergian yang hanya sebentar untuk menemui dokter dan menebus obat serta membeli sarapan, bisa membawa dampak sebesar ini. Lagi pula, ini masih terlalu pagi. Bahkan ayam pun belum berkokok di luar sana."Mereka membawanya tanpa sepengetahuanku?!" Barra mengusap wajahnya dengan frustrasi.Saking kesalnya, pria itu langsung melangkah cepat mendahului timnya menuju Rubicon putih yang terdiam di area parkir rumah sakit.Sebelum masuk mobil, Barra menoleh ke arah Bahtiar. Tatapan tajam manik cokelatnya menusuk, rahangnya mengeras, dan jemarinya mengepal hingga urat-urat di tangannya terlihat jelas."Jangan hentikan pencarian barang bukti! Dan upayakan jaminan untuk membebaskan Yasmin sementara.""Baik, Pak. Timnya Bono tetap di sini. Saya yang akan urus jaminannya." Bahtiar membukakan pintu mob
“Cari sampai ketemu! Bila perlu tambah tim kita!” titah Barra dengan suara tegas kepada asistennya.Dia tidak tinggal diam di rumah sakit. Barra ingin memastikan barang bukti itu ditemukan hari ini juga. Dia tidak punya waktu untuk menunggu. Maka bersama timnya dan beberapa orang bayaran, mereka menyusuri tepi jurang, sungai, dan pesisir pantai.“Pak, jalan di sini licin, sebaiknya Bapak tunggu saja di pinggir jalan,” teriak Bahtiar yang sudah turun ke jurang dengan alat keamanan.“Mana bisa aku diam saja, Bahtiar? Nasib Yasmin bergantung pada barang itu,” geram Barra. Napasnya terengah saat menatap tebing curam di depannya.Dengan hati-hati, dia mulai menuruni lereng. Ini bukan pertama kalinya dia mencari barang bukti demi klien, tetapi kali ini hatinya terasa lebih sakit bagai tertusuk ribuan jarum. Ada wajah Yasmin dalam setiap langkahnya, bahkan ketika ranting pepohonan menyentuh kulitnya pun dia masih terbayang wanita itu.Yasmin tadi menceritakan segalanya. Termasuk pakaian Cindy
“Lebih cepat, Bahtiar!” titah Barra dengan napas memburu. Hatinya bagai disayat oleh kegelisahan yang tak kunjung reda. Sepanjang perjalanan, dia terus mengecek layar ponsel, mencari kabar apakah polisi sudah sampai lebih dulu, atau … masihkan Yasmin di sana? Perjalanan menuju lokasi memang tidak mudah. Jalanan berbatu, menanjak, dan penuh tikungan tajam. Daerah ini terpencil, jauh dari pusat kota, dan hanya bisa dilalui dengan kendaraan off-road. Bagi Barra tidak ada kata menyerah. Prinsipnya, waktu adalah segalanya. Dia harus menemukan Yasmin lebih dulu, sebelum semuanya terlambat. Setelah menempuh perjalanan panjang yang seolah tak berkesudahan, akhirnya Rubicon putih miliknya melaju di jalanan terjal menuju pesisir pantai. Barra langsung turun dari mobil, meskipun kakinya masih belum pulih benar. Bahkan setiap langkah yang dia ambil terasa menyakitkan. “Shit!” umpat Barra saat matanya menangkap garis polisi yang terbentang melingkari area kejadian. Pemandangan di depan, membu
“Ini ….” Barra hendak meraih benda itu dari tanah, tetapi dia segera mengeluarkan saputangannya dan membungkus benda kecil tersebut, lantas memasukkannya ke dalam saku jaket.“Kamu menemukan sesuatu?” tanya Barra pada pengacara magangnya yang sedang menyinari tanah dengan senter.“Jejak roda mobil,” jawab Bono pelan, “sepertinya orang itu sengaja melewati jalan yang jarang dilalui orang.”Barra mengangguk perlahan. Pandangannya menelusuri sekitar semak dan tanah lembap itu. Bau tanah yang basah bercampur dengan aroma busuk dari sampah dedaunan membuat dadanya terasa sesak."Mereka membuang tas Yasmin di sini. Tapi siapa?" gumam Barra sambil memijat pelipis. Berusaha menemukan orang yanga paling dia curigai.Hanya tiga nama yang langsung muncul dalam pikirannya—Airin, Cindy dan Bram. Dua orang itu memiliki cukup alasan untuk mencelakai Yasmin.“Kita harus kembali secepatnya, Pak. Tempat ini sangat tidak aman,” ucap pengacara magang itu sambil memutar senter ke segala arah. Bayangan poh
“Apa yang kamu lakukan, Bram?” tanya Cindy dengan nada penuh curiga, matanya memperhatikan pria itu yang terus melangkah makin dekat.Bram menatap Yasmin dengan sorot mata yang terasa asing, tajam dan dingin.Alih-alih menjawab, pria itu justru memindai seluruh lekuk tubuh Yasmin lekat-lekat. Sorot mata itu kosong, seakan di antara mereka tidak ada kenangan yang tersisa. Tangan pria itu terangkat dan menyentuh pipi Yasmin. Sentuhan ini dingin dan kasar, bukan kehangatan atau kasihan seorang mantan.“Mas ....” Suara Yasmin tercekat. “Tolong …,” lirihnya. Hanya secuil harapan yang masih dia pegang.Akan tetapi, Bram justru mencondongkan tubuh. Wajah pria itu nyaris menyentuh kulit pipi Yasmin. Embusan napas hangat yang familiar itu seakan berbisik dan menyatat perasaan Yasmin.“Kesaksianmu itu tidak berguna. Lebih baik aku dipenjara daripada mereka tahu kita pernah menikah. Jijik!”Seketik
Melihat kursi di sampingnya kosong dan pandangannya langsung tertuju pada Bagas, membuat Barra diliputi gelisah. Pria itu memang tidak fokus sejak awal. Kini, matanya terus mengarah ke pintu auditorium, setiap kali terbuka, bukan Yasmin yang masuk.Barra menduga toilet sedang penuh, mengingat ini seminar terbuka. Dia menghubungi Yasmin. Tersambung, tetapi tidak diangkat."Yasmin … kenapa lama," desah Barra sambil menggoyangkan kaki dengan gelisah.Tepat pada menit ke-15, dia berdiri. Bagas mengikuti, dari tatapannya terlihat pria itu juga merasa ada sesuatu yang janggal. Barra tidak membantah, yang terpenting sekarang adalah Yasmin.Dengan langkah tertatih karena masih menggunakan tongkat, Barra menerobos kerumunan mahasiswa kedokteran yang sibuk bercanda, kontras dengan gundah dalam hatinya.Toilet memang penuh. Barra dan Bagas saling berpandangan."Kita tunggu saja sampai sepi," saran Bagas.Barra menggeleng dan sorot matanya
“Dari siapa? Kenapa kamu kelihatan takut begitu?” tanya Barra. Raut wajahnya menyiratkan kecurigaan, tatapan manik cokelatnya tajam bagai menembus relung terdalam Yasmin dan membongkar apa yang disembunyikannya.Alih-alih menjawab, Yasmin malah melakukan sesuatu yang membuat alis tebal Barra mengernyit. Dia menjentikkan jari kelingking di depan wajah tampan sang pengacara.“Tapi, Mas janji dulu. Kalau aku kasih tahu, tidak marah, tidak ngomel. Setuju?” ucap Yasmin tegas, dengan sorot mata mengiba.Barra menghela napas panjang. Sekilas, dia tampak kesal dan juga heran. Wanita ini … bisa-bisanya membuat dirinya terjebak dalam permainan kekanakan.Barra berusaha merebut ponsel Yasmin, tetapi kalah cepat. Yasmin langsung menautkan jari kelingking mereka, selayaknya anak kecil.“Nah, sekarang Mas Barra sudah janji,” ucap ibu susu itu dengan wajah puas.Barra mendesah. Entah kenapa, selalu saja dia kalah ketika berhadapan dengan Yasmin.“Oke. Katakan, dari siapa pesan itu?”Yasmin menggigit
Untuk pertama kalinya, Yasmin ingin keluar dari kamar bayi. Sorot mata selembut itu dari Kezia membuatnya tidak nyaman. Terlalu hangat dan sangatlah familiar. Pandangan wanita paruh baya itu mengingatkannya pada mendiang sang ibu.“Yasmin …,” panggil Kezia pelan, suara yang begitu keibuan, bagai pelukan hangat yang tak kasatmata.Yasmin bergeming. Keinginan kuat untuk keluar dari ruangan itu berubah menjadi kebimbangan. Sebenarnya dia bukan ragu dengan pertanyaan Kezia. Dia sudah tahu jawabannya. Hanya saja bibirnya terasa terkunci dan lidahnya kelu, serta hatinya pun ciut.“Mami … Yasmin, umm … minta maaf,” bisiknya dengan suara tertahan. Kepala wanita itu tertunduk, tidak sanggup menahan tatapan teduh dari Kezia lebih lama lagi.Kezia hanya menggeleng pelan, lalu merangkul tubuh mungil Yasmin dan menyentuh pundaknya dengan usapan hangat. Gerakan kecil itu membuat Yasmin sedikit lebih tenang.“Tidak apa-apa. Belum dijawab sekarang juga bukan masalah. Kamu bisa jawab besok, lusa, atau