Home / Romansa / Ibu, Aku Mau Ayah / Bab 8. Tentang Ayah

Share

Bab 8. Tentang Ayah

last update Last Updated: 2022-03-17 22:20:24

Mata Adisti terbelalak. Dia mendapat pesan jika dia diterima sebagai pegawai di perusahaan besar itu. Holding Company. Perusahaan yang bukan saja bergerak di satu bidang usaha. Ada setidaknya empat sekaligus bidang usaha yang ditangani perusahaan PT. Pertiwi Merdeka. Adisti tersenyum lebar, tetapi juga berdebar-debar tidak karuan di hatinya.

"Kenapa?" Ernita menatap Adisti. 

"Aku diterima. Senin aku mulai kerja." Adisti membalas tatapan Ernita dengan wajah memerah.

"Tuh, kan? Pasti kamu diterima. Mantap juga, mereka bisa mengerti kondisi kamu sebagai mahasiswa. Kuharap benar-benar tidak masalah jika nanti kamu harus cukup sering ke kampus. Apalagi kalau sudah mendekati sidang skripsi." Ernita mengutarakan yang dia pikirkan.

"Ya, kamu benar. Aku harus memikirkan itu. Jangan sampai, nanti malah aku keteteran." Adisti mengangguk. "Ah, Erni, aku ga sabar, jadi pegawai kantor akhirnya. Beneran, aku degdegan tapi pingin cepat mulai."

"Good luck, Dis. Semangat. Masa depan di depan mata." Ernita menepuk-nepuk pundak Adisti sambil tersenyum.

Dengan hati masih dag dig dug, Adisti membalas pesan yang dia terima. Dia bertanya beberapa hal agar lebih jelas bagaimana dia akan mulai bekerja.

Tidak lama kemudian, Adisti meninggalkan kampus. Dia ingin segera memberi kabar pada Meity dan Cia, dia akan mulai pekerjaan baru. Sampai di rumah, ternyata Meity sedang ada arisan kampung. Cia masih tidur siang. Adisti memilih menyiapkan keperluannya sendiri.

"Pakaian. Baju kantor," ujar Adisti cepat.

Adisti segera membuka lemari pakaiannya. Dia perhatikan semua pakaian yang tergantung dan terlipat rapi di sana.

"Astaga ... ini pakaian semua ala kadarnya. Casual banget. Yang bisa buat ngantor juga cuma berapa biji." Adisti merasa malang sekali dirinya.

"Kalau Ibu ada ...." Tiba-tiba saja dia ingat ibunya. Dengan senyum yang lembut, ibu akan mengusap kepalanya, lalu dengan tenang memberikan saran apa yang Adisti bisa lakukan.

"Ibu ...," gumam Adisti. Dia biarkan lemari terbuka, dia duduk di tepi kasur. Matanya masih memandang ke lemari pakaian.

Dia bayangkan kira-kira apa yang ibu akan katakan padanya. "Dis, kamu itu cantik. Mau pakai apa juga tetap cantik. Tidak harus pakaian mewah, tidak juga yang mahal. Asal sesuai, rapi, tidak masalah. Percaya sama Ibu."

"Ibu, aku kangen. Banget." Adisti mengeluarkan ponselnya dan membuka foto-foto kenangan di akun sosmed. Dia memang tidak menggunakan akun yang lama. Dia tidak mau siapapun akan bertanya dia di mana, kenapa tidak pernah tampak. 

Foto ibu bersama dengannya, di pinggir pantai. Wajahnya ceria, memeluk Adisti erat, terlihat bahagia.

"Apa Ayah masih marah sama aku, Bu? Anakku sudah besar. Sudah sekolah." Adisti menghela napas. Setiap ingat ayahnya, hati kembali pedih. Dia masih merasa begitu berdosa melukai kedua orang tuanya karena kelakuannya.

"Kalau Ibu ketemu Cia, Ibu akan senang atau tidak? Aku masih takut menghubungi Ibu. HP-ku yang lama hilang, dijambret. Aku ga ingat pasti juga nomor Ibu. Dan ga yakin Ibu masih pakai nomor yang sama. Lalu, Dinda? Apa dia baik-baik? Apa dia ga bikin Ibu repot?" 

Air mata Adisti menitik. Ingin sekali dia pulang. Tapi rasa takut di hatinya lebih besar. Apa yang orang-orang akan katakan? Apa yang orang tuanya jawab pada para tetangga? Adisti tidak pernah tahu sama sekali yang terjadi dengan keluarganya.

"Maafkan aku, Bu. Maafkan, karena aku masih belum berani pulang. Aku masih harus berjuang buat Cia. Aku harap Ibu, Ayah, dan juga Dinda, kalian semua baik-baik selalu." Butiran bening sudah membasahi kedua pipi Adisti. 

Dia menunduk dalam-dalam, melepas semua penat yang kembali menekan dirinya. Seolah-olah dosa yang dia lakukan belum termaafkan. Sebab ayah membuangnya. Entah sampai kapan dia akan berani muncul di depan orang tuanya.

"Ibu ...." Suara mungil itu memanggil.

Cepat-cepat Adisti mengeringkan lagi pipinya, lalu menoleh ke belakang. Felicia terbangun. Dia duduk sambil mengusap-usap kedua matanya.

"Anak Ibu, udah bangun." Adisti tersenyum.

"Aku lapar," kata Felicia dengan wajah lugu dan polos.

"Oke. Ibu akan masak. Cia mau apa? Telur dadar, atau roti dengan selai ...."

"Mau mi aja." Felicia merangkak mendekati Adisti.

"Ih, kok mi lagi. Baru tiga hari lalu." Adisti mengerutkan kening.

"Dikitttt aja. Ya? Boleh, Bu." Felicia membujuk Adisti. Matanya menatap memohon.

"Hmm ... Gimana, ya? Kalau Nenek Mei tahu, ntar Ibu yang kena marah. Mau Nenek marah sama Ibu?" Adisti pura-pura cemberut.

"Nggak! Aku makan sama telur aja!" Dengan cepat Felicia menyahut.

"Haa ... haa ...." Adisti ngakak melihat ekspresi Felicia yang lucu.

"Baiklah, ayo kita ke dapur." Adisti turun dari kasur. Dia membantu Felicia turun, lalu keduanya keluar kamar.

Tidak berapa lama, telur dadar siap. Adisti mengambil nasi di piring, dia taruh telur, dan dia tuangkan sedikit kecap di atas telur dan nasi.

"Ini. Makan yang banyak, harus habis. Biar cepat besar." Adisti meletakkan piring di depan Cia.

"Oke. Makasih. Kalau aku besar, aku cari Ayah. Aku mau ajak dia pulang." Felicia mulai menyendok nasi di piringnya.

Adisti tertegun. Lagi-lagi Felicia bicara tentang ayah. Adisti masih belum bicara pada Felicia mengenai ayahnya. Adisti yang belum siap. Dia harus punya kata-kata yang tepat, yang membuat Felicia mengerti mengapa ayahnya tidak akan pernah ada untuknya.

"Cia, gimana di sekolah hari ini?" Adisti memandang Felicia yang lahap makan.

"Aman. Aku ga diganggu, kok." Felicia menjawab sambil mengunyah makanan di mulutnya.

"Bagus." Adisti mengangguk-angguk.

"Bu, Ayah ga pulang kenapa? Ayahku namanya siapa?" tanya Felicia.

Adisti menarik napas panjang. Tidak bisa dia diam lebih lama. Adisti harus bicara.

"Ayah kamu ...." Adisti menggantung kata-katanya. Ternyata seketika ada debaran halus di ujung hati Adisti, membuat dia merasa tidak nyaman.

"Dia tidak bisa di sini sama kita. Dia tinggal di tempat yang jauh sekali. Jadi, hanya ada Cia dan Ibu." Adisti menjawab hati-hati.

"Jauh sekali itu, ga bisa kita ke sana pakai pesawat? Ibu ga bisa telpon Ayah?" Pertanyaan berikutnya muncul.

Tidak. Kalau Adisti mengatakan sesuatu yang tidak tepat, Felicia akan bertanya lagi, dan bisa semakin panjang ceritanya.

"Ehm, gimana, ya ... Ayah itu ...." Adisti masih mencari kalimat yang bisa dimengerti oleh Felicia.

"Sayang, Nenek boleh cerita?" Tiba-tiba Meity muncul dan duduk di sisi Felicia.

"Soal Ayah?" Felicia menoleh pada Meity.

"Ya, soal Ayah." Meity mengangguk.

Mata Adisti melebar ke arah Meity. Meity memandang Adisti dan tersenyum. Dia mengacungkan jempol, seakan ingin meyakinkan Adisti untuk tetap tenang.

"Ayo, Nek, kasih tahu aku." Felicia memegang lengan Meity.

"Kamu tahu, 'kan, orang dewasa itu kadang punya masalah. Mereka bertengkar, lalu akhirnya tidak bisa berteman lagi." Meity memandang Felicia.

"Maksud Nenek, Ayah dan Ibu bertengkar? Ga bisa berteman lagi?" Felicia mengulang kata-kata Meity.

"Iya, begitu." Meity mengangguk.

"Ibu bilang kita ga boleh bertengkar sama teman. Kita harus baik sama semua. Kenapa Ibu dan Ayah ga mau baikan?" Felicia tampak bingung.

Adisti menutup wajah dengan dua tangannya. Dia juga bingung mau menjawab apa pertanyaan itu.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ayunina Sharlyn
hehehe...iya kak, uang lelah buat yang nulis ...
goodnovel comment avatar
Widia Wati
free tpinujung2bya paki koin jg...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 9. Kamu Di Sini?

    Meity memegang kedua tangan Felicia. Dia tersenyum manis, menatap bola bening dan jernih gadis kecil yang cantik itu. "Sayang, orang dewasa itu beda dengan anak-anak. Mereka punya masalah itu lebih macam-macam. Ada yang mudah diselesaikan, ada yang tidak. Kalaupun mereka sudah selesai masalahnya, belum tentu bisa berteman lagi. Kalau bisa berteman, belum tentu bisa bertemu lagi." Felicia memicingkan matanya. Wajahnya lucu sekali. Terlihat serius memikirkan yang Meity ucapkan. "Itu, berarti ... ayah dan ibuku, udah baikan, tapi ga bisa berteman? Ga bisa bertemu?" Felicia mencoba menyimpulkan yang Meity katakan. "Hm-mm. Seperti itu. Tapi, Cia tetap bisa hidup baik. Ada Ibu yang sayang Cia, ada Nenek juga sayang Cia. Ga usah sedih." Meity mengusap pipi Felicia dengan lembut. Adisti lega mendengar yang Meity tuturkan pada putrinya. "Jadi, aku memang ga bisa ketemu Ayah?" tanya Felicia. Dia mencoba memahami, tapi rasa sedih mendarat lagi di ujung hatinya. "Iya, Cia. Ga bisa." Adist

    Last Updated : 2022-03-23
  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 10. Si Bos yang Mempesona

    "Selamat pagi, Pak Vernon." Bersamaan Cahyo dan Lestia menyapa pria gagah dan tampan itu. Adisti memperhatikannya. Dengan kaos putih tanpa kerah, lalu jas biru gelap, pria itu memang tampan sekali. Dagunya, matanya, hidung dan juga bibirnya. Perfect. Sepertinya pria ini yang dibicarakan pegawai di front office. Ya, pria yang menolong Felicia hari itu. Pria yang Adisti lihat dengan wanita seksi di lorong. Vernon tidak menjawab sapaan kedua pegawainya. Dia masih menatap Adisti yang berdiri mematung melihat padanya. "Kamu kerja di sini?" Pertanyaan itu ditujukan pada Adisti. "Iya, Pak. Saya baru masuk hari ini." Adisti menjawab masih dengan sedikit bingung. Apakah memang pria itu ingat dengannya? Vernon maju beberapa langkah. Dia masih memperhatikan Adisti. "Apa kabar adikmu?" Ah, Adisti yakin, Vernon ingat padanya. Karena Vernon memang mengira Felicia adalah adik Adisti. "Dia baik, Pak. Terima kasih hari itu Bapak sudah menolong Cia. Saya bahkan belum mengucapkan terima kasih." A

    Last Updated : 2022-03-28
  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 11. Asal Jangan Aneh-aneh

    Dengan tergesa Adisti berjalan, bahkan sedikit berlari keluar ruangannya. Ternyata di ruang sebelah, yang memang lebih luas, ada tiga karyawan lagi, dua laki-laki dan satu perempuan. Adisti mengangguk sambil tersenyum pada mereka, tapi kakinya terus berjalan menuju ke ruangan direktur. "Jadi Pak Vernon itu direktur di sini? Astaga. Aku harus tahu menjaga diri di depannya. Kalau sampai salah bertindak bisa didepak aku." Hati Adisti berbicara. Di depan kantor direktur, Adisti berhenti. Dia memperhatikan penampilannya. Pakaiannya rapi. Berkas di tangannya aman. "Oke, siap bergerak," ujar Adisti. Tangannya mengetuk pintu tiga kali. "Masuk!" Terdengar sahutan dari dalam. Adisti membuka pintu dan melihat ke dalam ruangan. Kantor itu cukup luas jika dihitung yang menempati hanya satu orang. Di dekat pintu ada meja dan sofa kecil. Sedikit ke belakang terletak meja kerja lenglap dengan kursinya. Rak menempel di dinding paling ujung. Sebelah kanan ada satu pintu lagi. Adisti menduga itu

    Last Updated : 2022-04-01
  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 12. Pasangan Unik Atau Aneh?

    "Maksud Kak Henny gimana, ya?" Dengan tatapan berubah kaget dan bingung Adisti melihat pada Hanny. "Haa ... haa ...." Hanny tidak menjawab malah ngakak selebar-lebarnya. "Cantik, jangan terlalu jauh mikirnya!" Adisti kembali duduk, sambil terus memperhatikan Hanny. "Pak Bos itu memang tampan, keren, mempesona, dan aduhai." Hanny melanjutkan. "Tapi bukan berarti dia itu pria mesum, kalau itu yang kamu pikir, Sayang." Mendengar ucapan Hanny, Adisti sedikit lega. Walaupun dalam hati dia berseru, "Woi, ga mesum tapi main seru-seruan terus kalau ketemu ceweknya!" "Dia itu tipe pria setia. Emang sih, kadang rada hot sama Bu Rima. Tapi ya sama pasangannya aja. Dia baik sama semua, super baik kadang. Makanya itu calon istrinya suka heboh kayak cacing kepanasan kalau Pak Vernon dikit perhatian sama karyawan wanita." Adisti menggembungkan pipinya dan sekaligus menaikkan alisnya. Seketika dia ingat saat pertama melihat Vernon dan Rima di tepi jalan kapan hari. Sangat mungkin pertengkaran me

    Last Updated : 2022-04-08
  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 13. Tatapan Tajam dan Dalam

    Adisti hanya melongo, tidak percaya yang dia dengar. "Adisti cahaya matahari!" Panggilan itu terdengar keras. Adisti mengerjap-erjap lalu mengembalikan kesadaran. "Tidak apa, Pak. Saya pesan ojek online saja." Adisti segera mengeluarkan ponsel dan mencari aplikasi transportasi online yang dia simpan. "Yakin?" Vernon menatap Adisti. "Iya, terima kasih." Adisti melebarkan bibirnya. Lalu kembali sibuk dengan ponsel di tangan. Vernon memperhatikan Adisti, lalu melihat ke atas, ke langit melalui kaca jendela mobilnya. "Adis, hujan turun. Sampai kampus basah ga lucu, kali." Vernon bicara dengan tenangnya. "Ah, itu ...." Adisti mengangkat kepalanya. Aneh juga langit tiba-tiba mulai gelap. "Mendung tidak berarti hujan, Pak." Dada Adisti berdebaran tiba-tiba. "Haa ...!! Kamu malah berpuisi! Baiklah, terserah kalau menolak sebuah pertolongan." Vernon mengangkat bahu. Kaca jendela mobil kembali naik dan tertutup. Adisti balik memelototi ponsel. Belum sampai dia benar-benar memes

    Last Updated : 2022-04-11
  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 14. Doa Buat Ayah

    Kelas segera senyap. Mahasiswa tidak punya pilihan kecuali ikut maunya dosen. Seperti yang lain, Adisti pun mengeluarkan secarik kertas dan bersiap memberikan jawaban untuk lima pertanyaan yang akan diajukan sang dosen. "Sial, semalam ga baca buku sama sekali," ucap Ernita lirih. "Drakor atau Dracin?" balas Adisti setengah berbisik. Kesukaan Ernita nonton drama dari mancanegera. "Nanggung, Dis, sisa empat episode doang. Daripada kebayang-bayang ending ceritanya." Mulut Ernita manyun. Adisti tertawa sambil menutup mulut dengan tangan. "Nomor satu!" Suara menggelegar sang dosen memaksa semua kelas memasang telinga. Soal mulai diperdengarkan. Adisti menarik napas panjang. Untung, yang dosen tanyakan sempat dia baca dari buku panduan kelas. Mudah-mudahan soal yang berikut pun sama, bisa Adisti jawab. Tidak sampai sepuluh menit selesai sudah kuis digelar. Dosen meminta mereka saling menukarkan jawaban dan di-cross check bersama. Kembali terdengar suara. Awalnya gemerisik kecil, makin

    Last Updated : 2022-04-13
  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 15. Perasaan yang Salah

    Adisti belum beralih menatap pada deretan huruf yang terpasang di dada kiri petugas keamanan di depannya. Nama itu, 'Prawira Sanjaya', seketika mengingatkan Adisti pada pria yang selama ini dia rindukan, yang kepadanya Adisti telah berdosa besar. Nama itu mirip sekali dengan nama ayahnya, Prawira Sukmajaya'. "Jadi gitu, Mbak. Nanti kalau sudah selesai di-service, saya akan informasikan," tegas Prawira meyakinkan Adisti dia akan menolong mengurus motor itu. "Eh, iya, Pak Prawira. Terima kasih banyak." Adisti kembali tersadar dan segera menjawab. "Boleh kunci motornya, Mbak?" ujar Prawira. "Baik, eh ...." Adisti membuka tasnya mencari kunci motor. Setelah mendapatkannya, dia serahkan pada Prawira. "Siap. Mbak bisa lanjut, silakan." Tangan Prawira teracung menuju ke arah kantor. "Iya, Pak. Sekali lagi terima kasih." Adisti mengangguk, lalu melangkah menuju ke gedung megah di depannya. Masuk ke dalam gedung itu, menuju lantai tempat dia bekerja, Adisti bukan langsung ke ruangannya.

    Last Updated : 2022-04-15
  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 16. Mencurigai Sesuatu

    Selesai dari kantor Angga, Adisti kembali ke tempatnya dan mulai melakukan pekerjaannya. Adisti berusaha fokus dengan yang dia lakukan. Ada event tiga bulan berturut-turut yang diikuti kantor untuk promosi produk dan meningkatkan penjualan. Adisti tidak bisa main-main. Meskipun masih baru, dia dituntut untuk profesional. Tidak bisa berlagak belum tahu lalu minta dimaklumi jika ada kekeliruan. Bagaimanapun dia akan dituntut kerja maksimal seperti yang lain. Sayangnya, sesekali Adisti terganggu dengan bayangan Vernon. Semakin sering bertemu dan melihatnya, Vernon tampak begitu mengagumkan di mata Adisti. Entah kenapa gerak-gerik pria itu sangat melekat di hatinya. Adisti suka memperhatikannya. Cara Vernon bicara, saat dia tersenyum dan tertawa. Suaranya yang kadang renyah, kadang juga berwibawa. Perhatian dan kebaikannya pada karyawan, semua membuat Adisti melihat sisi keistimewaan Vernon. "Halo, Pak Bos. Oke, understood." Hanny menerima panggilan interkom dari Vernon. Dia menoleh pada

    Last Updated : 2022-04-15

Latest chapter

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Extra Moment - Ibu, Makasih Buat Ayahku

    Vernon tersenyum tidak ada henti. Melihat tingkah Adisti begitu girang, menikmati kebersamaan mereka di negeri yang indah dengan suasana romantis, sangat menyenangkan. Adisti merasa seperti dibawa ke surga saja merasakan segala hal yang tidak pernah dia bayangkan dan pikirkan akan terjadi di hidupnya. Kebaikan dan ketulusan Vernon menerima dia apa adanya, dan menyayangi Felicia , membuat Adisti ingin memberikan membahagiakan Vernon. Semua yang dia limpahkan belum tentu bisa membalas yang Vernon telah berikan untuknya dan Felicia. "Terima kasih buat semuanya, Mas. Aku kayak Cinderella aja. Semua yang ga kepikir aku nikmati karena jadi istri anak sultan." Adisti memeluk pinggang Vernon. Vernon tersenyum, tidak menjawab, hanya membalas pelukan Adisti. Pelukan itu cukup sebagai jawaban, Vernon bahagia bersama Adisti. Bulan madu berlalu. Vernon dan Adisti kembali ke tanah air, kembali ke Malang, dan pada kehidupan nyata mereka. Rumah Vernon telah dirombak sesuai dengan kebutuhan sebuah

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Extra Moment - Totally Yours

    Pesta usai. Vernon dan Adisti bersiap meninggalkan Malang dan segera meluncur. Adisti bertanya Vernon mengajaknya ke mana, Vernon masih saja menjawab rahasia. Percuma sekalipun Adisti merayu dan meminta Vernon memberitahu. "Ibu, Ayah! Hati-hati di jalan!" Tangan kecil Felicia melambai ke arah mobil yang mengantar Vernon dan Adisti ke bandara. Adisti dan Vernon membalas lambaian itu dengan senyum bahagia. "Gonna miss you, Sweet heart!" Adisti berkata dengan senyum masih tertinggal. "Ga usah khawatir lagi. Cia bisa tinggal di mana saja dia mau. Dengan Papa dan Mama, Ayah dan Ibu, Kak Virni atau Ernita? Aman." Vernon memegang tangan Adisti dan mengusapnya dengan lembut. "Iya. Terlalu banyak cinta buat Cia. Aku ga usah khawatir. Mas Benar," ujar Adisti dengan hati lega. Bandara, lalu pesawat. Berdua dengan Vernon, ah, selalu saja penuh kejutan. Di bandara baru Adisti tahu, tujuan mereka adalah ke Jakarta. Tidak sampai tiga jam kemudian, mereka sudah sampai di tujuan, salah satu hotel

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 138. Sweet Moment With You

    Adisti refleks mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan itu. Kenapa si ibu jadi mirip sama Si Bos tampan, bisa gini kelakuannya? "Haa ... haa ... Vernon benar. Kalau sedang kaget atau gugup, kamu memang lucu." Savitri menoleh pada Vernon. Apa? Vernon cerita apa saja soal Adisti pada Savitri? Degdegan makin jadi di dada Adisti. "Jujur, aku bergumul lama. Berpikir panjang dan tidak segera menjawab permintaan Vernon dan Mas Varen untuk memberi restu kalian bersama." Savitri kembali serius. "Mas Varen dan aku bicara banyak sekali. Melihat hari ini, yang telah lalu, dan nanti akan seperti apa." Adisti memandang Savitri. Ini sesuatu yang sangat penting yang dia harus pahami. "Pertama, aku harus berterima kasih pada Mbak Tya." Arah mata Savitri beralih ke sebelah kanan Adisti, pada Adistya. Wanita itu pun memandang lurus pada Savitri. "Seandainya dulu Mbak Tya bersama Mas Varen, aku tidak akan ada di sini sekarang. Bersama anak lelaki kebanggaan kami. Aku tahu, Mbak Tya begitu berj

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 137. Kejutan Apa Lagi?

    Adisti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ernita juga datang bersama dengan Felicia. "Kamu yang antar Cia ke sini? Ah, Mas Vey!" Adisti memutar badan menoleh ke arah Vernon. Pasti semua sudah Vernon atur diam-diam. "Apa? Aku? Aku kenapa?" Vernon berpura-pura bingung tak mengerti. "Makasih banyak kejutannya. Ini benar-benar hari penuh keajaiban buat aku. Makasih banyak, Mas." Adisti tersenyum lebar. Dia memeluk Ernita. Hati Adisti meluap dengan syukur. "Erni, kenalkan ibuku." Masih memeluk Ernita, Adisti mengenalkan Adistya pada sahabatnya. "Erni ini teman paling baik buat aku, Bu. Dia yang setia bantu aku." "Nak Erni. Aku Adistya. Panggil saja Ibu." Adistya tersenyum ramah. "Terima kasih banyak sudah jadi teman buat anak Ibu." "Iya, Ibu. Senang bisa kenal Ibu Adisti. Ibu sama Adis mirip banget, hee ..." Ernita tersenyum lebar. "Cia, kasih salam buat Eyang Putri," kata Vernon pada Cia. "Eyang ..." Gadis kecil itu memegang tangan Adistya dan mencium punggung tangan Adistya

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 136. Pelukan Paling Hangat

    Semua yang ada di ruangan itu tidak ada yang bicara. Bagian yang paling penting dari persidangan sedang disampaikan. Adisti makin menunduk dalam-dalam dengan debaran dan detak jantung makin kuat melaju. Adistya pun sama, tak mampu dia menahan gelisah, kuatir dengan keputusan yang akan menambah kepedihan hidupnya di masa tua. "... dinyatakan tidak melakukan semua yang dituntut oleh ..." "Disti ..." Seketika Adistya menoleh. Adisti pun dengan cepat melihat ke arah ibunya. "Kamu dengar? Ayahmu ..." Air mata mengucur dari kedua mata Adistya, tapi senyum paling bahagia bergulir di bibirnya. "Iya, Bu ... Ayah bebas ... Ayah ga bersalah ..." Butiran bening yang sedari tadi menggumpal di ujung mata Adisti, akhirnya runtuh. Adisti memeluk ibunya erat. Keduanya bertangisan tak bisa ditahan lagi. Tidak terdengar keras, tetapi isakan bergantian meluncur dari bibir ibu dan anak itu. "Sayang ..." Adisti menegakkan kepalanya. Dia melepas pelukan Adistya dan menoleh ke belakang. Vernon berdiri

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 135. Hari Itu, Akhirnya ...

    Adisti menegakkan punggungnya, menunggu putri kecilnya bicara. "Ibu ... aku ga apa-apa. Baru bangun tidur." Suara Felicia masih serak. "Ahh, syukurlah. Ibu khawatir saja, kalau kamu kenapa-napa." Adisti merasa lega dia salah mengira. Vernon dan Adistya pun ikut lega mendengar kalimat lanjutan Adisti. "Baru ditinggal belum sehari, udah kalang kabut. Yakin, mau ditinggal lama bocah cantik kesayangan ini?" Suara Ernita terdengar. Seperti biasa, ceria, sedikit tajam, tapi penuh ketulusan. "Iya, ga pernah pergi jauh dan lama. Kepikiranlah, Er." Adisti merajuk. "Udah, aman di sini. Bentar lagi mau aku ajak jalan. Ya, kan, Cia? Kita ke mana?" Ernita bicara pada Felicia. "Alun-alun! Mau belik es krim dan main di playground! Asyik!!" Suara Felicia kembali ceria. "Baiklah, selamat bersenang-senang. Jangan lupa ajak Kak Hanny, biar ga kayak monitor kumputer itu mukanya." Adisti bergurau. "Hee ... hee ... pasti. Dia akan jemput. Oke, kami siap-siap, ya? Bye, Ibu!" Ernita menutup panggilan

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 134. Keputusan Tak Terpikirkan

    Adisti seketika merasa ada titik terang hadir di depan mata. Dia berlari kecil ke arah ruang tamu. "Sayang! Kok diam?" Vernon terdengar bicara lagi. "Mas, ada tamu. Aku temui dulu. Nanti aku telpon Mas Vey." Adisti menutup telpon. Dia simpan ponsel di saku celananya. Di depannya tepat berdiri dua makhluk paling bisa dia andalkan selama ini. Hanny dan Ernita. "Kalian memang pahlawan hidupku." Adisti memandang keduanya dengan senyum lebar. "Hah?" Ernita mengangkat kedua alisnya. "Kamu sehat?" Hanny mengerutkan keningnya. "Kak Hanny ... yang makin cakep dan macho ... Ernita, sahabatku ... yang paling baik dan murah hati ..." Adisti melebarkan kedua tangan seolah ingin merangkul dua sejoli itu dengan sekali raup. "Kamu kenapa, sih? Bikin bingung tahu!" Ernita maju dua langkah dan mencermati wajah Adisti. "Aku akan jelakan. Tapi ..." Adisti memutar badan, mengambil tempat duduk di kursi yang paling dekat dengannya. Ernita ikut duduk, di samping Adisti. Hanny maju tiga langkah, bel

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 133. Kabar Persidangan

    Setengah jam kemudian, Adisti kembali dengan pastel buatannya. Isi pastel sesuai yang Savitri minta, telur dan wortel. Adisti menyuguhkan di depan Savitri yang sok tidak peduli, masih sibuk dengan majalah yang dia pegang. "Bu, silakan, mumpung mash panas." Adisti meletakkan piring berisi lima pastel di meja. Tidak lupa Adisti membawa tisu dan dia taruh di sebelah piring. "Kamu bawa satu piring penuh, yakin aku cocok dengan rasa pastel kamu?" Savitri meletakkan majalah di kursi sebelahnya. Aroma khas pastel, harum semerbak di gazebo. Dari aromanya sepertinya akan nikmat. "Mudah-mudahan, Bu." Adisti masih berdiri, menunggu perintah. Savitri memungut satu pastel dengan selembar tisu. Semakin dekat hidung, semakin menggoda dari bau harumnya. Savitri menggigit bagian ujung. "Hmm ...." Savitri memggumam sementara mengunyah. Matanya sedikit melebar. "Apakah sesuai selera, Bu?" tanya Adisti. "Rasa pastel." Savitri melirik Adisti, lalu menggigit lagi pastel di tangannya. "Iya ..." Adis

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 132. Tidak Semudah Itu, Adisti!

    Savitri makin lekat menatap Adisti. Kali yang kesekian kembali mereka berhadapan dan berdebat soal Vernon. Adisti kekeh akan tetap di sisi Vernon, sedangkan Savitri juga tidak mau melunakkan hati. "Bu, saya minta maaf sekali lagi. Tetapi hati saya sudah bulat, menerima Mas Vernon. Sebelumnya juga tidak pernah terpikir oleh saya bisa mendapatkan perhatian Mas Vernon. Karena saya juga sadar, saya dan Mas Vernon seperti bumi dan langit bedanya. "Tapi, hati saya tidak bisa berbohong. Mas Vernon telah memberikan hatinya buat saya, maka saya tidak akan menyia-nyiakan itu. Saya akan menjadi pendamping yang baik. Saya janji." Adisti berkata dengan tenang dan lancar. Padahal di dadanya juga gemuruh tak bisa ditahan. "Tentu saja kamu mau, Adisti. Terlalu banyak keuntungan yang kamu dapatkan dengan bersama Vernon. Mudah sekali ditebak. Bahkan tidak perlu berpikir," ujar Savitri. Perih dan sakit mendengar itu. Tetapi Adisti tak bisa menangkis jika orang akan menilai demikian terhadap hubungann

DMCA.com Protection Status