Kelas segera senyap. Mahasiswa tidak punya pilihan kecuali ikut maunya dosen. Seperti yang lain, Adisti pun mengeluarkan secarik kertas dan bersiap memberikan jawaban untuk lima pertanyaan yang akan diajukan sang dosen. "Sial, semalam ga baca buku sama sekali," ucap Ernita lirih. "Drakor atau Dracin?" balas Adisti setengah berbisik. Kesukaan Ernita nonton drama dari mancanegera. "Nanggung, Dis, sisa empat episode doang. Daripada kebayang-bayang ending ceritanya." Mulut Ernita manyun. Adisti tertawa sambil menutup mulut dengan tangan. "Nomor satu!" Suara menggelegar sang dosen memaksa semua kelas memasang telinga. Soal mulai diperdengarkan. Adisti menarik napas panjang. Untung, yang dosen tanyakan sempat dia baca dari buku panduan kelas. Mudah-mudahan soal yang berikut pun sama, bisa Adisti jawab. Tidak sampai sepuluh menit selesai sudah kuis digelar. Dosen meminta mereka saling menukarkan jawaban dan di-cross check bersama. Kembali terdengar suara. Awalnya gemerisik kecil, makin
Adisti belum beralih menatap pada deretan huruf yang terpasang di dada kiri petugas keamanan di depannya. Nama itu, 'Prawira Sanjaya', seketika mengingatkan Adisti pada pria yang selama ini dia rindukan, yang kepadanya Adisti telah berdosa besar. Nama itu mirip sekali dengan nama ayahnya, Prawira Sukmajaya'. "Jadi gitu, Mbak. Nanti kalau sudah selesai di-service, saya akan informasikan," tegas Prawira meyakinkan Adisti dia akan menolong mengurus motor itu. "Eh, iya, Pak Prawira. Terima kasih banyak." Adisti kembali tersadar dan segera menjawab. "Boleh kunci motornya, Mbak?" ujar Prawira. "Baik, eh ...." Adisti membuka tasnya mencari kunci motor. Setelah mendapatkannya, dia serahkan pada Prawira. "Siap. Mbak bisa lanjut, silakan." Tangan Prawira teracung menuju ke arah kantor. "Iya, Pak. Sekali lagi terima kasih." Adisti mengangguk, lalu melangkah menuju ke gedung megah di depannya. Masuk ke dalam gedung itu, menuju lantai tempat dia bekerja, Adisti bukan langsung ke ruangannya.
Selesai dari kantor Angga, Adisti kembali ke tempatnya dan mulai melakukan pekerjaannya. Adisti berusaha fokus dengan yang dia lakukan. Ada event tiga bulan berturut-turut yang diikuti kantor untuk promosi produk dan meningkatkan penjualan. Adisti tidak bisa main-main. Meskipun masih baru, dia dituntut untuk profesional. Tidak bisa berlagak belum tahu lalu minta dimaklumi jika ada kekeliruan. Bagaimanapun dia akan dituntut kerja maksimal seperti yang lain. Sayangnya, sesekali Adisti terganggu dengan bayangan Vernon. Semakin sering bertemu dan melihatnya, Vernon tampak begitu mengagumkan di mata Adisti. Entah kenapa gerak-gerik pria itu sangat melekat di hatinya. Adisti suka memperhatikannya. Cara Vernon bicara, saat dia tersenyum dan tertawa. Suaranya yang kadang renyah, kadang juga berwibawa. Perhatian dan kebaikannya pada karyawan, semua membuat Adisti melihat sisi keistimewaan Vernon. "Halo, Pak Bos. Oke, understood." Hanny menerima panggilan interkom dari Vernon. Dia menoleh pada
Adisti merasa ada yang mencekat di lehernya. Dia tidak tahu harus menjawab bagaimana pertanyaan Vernon. Jika dia katakan Felicia putrinya, pasti akan muncul pertanyaan lain. Jika dia bilang Felicia adiknya, dia seperti mengingkari kenyataan dia adalah seorang ibu. "Beda jauh ya, umur Cia sama kamu. Sepertinya lebih dua puluh tahun." Vernon mulai memikirkan. Dia menoleh pada Adisti. "Lebih cocok jadi anakmu rasanya. Dia adik atau keponakan?" Jantung Adisti makin tidak karuan dengan pertanyaan itu. Bagaimana dia menjelaskan semuanya? Tepat saat itu mereka hampir sampai di sekolah Felicia. Di depan mereka tampak gedung besar tempat Felicia bersekolah. Terlibat kesibukan anak-anak kelas TK yang pulang sekolah. Ini jam Felicia pulang juga. "Cia pulang jam berapa?" Vernon melanjutkan lagi ke pertanyaan lain. "Ini jam dia pulang sebenarnya." Adisti tidak mungkin berbohong. "Ah, bagus kalau begitu. Kita ajak saja sekalian." Vernon tersenyum lebar. Adisti menatap Vernon. Ini bos kenapa?
Jantung Adisti seperti mau copot mendengar Felicia dengan polosnya bicara pada Vernon. Kalau bisa, Adisti ingin lenyap tenggelam ke dasar bumi. "Ingin punya ayah?" Vernon menatap dua mata bening di depannya itu. Lalu dia alihkan pandangan pada Adisti. "Cia, tadi belum pipis, kan? Ayo, pipis dulu. Kita ke toilet." Adisti berdiri dan dengan cepat menuntun Felicia menuju kamar kecil. Sebenarnya bukan karena Felicia pingin buang air kecil, tapi Adisti tidak tahu harus bersikap bagaimana di depan Vernon. Mau tidak mau, Felicia manut pada ibunya. Selesai urusan kamar kecil, sebelum kembali ke meja mereka, Adisti bicara pada Felicia. "Sayang, ga usah bicara soal ayahmu di depan Om Vernon. Oke?" Adisti memastikan Felicia mendengar yang dia katakan. "Kenapa?" Felicia bingung dengan yang ibunya ucapkan. "Pokoknya ga usah bicara soal ayah lagi." Adisti tidak tahu bagaimana membuat Felicia mengerti. Nada suara Adisti sedikit naik, membuat Felicia langsung ciut. Dia mengerti ibunya marah. "
"Itu rumahku, Om! Besar!" Felicia dengan wajah gembira menunjuk rumah besar di ujung jalan yang tinggal seratus meter di depan mereka. "Kos Ibu Meity?" Vernon membaca papan nama di depan rumah besar itu. "Iya, Pak. Ibu Meity pemilik kos-kosan wanita ini. Aku beruntung bisa tinggal di sini gratis. Dia jadikan karyawan saat pertama masuk ke rumah ini." Adisti menjelaskan. "Ah, begitu. Ramai berarti rumah kalian." Vernon memperhatikan suasana rumah. Tampak sepi. Mobil berhenti di pinggir jalan. Vernon sengaja tidak masuk ke halaman karena dia tidak akan lama di situ. "Om, ga boleh masuk ke dalam, hanya di teras. Soalnya rumahnya buat cewek aja." Felicia langsung memberi informasi aturan di tempat kos itu. "Om ga turun kok, harus cepat balik kantor. Lain kali saja, ya?" kata Vernon. "Oke, Om. Tapi tunggu dulu, aku udah janji mau kasih sesuatu." Dengan cepat Felicia turun dari mobil dan berlari kecil masuk ke rumah. "Pak, saya mau lihat Cia sebentar. Bapak tidak apa duluan kalau ...
Perintah itu cukup mengejutkan Adisti. Membuat design bukan hal mudah. Apalagi dengan waktu mendesak, sangat mungkin tidak maksimal hasilnya. Belum lagi pekerjaan hari itu yang tertunda karena acara jalan-jalan menenangkan hati si Bos. "Adisti?" Angga membuyarkan pikiran Adisti yang mulai melompat ke sana sini. "Eh, yakin besok, Pak?" tanya Adisti sedikit ragu. "Kamu bisa atau tidak? Tegas dan jelas bicara," tandas Angga. "Baik, Pak. Bisa." Adisti mengangguk. "Nice. Aku harap kamu tidak akan mengecewakan divisi ini. Yang lain sudah punya tugas. Aku tidak bisa menambah lagi beban mereka. Kamu pasti paham itu." Angga melanjutkan. "Saya paham, Pak." Adisti kembali mengangguk. "Good. Kembali ke tempat kamu. Jika ada kesulitan tidak masalah kamu tanya pada yang lain atau langsung padaku. Oke?" pesan Angga. "Baik, Pak," tukas Adisti. Dia hampir yakin pasti bertanya pada yang lain. Adisti kembali ke mejanya dan mencermati deretan pekerjaan yang sudah ada di dalam list hari itu. Sekia
Sampai di rumah, tidak ada waktu istirahat. Adisti menyempatkan bermain dan menemani Felicia hingga gadis kecil itu terlelap. Baru Adisti melanjutkan lagi urusan kuliah. Ujian tengah semester di depan mata, tak bisa diabaikan. Kesibukan di kantor tak bisa jadi alasan dia mengalah dengan sisi akademik yang dia kejar selama ini."Aduh, aku sudah ngantuk sekali. Tapi masih harus baca satu bab lagi. Ahhh ...." Adisti menguap. Dia usap-usap kedua matanya, memaksa tetap terjaga. "Adis, belum istirahat?" Meity masuk ke kamar Adisti. Dia duduk di tepi kasur, melihat pada Felicia sebentar, lalu kembali mengarahkan pandangan pada Adisti. "Masih belum kelar, Bu," jawab Adisti. "Jaga kesehatan. Tetap harus cukup tidur juga, Dis," pesan Meity. "Iya, Bu. Dikit lagi aku pergi tidur." Adisti menutup bukunya. Rasanya tak mampu lagi menerima masukan apapun di otaknya. "Dis, kalau Ibu tanya, kamu mau jawab tidak?" tanya Meity. Adisti menegakkan punggung dan memandang Meity serius. "Soal apa, Bu?"
Vernon tersenyum tidak ada henti. Melihat tingkah Adisti begitu girang, menikmati kebersamaan mereka di negeri yang indah dengan suasana romantis, sangat menyenangkan. Adisti merasa seperti dibawa ke surga saja merasakan segala hal yang tidak pernah dia bayangkan dan pikirkan akan terjadi di hidupnya. Kebaikan dan ketulusan Vernon menerima dia apa adanya, dan menyayangi Felicia , membuat Adisti ingin memberikan membahagiakan Vernon. Semua yang dia limpahkan belum tentu bisa membalas yang Vernon telah berikan untuknya dan Felicia. "Terima kasih buat semuanya, Mas. Aku kayak Cinderella aja. Semua yang ga kepikir aku nikmati karena jadi istri anak sultan." Adisti memeluk pinggang Vernon. Vernon tersenyum, tidak menjawab, hanya membalas pelukan Adisti. Pelukan itu cukup sebagai jawaban, Vernon bahagia bersama Adisti. Bulan madu berlalu. Vernon dan Adisti kembali ke tanah air, kembali ke Malang, dan pada kehidupan nyata mereka. Rumah Vernon telah dirombak sesuai dengan kebutuhan sebuah
Pesta usai. Vernon dan Adisti bersiap meninggalkan Malang dan segera meluncur. Adisti bertanya Vernon mengajaknya ke mana, Vernon masih saja menjawab rahasia. Percuma sekalipun Adisti merayu dan meminta Vernon memberitahu. "Ibu, Ayah! Hati-hati di jalan!" Tangan kecil Felicia melambai ke arah mobil yang mengantar Vernon dan Adisti ke bandara. Adisti dan Vernon membalas lambaian itu dengan senyum bahagia. "Gonna miss you, Sweet heart!" Adisti berkata dengan senyum masih tertinggal. "Ga usah khawatir lagi. Cia bisa tinggal di mana saja dia mau. Dengan Papa dan Mama, Ayah dan Ibu, Kak Virni atau Ernita? Aman." Vernon memegang tangan Adisti dan mengusapnya dengan lembut. "Iya. Terlalu banyak cinta buat Cia. Aku ga usah khawatir. Mas Benar," ujar Adisti dengan hati lega. Bandara, lalu pesawat. Berdua dengan Vernon, ah, selalu saja penuh kejutan. Di bandara baru Adisti tahu, tujuan mereka adalah ke Jakarta. Tidak sampai tiga jam kemudian, mereka sudah sampai di tujuan, salah satu hotel
Adisti refleks mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan itu. Kenapa si ibu jadi mirip sama Si Bos tampan, bisa gini kelakuannya? "Haa ... haa ... Vernon benar. Kalau sedang kaget atau gugup, kamu memang lucu." Savitri menoleh pada Vernon. Apa? Vernon cerita apa saja soal Adisti pada Savitri? Degdegan makin jadi di dada Adisti. "Jujur, aku bergumul lama. Berpikir panjang dan tidak segera menjawab permintaan Vernon dan Mas Varen untuk memberi restu kalian bersama." Savitri kembali serius. "Mas Varen dan aku bicara banyak sekali. Melihat hari ini, yang telah lalu, dan nanti akan seperti apa." Adisti memandang Savitri. Ini sesuatu yang sangat penting yang dia harus pahami. "Pertama, aku harus berterima kasih pada Mbak Tya." Arah mata Savitri beralih ke sebelah kanan Adisti, pada Adistya. Wanita itu pun memandang lurus pada Savitri. "Seandainya dulu Mbak Tya bersama Mas Varen, aku tidak akan ada di sini sekarang. Bersama anak lelaki kebanggaan kami. Aku tahu, Mbak Tya begitu berj
Adisti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ernita juga datang bersama dengan Felicia. "Kamu yang antar Cia ke sini? Ah, Mas Vey!" Adisti memutar badan menoleh ke arah Vernon. Pasti semua sudah Vernon atur diam-diam. "Apa? Aku? Aku kenapa?" Vernon berpura-pura bingung tak mengerti. "Makasih banyak kejutannya. Ini benar-benar hari penuh keajaiban buat aku. Makasih banyak, Mas." Adisti tersenyum lebar. Dia memeluk Ernita. Hati Adisti meluap dengan syukur. "Erni, kenalkan ibuku." Masih memeluk Ernita, Adisti mengenalkan Adistya pada sahabatnya. "Erni ini teman paling baik buat aku, Bu. Dia yang setia bantu aku." "Nak Erni. Aku Adistya. Panggil saja Ibu." Adistya tersenyum ramah. "Terima kasih banyak sudah jadi teman buat anak Ibu." "Iya, Ibu. Senang bisa kenal Ibu Adisti. Ibu sama Adis mirip banget, hee ..." Ernita tersenyum lebar. "Cia, kasih salam buat Eyang Putri," kata Vernon pada Cia. "Eyang ..." Gadis kecil itu memegang tangan Adistya dan mencium punggung tangan Adistya
Semua yang ada di ruangan itu tidak ada yang bicara. Bagian yang paling penting dari persidangan sedang disampaikan. Adisti makin menunduk dalam-dalam dengan debaran dan detak jantung makin kuat melaju. Adistya pun sama, tak mampu dia menahan gelisah, kuatir dengan keputusan yang akan menambah kepedihan hidupnya di masa tua. "... dinyatakan tidak melakukan semua yang dituntut oleh ..." "Disti ..." Seketika Adistya menoleh. Adisti pun dengan cepat melihat ke arah ibunya. "Kamu dengar? Ayahmu ..." Air mata mengucur dari kedua mata Adistya, tapi senyum paling bahagia bergulir di bibirnya. "Iya, Bu ... Ayah bebas ... Ayah ga bersalah ..." Butiran bening yang sedari tadi menggumpal di ujung mata Adisti, akhirnya runtuh. Adisti memeluk ibunya erat. Keduanya bertangisan tak bisa ditahan lagi. Tidak terdengar keras, tetapi isakan bergantian meluncur dari bibir ibu dan anak itu. "Sayang ..." Adisti menegakkan kepalanya. Dia melepas pelukan Adistya dan menoleh ke belakang. Vernon berdiri
Adisti menegakkan punggungnya, menunggu putri kecilnya bicara. "Ibu ... aku ga apa-apa. Baru bangun tidur." Suara Felicia masih serak. "Ahh, syukurlah. Ibu khawatir saja, kalau kamu kenapa-napa." Adisti merasa lega dia salah mengira. Vernon dan Adistya pun ikut lega mendengar kalimat lanjutan Adisti. "Baru ditinggal belum sehari, udah kalang kabut. Yakin, mau ditinggal lama bocah cantik kesayangan ini?" Suara Ernita terdengar. Seperti biasa, ceria, sedikit tajam, tapi penuh ketulusan. "Iya, ga pernah pergi jauh dan lama. Kepikiranlah, Er." Adisti merajuk. "Udah, aman di sini. Bentar lagi mau aku ajak jalan. Ya, kan, Cia? Kita ke mana?" Ernita bicara pada Felicia. "Alun-alun! Mau belik es krim dan main di playground! Asyik!!" Suara Felicia kembali ceria. "Baiklah, selamat bersenang-senang. Jangan lupa ajak Kak Hanny, biar ga kayak monitor kumputer itu mukanya." Adisti bergurau. "Hee ... hee ... pasti. Dia akan jemput. Oke, kami siap-siap, ya? Bye, Ibu!" Ernita menutup panggilan
Adisti seketika merasa ada titik terang hadir di depan mata. Dia berlari kecil ke arah ruang tamu. "Sayang! Kok diam?" Vernon terdengar bicara lagi. "Mas, ada tamu. Aku temui dulu. Nanti aku telpon Mas Vey." Adisti menutup telpon. Dia simpan ponsel di saku celananya. Di depannya tepat berdiri dua makhluk paling bisa dia andalkan selama ini. Hanny dan Ernita. "Kalian memang pahlawan hidupku." Adisti memandang keduanya dengan senyum lebar. "Hah?" Ernita mengangkat kedua alisnya. "Kamu sehat?" Hanny mengerutkan keningnya. "Kak Hanny ... yang makin cakep dan macho ... Ernita, sahabatku ... yang paling baik dan murah hati ..." Adisti melebarkan kedua tangan seolah ingin merangkul dua sejoli itu dengan sekali raup. "Kamu kenapa, sih? Bikin bingung tahu!" Ernita maju dua langkah dan mencermati wajah Adisti. "Aku akan jelakan. Tapi ..." Adisti memutar badan, mengambil tempat duduk di kursi yang paling dekat dengannya. Ernita ikut duduk, di samping Adisti. Hanny maju tiga langkah, bel
Setengah jam kemudian, Adisti kembali dengan pastel buatannya. Isi pastel sesuai yang Savitri minta, telur dan wortel. Adisti menyuguhkan di depan Savitri yang sok tidak peduli, masih sibuk dengan majalah yang dia pegang. "Bu, silakan, mumpung mash panas." Adisti meletakkan piring berisi lima pastel di meja. Tidak lupa Adisti membawa tisu dan dia taruh di sebelah piring. "Kamu bawa satu piring penuh, yakin aku cocok dengan rasa pastel kamu?" Savitri meletakkan majalah di kursi sebelahnya. Aroma khas pastel, harum semerbak di gazebo. Dari aromanya sepertinya akan nikmat. "Mudah-mudahan, Bu." Adisti masih berdiri, menunggu perintah. Savitri memungut satu pastel dengan selembar tisu. Semakin dekat hidung, semakin menggoda dari bau harumnya. Savitri menggigit bagian ujung. "Hmm ...." Savitri memggumam sementara mengunyah. Matanya sedikit melebar. "Apakah sesuai selera, Bu?" tanya Adisti. "Rasa pastel." Savitri melirik Adisti, lalu menggigit lagi pastel di tangannya. "Iya ..." Adis
Savitri makin lekat menatap Adisti. Kali yang kesekian kembali mereka berhadapan dan berdebat soal Vernon. Adisti kekeh akan tetap di sisi Vernon, sedangkan Savitri juga tidak mau melunakkan hati. "Bu, saya minta maaf sekali lagi. Tetapi hati saya sudah bulat, menerima Mas Vernon. Sebelumnya juga tidak pernah terpikir oleh saya bisa mendapatkan perhatian Mas Vernon. Karena saya juga sadar, saya dan Mas Vernon seperti bumi dan langit bedanya. "Tapi, hati saya tidak bisa berbohong. Mas Vernon telah memberikan hatinya buat saya, maka saya tidak akan menyia-nyiakan itu. Saya akan menjadi pendamping yang baik. Saya janji." Adisti berkata dengan tenang dan lancar. Padahal di dadanya juga gemuruh tak bisa ditahan. "Tentu saja kamu mau, Adisti. Terlalu banyak keuntungan yang kamu dapatkan dengan bersama Vernon. Mudah sekali ditebak. Bahkan tidak perlu berpikir," ujar Savitri. Perih dan sakit mendengar itu. Tetapi Adisti tak bisa menangkis jika orang akan menilai demikian terhadap hubungann