Terima Kasih Kak Eny Rahayu atas hadiah koinnya (. ❛ ᴗ ❛.) Terima Kasih juga Kak Aiyub Chanel, Kak Patricia Inge, dan Kak Nadila Ratu atas dukungan Gem-nya (. ❛ ᴗ ❛.) Selamat membaca (◠‿・)—☆
Nama Luke Zachary tidak asing bagi Ryan Drake. Meski belum pernah bertemu langsung, sebagai penduduk asli Crocshark, Ryan sering melihat namanya di media massa sejak kecil. Luke Zachary bukan hanya pengusaha terkemuka di Crocshark, tapi juga dikenal di seluruh Windhaven sebagai pebisnis sukses dan dermawan. Tidak ada satu pun warga Crocshark yang tidak mengenalnya. Namun yang lebih penting, Luke Zachary adalah Patriark Keluarga Zachary dan kakek dari Jake Zachary–pria yang baru saja Ryan hajar pagi ini karena berani menculik Alicia. 'Dunia memang sempit,' Ryan tersenyum dingin dalam hati. 'Pagi tadi aku menghajar cucunya, sore ini mereka pasti sedang mencari pelakunya di seluruh kota. Dan sekarang aku malah berada di rumahnya.' Menghadapi tatapan penuh harap Luke Zachary, Ryan hanya tersenyum acuh tak acuh. Dia ingin melihat seperti apa sebenarnya keluarga ini. Jika mereka semua seperti Jake yang suka menindas orang lemah, maka Ryan tidak akan segan memberi pelajaran yang sama.
Tidak hanya Luke Zachary dan James Carrey yang begitu terkejut, Simon Zachary juga menunjukkan ekspresi tak percaya yang mendalam. Seorang pemuda berpenampilan sederhana bisa mendiagnosis penyakit ayahnya dengan begitu akurat, bahkan mengetahui detail riwayat cedera yang terjadi puluhan tahun lalu. Cheryl yang tadinya menunjukkan sikap merendahkan, kini menatap Ryan dengan sorot mata berbeda. Mata besarnya berkilat penuh rasa ingin tahu, bibirnya sedikit terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu namun tertahan. Sikap angkuhnya seketika lenyap melihat kemampuan Ryan. "Kemampuan Anda sungguh luar biasa, Tuan Ryan," puji Luke dengan suara bergetar. Sebagai praktisi bela diri senior, dia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dari pemuda di hadapannya ini. Ryan mengamati reaksi mereka tanpa perubahan ekspresi berarti. Dengan tenang dia melanjutkan, "Anda cukup cerdas untuk berhenti berlatih setelah beberapa kali muntah darah. Jika tidak, nyawa Anda mungkin sudah tidak tertolong. Lu
Mendengar pengakuan Luke, Cheryl tidak bisa menahan emosinya. "Kakek, kenapa masih memikirkan Jake?" protesnya dengan nada kesal. "Dia selalu membuat Kakek khawatir. Setiap kali membuat masalah, dia datang meminta Kakek membereskannya. Lihat apa yang terjadi pada tubuh Kakek sekarang!" Ryan yang awalnya mengira Cheryl adalah putri Simon, kini menyadari bahwa gadis ini meski juga cucu Luke Zachary, tapi memiliki ayah yang berbeda dengan Jake. Sikapnya yang protektif terhadap kakeknya menunjukkan hubungan yang dekat di antara mereka. "Bagaimanapun juga, Jake adalah cucuku," Luke menghela napas berat. "Meski dia bukan cucu yang baik, aku tidak bisa mengabaikannya. Tapi kali ini... sungguh memalukan." James yang sejak tadi mengamati percakapan mereka, akhirnya angkat bicara. "Jadi benar Jake yang menyebabkan insiden ini?" Luke mengangguk lemah sebelum berpaling pada putranya. "Simon, kau bisa ceritakan apa yang disampaikan Paman Charlie. Tidak perlu ada yang disembunyikan lagi." Sim
Cheryl bergegas membantu Luke Zachary berdiri. Meski tubuh Luke sudah tegak, dia masih gemetar hebat. Sebagai seorang gadis muda, Cheryl kesulitan menopang tubuh kakeknya sendirian. Simon pun segera maju membantu. Ryan meletakkan cangkir tehnya dengan tenang. "Akar masalah Anda berpusat di jantung," ujarnya. "Jika tidak disembuhkan, Anda hanya punya waktu satu atau dua tahun. Ambilkan kertas dan pena, saya akan menuliskan resepnya." Simon bergegas memanggil pelayan untuk membawakan alat tulis, sementara dia dan Cheryl membantu Luke kembali duduk. Begitu menerima kertas dan pena, Ryan mulai menulis tanpa ragu. James bangkit dan berdiri di sampingnya dengan sikap hormat, matanya melebar takjub melihat resep yang ditulis. Setelah selesai, James menyerahkan kertas itu pada Luke. Ekspresi Luke berubah terkejut bercampur kecewa saat membacanya. Sebagai sesama praktisi bela diri, Luke dan James memiliki pengetahuan dasar pengobatan tradisional Windhaven. Resep yang ditulis Ryan h
Setelah meninggalkan kediaman Zachary, Ryan tidak langsung kembali ke vila Alicia. Dia bergegas menuju area perbukitan hijau yang kaya akan energi spiritual.Qi yang berhasil dia pulihkan semalam telah habis untuk mencari Alicia. Penggunaan paksa jiwa primordialnya yang rusak membuat kondisinya semakin memburuk. Meski orang lain tidak bisa melihat perbedaannya, Ryan tahu dia semakin jauh dari level Iblis Surgawi yang pernah dia capai.Di sebuah lembah kecil yang sunyi, energi spiritual berkumpul di sekitar sebatang pohon pinus raksasa. Selama berada di Bumi, Ryan belum pernah melihat pohon sebesar ini—batangnya hitam dan kokoh menjulang seperti bukit hijau gelap yang menaungi sekitarnya.Dengan gerakan mulus, Ryan mendarat di bawah pohon pinus. Dalam kegelapan, matanya berkilau tajam seperti obor yang menyala. Di bawah akar pohon yang menjalar, dia menemukan lingkaran cahaya hijau samar yang tersembunyi di balik rumpun rumput liar. Tanpa kemampuan spiritualnya, tidak ada yang b
Langit masih gelap ketika Ryan kembali ke vila Alicia. Suasana sangat hening—semua penghuni tertidur, kecuali satu sosok yang masih terjaga. Siluet Sherly terlihat melintas di balik jendela kamarnya. 'Pengawal yang sangat berdedikasi,' Ryan menilai. Meski levelnya masih rendah, praktisi bela diri muda ini memiliki potensi yang cukup baik jika dilatih dengan benar. Namun Ryan tidak terlalu memikirkan Sherly. Teknik rahasia yang dia berikan hanya bertujuan agar Sherly bisa meningkatkan kekuatan dan melindungi Alicia dengan lebih baik. Bagaimanapun, masih ada sekte di belakang Sherly yang belum Ryan ketahui. Jika terjadi konflik antara dirinya dan sekte itu, sikap Sherly masih belum bisa dipastikan. Meski Ryan tidak menganggap serius sekte bela diri manapun di Bumi, dia kembali ke sini untuk menjalani kehidupan bahagia bersama Alicia dan putrinya. Konflik dengan sekte lokal hanya akan mengganggu rencananya. Dengan langkah tanpa suara, Ryan memasuki kamar Lena. Putrinya t
Fajar baru saja menyingsing ketika Alicia melangkah turun dari lantai dua vila Moore. Langkahnya terhenti di tengah tangga, terpaku pada pemandangan yang membuat jantungnya berdesir aneh. Di ruang tamu, Ryan duduk dengan tenang di sofa sementara Lena berdiri memunggunginya, rambut hitam panjangnya terurai menunggu untuk dikepang. Jemari Ryan yang kuat namun lembut bergerak dengan presisi, menyisir dan mengepang rambut Lena dengan keahlian yang mengejutkan. Setiap gerakan tangannya menciptakan kepangan rapi yang membuat putri kecil itu tersenyum bahagia. Melihat interaksi mereka, ingatan Alicia melayang ke masa lalu–ke hari-hari indah saat dia masih menjadi mahasiswi dengan rambut panjang sepinggang yang menjadi iri teman-temannya. Rambut hitam berkilau yang selalu Ryan rawat dengan penuh kasih sayang. Setiap kali selesai keramas, Ryan akan dengan sabar mengeringkan rambutnya menggunakan handuk, menghindari pengering rambut yang selalu membuat Alicia sakit kepala. Jemarinya
Sherly berdiri terpaku di tengah tangga, matanya bergantian menatap Alicia yang berlari marah ke kamarnya dan Ryan yang berdiri dengan senyum samar di ruang tamu. Suara pintu yang dibanting keras membuat getaran kecil di dinding, seolah mewakili gejolak emosi yang tersimpan. Selama satu menit penuh Sherly tak bergerak, menunggu situasi mencair. Baru setelah Ryan melangkah tenang ke ruang makan, dia menghela napas lega dan turun dengan langkah ragu. Begitu memasuki ruang makan, pemandangan yang tersaji begitu kontras dengan ketegangan sebelumnya. Ryan duduk bersama Lena, menikmati sarapan dengan obrolan ringan dan tawa yang mengalir natural. Seolah kejadian tadi hanyalah hembusan angin yang berlalu. "Bibi Sherly, selamat pagi!" Lena menyapa dengan senyum cerah yang menular. "Selamat pagi, Lena," Sherly membalas dengan kelembutan yang tulus. "Tidurmu nyenyak semalam?" "Oh, aku bermimpi tentang kucing lucu!" Mata Lena berbinar penuh semangat. "Kucingnya ada banyak dan cantik se
Aura di ruangan itu berangsur-angsur menghilang.Namun aroma obat yang menyegarkan masih memenuhi seluruh ruangan, memberikan sensasi kesegaran bagi siapa pun yang menghirupnya. Ryan menatap lima butir Pil Penambah Qi di telapak tangannya dengan puas."Pil Penambah Qi," gumamnya pelan.Meskipun hanya Pil Penambah Qi biasa tingkat dasar, bagi orang biasa, pil seperti ini tak ubahnya obat suci. Bahkan bagi praktisi bela diri setingkat Sherly, mengonsumsi satu pil saja sudah cukup untuk meningkatkan kultivasinya secara drastis, bagaikan menaiki roket yang melesat ke langit. Bagi seseorang dengan level Sherly, pil ini bahkan berpotensi membantunya mencapai ranah Innate.Untuk manusia biasa, efeknya bahkan lebih ajaib—memperpanjang umur dan mengusir segala penyakit bukanlah hal mustahil.Ryan tersenyum puas melihat lima pil di tangannya. Setelah mengamati lebih cermat, dia bisa melihat perbedaan kualitasnya—dua bermutu rendah, dua bermutu sedang, dan satu bermutu tinggi."Tidak buruk,"
Ryan Drake berdiri dengan tenang di depan meja kayu, telapak tangannya terangkat sementara seberkas cahaya energi spiritual berkelap-kelip di sekelilingnya."Awali dengan yang terbaik," gumam Ryan pelan, mengamati tanaman pertama yang terangkat.Aliran energi spiritual berputar, menciptakan kekuatan tak terlihat yang menyelimuti tanaman tersebut. Tak lama kemudian, dua bahan obat umum lainnya berurutan terbang dari meja dan berhenti tepat di samping tanaman pertama.Ryan menunggu dengan sabar. Setelah lebih dari sepuluh detik, dia melambaikan telapak tangannya dan tanaman lain yang tersisa di atas meja kayu ikut terbang, melayang di titik-titik tertentu seperti sudah direncanakan sebelumnya.Ketika seluruh bahan obat dan tanaman melayang di udara, Ryan menepuk telapak tangannya dengan gerakan halus. Energi yang tak terjelaskan mulai terpancar dengan formasi saat ini sebagai intinya. Untaian udara hijau bertahan di ruangan, menciptakan pemandangan indah yang sayangnya hanya disaksi
"Dari awal sampai akhir, kamu sepertinya tidak pernah menanyakan namaku." Nona Rebecca Sanders menatap Ryan Drake dengan senyum di wajahnya yang cantik. Ryan tidak banyak bereaksi. Hubungannya dengan Keluarga Sanders tidak lebih dari sekadar transaksi kepentingan. Jika bukan karena keperluan akan tanaman ajaib, mustahil baginya untuk berkomunikasi dengan Keluarga Sanders, apalagi berkenalan dengan Rebecca. 'Sekarang aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan, apa pentingnya nama wanita ini?' pikir Ryan. Dia bukanlah tipe pria yang berpikir menggunakan bagian tubuh bawahnya. Baginya, kecantikan tidak berbeda dengan bunga-bunga indah di dunia—menyenangkan untuk dipandang, tapi tidak perlu dimiliki. Selama ribuan tahun menjelajahi alam kultivasi, Ryan telah melihat tak terhitung wanita cantik dari berbagai ras dan planet. Dia tidak akan pernah bertemu mereka lagi, jadi mengapa perlu mengingat namanya? Dia tidak memiliki kebutuhan atau suasana hati untuk itu. Melihat reaksi
Hotel Imperial adalah hotel terbaik dan termahal di Crocshark. Bangunan menjulang setinggi 30 lantai dengan desain modern yang mewah, dikelilingi panorama kota yang memukau. Di salah satu suite mewahnya, seorang pria bernama Tuan Lex sedang menemani seorang pria paruh baya berpenampilan sederhana. Meski berpakaian biasa, pria paruh baya itu duduk di posisi utama, sementara Tuan Lex yang mengenakan setelan mahal dengan sepatu kulit mengkilap justru tampak bersikap rendah, bahkan menuangkan teh dengan hormat. "Tuan Grook, kedatangan Anda ke Crocshark kali ini sungguh telah merepotkan Anda," ucap Tuan Lex dengan senyum penuh hormat. Dalam hatinya, Lex merasakan campuran rasa kagum dan tidak percaya. Sebelum rangkaian kejadian belakangan ini, dia tidak pernah tahu tentang keberadaan praktisi bela diri. Ketika menyaksikan kekuatan mereka secara langsung, dia menyadari betapa lemahnya orang biasa di hadapan kemampuan para ahli bela diri. Bahkan pasukan khusus terbaik pun tak ber
Ryan Drake bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas, namun dia memilih untuk tetap melangkah, membawa Dalton meninggalkan vila Alicia tanpa menoleh lagi. Anjing spiritual itu mengikuti dengan patuh, sesekali menoleh ke belakang seolah ikut merasakan kesedihan yang menguar dari vila tersebut. Udara pagi terasa sejuk di kulit Ryan saat mereka kembali ke vilanya. Pikirannya sibuk menganalisis situasi yang baru saja terjadi. Wanita itu telah membuat pilihannya—pilihan untuk beristirahat selamanya. Meski Ryan memiliki kemampuan untuk menolongnya, dia menghormati keputusan itu. Setiap jiwa, pada akhirnya, berhak menentukan takdirnya sendiri. Setibanya di vila, Ryan mengambil segelas air dingin dan meminumnya sambil merenungkan masalah yang lebih mendesak. Kemarin, dia menangkap tanda-tanda bahwa Lena sedang diikuti. "Aku tidak bisa berdiam diri di rumah," gumamnya pada Dalton yang meringkuk di dekat kakinya. "Seseorang sedang mengawasi Lena. Aku perlu mencari tahu siapa d
Dalton, yang mengikuti Ryan Drake, berjongkok di belakang, memiringkan kepalanya, menatap pria dan wanita itu. Mata birunya yang cerdas bergerak bolak-balik, mengamati interaksi keduanya dengan penuh perhatian. Dalam pemikirannya yang terbatas sebagai anjing, meski anjing spiritual, tentu saja ia tidak dapat memahami sepenuhnya apa yang sedang dibicarakan kedua manusia tersebut. Namun instingnya yang tajam menangkap kesedihan mendalam dari aura wanita itu. Entah sejak kapan, dari dalam villa, seorang pria setengah baya keluar. Pria itu berhenti di pintu masuk, menatap Ryan dan wanita di kursi rotan dengan tenang, dan tidak bergerak maju. Ryan tentu saja menyadari kehadiran pria paruh baya itu, meski tidak menoleh untuk melihatnya. "Kau benar-benar ingin tahu?" tanya Ryan sambil menatap wanita kurus di hadapannya dengan ekspresi datar. Fakta yang kejam terkadang merupakan beban yang berat untuk ditanggung. Namun terkadang pula, mengetahui kebenaran adalah keberuntungan terb
Kamar Lena Moore memiliki dekorasi yang ceria. Dinding-dindingnya dicat dengan warna lembut dan hiasan berbentuk bunga serta kupu-kupu menghiasi setiap sudut. Dalam kegelapan, lampu tidur di ruangan itu bersinar dengan titik-titik terang yang redup, menciptakan ilusi langit berbintang di langit-langit kamar. Ryan Drake membuka pintu tanpa suara dan berjalan masuk ke dalam ruangan. Langkahnya ringan, tidak menimbulkan sedikit pun deritan pada lantai kayu di bawahnya. Pada saat ini, gadis kecil itu sudah tertidur. Ryan berjalan ke sisi tempat tidur dan di bawah cahaya redup, memandangi putrinya yang sedang terlelap. Ekspresi Lena begitu tenang dalam tidurnya, bibir kecilnya sedikit terbuka, dan dadanya naik turun dalam ritme pernapasan yang teratur. 'Putri kecilku,' batin Ryan, hatinya terasa hangat. Di antara semua kehidupan yang telah dia lihat dan semua peradaban yang telah dia jelajahi, tak ada yang seberharga sosok mungil di hadapannya ini. Berdiri di tepi tempat tidur
Di sudut taman yang gelap ini, Ryan Drake menjawab pertanyaan Sherly satu persatu. Waktu berlalu tanpa disadari. Malam ini, bagi Sherly, setiap kata yang diucapkan Ryan penuh makna dan pengertian, memberinya inspirasi yang tak pernah dia dapatkan sebelumnya. Bukan hanya masalah dalam latihannya saat ini yang terpecahkan, bahkan pertanyaan-pertanyaan dari latihan lamanya yang tak bisa dijawab oleh gurunya pun dijawab oleh Ryan dengan mudah. Setiap penjelasannya membuka pemahaman baru bagi Sherly, bagaikan cahaya yang menerangi jalan gelap yang selama ini dia tempuh. Dulu, dia selalu menganggap Ryan hanya seorang praktisi kuat di ranah Innate, tapi sekarang persepsi itu mulai goyah. Dalam benaknya muncul firasat bahwa lelaki di hadapannya ini bukanlah dari dunia bela diri biasa, melainkan dari dunia yang tingkatannya jauh lebih tinggi. Jika tidak, bagaimana mungkin dia bisa memecahkan masalah sulit yang telah mengganggu dunia bela diri selama berabad-abad? Dengan ratusan tahun p
"Aku tidak bermaksud membuat Lena menderita," jawabnya pelan. Bagi Sherly, apa yang dia sampaikan sebenarnya hanyalah pengulangan dari keluhan Alicia. Dia tidak menyadari bahwa ucapannya bisa diartikan berbeda—seolah dia sendiri yang menyalahkan Ryan. Lahir dan dibesarkan di lingkungan sekte Ahli Bela Diri, Sherly telah berlatih seni bela diri sejak kecil. Pengetahuan yang diwariskan turun-temurun telah membentuk cara pandangnya. Baginya, urusan cinta dan perasaan adalah hal yang terlalu rumit dan asing. Setelah beberapa saat, Sherly menyadari bahwa tangannya masih digenggam oleh pria di hadapannya. Jarak mereka begitu dekat hingga dia bisa merasakan kehangatan tubuh Ryan. Detak jantungnya mendadak berpacu cepat tanpa dia sadari. Situasi seperti ini belum pernah dia alami sebelumnya. Secara naluriah, dia menarik tangannya dengan kuat, tetapi tangan besar itu bagaikan penjepit besi. Sekeras apapun dia berusaha, tangannya tidak bisa terlepas. "Lepaskan," pintanya dengan s