Mini Story—Generasi BaruRatusan tahun setelah ditinggal Bai Jia, banyak sudah hal yang terjadi di dunia timur. Kehidupan yang terus berjalan, manusia yang silih berganti, dan zaman yang terus digeser oleh zaman baru. Keadaan tersebut lambat laun telah menenggelamkan nama Wuxia.Di dunia yang sudah sangat modern ini, sudah tidak banyak lagi dinasti berdiri. Sudah tidak banyak lagi orang yang memanggil pemimpin mereka dengan sebutan raja atau kaisar. Mereka lebih sering memanggil pemimpin mereka dengan sebutan presiden.Masa kejayaan Wuxia kini hanya menjadi sejarah yang disampaikan di sekolah-sekolah dan juga museum. Mengenai para pendekar dan anak keturunan para bangsawan, hal seperti itu sudah tidak ada dan bukan lagi menjadi sesuatu yang penting. Manusia di zaman modern hanyalah orang biasa, yang ketika tidak memiliki harta, jabatan, karya, atau nama yang tenar, mereka bukanlah apa-apa.“Berhenti kau di sana, Huang Li Jun!”“
“Kau! ... siapa?”“Apanya? tanya yang benar!” perintah Li Jun ‘nyolot’.Wen Lai berdecak kesal. “Namamu siapa?” tanyanya lagi sambil menahan emosi.“Maafnya, mana?”“Ha?”“Maaf, kau belum meminta maaf padaku karena sudah menuduhku sebagai pencuri. Jadi, sebelum bertanya namaku, minta maaf lebih dulu!”Kepala Wen Lai pusing, dia tidak begitu memahami bahasa Li Jun. Namun, satu poin yang bisa dia tangkap ialah Li Jun ingin dirinya minta maaf.“Ah, baiklah, aku paham.” Wen Lai menarik napas panjang terlebih dahulu sebelum akhirnya mengucap, “Maaf! ... maaf sudah menuduhmu sebagai pencuri! “Aku tidak tahu ternyata cincinmu sangat mirip dengan cincinku,”—Wen Lai menunjukkan cincin giok miliknya pada Li Jun—“dan tadi, kulihat cincinmu meresponku, jadi aku semakin yakin kalau itu cincinku.”Li Jun mengamati cincin giok hijau milik Wen Lai dan kemudian membandingkannya dengan miliknya. Setela
Li Jun dan Wen Lai menghabiskan waktu mereka sehari ini di taman dekat waduk. Mereka mencari cara agar portal kedua dunia terbuka dan Wen Lai bisa kembali ke Diyu. Mulai dari sengaja menenggelamkan diri hingga mencoba yang lebih ekstrim dengan mengulang adegan saat Wen Lai dikejar pembunuh. Hanya saja, bedanya kali ini bukan pembunuh bayaran yang mengejar, melainkan anjing liar.“Apa kita harus mencoba menggunakan pembunuh sungguhan?” tanya Li Jun.“Diamlah!” perintah Wen Lai tegas. Dia masih kesal perkara dikejar anjing. “Sebaiknya kau berhenti memberiku ide-ide gila, Li Jun!”Li Jun memanyunkan bibirnya. “Aku, ‘kan, hanya ingin membantu.”“Diam!” perintah Wen Lai lagi.Kini Li Jun benar-benar tidak lagi bersuara. Pada akhirnya, mereka berdua hanya duduk-duduk diam di rerumputan sembari menatap langit sore. Wen Lai baru pertama kali melihat warna langit seindah itu. Selama ini di Diyu hanya ada tiga warn
Wen Lai melihat ke samping dan mendapati Li Jun sudah tertidur. Setelah menggerakkan tangannya di depan wajah Li Jun beberapa kali, Wen Lai akhirnya bangkit dan berjalan keluar kamar. Dia berjalan sangat pelan agar tidak menimbulkan suara berisik yang bisa membangunkan Li Jun. Namun, hal itu percuma karena di langkah pertamanya menjauh dari kasur, pemuda itu sebenarnya sudah terbangun dari tidurnya. Wen Lai kini sudah berada di luar kamar dan sudah pula menutup pintu kaca kamar Li Jun. Bersamaan dengan itu, sang pemilik kamar pun membuka mata. Li Jun penasaran dengan gerak-gerik Wen Lai yang mengendap-endap. Dia bangkit dan mengintip dari balik pintu. Dia hanya ingin memastikan bahwa Wen Lai tidak sedang merencanakan sesuatu yang jahat. Li Jun memperhatikan Wen Lai yang saat ini duduk bersila di atas dipan dan mulai berkonsentrasi. Tidak lama kemudian, terlihat Wen Lai mengulurkan tangan dengan telapaknya yang diarahkan k
Melihat cincin darah milik Li Jun bercahaya, Wen Lai lantas mengeluarkan cincin miliknya. Ternyata, saat ini cincinnya juga bercahaya.Dia tidak tahu kenapa bisa begitu. Asumsinya, mungkin cincin darah saling memberi reaksi satu sama lain karena pada akhirnya bisa kembali bertemu setelah sekian lama terpisah.Cincin darah merupakan cincin pernikahan bangsa Diyu. Warna merah yang ada di dalamnya ialah darah dari pasangan yang menjadi pengantin. Penyatuan darah dua orang yang saling mencintai itu menjadi simbol menyatunya jiwa dan raga mereka. “Aku tidak menduga akan menjadi perantara kedua cincin ini bertemu kembali. Sekarang, setelah berhasil menemukan pasangannya, aku jadi tidak rela jika memisahkannya lagi.”Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya Wen Lai memutuskan bahwa ia akan meninggalkan cincin milik Fei Yi bersama dengan Li Jun. Dia kemudian memasukkan kedua cincin itu ke dalam kantong kecil dan meletakkannya kembali di laci.
“Wen Lai?” ucap Li Jun dalam hati. Dia terkejut melihat Wen Lai bisa ada di sana. Di saat Wen Lai akan maju menghadapi para berandal yang mengejarnya tadi, Li Jun segera menahan lengan sang pangeran Diyu. Pada awalnya dia ingin menahan Wen Lai agar tidak menghajar mereka. Namun, pada akhirnya .... “Santai saja! mereka hanya anak-anak biasa, jangan gunakan kekuatan iblismu!” Wen Lai memahaminya—“Baiklah!” “Kurang ajar! siapa, kau, brengsek?” “Minggirlah! jangan ikut campur!” “Aku?” sahut Wen Lai, “aku orang yang akan menghajar kalian.” Pernyataan Wen Lai itupun ditertawakan oleh anak-anak berandal. “Jangan bercanda, bocah aneh! yang ada, kau akan babak belur di tangan kami. Maju!” Tujuh orang maju menyerang Wen Lai. Dari posisi dan gerakan mereka, Wen Lai memprediksi siapa di antara mereka yang akan datang lebih cepat untuk mendekatinya.
“Dasar anak-anak nakal! kalian tidak takut dapat tuah, ha? sana pergi!” usir penjaga museum istana.Cahaya yang menerangi wajah Li Jun dan Wen Lai beberapa waktu lalu ialah cahaya senter milik dua penjaga yang sedang berpatroli. Para penjaga memergoki mereka saat berada di depan pintu aula utama.“Terima kasih, Pak!” teriak Li Jun dengan tidak tahu diri. “Hah! beruntung kita ketahuan, jadi tidak perlu repot mengendap-endap dan melompat pagar,” terangnya, “sekarang ayo kita pulang, Wen Lai!” “Hem!” sahut Wen Lai seadanya. Dia masih penasaran dengan energi yang ia rasakan tadi. “Apa energi tadi yang disebut sebagai energi kutukan?” tebaknya dalam batin.KRUCUK~“Oho~ apa kau lapar, Pangeran?”—Li Jun merangkul Wen Lai—“tenang saja! setelah ini akan kumasakkan makan malam yang enak dan banyak untukmu, sebagai bentuk terima kasih karena tadi sudah membantuku.”Sejujurnya, Wen Lai malu mengakui dirinya kelaparan. Namun, perutnya sudah
Setelah memastikan kakeknya sudah tidur, Li Jun naik ke lantai dua. Dia menghampiri Wen Lai yang saat ini duduk di depan kamar. “Kakek sudah tidur?” tanya Wen Lai saat pemuda itu mendudukkan diri di sampingnya.Li Jun menyahut, “Hem!” Dia kemudian memberi Wen Lai minuman kaleng yang dibelinya saat perjalanan pulang tadi. Mata Wen Lai menatap bingung kaleng tersebut. “Ini hanya sari buah, bukan alkohol.”Apapun itu, Wen Lai tidak paham. Dia hanya menerima dan mengikuti tindakan Li Jun, membuka dan minum sesuatu dari kaleng tersebut.Setelah sesaat merasa takjub dengan rasa minuman kaleng, Wen Lai pun kembali fokus pada Li Jun. Matanya bergerak gelisah—“Maaf!” ucap Wen Lai pada akhirnya.Satu sudut bibir Li Jun terangkat. “Sudahlah, lupakan saja! kau hanya tidak tahu.”“Apa kejadian seperti ini sebelumnya sering terjadi?” tanya Wen Lai setelahnya.“Iya, sangat sering, sebelum pikun ka